• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

C. Uji Kointegrasi

Untuk melakukan uji kointegrasi, data yang digunakan harus berintegrasi pada derajat yang sama. Uji kointegrasi yang sering dipakai adalah uji Angel-Granger (EG). Uji Augmented Engle-Granger (AEG) dan

uji Cointegrating Regression Durbin-Watson (CRDW). Untuk mendapatkan nilai EG, AEG dan CRDW hitung, data yang akan digunakan harus sudah berintegrasi pada derajat yang sama. Pengujian OLS terhadap suatu persamaan dibawah ini:

� = � + �� + + + .. (3.12)

Dari persamaan (3.12), simpan residual error terms-nya. Langkah berikutnya adalah menaksir model persamaan autoregressive dari residual tadi berdasarkan persamaan-persamaan berikut:

µ = λ∆µ ……….. (3.13)

µ = λ∆µ + αi∑�=µ ………... (3.14) Dengan uji hipotesisnya:

H0 : µ = I(1), artinya tidak ada kointegrasi Ha : µ # I(1), artinya ada kointegrasi

Berdasarkan hasil regresi OLS pada persamaan (3.12) kita akan memperoleh nilai CDRW hitung (nilai DW pada persamaan tersebut) untuk kemudian dibandingkan dengan CDRW tabel. Sedangkan dari persamaan (3.13) dan (3.14) akan diperoleh nilai EG dan AEG hitung yang nantinya juga dibandingkan dengan nilai DF dan ADF tabel.

Dari regresi terhadap persamaan diatas didapatkan nilai residunya. Kemudian nilai residu (ect) tersebut diuji menggunakan metode Augmented Dickey Fuller untuk melihat apakah nilai residual tersebut stasioner atau tidak. Nilai residu dikatakan stasioner apabila nilai hitung mutlak ADF lebih kecil atau lebih besar daripada nilai kritis mutlak pada Mc Kinnon pada 1%,

5%, atau 10% dan dapat dikatakan regresi tersebut adalah regresi yang terkointegrasi. Dalam ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam keseimbangan jangka panjang. Pengujian ini sangat penting apabila model dinamis akan dikembangkan. Dengan demikian, interpretasi dengan menggunakan model diatas tidak akan menyesatkan, khususnya untuk analisa jangka panjang.

d. Error Correction Model

Apabila lolos dari uji kointegrasi, maka selanjutnya akan diuji dengan menggunakan model linear dinamis untuk mengetahui kemungkinan terjadinya perubahan struktural, sebab hubungan keseimbangan jangka panjang antara variabel bebas dan variabel terikat dari hasil uji kointegrasi tidak akan berlaku setiap saat. Teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang disebut Error Correction Model (ECM).

Metode ini adalah salah satu regresi tunggal yang menghubungkan diferensi pertama pada variabel terikat dan diferensi pertama untuk semua variabel bebas dalam model.Metode ini dikembangkan oleh Engel dan Granger pada tahun 1987.

Secara singkat, proses bekerjanya ECM pada inflasi telah dimodifikasi menjadi:

Dimana ∆ menandakan perbedaan pertama (first difference), �− merupakan nilai residual dari persamaan (3.15) yang mempunyai kelambanan waktu (time-lag) satu periode dan etc adalah error term seperti yang terdapat didalam suatu persamaan struktural.

Dalam regresi persamaan diatas, ∆� menangani gangguan jangka pendek pada variabel-variabel bebas, sementara � menangani penyesuaian kearah keseimbangan jangka panjang.Apabila � signifikan secara statistik, maka hal ini menyatakan bahwa proporsi ketidakseimbangan pada ∆� pada satu periode dikoreksi pada periode berikutnya.

BAB IV

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

A. Perkembangan Inflasi di Indonesia

Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.1.

Perkembangan Inflasi di Indonesia 2008-2015

Krisis global yang terjadi di tahun 2008, membuat harga minyak dunia melonjak tinggi sehingga memaksa pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal dengan menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Hal tersebut telah memicu tingginya tingkat inflasi sejak awal tahun namun mulai berangsur mereda menjelang akhir tahun seiring dengan adanya penurunan harga BBM bersubsidi dan merosotnya harga komoditas global (Laporan Perekonomian Indonesia, 2008). 2 4 6 8 10 12 14 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 INFLASI

Di tahun 2009, inflasi mengalami penurunan dikarenakan adanya dukungan dari inflasi IHK yang mencapai 2,78% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan sasaran inflasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4,5%±1% (yoy). Serta adanya dukungan dari inflasi kelompok volatile fooddan dari sisi domestik, yatu adanya penurunan BBM, tarif angkutan dan kecukupan pasokan bahan pangan, terutama beras. Menguatnya rupiah dan terjaganya pasokan, khususnya bahan pangan telah mendorong membaiknya ekspektasi inflasi. (Laporan Perekonomian Indonesia, 2009).

Berbagai kebijakan yang dilakukan di tahun 2008 hingga 2009 telah mengantarkan Indonesia ke dalam perekonomian yang semakin membaik di tahun 2010. Inflasi di tahun 2010 mengalami peningkatan karena adanya dukungan dari inflasi IHK sebesar 6,96% atau lebih tinggi dari target yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 5%±1%. Sampai dengan pertengahan tahun laporan, stabilitas harga masih cukup terjaga yang ditandai dengan adanya tingkat inflasi yang rendah sebesar 5,05% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2010).

Di tahun 2011, perekonomian Indonesia semakin menunjukkan kinerja yang membaik, hal ini ditandai dengan adanya penurunan inflasi. Penurunan inflasi ini didukung oleh adanya inflasi IHK yang sangat rendah sebesar 3,79%, dan inflasi inti sebesar 4,3% yang ditopang oleh kapasitas perekonomian yang memadai, penguatan nilai tukar rupiah yang mampu meredam dampak inflasi dari tingginya harga komoditas internasional dan terkendalinya ekspektasi inflasi. Sementara itu, laju infasi volatile food juga

ikut menurun tajam sebesar 3,37%, yang didukung oleh terjaganya pasokan dan upaya stabilisasi harga oleh Pemerintah. Selain itu, rendahnya tekanan inflasi juga bersumber dari tidak diterapkannya kebijakan pemerintah dalam menaikan harga komoditas strategis seperti BBM bersubsidi dan Tarif Tenaga Listrik sehingga inflasi administered prices terjaga pada level yang rendah yaitu sebesar 2,78% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2011).

Pada tahun 2012, inflasi berjalan stabil. Dimana inflasi IHK dapat dikendalikan pada level yang rendah sebesar 4,3% (yoy) dan berada dalam kisaran sasarannya (4,5% ± 1%). Inflasi ini didukung oleh terjaganya inflasi inti 4,4% (yoy), terkendalinya inflasi volatile food pada level yang rendah 5,7% (yoy) serta rendahnya inflasi administered prices 2,7% (yoy). Perkembangan tersebut diharapkan dapat membantu mempercepat proses disinflasi, yaitu proses menuju sasaran inflasi jangka panjang yang lebih rendah setara dengan tingkat inflasi negara-negara mitra dagang yang rendah (Laporan Perekonomian Indonesia, 2012).

Pada awal bulan Mei 2013, inflasi mengalami perlambatan, dimana inflasi inti menunjukkan perlambatan 4,0% (yoy) sejalan dengan harga komoditas global yang terus menurun, nilai tukar yang terjaga dan respons sisi penawaran yang masih memadai. Inflasi IHK pada bulan Mei 2013 juga tercatat sebesar 5,5% (yoy), didorong oleh deflasi harga kelompok volatile foods seiring membaiknya pasokan pangan, masa panen yang terjadi di berbagai daerah dan upaya pemerintah dalam memperbaiki kebijakan terkait impor hortikultura, khususnya bawang putih. Namun memasuki pada paruh kedua triwulan II 2013, di tengah ekspektasi inflasi yang cenderung terus meningkat, perekonomian Indonesia dihadapkan

pada dampak pelemahan ekonomi global yang semakin dirasakan pada perekonomian domestik serta kinerja transaksi berjalan yang semakin memburuk (Laporan Perekonomian Indonesia, 2013).

Laju inflasi 2014 mencapai 8,36% (yoy), di atas sasaran inflasi 2014 (4,5±1%). Meskipun di atas target inflasi, pencapaian inflasi 2014 tetap dapat dikendalikan di tengah tingginya tekanan inflasi kelompok administered prices

yang mencapai 17,57% dan volatile foods sebesar 10,88%. Inflasi inti juga relatif terjaga pada 4,93%, di tengah meningkatnya tekanan inflasi dari sisi biaya (cost push) akibat kenaikan harga energi dan gejolak harga pangan (Laporan Perekonomian Indonesia, 2014).

Laju inflasi tahun 2015 tercatat sebesar 3,35%, menurun tajam dari inflasi tahun 2014 sebesar 8,36%. Penguatan koordinasi berhasil menjaga kelancaran distribusi dan pasokan di tengah dampak El Nino sehingga mampu menjaga stabilitas harga volatile food. Keberhasilan ini juga tercermin pada inflasi lebaran 2015 yang terkendali dan lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi lebaran dalam empat tahun terakhir. Terkendalinya inflasi volatile food dan didukung oleh stabilitas harga yang dilakukan pemerintah (administered prices) mendorong penurunan ekspektasi inflasi sehingga berdampak pada penurunan inflasi inti (core inflation) pada tahun 2015 menjadi 3,95% dari sebesar 4,93% pada tahun 2014 (Laporan Perekonomian Indonesia, 2015).

B. Perkembangan BI Rate di Indonesia

Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.2.

Perkembangan BI Rate di Indonesia 2008-2015

Akibat krisis global yang terjadi di tahun 2008, membuat adanya ketidakstabilan ekonomi makro terkait dengan melambungnya harga minyak dunia sehingga Bank Indonesia harus mempertahankan BI rate di level 8% dengan pertimbangan kondisi ekses likuiditas dan interest rate differential

yang masih lebar. Kebijakan tersebut juga telah mempertimbangkan bahwa stabilitas suku bunga akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang masih dalam fase ekspansi dan juga tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan. Namun karena adanya tingkat inflasi yang meningkat akibat dari adanya permintaan domestik yang menguat maka membuat Bank Indonesia secara bertahap dan terukur menaikan BI rate sebesar 150 basis poin (bps) sejak April 2008 hingga mencapai 9,5% pada Oktober 2008 (Laporan Perekonomian Indonesia, 2008). 5.6 6.0 6.4 6.8 7.2 7.6 8.0 8.4 8.8 9.2 9.6 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 BIRATE

Di tahun 2009, Bank Indonesia menurunkan BI rate dengan besaran yang berbeda dalam tiga episode. Pada episode pertama (Januari-Maret 2009) penurunan dilakukan sebesar 50 bps setiap bulan sehingga pada bulan Maret 2009 berada di level 7,75%. Di episode kedua (April-Agustus 2009) diturunkan menjadi 25 bps per bulan sehingga pada bulan Agustus mencapai level 6,50%. Sedangkan di episode ketiga (September-Desember 2009), BI rate

dipertahankan di level 6,50% karena dirasakan stabilitas sistem keuangan telah stabil yang membuat perkembangan BI rate di tahun 2009 menurun sebesar 275 bps dibandingkan di bulan Desember 2008 sebesar 9,25% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2009).

Seiring berjalannya waktu hingga di tahun 2011, BI rate masih dipertahankan di level 6,50% karena di level tersebut keadaan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan serta mendorong intermediasi perbankan. Selanjutnya dikarenakan adanya pertimbangan bahwa tekanan inflasi ke depannya akan semakin rendah, maka BI rate menurunkan 50 bps sebesar 6% pada bulan November 2011. Kebijakan tersebut dilakukan untuk mengurangi dampak memburuknya prospek ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia (Laporan Perekonomian Indonesia, 2011).

Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro, Bank Indonesia sejak Maret 2012 mempertahankan BI rate pada tingkat 5,75% dan mengambil langkah lanjutan melalui penguatan operasi moneter untuk mengendalikan likuiditas jangka pendek, kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah, kebijakan

makroprudensial, serta penguatan komunikasi kebijakan (Laporan Perekonomian Indonesia, 2012).

Selain itu, sebagai langkah antisipatif merespons naiknya tekanan inflasi, pada tahun 2013 Bank Indonesia menaikkan BI rate secara kumulatif 175 bps pada 2013 sehingga menjadi 7,50 % pada akhir tahun. Seiring dengan hal tersebut suku bunga lending facility (LF) naik sebesar 75 bps menjadi 7,50% dan suku bunga deposit facility (DF) naik sebesar 175 bps sehingga menjadi 5,75% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2013).

Pada tahun 2014, dinamika sektor keuangan menunjukkan bahwa kebijakan moneter melalui penetapan BI rate telah ditransmisikan melalui jalur suku bunga simpanan perbankan yang kemudian diikuti oleh suku bunga kredit. Kebijakan moneter yang menaikkan BI rate menjadi 7,75% pada tanggal 18 November 2014 telah ditransmisikan dengan baik melalui jalur tersebut. Dari jalur suku bunga, suku bunga deposito dan kredit menunjukkan peningkatan walaupun kenaikan suku bunga kredit lebih terbatas. Sejalan dengan kenaikan suku bunga kredit dan moderasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit pada tahun 2014 melambat. Dari sisi harga aset, kebijakan moneter yang cukup kredibel selama ini, didukung oleh fundamental ekonomi yang semakin baik, direspons positif oleh pelaku pasar sehingga mendorong peningkatan kinerja pasar saham dan pasar obligasi (Laporan Perekonomian Indonesia, 2014).

Bulan Januari 2015, BI rate berada pada level 7,75% dan pada bulan Februari 2015, BI melakukan normalisasi kembali BI rate pasca kenaikan BI

rate yang dilakukan pada November 2014. Normalisasi ini dilakukan dengan menurunkan BI rate sebesar 25 bps setelah mempertimbangkan keyakinan bahwa proyeksi inflasi akhir tahun 2015 kembali berada dalam sasaran. Bank Indonesia mempertahankan BI rate sebesar 7,50% sampai akhir tahun 2015. Di satu sisi, BI memandang bahwa tingkat suku bunga yang ditetapkan masih sesuai dengan upaya mengendalikan permintaan domestik dan impor untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.Turunnya defisit transaksi berjalan ini pada gilirannya mengurangi permintaan valas domestik. Di sisi lain, BI juga memandang bahwa tingkat suku bunga yang ditetapkan cukup kompetitif untuk menarik pasokan valas terutama dari aliran masuk modal asing. Kombinasi tersebut diharapkan dapat mengurangi tekanan depresiasi rupiah yang berlebihan, sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global (Laporan Perekonomian Indonesia, 2015).

C. Perkembangan Kurs di Indonesia

Adanya imbas global gejolak perekonomian dunia yang kurang menggembirakan terhadap stabilitas perekonomian Indonesia di tahun 2008, membuat tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat pada kurs. Secara rata-rata, kurs rupiah terdepresiasi sebesar 5,4% dari Rp 9.140,00 (ditahun 2007) menjadi Rp 9.666,00 (ditahun 2008). Hal ini disebabkan oleh turunnya pasokan valas yang disertai dengan tingginya permintaan valas sehingga untuk mengatasi hal tersebut, Bank Indonesia pada bulan Oktober 2008 mengeluarkan paket kebijaksanaan stabilisasi kurs yang ditujukan untuk

mengelola pasokan dan permintaan valas. Sementara pemerintah juga memperkuat berbagai kebijakan tersebut dengan menerbitkan ketentuan terkait Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), menaikkan batas simpanan nasabah yang dijamin menjadi Rp 2 miliar, mengendalikan impor komoditas tertentu, mengurangi Pajak Ekspor (PE) CPO, mewajibkan BUMN untuk menempatkan dana valas dalam perbankan domestik, melakukan buyback

saham BUMN dan SUN, melarang praktek short selling pada bursa saham, serta melanjutkan perjanjian bilateral swap yang sudah berlangsung. Akibat adanya kebijaksanaan tersebut, Bank Indonesia dan Pemerintah berhasil mendorong kembali masuknya aliran portofolio asing (Laporan Perekonomian Indonesia, 2008).

Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.3.

Perkembangan Kurs di Indonesia 2008-2015

Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, kurs rupiah mencatat apresiasi dan disertai volatilitas yang cukup rendah. Di tahun 2010 kurs rupiah menguat

8,000 9,000 10,000 11,000 12,000 13,000 14,000 15,000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 KURS

3,8% dibanding dengan akhir tahun 2009 menjadi Rp 9.081,00 per dolar AS. Kinerja nilai kurs tersebut didukung oleh terjaganya persepsi positif terhadap perekonomian Indonesia serta tidak terlepas dari adanya berbagai kebijakan dalam mengelola arus masuk modal asing dalam rangka memperkuat daya tahan perekonomian menghadapi pembalikan arus modal jangka pendek (Laporan Perekonomian Indonesia, 2010).

Di tahun 2011, kurs rupiah secara rata-rata menguat sebesar 3,56% dari Rp 9.080 per dolar AS menjadi Rp 8.768 per dolar AS sejalan dengan pergerakan mata uang negara-negara regional. Dari sisi domestik, penguatan kurs didukung oleh kuatnya kondisi fundamental ekonomi Indonesia, indikator resiko yang relatif stabil, serta imbal hasil aset rupiah yang tinggi sehingga mendorong minat investor asing untuk melakukan investasi di pasar keuangan domestik. Sementara dari sisi eksternal, kinerja kurs rupiah dipengaruhi oleh fluktuasi aliran modal asing yang diwarnai oleh dinamika dan kebijakan ekonomi global (Laporan Perekonomian Indonesia, 2011).

Sepanjang tahun 2012, kurs rupiah mengalami tekanan depresiasi terkait dengan dinamika perekonomian dunia dan berdampak pada kinerja perekonomian domestik. Kurs rupiah secara rata-rata melemah 6,3% (ytd) ke level Rp.9.358 per dolar AS. Meskipun demikian, pelemahan kurs rupiah disepanjang tahun 2012 dapat berlangsung secara gradual. Rata-rata volatilitas kurs rupiah di tahun 2012 tercatat sebesar 0,27% atau turun dari 0,38% pada tahun sebelumnya (Laporan Perekonomian Indonesia, 2012).

Bauran kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2013 dapat mengarahkan kurs sejalan dengan fundamentalnya. Tekanan pelemahan terhadap rupiah relatif berkurang pada triwulan IV 2013. Rupiah pada triwulan akhir 2013 tercatat melemah 4,9%, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan pada triwulan III 2013 sebesar 14,3%. Perkembangan positif ini juga disertai menurunnya volatilitas pergerakan rupiah dari 17,7% pada triwulan III 2013 menjadi 15,3% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2013).

Di tahun 2014, dinamika kurs rupiah secara rata-rata terdepresiasi 12% (yoy), dibandingkan tahun sebelumnya yang juga melemah 10,4% (yoy). Sementara itu, secara point-to-point atau akhir tahun 2014 kurs rupiah terhadap dolar AS melemah 1,74%, dibandingkan tahun sebelumnya yang melemah 20,8%. Namun demikian, volatilitas rupiah menunjukkan tren penurunan. Volatilitas kurs rupiah terhadap dolar AS mencapai 15,3% pada triwulan IV 2013, setelah itu volatilitas terus menunjukkan tren penurunan menjadi 11,5% (triwulan I 2014) hingga mencapai 8,98% (triwulan IV 2014). Volatilitas terus menurun hingga akhir tahun tidak terlepas dari upaya Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas kurs. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melakukan dual intervention, yaitu Bank Indonesia menempuh kebijakan stabilisasi rupiah melalui intervensi jual di pasar valas yang disertai dengan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder. Strategi

dual intervention ini akan mendukung kestabilan nilai tukar, likuiditas rupiah dan juga sekaligus kestabilan harga SBN. Langkah ini sekaligus menambah kepemilikan SBN Bank Indonesia yang akan digunakan sebagai underlying

instrument dalam operasi moneter reverse repo. Pelaksanaan dual intervention

dapat dilakukan secara bertahap ataupun secara simultan melalui skema transaksi pembelian valas terhadap SBN (Laporan Perekonomian Indonesia, 2014).

Pada tahun 2015, kurs rupiah mengalami tekanan depresiasi yang cukup tinggi terutama oleh faktor eksternal. Sumber utama dari eksternal terkait normalisasi kebijakan moneter AS, krisis utang Yunani, devaluasi yuan, serta divergensi kebijakan moneter global. Dari dalam negeri, tekanan depresiasi dipengaruhi oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik. Tekanan depresiasi rupiah terutama terjadi pada triwulan I-III 2015, dengan puncaknya pada September 2015. Kurs rupiah kemudian memasuki periode stabilisasi sejak Oktober 2015 didukung langkah stabilisasi kurs oleh Bank Indonesia, Pemerintah, dan OJK, serta meredanya ketidakpastian eksternal terkait waktu kenaikan suku bunga di AS (Laporan Perekonomian Indonesia, 2015).

D. Perkembangan M2 (Broad Money) di Indonesia

Krisis ekonomi global pada tahun 2008 membuat M2 mengalami pelemahan sebesar 13,8% lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 6,5%. Depresiasi yang terjadi disertai dengan peningkatan volatilitas yang dipicu oleh adanya sentimen negatif pasar. Pelemahan M2 terus terjadi hingga di tahun 2009 (Laporan Perekonomian Indonesia, 2009).

Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.4.

Perkembangan M2 (Broad Money) di Indonesia 2008-2015

Di tahun 2010, meningkatnya M2 dipengaruhi oleh bertambahnya uang kuasi seiring dengan derasnya aliran uang masuk dari luar negeri. Berdasarkan faktornya, pertumbuhan M2 pada tahun 2010 didukung oleh tingginya kenaikan aktiva luar negeri bersih yang sebagian besar ditempatkan sebagai uang kuasi di perbankan. Di samping itu, perkembangan aktiva dalam negeri bersih pada tahun 2010 juga meningkat terutama yang bersumber dari pertumbuhan kredit yang akseleratif sehingga turut berkontribusi pada meningkatnya pertumbuhan M2 (Laporan Perekonomian Indonesia, 2010).

Di tahun 2011, M2 kembali mengalami peningkatan sebesar 16,4% yang didorong oleh tingginya pertumbuhan kredit serta adanya aliran masuk modal asing yang masih kuat. Namun, sejalan dengan meningkatnya derajat ketidakpastian ekonomi global sehingga membuat kontribusi aliran modal asing terhadap pertumbuhan M2 menjadi berkurang. Meskipun demikian,

1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 4,500,000 5,000,000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 M2

besarnya ekses likuiditas perbankan telah mendorong lambatnya penciptaan uang M2 meskipun penyaluran kredit menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi (Laporan Perekonomian Indonesia, 2011).

Sementara itu, M2 yang tumbuh melambat selama tahun 2012 disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan giro dan tabungan. Pola perlambatan giro dan tabungan sejalan dengan menurunnya aktivitas perekonomian dan pasar keuangan selama tahun 2012. Pertumbuhan M2 selama tahun 2012 menurun menjadi 14,8% (yoy) dibandingkan dengan akhir tahun 2011 sebesar 16,4% (yoy). Meski mengalami perlambatan, kontribusi M2 terhadap perekonomian terus mengalami peningkatan sejak pertengahan tahun 2011. Sehingga mampu menjaga ketersediaan likuiditas sesuai dengan kebutuhan perekonomian (Laporan Perekonomian Indonesia, 2012).

Likuiditas perekonomian dalam M2 pada tahun 2013 juga menunjukkan tren perlambatan. Pertumbuhan M2 pada tahun 2013 melambat menjadi sebesar 12,7% dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 15,0%. Perlambatan pertumbuhan M2 dipengaruhi oleh adanya perlambatan dari M1. Sementara itu, pada tahun 2013, pertumbuhan uang kuasi sedikit meningkat menjadi sebesar 14,8% dibandingkan dengan tahun 2012 yang mencapai 14,7% (Laporan Perekonomian Indonesia, 2013).

Secara tahunan, pertumbuhan M2 pada tahun 2014 melambat menjadi 11,8% dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 12,8%. Pertumbuhan uang kuasi juga melambat menjadi sebesar 13,7% dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 14,8%. Kebijakan moneter yang turut mempengaruhi besaran moneter

tercermin pula dalam perkembangan velositas uang selama tahun 2014. Velositas uang mencerminkan jumlah transaksi antar individu dalam pembelian barang dan jasa. Velositas M2 yang cenderung stabil pada tahun 2014 menunjukkan pertumbuhan likuiditas yang cukup untuk menopang pertumbuhan ekonomi domestik tanpa menimbulkan tekanan tambahan di sisi harga (Laporan Perekonomian Indonesia, 2014).

Memasuki tahun 2015, pertumbuhan M2 turun menjadi 8,95% yang berdasarkan komponen, didorong oleh penurunan pertumbuhan uang kuasi. Uang kuasi tumbuh melambat menjadi 8,37% pada tahun 2015. Perlambatan pertumbuhan uang kuasi yang mendorong perlambatan M2 dikontribusi oleh perlambatan pertumbuhan deposito rupiah yang merupakan komponen terbesar uang kuasi. Pertumbuhan deposito rupiah pada tahun 2015 tercatat sebesar 7,55%, turun signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2014 sebesar 24,32%, akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tren penurunan suku bunga deposito. Secara umum, perkembangan likuiditas perekonomian tetap sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Di tengah pertumbuhan M2 pada 2015 yang turun sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik, indikator velositas uang M2 relatif stabil. Hal ini mengindikasikan perkembangan likuiditas cukup memadai untuk menopang pertumbuhan ekonomi domestik tanpa memberikan tekanan tambahan pada sisi harga. Sementara itu, angka pengganda uang (money multiplier) M2 pada akhir tahun 2015 sedikit meningkat. Kenaikan ini terutama akibat penurunan GWM Primer dalam Rupiah pada Desember 2015. Namun, apabila faktor perubahan GWM

dihilangkan, angka pengganda uang M2 relatif stabil (Laporan Perekonomian Indonesia, 2015).

BAB V

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab V ini akan dilakukan pengujian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia. Dimana variabel terikat (variable dependent) meliputi laju inflasi sedangkan variabel bebasnya (variable independent) meliputi BI rate, kurs tengah dan M2 (broad money). Data ini diambil berdasarkan kurun waktu Januari 2008 sampai dengan Desember 2015. Dan tentunya dengan menggunakan pendekatan Error Correction Model

(ECM) yang bertujuan menguji spesifikasi model dan kesesuaian teori dengan kenyataan. Pengujian ini dilakukan dengan program Eviews 7.

1. Uji Asumsi Klasik A. Uji Autokorelasi

Dalam penelitian ini, untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dalam model yang digunakan maka dapat menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM). Dengan uji ini, dapat diketahui ada tidaknya hubungan variabel independen dengan variabel gangguannya. Prosedur pengujian LM adalah jika nilai Obs*R-Squared kurang dari nilai tabel maka model dapat dikatakan tidak mengandung autokorelasi. Selain itu juga dapat dilihat dari nilai probabilitas chisquares. Jika nilai probabilitas lebih besar dari nilai α = 10% berarti data tidak terkena masalah autokorelasi (Basuki & Yuliadi, 2014).

TABEL 5.1.

Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM) Sebelum Dimasukkan AR(1) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 255.7026 Prob. F(1,91) 0.0000 Obs*R-squared 70.80261 Prob. Chi-Square(1) 0.0000 Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016)

Berdasarkan hasil perhitungan uji LM dalam jangka pendek diketahui nilai Akaike terkecil pada lag pertama diperoleh nilai Obs*R-Squared

sebesar 0.0000 kurang dari α = 10% maka dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi dalam model ECM. Berdasarkan buku Gujarati (2015) mengatakan bahwa jika data terkena autokorelasi maka dapat diatasi dengan memasukan rumus AR(1) dalam model regresi.

TABEL 5.2.

Hasil Uji Lagrange Multiplier (LM) Setelah Dimasukkan AR(1) Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Dokumen terkait