• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spesies asing dapat diartikan sebagai spesies, sub spesies, atau takson yang lebih rendah yang keluar dari habitat alami atau daerah sebar aslinya yang dapat bertahan dan berkembang biak di daerah baru yang dihuninya. Masuknya spesies asing akuatik ke suatu wilayah dapat melalui: a) proses dagang (Abelló & Hispano 2006; Nico et al. 2011); b) air ballast (Kerckhof et al. 2006; Laine et al. 2006; Panov 2006; Robins et al. 2006; Ferreira et al. 2006); c) hewan peliharaan yang kemudian dibuang (Copp et al. 2006; Chaichana et al. 2011; Zammit & Schembri 2011); d) terbawa oleh spesies introduksi lain (seperti masuknya Kijing

Taiwan ke Indonesia) dan e) lepas dari penangkaran (Simonović et al. 2006; Keszka et al. 2008; Singh et al. 2010).

Pemasukan spesies ikan asing dengan sengaja (introduksi) harus mempertimbangkan unsur ekologis untuk meminimalkan dampak buruk yang muncul. Introduksi ikan memiliki beberapa tujuan seperti untuk meningkatkan produksi perikanan, kepentingan budidaya, olahraga pemancingan (Morgan et al.

2004), ataupun untuk pengendalian gulma (Ogutu-Ohwayo et al. 1997).

Suatu spesies asing akan dikatakan invasif apabila penyebarannya sudah menimbulkan dampak negatif seperti mengganggu keanekaragaman hayati perairan, mengganggu kesehatan manusia dan menimbulkan kerugian ekonomi. Gangguan yang ditimbulkan oleh masuknya spesies asing bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati adalah memangsa spesies asli (Lowe et al. 2000; Billman

et al. 2011), menekan pertumbuhan dan menekan rekrutmen spesies asli (Albins & Hixon 2008; Kostecki et al. 2011), menularkan penyakit atau membawa parasit (Pinder et al. 2005; Uzunova & Zlatanova 2007; Nico et al. 2011), berkompetisi (Kartamihardja 2008), menyerang, atau melakukan persilangan (Allendorf et al.

2001; Hänfling et al. 2005) sehingga menurunkan keanekaragaman hayati. Spesies ikan asing yang sukses menginvasi suatu ekosistem umumnya memiliki sifat-sifat berikut: 1) tumbuh dengan cepat; 2) memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan perairan; 3) memiliki fekunditas yang besar dan perenang yang baik (Cabal et al. 2006).

Apabila tidak dikendalikan dengan baik, spesies asing invasif akan mendominasi dan menyebabkan terjadinya penyeragaman sumber daya. Dampak keberadaan ikan asing baru akan sepenuhnya terlihat setelah waktu yang lama (tahunan bahkan puluhan tahun) (Strayer et al. 2006). Perubahan komposisi spesies dan kelimpahan relatif menunjukkan adanya penghilangan spesies asli oleh spesies asing dan suksesi yang relatif cepat antara spesies lama dan baru (Bernauer & Jansen 2006).

Perkembangan Keanekaragaman Ikan di Waduk

Waduk dibangun dengan cara membendung sungai. Pembendungan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan ekologis secara signifikan, dari perairan mengalir menjadi tergenang, yang kemudian direspon oleh lingkungan dan adaptasi biota di dalamnya. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan tersingkir

5 dan mengakibatkan turunnya jumlah spesies ikan asli pada masa awal pembendungan sungai menjadi waduk. Selain itu, terhalangnya alur distribusi juga akan menghalangi migrasi ikan yang akan berakibat pada hilangnya ikan (Küḉük et al. 2007; Branco et al. 2012).

Jumlah spesies di waduk kemudian akan meningkat seiring dengan masuknya spesies asing yang sengaja ditebar ataupun yang masuk tanpa disengaja. Ikan asing juga berpotensi menghilangkan spesies asli. Perubahan habitat dan masuknya spesies asing invasif merupakan faktor pengubah komposisi jenis ikan di perairan waduk (Daga & Gubiani 2012).

Di Waduk Ir. H. Djuanda, pada awal pembangunannya (1968–1977), terdapat 31 jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda yang terdiri atas 23 spesies ikan asli dan delapan spesies ikan asing (Kartamihardja 2008). Pada kurun waktu 2008–2009, spesies ikan asli yang ditemukan di Waduk Ir. H. Djuanda hanya tinggal delapan spesies (Tabel 1) yang disebabkan oleh hilangnya habitat pemijahan dan pembesaran, penurunan kualitas air, dan fluktuasi air waduk (Kartamihardja 2008). Selain faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya, keberadaan ikan asing juga diduga berdampak negatif bagi keberadaan ikan asli di waduk ini.

Tabel 1. Komposisi ikan yang tertangkap di Waduk Ir. H. Djuanda pada tahun 2008–2009

No Nama Lokal Nama Ilmiah Status Ikan Sumber

1 Bandeng Chanos chanos Asing Ditebar

2 Mas Cyprinus carpio Asing Ditebar

3 Nila Oreochromis niloticus Asing Ditebar 4 Nilem Osteochilus vittatus Asing Ditebar 5 Patin Pangasionodon hypophthalmus Asing Ditebar 6 Betutu Oxyeleotris marmorata Asing Tidak diketahui 7 Golsom Hemichromis elongates Asing Tidak diketahui 8 Kongo Parachromis managuensis Asing Tidak diketahui 9 Kaca Parambassis siamensis Asing Tidak diketahui 10 Kapiat Barbonymus schwanenfeldii Asing Tidak diketahui 11 Oskar Amphilophus citrinellus Asing Tidak diketahui 12 Beunteur Puntius binotatus Asli Sungai Citarum 13 Hampal Hampala macrolepidota Asli Sungai Citarum 14 Kebogerang Mystus nigriceps Asli Sungai Citarum 15 Lalawak Barbonymus balleroides Asli Sungai Citarum 16 Lempuk Ompok bimaculatus Asli Sungai Citarum 17 Seren Cyclocheilichthys enoplus Asli Sungai Citarum 18 Tagih Hemibagrus nemurus Asli Sungai Citarum 19 Tawes Barbonymus gonionotus Asli Sungai Citarum Sumber: Dimodifikasi dari Tjahjo & Purnamaningtyas (2011)

6

Berbeda dengan ikan asli yang semakin berkurang, keberadaan jumlah spesies dan kelimpahan ikan asing di perairan Waduk Ir. H. Djuanda semakin meningkat. Sebelas dari 19 spesies ikan yang ditemukan di Waduk Ir. H. Djuanda merupakan ikan asing. Ikan yang paling banyak tertangkap adalah ikan oskar. (Putri & Purnamaningtyas 2011).

Ikan oskar memiliki penyebaran yang luas di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo

et al. 2009). Ikan ini masuk ke waduk secara tidak sengaja bersamaan dengan benih ikan nila yang akan dipelihara dalam KJA (Tjahjo*, komunikasi pribadi). Ikan oskar tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Waduk Ir. H. Djuanda (Hedianto & Purnamaningtyas 2012b).

Ekobiologi Ikan Oskar (Amphilophus citrinellus)

Ikan oskar (Gambar 2) merupakan ikan kelompok siklid yang berasal dari Nikaragua dan Kosta Rika, Amerika (Axelrod & Scott 2005; Baensch & Fischer 2007). Klasifikasi ikan oskar menurut Froese & Pauly (2011) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Cichlidae Subfamili : Cichlasomatinae Genus : Amphilophus Spesies : A. citrinellus

Nama lokal : Oskar, Red devil

Nama internasional : Midas cichlid

Gambar 2. Ikan oskar (Amphilophus citrinellus)

Ikan oskar memiliki bentuk tubuh dan warna yang bervariasi pada spesies yang sama (Klingenberg et al. 2003; Barluenga & Meyer 2010; Fan et al. 2012). Ikan ini umumnya berwarna kuning kejinggaan meskipun juga ditemukan yang berwarna kehitaman, kemerahan, dan putih pucat. Perbedaan warna ini tidak terkait pada jenis kelaminnya (Fan et al. 2012). Di alam, ikan yang jantan akan membesarkan dahinya (nuchal hump) ketika siap untuk berpasangan (Barlow &

2 cm

*Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo: Peneliti senior di Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Balitbang Kelautan dan Perikanan

7 Siri 1997) dan kembali mengempis setelah berpasangan. Ikan ini berpotensi sebagai ikan hias karena warnanya yang cerah (Purnamaningtyas & Tjahjo 2006).

Ikan jantan dewasa berukuran relatif lebih besar daripada ikan betina. Perbedaan ukuran berdasarkan jenis kelamin tidak terlihat pada fase ikan muda (Oldfield et al. 2006, Oldfield 2007) karena ikan jantan mengalami percepatan tumbuh yang lebih pesat daripada ikan betina setelah mencapai fase dewasa (Oldfield 2007, Oldfield 2009). Pola pertumbuhan ikan oskar adalah isometrik (Purnamaningtyas & Tjahjo 2010).

Ikan oskar merupakan ikan yang monogamus. Ikan ini berpasangan pada saat musim pemijahan dan memijah di substrat (Barlow 1976). Ikan–ikan dari Genus Amphilophus bersifat agresif dalam mempertahankan daerah pemijahan dan melindungi anaknya (Lehtonen et al. 2010). Namun tidak demikian pada saat mencari pasangan. Ikan siklid jantan yang terlalu agresif akan membuat ikan betina merasa terancam dan melarikan diri (Santangelo 2005). Ikan oskar dapat memijah sepanjang tahun dengan fekunditas 1.593–3.567 butir (Purnamaningtyas & Tjahjo 2010).

Habitat yang paling sesuai bagi ikan oskar adalah perairan danau yang tergenang. Ikan ini paling banyak ditemukan pada bagian yang dasarnya berbatu dan tidak umum ditemukan pada bagian yang airnya cenderung mengalir. Suhu dan pH yang baik untuk ikan oskar adalah 22–25oC dan 7,0 unit (Baensch & Fischer 2007).

Ikan oskar bersifat generalis dalam memanfaatkan sumber daya makanan (Tjahjo & Purnamaningtyas 2008). Ikan oskar adalah ikan omnivora (Purnamaningtyas & Tjahjo 2010) yang memiliki potensi mengubah makanan seiring dengan perubahan ukuran tubuhnya (Nurnaningsih et al. 2003; Anggita 2011). Makanan ikan oskar adalah tumbuhan, avertebrata akuatik, detritus, ikan, dan serangga (Purnamaningtyas & Tjahjo 2010, Nurnaningsih et al. 2003; Anggita 2011). Pada ukuran yang kecil, ikan ini cenderung memilih fitoplankton dan zooplankton sebagai makanannya; sedangkan pada ukuran yang lebih besar cenderung memilih zooplankton dan ikan (Nurnaningsih et al. 2003).

Interaksi Interspesies Ikan

Komposisi komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik lingkungannya (Moyle & Cech 2004; Nelson 2006). Salah satu faktor biotik adalah interaksi interspesies berupa persaingan dan pemangsaan. Persaingan didefinisikan sebagai perebutan suatu sumber daya yang sama oleh dua organisme atau lebih. Dampak persaingan akan muncul apabila sumber daya tersebut berjumlah terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh organisme yang bersaing (Effendie 2002).

Sumber daya yang kerap diperebutkan oleh antar jenis ikan adalah makanan (Bariche et al. 2004), tempat berpijah (Paschos et al. 2004) dan ruang gerak. Apabila sumber daya makanan yang diperebutkan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, maka akan terjadi kelaparan pada ikan yang kemudian menurunkan kecepatan pertumbuhan ataupun jumlah populasi. Persaingan habitat pemijahan dan perolehan pasangan akan berakibat pada gagalnya rekrutmen pada satu musim yang dapat menurunkan jumlah populasi.

8

Contoh persaingan interspesies ikan yang berdampak buruk bagi spesies yang kalah adalah menjadi langkanya ikan Oreochromis niloticus akibat keberadaan Sarotherodon melanotheron (Duponchelle & Legendre 2000) dan menurunnya kebugaran ikan asli (Dorosoma cepedianum dan Ictiobus cyprinellus) akibat persaingan memanfaatkan sumber daya makanan yang sama dengan ikan asing dominan (Hypophthalmichthys nobilis dan Hypophthalmichthys molitrix) di Sungai Illinois, Amerika (Irons et al. 2007). Selanjutnya disampaikan bahwa penurunan kebugaran tersebut kemudian akan berdampak pada kesehatan, kerentanan terkena penyakit dan pada reproduksi dalam jangka waktu yang panjang. Selama tidak mempersaingkan sumber daya yang sama, keberadaan spesies asing tidak akan memberikan dampak buruk bagi keanekaragaman spesies asli. Arthur et al. (2010) melaporkan keberadaan lima spesies asing (satu Cichlidae dan lima Cyprinidae) di Laos tidak berpengaruh buruk terhadap keanekaragaman spesies asli karena memanfaatkan sumber daya pakan yang berbeda dari spesies asli.

Pemangsaan dapat diartikan sebagai hubungan memakan dan dimakan antara pemangsa dan mangsa. Sama halnya dengan persaingan, pemangsaan juga dapat terjadi intra ataupun interspesies. Pemangsaan intraspesies terjadi pada ikan-ikan kanibal. Pada pemangsaan interspesies, jumlah dan komposisi mangsa sangat dipengaruhi oleh tekanan pemangsa. Pemangsaan dapat berakibat pada berkurangnya keanekaragaman hayati seperti yang dilaporkan oleh Lowe et al. (2000) dan (Miranda-Chumacero et al. 2012).

Pengendalian Spesies Asing Invasif

Dampak negatif keberadaan spesies ikan asing invasif dan potensi kerusakan yang lebih besar apabila tidak dikelola dengan baik menjadi salah satu dorongan kepada para peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan topik tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan dan menghasilkan saran-saran pengendalian seperti berikut: menggunakan spesies predator sebagai agen penghilang spesies asing (Santos et al., 2009); melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan (Nishizawa et al. 2006; McIntosh et al. 2010) atau dalam mitigasi dampak spesies asing (Biggs & Olden, 2011); menghalangi distribusi ikan invasif dengan membangun penghalang geografis (Vélez-Espino et al. 2011); dan menggunakan aplikasi genetis dengan menghasilkan keturunan yang infertil pada populasi ikan asing di alam (Gutierrez & Teem 2006).

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan contoh dilakukan di enam stasiun yang ditentukan berdasarkan karakteristik lokasinya (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik stasiun penelitian

No Stasiun Koordinat Karakteristik

1 Cilalawi BT : 107o 23,870’

LS : 06o 33.818’ Daerah inlet

Sumber air dari Sungai Cilalawi Zona litoral

Di sekitar lokasi terdapat tumbuhan air Perairan dipengaruhi aliran air dari

Sungai Cilalawi 2 DAM BT : 107o 23,478’

LS : 06o 31,908’ Daerah genangan utama Zona litoral

Dekat dengan bendungan Perairan relatif tenang 3 Baras Barat BT : 107o 21,786’

LS : 06o 32,157’ Daerah transisi

Sumber air adalah gabungan dari Sungai Citarum dengan genangan utama Di sekitar lokasi terdapat banyak KJA Zona limnetik. Kedalaman mencapai

>50 m

Perairan relatif tenang 4 Pasir Astana BT : 107o 19,732’

LS : 06o 30,428’ Daerah terlindung dan endapan Pernah ditetapkan sebagai daerah

reservat Nutrien kecil Zona litoral

Perairan relatif tenang 5 Kerenceng BT : 107o 18,385’

LS : 06o 32,639’ Daerah inlet-transisi

Sumber air berasal dari Sungai Citarum Berarus sedang

Di sekitar lokasi terdapat tempat pemancingan

Zona litoral 6 Jamaras BT : 107o 18,211’

LS : 06o 35.563’ Daerah inlet

Sumber air berasal dari Sungai Citarum Di sekitar lokasi terdapat banyak KJA Berarus sedang sampai besar

10

Gambar 3. Waduk Ir. H. Djuanda

Bahan dan Alat Penelitian

Obyek yang diamati pada penelitian ini adalah seluruh ikan asli dan asing yang tertangkap dan beberapa parameter fisik dan kimiawi perairan (warna, kecerahan, kedalaman, suhu, dan pH) di Waduk Ir. H. Djuanda. Bahan yang digunakan adalah formalin 4% untuk mengawetkan gonad dan saluran pencernaan.

Alat yang digunakan adalah jaring insang eksperimental berbahan senar monofilamen dengan ukuran mata jaring 1, 1,5, 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 inci, termometer, keping Secchi, pH indicator solution, depth meter, mikroskop (stereo dan okuler), alat bedah, papan pengukur dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 dan 0,0001 gram, hand tally counter serta mikrometer okuler.

Metode Pengambilan Contoh

Pengumpulan data ikan dan parameter lingkungan dilakukan dalam tiga hari untuk setiap bulan pengamatan. Hari pertama adalah pemasangan jaring di stasiun 1–3; hari kedua adalah pengambilan contoh ikan dan contoh air di stasiun 1–3

Cilalawi (1) DAM (2) Baras Barat (3) Pasir Astana (4) Kerenceng (5) Jamaras (6)

11 serta pemasangan jaring di stasiun 4–6; dan hari ketiga adalah pengambilan contoh ikan dan contoh air di stasiun 4–6.

Ikan ditangkap menggunakan jaring insang eksperimental berukuran 1, 1,5, 2, 2,5, 3, 3,5, dan 4 inci. Alat tangkap dipasang pada sore hari (mulai pukul 16.00) dan diangkat mulai pukul 06.00 keesokan harinya. Ikan contoh yang tertangkap dipisahkan sesuai dengan ukuran mata jaring dan stasiun penangkapannya lalu dibawa ke Laboratorium Biologi, Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dikelompokkan, diukur, ditimbang, dan dibedah.

Data kondisi air diambil pada setiap bulan pengamatan. Karakteristik fisik dan kimiawi perairan pada setiap stasiun dan bulan pengamatan diperlukan sebagai data pendukung penelitian. Parameter fisik dan kimiawi yang diukur selama penelitian adalah suhu dengan menggunakan termometer; kecerahan menggunakan keping Secchi; kedalaman menggunakan depth meter; warna perairan secara visual, dan pH dengan pH indicator solution.

Analisis Laboratorium

Setiap contoh ikan ditimbang bobot tubuhnya menggunakan timbangan berketelitian 0,01 gram dan diukur panjang total dan bakunya menggunakan papan pengukur berketelitian 1 mm. Selanjutnya, ikan dibedah untuk mengeluarkan gonad dan saluran pencernaannya. Penentuan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad dilakukan melalui pengamatan morfologis gonad (Tabel 3). Gonad dan saluran pencernaan ikan kemudian dibawa ke Laboratorium Bio Makro I, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB untuk dianalisis lebih lanjut.

Tabel 3. Penentuan TKG ikan secara morfologi berdasarkan modifikasi Cassie (Effendie 1979)

TKG Morfologi Gonad Jantan Morfologi Gonad Betina I Testes seperti benang, lebih pendek

dan terlihat ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih.

Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

II Ukuran testes lebih besar. Pewarnaan putih susu. Bentuk lebih jelas dari TKG I

Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan gelap kekuning-kuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata.

III Permukaan testes nampak bergerigi. Warna makin putih, testes makin besar dan dalam keadaan diawetkan mudah putus.

Ovari bewarna kuning. Secara morfologi telur sudah kelihatan butirnya dengan mata.

IV Seperti TKG III tampak lebih jelas.

Testes makin pejal. Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi ½–⅔ rongga

tubuh. Usus terdesak. V Testes bagian belakang kempis dan di

bagian dekat pelepasan masih berisi Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II.

12

Ikan betina yang telah mencapai tingkat kematangan gonad III dan IV kemudian dihitung fekunditasnya. Penentuan fekunditas dilakukan dengan cara gravimetrik. Cara ini dilakukan dengan mengambil bagian gonad ikan betina sebagai gonad contoh. Gonad dan gonad contoh ditimbang menggunakan timbangan berketelitian 0,0001 gram, kemudian dihitung jumlah telur yang ada pada gonad contoh tersebut (Effendie 1979). Persamaan yang digunakan untuk menghitung fekunditas tersebut adalah:

X :x = W :w

Keterangan : X = Jumlah telur di dalam gonad yang akan dicari

x = Jumlah telur dari gonad contoh

W = Bobot seluruh gonad

w = Bobot gonad contoh

Selain dihitung, oosit ikan TKG III dan IV juga diukur diameternya. Oosit diambil dari bagian anterior, tengah dan posterior masing-masing 100 butir. Masing-masing oosit diletakkan di atas gelas objek. Selanjutnya diamati dengan metode penyapuan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sebelumnya sudah ditera dengan mikrometer objektif.

Makanan dari lambung dan usus dikeluarkan dan organisme yang terdapat di dalamnya diidentifikasi. Identifikasi plankton dan mikroavertebrata dilakukan dengan menggunakan mikroskop mengikuti petunjuk Needham & Needham (1962) sampai tingkatan taksa terdekat.

Analisis Data Kelimpahan relatif ikan

Kelimpahan relatif ikan akan memberikan gambaran mengenai komposisi jenis dan dominasi suatu jenis ikan yang tertangkap. Kelimpahan relatif ikan dikaji berdasarkan stasiun dan waktu pengamatan dengan menggunakan persamaan berikut:

Kr= Ni N ×100

Keterangan: Kr = Kelimpahan relatif

Ni = Jumlah total individu spesies ke-i (ekor)

N = Jumlah total individu semua spesies (ekor) Pertumbuhan

Hubungan panjang bobot

Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan menghubungkan panjang dan bobot ikan. Hubungan panjang-bobot (HPB) dihitung menggunakan persamaan:

13 Keterangan: W = bobot ikan (gram)

L = panjang ikan (mm) a dan b = konstanta

Pola pertumbuhan ikan ditentukan berdasarkan nilai b yang diuji menggunakan uji t (p<0,05). Apabila nilai b=3, maka pola pertumbuhan adalah isometrik; sedangkan bila b≠3 adalah allometrik (Effendie 1979).

Penghitungan uji t dilakukan dengan hipotesis dan persamaan sebagai berikut:

Hipotesis: H0 : b = 3 H1 : b ≠ 3

= ||

Keterangan: β = Koefisien b pada H0

β = Koefisien b yang diperoleh dari HPB Sβ = Simpangan koefisien b

Pengambilan keputusan terhadap hipotesis dilakukan dengan membandingkan t hitung dan t tabel pada selang kepercayaan 95 %. Jika nilai t hitung > t tabel, maka keputusannya adalah menolak hipotesis nol. Jika t hitung < t tabel, maka keputusannya adalah terima hipotesis nol (Walpole 1995).

Faktor kondisi

Faktor kondisi relatif (Kn) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Le Cren 1951 dalam Rahardjo & Simanjuntak 2008).

=

Keterangan: W = bobot tubuh tertimbang (gram)

W* = bobot tubuh terhitung (gram) dari persamaan HPB

Reproduksi Nisbah kelamin

Nisbah kelamin dianalisis dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina pada spesies yang sama yang ditemukan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan selama empat bulan. Nisbah kelamin ini dihitung melalui persamaan:

X= J B

Keterangan: X = Nisbah kelamin

J = Jumlah ikan jantan (ekor) B = Jumlah ikan betina (ekor)

14

Waktu dan lokasi pemijahan

Waktu dan lokasi pemijahan ditentukan berdasarkan tertangkapnya ikan yang telah matang gonad selama penelitian. Ikan yang matang gonad tidak hanya ditemukan sekali pada waktu dan lokasi dugaan, namun berulang-ulang.

Potensireproduksi dan tipe pemijahan

Potensi reproduksi diduga berdasarkan fekunditas yang diperoleh selama penelitian. Potensi reproduksi menggambarkan seberapa besar suatu induk ikan dapat menghasilkan keturunan dan mempertahankan kelestarian spesiesnya.

Tipe pemijahan diduga berdasarkan jumlah modus yang diperoleh pada distribusi sebaran diameter telur. Tipe pemijahan menggambarkan strategi suatu spesies ikan dalam memijahkan telurnya.

Kebiasaan makanan

Kebiasaan makanan ikan adalah jenis makanan yang dimakan berdasarkan tingkat kesukaannya. Kebiasaan makanan ditentukan dengan menggunakan Indeks Bagian Terbesar mengikuti persamaan Natarajan & Jhingran (1961):

I

i

=

∑( )

x 100

Keterangan: Ii = Indeks bagian terbesar

Vi = Persentase volume satu kelompok makanan

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu kelompok makanan Kesamaan pemanfaatan sumber daya pakan ikan

Kesamaan pemanfaatan sumber daya pakan ikan dianalisis menggunakan metode similarity percentage. Pengelompokan disusun berdasarkan kemiripan sumber daya makanan yang dimanfaatkan oleh tiap spesies ikan yang disajikan dalam bentuk dendogram. Dendogram diolah menggunakan perangkat lunak MVSP (Multi Variate Statistical Package).

15

4 HASIL

Kondisi Perairan Waduk Ir. H. Djuanda

Pengamatan kondisi perairan Waduk Ir. H. Djuanda dilakukan pada setiap bulan pengamatan di enam stasiun pengambilan contoh. Parameter fisik dan kimiawi air waduk, meliputi warna air, suhu, kedalaman, kecerahan, dan pH pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kisaran nilai parameter fisik dan kimiawi contoh air Parameter Satuan Stasiun

1 2 3 4 5 6

Warna H.K. Hijau Hijau Hijau Hijau H.K. Kecerahan Cm 70–105 75–115 85–110 85–110 75–105 60–95 Suhu oC 29–30 28 –29 29–30 29–30 28–30 29–30 pH Unit 7,0–7,5 7,0–7,5 7,5–8,0 7,0–7,5 7,0–7,5 7,0–8,0 Kedalaman Meter 3,7–13,1 3,5–6,3 26,3–55,8 3,5–14,9 3,5–12,1 4,2–16,3 Keterangan: 1= Cilalawi; 2= DAM; 3= Baras Barat; 4= Pasir Astana; 5= Kerenceng; 6= Jamaras

H.K. = Hijau kecoklatan

Warna air di Waduk Ir. H. Djuanda pada saat penelitian adalah hijau dan hijau kecoklatan. Warna air yang hijau ditemukan di DAM, Baras Barat, Pasir Astana, dan Kerenceng; sedangkan hijau kecoklatan di Cilalawi dan Jamaras.

Kecerahan perairan berkisar antara 70–115 cm. Perairan yang paling jernih berturut-turut hingga yang paling keruh adalah DAM, Baras Barat, Pasir Astana, Kerenceng, Cilalawi, dan Jamaras.

Suhu perairan dan pH di Waduk Ir. H. Djuanda berkisar antara 28–30oC dan 7–8 unit. Suhu dan derajat keasaman relatif sama pada seluruh stasiun pengamatan. Tidak terdapat perbedaan yang besar antar stasiun pengamatan selama penelitian.

Kedalaman perairan pada penelitian ini berkisar antara 3,5–55,8 m. DAM merupakan stasiun yang paling dangkal (3,5–6,3 m), sedangkan Baras Barat merupakan stasiun yang paling dalam (26,3–55,8 m).

Komposisi Tangkapan dan Kelimpahan Relatif Ikan

Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian berjumlah 657 ekor ikan yang terdiri atas enam jenis spesies asli dan 12 jenis spesies asing (Tabel 5). Jenis ikan paling banyak tertangkap di DAM (sepuluh jenis) dan yang paling sedikit tertangkap di Baras Barat (lima jenis) (Lampiran 1). Dua belas dari 18 jenis tersebut ditemukan telah siap untuk memijah (TKG IV) (Tabel 6).

Ikan paling banyak tertangkap pada bulan November (197 ekor) dan paling sedikit pada bulan Desember dan Januari (147 ekor). Jenis ikan yang paling banyak tertangkap selama penelitian adalah oskar (70,02), kapiat (8,52), nila (6,24), dan golsom (5,02). Hasil tangkapan didominasi oleh ikan oskar.

16

Tabel 5. Ikan yang tertangkap di Waduk Ir. H. Djuanda berdasarkan bulan pengamatan

No Nama lokal Nama Ilmiah Bulan pengamatan Total Frekuensi relatif Okt Nov Des Jan

1 Bandeng Chanos chanos 0 1 0 0 1 0,15 2 Betutu Oxyeleotris marmorata 3 6 1 0 10 1,52 3 Beunteur* Puntius binotatus 0 0 1 0 1 0,15 4 Golsom Hemichromis elongatus 15 12 4 2 33 5,02 5 Hampal* Hampala macrolepidota 3 6 0 3 12 1,83 6 Kaca Parambassis siamensis 0 1 1 0 2 0,30

Dokumen terkait