• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.5. Uji sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila

Hasil pengujian sensitivitas PCR dalam membedakan DNA gurame dan nila ditunjukkan pada Gambar 7. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui sensitivitas PCR dalam mendeteksi rasio terendah DNA gurame pada saat tercampur dengan DNA nila.

Dari hasil ekstraksi DNA genom diperoleh konsentrasi DNA total gurame dan nila masing-masing 1424 dan 760 ng/ L. Konsentrasi terendah DNA ikan gurame yang dideteksi menggunakan marka molekuler spesifik GH dan vasa masing-masing adalah 1 dan 50 ng/ L (Gambar 7) di dalam 700 ng/ L DNA ikan nila. Dengan kata lain, marka molekuler GH mampu mendeteksi DNA gurame pada rasio 1:700, sedangkan marka molekuler vasa hanya mampu mendeteksi pada rasio 1:14. Hasil ini menunjukkan sensitivitas PCR pada masing-masing primer spesifik berbeda, dan membuktikan GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi ikan gurame pada saat tercampur dengan DNA ikan nila.

Gambar 7. Elektroforegram sensitivitas marka molekuler GH dan vasa (M = marker; 700 - 0,1= rasio DNA gurame dan nila;

Analisis kuantifikasi lebih lanjut pada marka molekuler yang sensitiv yaitu GH, dengan memperhitungkan kesetaraan jumlah sel yang diekstraksi dengan konsentrasi DNA, menujukkan bahwa primer GH dapat mendeteksi 1 sel gurame diantara 104 sel nila.

4.2. Pembahasan

Marka sangat penting untuk membedakan sel donor dengan sel resipien. Pada penelitian ini dikembangkan marka molekuler sebagai alternatif sistem identifikasi sel germinal yang aplikatif dalam rangka pengembangan teknologi transplantasi pada ikan gurame di Indonesia. Primer yang dikembangkan sebagai marka molekuler pada penelitian ini didisain berdasarkan sekuen gen GH (Nugroho et al. 2008) dan vasa ikan gurame (Alimuddin et al. 2009).

Marka molekuler yang digunakan dalam penelitian ini bisa membedakan sel germinal ikan gurame dan ikan nila. Metode marka molekuler ini juga telah dibuktikan mampu membedakan sel germinal immature dan spermatozoa donor pada ikan Japanese charr resipien (Okutsu et al. 2008). Dengan demikian, diduga bahwa marka molekuler yang dikembangkan dalam penelitian ini juga bisa mendeteksi sel gonad mulai dari spermatogonia sampai tahap spermatozoa ikan donor ikan gurame.

Pada penelitian ini, marka molekuler yang dikembangkan dianalisis menggunakan PCR. Apabila dibandingkan dengan metode identifikasi sel germinal sebelumnya seperti GFP, metode PCR jauh lebih praktis diaplikasikan di Indonesia. Identifikasi sel germinal dengan mengamati pendaran hijau GFP ditentukan oleh aktivitas promoter yang mengendalikannya. Umumnya, promoter untuk gen vasa digunakan sebagai regulator untuk ekspresi gen GFP secara spesifik pada sel germinal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gen vasa merupakan gen spesifik yang terekspresi hanya pada sel germinal ikan zebra (Olsen et al. 1997; Yoon et al. 1997, diacu dalam Yoshizaki et al. 2000), dan ikan rainbow trout (Yoshizaki et al. 2000). Pada faktanya, dengan promoter vasa rainbow trout-GFP, ekspresi GFP tidak terdeteksi pada ikan rainbow trout jantan ketika sel germinal masuk pada tahap meiosis (Yano et al. 2008). Untuk menanggulangi kelemahan dari sistem pendaran GFP dengan promoter vasa, telah

sel germinal ikan nila (Zaparta 200λ). Pendaran GFP dengan promoter β-aktin bisa terdeteksi pada ikan nila sampai tahap spermatozoa. Meskipun demikian, pendaran GFP dalam sistem identifikasi sel germinal donor dapat dihasilkan apabila ikan donor berasal dari ikan transgenik, dan menggunakan mikroskop fluoresen sebagai alat detektornya. Dikarenakan produksi ikan transgenik membutuhkan waktu yang relatif lama, dan keterbatasan alat serta harga mikroskop fluoresen cukup mahal, sehingga metode GFP belum aplikatif diterapkan di Indonesia saat ini. Metode PCR yang dikembangkan pada penelitian ini dapat menjadi solusi untuk sistem identifikasi sel germinal donor ikan gurame.

Berdasarkan hasil penyejajaran menggunakan GENETYX versi 7.0 pada penelitian ini, diperoleh beberapa sekuen primer kandidat marka molekuler untuk identifikasi sel germinal transplan yakni GH, vasa F2VSGR, vasa F1VSGR, dan

β-aktin (Gambar 4). Penentuan sekuen primer dilakukan dengan melihat perbedaan basa nukleotida pada ujung 3’ (Gambar 4). Pembacaan sekuen di ujung 3’ sangat penting saat ekstensi primer dengan DNA polimerase pada awal PCR (Onodera 2007). Apabila pembacaan sekuen salah di awal PCR, maka proses amplifikasi tidak bisa berlangsung. Dengan demikian, untuk membuat primer spesifik harus mempertimbangkan basa nukleotida yang berbeda di ujung 3’. Umumnya, nukleotida pada ujung 3’ dianjurkan adalah G dan C. Basa nukleotida G dan C merupakan basa yang memiliki tiga ikatan hidrogen, sehingga lebih stabil dibanding basa adenin (A) dan timin (T) dengan dua ikatan hidrogen (Graffiths et al. 2005).

Primer β-aktin yang digunakan pada penelitian ini merupakan kontrol

internal. Penggunaan β-aktin sebagai kontrol internal telah diaplikasikan pada beberapa penelitian seperti produksi kimera ikan dengan transplantasi PGC yang dilabeli GFP (Takeuchi et al. 2003), ekspresi protein gonadal soma-derived growth factor (GSDF) selama perkembangan sel germinal (Sawatari et al. 2006), dan transplantasi sel germinal donor rainbow trout pada ikan Japanese charr (Okutsu et al. 2008). β-aktin memiliki beberapa sifat yang terkait dengan aktivitas elemen-elemennya yaitu contitutive, ubiquitous dan house keeping (Liu 1990, diacu dalam Volckaert 1994). Constitutive berarti gen ini dapat aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. β-actin bersifat

ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan bersifat house keepingberarti β-actindapat aktif kapan saja bila diperlukan.

Kemampuan PCR mendeteksi sel donor dalam individu resipien ditentukan oleh suhu annealing penempelan primer dan lama waktu ekstensi. Pada penelitian ini penempelan primer dipengaruhi oleh suhu annealing yang ditentukan oleh panjang dan persentase GC (Lampiran 2) primer. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu annealing (Tabel 2) untuk masing-masing kandidat primer marka molekuler GH, vasa (F2VSGR), dan vasa (F1VSGR) adalah 58, 61, dan 58oC. Pada penelitian ini, persentase GC masing-masing primer, GH, vasa (F2VSGR), dan vasa (F1VSGR) adalah 55%, 47%, dan 50%. Kisaran suhu annealing yang digunakan dalam penelitian ini berbeda jauh dari suhu annealing yang dilaporkan oleh Okutsu et al. (2008) yakni 64oC dan 60oC dengan persentase masing-masing GC 60% dan 42%. Suhu annealing yang diharapkan dan terbaik untuk suatu primer adalah 40-60oC (Walker & Rapley 2002). Kestabilan suhu lebur dari sepasang primer ditentukan oleh persentase GC dalam sekues primer, dan disarankan persentase GC adalah sebesar 30-70% (Rasmussen 1992). Selain dari persentase GC, suhu annealing juga bisa didapatkan dengan rumus “Wallace rule” Tm = 4(G+C)+2(A+T)(Wallace et al. 1979).

Lama waktu ekstensi ditentukan dari panjang target produk PCR. Dari disain primer, diperoleh panjang produk PCR bagi primer spesifik GH 300 bp dan vasa F2VSGR 340 bp (Gambar 6), sehingga durasi waktu ekstensi yang direkomendasikan adalah 45 detik. Pada penelitian lain, lama waktu ekstensi 3 menit digunakan untuk mencapai target produk PCR 1800 bp (Okutsu et al. 2008). Secara umum, untuk setiap 1 kilobasa (kb) panjang produk PCR dibutuhkan lama waktu ekstensi 1 menit (Erlich 1989).

Spesivitas primer adalah penempelan primer secara spesifik pada sekuen DNA tertentu. Spesivitas primer bergantung pada faktor krusial dari primer seperti suhu annealing. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa suhu annealing sudah optimal bagi primer GH maupun vasa F2VSGR, sehingga mampu anneal pada sekuen DNA ikan gurame secara spesifik (Gambar 6). Apabila suhu annealing tidak optimal atau tidak spesifik, maka sebagai konsekuensi tidak ada produk PCR yang dihasilkan (Gambar 5). Untuk mencapai spesivitas primer,

perlu dipertimbangkan beberapa faktor seperti disain primer, dan suhu annealing. Primer yang didisain sebagai primer spesifik harus mempertimbangkan perbedaan basa nukleotida di ujung 3’ dan homolog yang rendah. Apabila basa di ujung 3 tidak berbeda dan homologinya tinggi, maka primer yang didisain mungkin menjadi tidak spesifik. Selain itu, primer yang tidak spesifik kemungkinan disebabkan suhu annealing primer terlalu rendah, sehingga suhu annealing perlu ditingkatkan 2oC sampai 5oC (Dalgleish 2007).

Suhu annealing yang optimal dipengaruhi oleh jumlah basa nukleotida. Panjang primer GH adalah 20 nukleotida, sedangkan vasa F2VSGR adalah 23 nukleotida. Jumlah basa nukleotida yang diharapkan untuk menghasilkan suhu annealing yang optimal adalah 18-30 nukleotida (Butler & John 2005). Sebagai contoh, primer random amplification polymorphism DNA (RAPD) dengan jumlah basa nukleotida yang pendek sekitar 8-12 bp mengamplifikasi DNA tidak spesifik atau secara random, sehingga primer dapat anneal pada beberapa daerah genom selama tahap annealing PCR (Liu et al. 1999). Sama halnya dengan konsekuensi primer yang jumlah basanya kurang 18 bp, primer dengan panjang lebih dari 30 basa juga tidak dapat menunjukkan spesivitas yang tinggi, karena adanya primer dimer. Amplifikasi panjang akan memudahkan hibrid silang/dimer dengan primer dan sekuen lainnya di dalam campuran reaksi dan ini dapat menyebabkan polimerasi DNA berhenti (Newton & Graham 1994, diacu dalam

Pengujian sensitivitas PCR dilakukan untuk mengetahui kemampuan primer spesifik yang dijadikan sebagai marka molekuler, dalam mendeteksi konsentrasi terendah DNA gurame di dalam DNA nila. Hasil pengujian sensitivitas PCR diketahui bahwa GH dapat mendeteksi konsentrasi terendah DNA ikan gurame 1 ng/ L (Gambar 7), sedangkan sensitivitas PCR pada vasa

hanya sampai pada konsentrasi DNA ikan gurame 50 ng/ L (Gambar 7) masing-

masing di dalam konsentrasi DNA 700 ng/ L ikan nila. Sensitivitas PCR dapat mencapai 4 ng/ L pada pendeteksian oosit Cryptosporidium (Karanis et al. 2007) Penentuan sensitivitas PCR dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni disain primer, konsentrasi cetakan, suhu annealing, dan konsentrasi primer. Berdasarkan Gambar 7, bahwa primer GH lebih sensitif dibanding vasa dalam mendeteksi sel

gonad ikan gurame di dalam sel ikan nila. Pada penelitian lain, sensitivitas primer

yang direkomendasikan adalah 4 ng/ L. Hal ini diduga, pertama GH memiliki

beda basa homolog di ujung 3’ lebih banyak, dan suhu annealing yang digunakan lebih rendah dibanding vasa. Makin banyak beda basa di ujung 3’ maka makin spesifik primer yang dirancang. Untuk konsentrasi cetakan dan primer yang digunakan masing-masing primer spesifik pada penelitian ini adalah sama.

Jika konsentrasi DNA yang diperoleh dikonversi dengan jumlah sel donor, maka perhitungan menunjukkan bahwa 106 sel setara dengan konsentrasi DNA

ikan gurame 700 ng/ L, nilai ini setara dengan jumlah sel ikan nila yakni 107 sel. Dengan demikian, sensitivitas marka molekuler GH dapat mendeteksi 1 sel ikan gurame di dalam 104 sel ikan nila. Pendugaan ini masih relatif kasar, membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Namun demikian, pendugaan ini mendekati nilai sensitivitas PCR secara umum. PCR mampu mengamplifkasi konsentrasi terendah yang setara dengan 105 oosit Cryptosporidium (Karanis et al. 2007). Pada penelitian lain diperoleh persentase sel germinal yang terkolonisasi pada ikan rainbow trout adalah 37% dengan rata- rata jumlah sel donor yang berasal dari spermatozoa testis resipien adalah 20,1 x 107 (Okutsu et al. 2006b).

Dokumen terkait