• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUMPUT DAN DAYA HIDUPNYA SELAMA PENYIMPANAN

Percobaan 2: Uji Viability Isolat Bakteri Selama Penyimpanan Peubah yang Diamat

Peubah yang diamati yaitu jumlah koloni bakteri pada masing-masing media penyimpan setelah periode penyimpanan berakhir.

Rancangan Percobaan

Percobaan kedua menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (4 x 3) dengan 3 ulangan. Faktor A yaitu media penyimpan (tanah, arang, tepung tapioka dan UMB). Media penyimpanan digunakan untuk menyimpan campuran enam isolat bakteri. Faktor B yaitu waktu penyimpanan (0,1 dan 2 minggu). Model matematik yang digunakan dalam analisa statistik adalah:

Xijk = μ + αi + j + ij + εijk

Keterangan:

Xijk = Nilai pengamatan faktor A ke -i, faktor B ke-j dan ulangan ke-k μ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh faktor media simpan ke-i (i= 0,1,2,3,)

j = Pengaruh faktor waktu simpan ke-j (j= 0,1,2)

ij = Pengaruh interaksi antara faktor A (media simpan) ke-i dan faktor B (waktu

simpan) ke-j

εijk = Error (galat) ke-i, ke-j dan ke-k.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002). Selanjutnya, jika setiap perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji jarak Duncan.

18 Penyiapan Media Penyimpanan

Empat bahan media yang digunakan yaitu tanah, arang, tepung, dan UMB. Tiga bahan media penyimpan yaitu tanah, arang, dan UMB dihaluskan, kemudian diayak, sedangkan tapioka yang diperoleh sudah dalam bentuk tepung halus. Bahan media kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu 105oC untuk mendapatkan bahan kering (BK) tiap-tiap bahan. Selanjutnya bahan yang telah di oven tersebut ditimbang masing-masing 20 g di dalam plastik, dialiri gas CO2, plastik direkatkan

menggunakan menggunakan sealer. Kemudian semua bahan disterilisasi selama 1 jam menggunakan autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.

Bahan media dalam plastik yang telah disterilisasi masing-masing ditambah dengan 2 ml campuran bakteri (10% dari BK), kemudian bahan yang sudah ditambahkan bakteri disimpan selama 0, 1, dan 2 minggu. Pada minggu ke 0, 1, dan 2 dilakukan penghitungan bakteri menggunakan metode TPC (Total Plate Count) dengan cara mengambil 1 g bahan dan ditambahkan 9 ml larutan pengencer secara bertahap. Pengenceran dilakukan sampai pengenceran ke tujuh, kemudian larutan diambil sebanyak 0,1 ml dimasukan pada media BHI agar untuk menumbuhkan bakterinya. Pada hari ke 3 periode penumbuhan, jumlah bakteri yang tumbuh dihitung.

19 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput

Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar lemak kasar yang paling tinggi terdapat pada Paspalum notatum dan bahan ekstrak tanpa nitrogen yang paling tinggi terdapat pada Penisetum purpureum. Sedangkan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada Panicum maximum. Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan dalam Tabel 1. Namun secara umum, seluruh rumput yang digunakan mengandung serat kasar tinggi yang melebihi kadar 50% dengan kadar protein umumnya lebih kecil dari 10% kecuali Setaria splendida yang mencapai 14,48%.

Tabel 1. Komposisi Nutrien Berbagai Jenis Rumput yang Dikaji Kecernaannya Sampel Bahan Kering (%) Kadar Nutrien (% BK) Abu PK SK LK Beta- N Pennisetum purpureum 26,58 7,37 9,43 32,31) 2,07 48,83 Panicum maximum 23,67 9,69 9,71 32,91) 0,95 46,75 Brachiaria humidicola 23,73 4,96 9,24 41,392) 1,47 42,94 Setaria splendida 10,42 9,25 14,48 32,103) 1,78 42,39 Paspalum notatum 25,84 6,42 9,96 21,41) 2,14 60,08 Keterangan: PK= protein kasar; SK= serat kasar; LK= lemak kasar; Beta-N= bahan ekstrak tanpa

nitogen; 1). Sutardi (1981); 2). Meiaro; 3). Noorazimie

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) dilakukan untuk menduga tingkat kecernaan pakan sumber serat dan penyerapannya dalam rumen dan retikulum. Pada ruminansia pakan mengalami perombakan fermentatif sehingga komponen kimianya berubah menjadi senyawa lain termasuk VFA yang berbeda dengan nutrien asalnya (Sutardi, 1980). Tabel 2 menunjukkan nilai koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh bakteri asal cairan rumen segar dan isolat bakteri pencerna serat. Nilai koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh bakteri cairan rumen segar lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan koefisien cerna hijauan pakan oleh isolat bakteri pencerna serat. Hal yang memungkinkan nilai

20 tersebut berbeda adalah karena isolat bakteri mempunyai populasi total awal yang lebih sedikit dari pada bakteri rumen. Disamping itu kemungkinan jenis bakteri isolat lebih terbatas spesiesnya karena isolat yang digunakan merupakan pemurnian isolat selulolitik rumen, jadi kemungkinan isolat pendegradasi komponen non serat tidak ada sehingga efektifitas kecernaannya menurun. Namun data tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri rumen mampu mencerna komponen rumput yang diuji. Thalib el al. (2004) juga menguji kemampuan dua isolat bakteri (kerbau dan domba) dalam mencerna bahan pakan, dengan hasil yang menunjukkan bahwa kemampuan mencerna bahan juga lebih rendah dari kemampuan cairan rumen domba segar.

Tabel 2. Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik Berbagai Jenis Rumput (KCBO) oleh Bakteri Cairan Rumen Segar dan Isolat Bakteri

Bahan Pakan KCBK (%) KCBO (%)

Cairan rumen Isolat bakteri Cairan rumen Isolat bakteri Pennisetum purpureum 47,64±1,60 19,37±3,61 46,19±1,20 16,66±3,36 Panicum maximum 37,09±0,57 20,20±1,81 34,33±1,25 15,72±2,08 Brachiaria humidicola 38,14±0,00 21,60±1,01 36,81±0,28 21,41±2,69 Setaria splendida 42,09±0,39 22,56±3,16 39,70±1,38 18,78±2,79 Paspalum notatum 33,93±0,52 20,19±1,32 32,01±0,40 17,71±1,23 Rataan 39,78±5,27a 19,14±3,43b 37,81±5,49a 18,06±2,20b Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Nilai korelasi koefisien cerna bahan kering dan bahan organik oleh bakteri cairan rumen dengan nilai kecernaan oleh isolat bakteri rumen tidak nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri rumen mempunyai kemampuan mencerna komponen pakan yang spesifik dibandingkan dengan bakteri cairan rumen segar yang mempunyai kemampuan mencerna bukan hanya serat tetapi komponen pakan lainnya seperti bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan lemak. Menurut Hungate (1966) jumlah bakteri selulolitik di dalam cairan rumen biasanya berkisar antara 106 – 107 per mililliter. Walaupun demikian kondisi tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri pencerna serat masih memungkinkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti cairan rumen dalam evaluasi kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro.

21 Perbedaan nilai koefisien cerna oleh isolat bakteri rumen pencerna serat yang besar dari koefisien cerna oleh bakteri cairan rumen, menggambarkan bahwa isolat bakteri rumen yang digunakan, yang berjumlah enam isolat, tidak seluruhnya berkemampuan mencerna serat kasar tinggi. Rifai (2010) juga melakukan pengujian kecernaan secara in vitro pada rumput gajah dan jerami padi menggunakan isolat bakteri tunggal, perbedaan KCBK antara cairan rumen segar dan isolat hanya 20% dan 11,1% serta KCBOnya 30,2% dan 15,2% perbedaannya. Nilai KCBK dan KCBO rumput gajah lebih tinggi dibanding jerami padi karena rumput gajah memiliki kandungan lignin yang lebih rendah dari jerami padi. Nilai kecernaan yang rendah pada inokulum (isolat bakteri) pada hijauan pakan yang digunakan karena pada perlakuan inokulum isolat bakteri hanya terdapat isolat murni pencerna serat sehingga populasinya juga rendah (Rifai, 2010). Hal lain yang kemungkinan terjadi adalah isolat bakteri tersebut tidak mampu mencerna komponen BETN secara sempurna, karena bakteri hanya mampu mencerna komponen serat. Namun penggunaan jenis sampel yang lebih bervariasi diperkirakan dapat menunjukkan kemampuan isolat bakteri yang sesungguhnya.

Konsentrasi NH3 dan VFA

Kadar NH3 filtrat hasil fermentasi rumput dengan bakteri rumen dan isolat

bakteri ditunjukkan dalam Tabel 3. Kadar NH3 lebih tinggi pada hasil fermentasi

beberapa jenis rumput dengan isolat bakteri pencerna serat dari hasil fermentasi dengan cairan rumen segar. Amonia merupakan sumber nitrogen yang sangat penting untuk sintesis protein mikroba rumen. Amonia merupakan hasil perombakan asam amino dari komponen protein pakan (McDonald et al., 2002). Kadar NH3 oleh isolat

bakteri pencerna serat yang lebih tinggi dibanding oleh cairan rumen segar, menunjukkan bahwa isolat bakteri pencerna serat memiliki kemampuan mendegradasi protein lebih tinggi karena isolat bakteri memiliki tingkat adaptasi yang baik terhadap pakan-pakan rumput. Disamping itu data tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri rumen diperkirakan mempunyai kebutuhan akan nitrogen yang tinggi namun kurang mampu memanfaatkan NH3 yang dihasilkannya dengan cepat

22 Tabel 3. Konsentrasi NH3 dan VFA Berbagai Jenis Rumput oleh Bakteri Cairan

Rumen Segar dan Isolat Bakteri

Bahan Pakan NH3 (mM) VFA (mM)

Cairan rumen Isolat bakteri Cairan rumen Isolat bakteri Pennisetum purpureum 4,13±1,12 8,07±2,58 168,36±86,89 148,25±118,86 Panicum maximum 4,61±1,15 7,79±2,38 185,29±97,27 146,52±52,57 Brachiaria humidicola 3,20±0,42 6,48±1,08 214,77±85,03 178,86±33,36 Setaria splendida 6,77±3,16 9,30±2,50 165,35±109,18 150,46±87,71 Paspalum notatum 3,73±0,66 6,21±0,82 102,04±23,44 245,41±45,54 Rataan 4,49±1,38b 7,57±1,26a 167,16±41,35 173,90±42,11 Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Kadar VFA filtrat hasil fermentasi rumput oleh isolat bakteri rumen ditunjukkan dalam Tabel 3. Kadar VFA sama tingginya pada hasil fermentasi beberapa jenis rumput dengan isolat bakteri pencerna serat dengan hasil fermentasi dengan cairan rumen segar. Hal ini menunjukan bahwa kemampuan isolat bakteri dalam memfermentasi komponen pakan rumput cukup tinggi dibandingkan dengan bakteri cairan rumen walaupun mempunyai kecernaan bashan kering yang lebih rendah. Penyebab kondisi tersebut adalah karena populasi bakteri pada isolat bakteri lebih spesifik dalam mencerna serat kasar.

Terdapat kadar VFA filtrat yang sangat tinggi baik pada hasil fermentasi dengan bakteri rumen mapun dengan isolat bakteri, namun penyebab tingginya kadar VFA tersebut tidak diketahui. Namun salah satu kemungkinan adalah rendahnya kemampuan baik bakteri cairan rumen maupun bakteri isolat dalam mengkonversi VFA dan NH3 ke dalam komponen sel bakteri. Konsentrasi VFA cairan rumen yang

mendukung pertumbuhan mikroorganisme rumen berkisar antara 80 – 160 mM (Sutardi, 1980).

Nilai pH Filtrat pada Inokulum Cairan Rumen dan Isolat Bakteri setelah Difermentasi

Nilai pH filtrat hasil fermentasi 4 dan 48 jam ditunjukkan dalam Tabel 4. Nilai pH filtrat berada pada kisaran normal yang menghasilkan pertumbuhan bakteri normal. Nilai pH filtrat hasil fermentasi dengan isolat bakteri lebih tinggi (P<0,01)

23 dibanding filtrat hasil fermentasi cairan rumen setelah diinkubasi selama 4 jam. Nilai pH filtrat hasil fermentasi 4 jam berkorelasi dengan kadar NH3 dan VFA filtrat.

Nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar NH3 dalam kondisi larutan tersebut lebih

besar pengaruhnya terhadap pH dengan koefisien korelasi (kk) 0,81 (P<0,01) dibandingkan dengan kadar VFA dengan nilai korelasi -0,22. Kenaikan pH tidak terkait langsung dengan kadar NH3 larutan, namun tingginya kadar NH3

menggambarkan bahwa terjadi fermentasi yang intensif. Kondisi tersebut memungkinkan dihasilkan VFA dan asam laktat. Nilai pH filtrat hasil fermentasi 48 jam tidak berbeda nyata antara cairan rumen dengan isolat bakteri, dan nilai pHnya dalam kondisi normal. Hal ini kemungkinan terjadi akibat penimbunan pada filtrat terutama VFA dari hasil fermentasi oleh kedua sumber bakteri walaupun kemampuan mencerna komponen rumput oleh kedua sumber bakteri tersebut berbeda.

Tabel 4. Nilai pH Filtrat Setelah Fermentasi Selama 4 dan 48 jam

Sampel

pH (fermentasi 4 jam) pH (fermentasi 48 jam) Cairan rumen Isolat

bakteri

Cairan rumen Isolat bakteri Pennisetum purpureum 6,76±0,05 7,03±0,27 6,55±0,02 6,47±1,88 Panicum maximum 6,84±0,06 6,955±0,04 6,56±0,15 6,61±1,26 Brachiaria humidicola 6,77±0,04 6,84±0,00 6,48±0,13 6,48±0,01 Setaria splendida 6,86±0,14 6,92±0,01 6,51±0,06 6,51±0,13 Paspalum notatum 6,84±0,07 6,905±0,08 6,50±0,12 6,92±0,06 Rataan 6,81±0,04b 6,93±0,07a 6,52±0,03 6,60±0,19 Keterangan: Superskrip dengan huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).

Daya Hidup Isolat Bakteri Selama Penyimpanan

Manfaat praktis bakteri sangat tergantung pada daya hidup bakteri selama penyimpanan. Bakteri dapat disimpan dalam media cair maupun media padat. Bakteri dapat disimpan hingga bertahun-tahun dalam media cair seperti gliserol. Namun penyimpanan dalam bentuk cair kurang praktis, sementara penyimpanan dalam media kering lebih mudah dalam pemeliharaan dan transportasi. Saat ini bakteri umumnya disimpan dalam bentuk kering beku (freeze dried). Penyimpanan kering beku mempunyai berbagai keunggulan diantaranya mempunyai daya hidup

24 yang tinggi dan daya simpan yang lama. Namun kendala penyimpanan kering beku adalah biaya pengeringan yang mahal dan memerlukan peralatan yang khusus terlebih lagi jika bakteri tersebut anaerob.

Penyimpanan kering menggunakan media tanah dan arang telah umum dilakukan dengan berbagai keunggulan (Machmud 2001; Malik 1990). Daya hidup isolat bakteri rumen yang disimpan dalam media yang berbeda menunjukan pola yang berbeda. Gambar1 menunjukkan bahwa populasi bakteri pada penyimpanan 0 minggu sama pada media tanah, tepung, dan arang, kecuali pada UMB menunjukkan populasi yang lebih tinggi dari yang disimpan pada media tanah dan arang. Pada penyimpanan 1 minggu populasi bakteri sama pada media tepung, arang, dan UMB, sedangkan pada media tanah populasi meningkat sehingga berbeda dengan yang disimpan dalam media UMB. Pada penyimpanan 2 minggu populasi bakteri pada semua media sama. Populasi bakteri pada minggu pertama meningkat khususnya jika disimpan pada media tanah. Namun jika penyimpanan dilanjutkan hingga 2 minggu populasi bakteri menurun kembali mencapai populasi seperti pada awal penyimpanan kecuali pada yang disimpan di UMB. Pola perubahan populasi selama penyimpanan tersebut mengindikasikan bahwa bakteri pada minggu pertama mengalami pertumbuhan. Bakteri selama penyimpanan diperkirakan mampu memanfaatkan media tumbuh yang berada di sekitarnya.

Gambar 1. Populasi Isolat Bakteri pada Media dan Lama Penyimpanan yang berbeda

25 Sejumlah bakteri selulolitik juga merupakan bakteri amilolitik (pencerna pati) sehingga kemungkinan isolat bakteri dapat disimpan di dalam media tepung tapioka (Hungate, 1966). Tarwin (2007) melaporkan bahwa jumlah sel hidup bakteri asam laktat dan probiotik yang lebih tinggi pada media susu kedelai dengan suhu penyimpanan 28oC selama dua hari pengamatan dibanding pada suhu penyimpanan 4 dan -20oC selama dua bulan pengamatan. Hal ini terjadi karena pada suhu 28oC syarat lingkungan dan nutrisi untuk aktivitas bakteri telah terpenuhi, namun pada suhu tersebut bukan suhu optimum untuk penyimpanan. Sedangkan pada suhu 4oC jumlah sel hidup bekurang disebabkan faktor lingkungan yaitu suhu yang menekan pertumbuhan bakteri dan ketersediaan nutrisi yang terus menerus berkurang selama penyimpanan, pada suhu -20oC bakteri tidak melakukan aktivitas pertumbuhan, laju pertumbuhan bakteri negatif, dan bakteri mengalami kematian (Tarwin, 2007).

26 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa dari sudut fermentabilitas, isolat bakteri asal rumen kerbau tidak berbeda dengan cairan rumen segar. Namun, dari sudut kecernaan, kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau baru mencapai 50% dari kemampuan cairan rumen segar. Dari sudut penyimpanan, isolat bakteri asal rumen kerbau dapat disimpan dalam tanah, tepung tapioka, atau arang selama satu minggu.

Saran

Identifikasi spesies bakteri masih perlu dilakukan dan perlu pengkajian isolat bakteri untuk digunakan sebagai pengganti cairan rumen pada kajian kualitas pakan, serta perlu media simpan yang mudah diaplikasikan.

27 UCAPAN TERIMA KASIH

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing utama skripsi sekaligus pembimbing akademik Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgrSc. dan pembimbing anggota Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS. MSc. yang telah memberikan bimbingan, bantuan, masukan, dorongan hingga penyelesaian tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. selaku dosen pembahas seminar yang telah memberikan masukan bagi penyempurnaan skripsi ini dan juga terima kasih kepada Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MScAgr. dan Dr. Ir. Salundik, MSi. selaku dosen penguji atas saran-saran yang telah diberikan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua, adik (Iqbal Tawakkal dan Rahmi Fajrianti) dan keluarga besar di Bukittinggi yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada hentinya, do’a, kesabaran, dukungan moril dan materil yang diberikan kepada penulis. Semoga penulis dapat memenuhi harapan dan memberikan yang terbaik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Iwan Prihantoro, SPt., MSi. yang telah memberi bantuan dan bimbingan di laboratorium kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih penulis kepada Ibu Dian Anggraeni yang telah membimbing dan memberikan pengetahuan selama penulis melakukan penelitian di laboratorium. Terima kasih kepada Kak Ade, Enggar, dan Lilis atas kerjasamanya dan bantuan selama penelitian serta kepada Ni Dwi, Ni Simel, Kak Yeni, Da Andi dan Veni yang telah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis.

Terima kasih kepada segenap civitas dan mahasiswa INTP angkatan 44 yang telah memberikan dukungan penuh selama penulis menyelesaikan studi di Departemen INTP. Terima kasih kepada keluarga besar Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB. Terima kasih kepada keluarga besar PRIMASISTA atas kebersamaan yang terjalin selama 4 tahun ini. Banyak sekali pelajaran yang penulis dapat ambil selama kegiatan penelitian ini. Semoga pengalaman tersebut bermanfaat untuk kegiatan penulis selanjutnya dan semoga

28 kebaikan semua teman-teman dan civitas akademika Fakultas Peternakan IPB tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. Amiin.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri serta untuk dunia peternakan di masa yang akan datang.

Bogor, Mei 2012 Penulis

29 DAFTAR PUSTAKA

Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Astuti, R. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Batubara, L. P., & T. Manurung. 1990. Evaluasi beberapa jenis rumput untuk padang penggembalaan domba 1, produktivitas dan uji palatabilitas beberapa jenis rumput introduksi. J. Ilmu Pet. 4 (1): 208 - 211.

Blackburn, T. H. & P. N. Hobson. 1960. Proteolysis in the sheep rumen by whole and fractionated rumen contents. J. Gen Microbiol. 22: 272 - 281.

Bogdan. A. V. 1977. Tropical Pasture and Fodder (Grasses and Legumes). Longman Ltd. Londonn & New York.

Church, D.C. & W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Edition. John Wiley and Sons, New York.

Close., W. H. & K. H. Menke. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. University of Hohenheim, Stutgart. Germany.

Food & Fertilizer Technology Center (FFTC). 2001. Urea Molasses Mineral Block Supplementation for Ruminants. http://www.agnet.org/library/pt/2001025/. [24 November 2011].

Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen pakan serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

General Laboratory Procedures. 1969. Department of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison.

Hadziq, A. 2011. Status fisiologis dan performa pedet peranakan friesian holstein prasapih yang diinokulasi bakteri pencerna serat dengan pakan bersuplement kobalt. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartadi, H., S, Reksohadiprodjo, & A. D. Tillman. 1986. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hungate, R. E. 1996. The Rumen and Its Microbes. 2nd Edition. Academic Press, New Jersey.

IPTEKnet. 2005. Tepung Tapioka. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg =6&doc=6b30. [24 November 2011].

Jensen, H.L. 1961. The viability of lucerne rhizobia in soil culture. Nature, London 192. p. 682.

Kamaruddin, A & T. Sutardi. 1977. Degradasi jerami padi dan rumput gajah dalam cairan rumen kerbau dan sapi. Bulletin Makanan Ternak, 1: 220 - 228.

Machmud, M. 2001. Teknik penyimpanan dan pemeliharaan mikroba. Buletin AgroBio 4(1): 24 - 32.

30 Makkar, H. P. S. 2002. Recent Advances in the in vitro Gas Method for Evaluation of Nutritional Quality of Feed Resources. Animal Production and Health Section, International Atomic Energy Agency. Vienna, Austria.

Malik, K. A. 1990. Use of activated charcoal for the preservation of anaerobic phototrophic and other sensitive bacteria by freeze-drying. J. Microbiological Methods. 12: 117 - 124. (Abstr.)

Mattjik, A. H. & M. Sumertajaya. 2002. Rancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.

McDonald, P., R. A. Edwards, & J. F. D. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman Scientific & Technical, New York.

McIlroy, R. J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita. Jakarta.

Meiaro. A. 2008. Bobot potong, bobot karkas dan non karkas domba lokal yang digemukkan dengan pemberian ransum komplit dan hijauan. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noorazimie. 2002. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi pupuk pelengkap cair bioton pada tumpangsari kedelai (Glycine max (L.) Merr) terhadap pertumbuhan dan produksi setaria gajah (Setaria splendida Stapf). Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ogimoto, K., & S., Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Press, Tokyo.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta.

Puspawati, N. N. 2008. Penggunaan berbagai jenis bahan pelindung untuk mempertahankan viabilitas bakteri asam laktat yang diisolasi dari air susu ibu (ASI) pada proses pengeringan beku dan penyimpanan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Puspitek LIPI. 2009. Probiotik untuk Ternak Sapi Potong & Sapi Perah. Puspitek LIPI. Bogor.

Rifai, A. A. 2010. Peran isolat bakteri selulolitik fakultatif asal rumen kerbau pada hijauan berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Schlegel, H. G. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi ke - 6. Terjemahan: Baskoro, R. M. T. dan J. R. Wattimena. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Schrezenmeir, J. & M. de Vrese. 2001. Probiotics, prebiotics and symbiotics-

approaching a definition. American Journal of Clinical Nutrition 73 (suppl): 361S - 364S.

Sembiring, M. T. & T. S. Sinaga. 2003. Arang Aktif (Pengenalan dan Proses Pembuatannya). Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan.

31 Sihombing, D. C. 2010. Efektifitas inokulasi isolat bakteri terhadap serapan mineral pada pedet peranakan friesian holstein lepas sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sutardi, T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Kursus Peternakan Sapi Perah. Kayu Ambon, Lembang. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tarwin. 2007. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap viabilitas bakteri probiotik dalam soygurt. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Thalib, A., Y. Widiawati., & H. Hamid. 2004. Uji efektivitas isolat bakteri hasil isolasi mikroba rumen dengan media asetogen sebagai inhibitor metanogenesis. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 9 (4): 233 - 238.

Tilley, J. M. A. & R. A. Terry. 1963. A two satge technique for the in vitro digestion of forage crops. J. of British Grassland Society. 18: 104 - 111.

Tropical Forages. 2005. Brachiaria humidicola. http://indonesia.tropicalforages.info/ key/Forages/Media/Html/Brachiaria_humidicola_(Bahasa_Indonesia).htm. [3 Oktober 2011].

Vincent, J.M. 1970. A manual for practical study of root-nodule bacteria. IBP Handbook No. 15. Blackwell Sci. Publ. Oxford.

Wahyudi, A. 2006. Evaluasi penggunaan urea molasses mineral probiotik blok

Dokumen terkait