• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Ukuran Perusahaan

Defenisi ukuran perusahaan menurut Rianto (1999:313) adalah “besar kecilnya perusahaan dilihat dari nilai equity , nilai penjualan atau total aktiva.”

Ukuran perusahaan merupakan pengukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Ukuran perusahaan dapat diukur dengan menggunakan total aset, penjualan, dan ekuitas total utang dan ukuran perusahaan memiliki korelasi kuat dan positif (Odgen, 1987 dalam Magreta dan Nurmayanti, 2009).

Ukuran perusahaan dapat dinilai dari beberapa segi. Besar kecilnya suatu perusahaan dapat didasarkan pada total nilai aktiva, total penjualan, kapitalisasi pasar, jumlah tenaga kerja dan sebagainya. Semakin besar aktiva suatu perusahaan maka akan semakin besar pula modal yang ditanam, semakin besar total penjualan suatu perusahaan maka akan semakin banyak juga perputaran uang

dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula perusahaan dikenal masyarakat (Hilmi dan Ali, 2008)

Definisi ukuran perusahaan menurut Riyanto (2008) adalah sebagi berikut: “Besar kecilnya perusahaan dilihat dari besarnya nilai equity, nilai penjualan, atau nilai aktiva”

Sedangkan Torang (2012) memberikan definisi:

“Ukuran organisasi adalah suatu variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk organisasi”

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa ukuran perusahaan adalah suatu skala yang menentukan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari nilai equity, nilai penjualan, jumlah karyawan dan nilai total aktiva yang merupakan variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk organisasi.

UU No. 20 Tahun 2008 mengklasifikasikan ukuran perusahaan ke dalam kategori yaitu usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar. Pengklasifikasian ukuran perusahaan tersebutt didasarkan pada total aset yang dimiliki dan total penjualan tahunan perusahaan tersebut.

UU No. 20 Tahun 2008 tersebut mendefinisikan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar sebagai berikut:

1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan /atau badan usaha perorangan yang memiliki kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria usaha menurut undang-undang ini digolongkan berdasarkan jumlah asset dan omzet yang dimiliki oleh sebuah usaha. Untuk kriteria usaha mikro asset yang harus dimiliki maksimal 50 juta dan omzet maksimal yang dicapai 300 juta.

2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kriteria usaha menurut undang-undang ini digolongkan berdasarkan jumlah asset dan omzet yang dimiliki oleh sebuah usaha. Untuk kriteria usaha kecil asset yang harus dimiliki 50 juta sampai 500 juta dan omzet yang dicapai 300 juta sampai 2,5 miliar.

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kriteria usaha menurut undang-undang ini digolongkan berdasarkan jumlah asset dan omzet yang dimiliki oleh sebuah usaha. Untuk kriteria usa menengah asset yang harus dimiliki 500 juta sampai 10 miliar dan omzet yang dicapai 2,5 miliar sampai 50 miliar.

4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia.

Untuk melakukan pengukuran terhadap ukuran perusahaan Yogiyanto (2007:282) mengemukakan bahwa:

“Ukuran aktiva digunakan untuk mengukur besarnya perusahaan, ukuran aktiva tersebut diukur sebagai logaritma dari total aktiva.”

Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh Prasetyantoko (2008:257) adalah:

“Aset total dapat menggambarkan ukuran perusahaan, semakin besar aset biasanya perusahaan tersebut makin besar.”

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk menentukan ukuran perusahaan digunakan ukuran aktiva. Ukuran aktiva tersebut diukur sebagai logaritma dari

total aktiva. Logaritma digunakan untuk memperhalus aset tersebut yang sangat besar dibanding variabel keuangan lainnya.

2.3 Profitabilitas

Menurut Sartono (2008:122), profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Sedangkan menurut Greuning (2005:29) mengatakan bahwa profitabilitas adalah suatu indikasi atas bagaimana margin laba suatu perusahaan berhubungan dengan penjualan, modal rata-rata dan ekuitas saham biasa rata-rata.

Rasio profitabilitas adalah keuntungan yang merupakan hasil dari kebijakan yang diambil manajemen. Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh perusahaan. Semakin besar tingkat keuntungan menunjukkan semakin baik manajemen dalam mengelola perusahaan (Sutrisno, 2005).

Penilaian profitabilitas adalah proses untuk menentukan seberapa baik aktivitas-aktivitas bisnis dilaksanakan untuk mencapai tujuan strategis, mengeliminasi pemborosan-pemborosan dan menyajikan informasi tepat waktu untuk melaksanakan penyempurnaan secara berkesinambungan. Dengan demikian bagi investor jangka panjang akan sangat berkepentingandengan analisa profitabilitas ini (Simamora, 2000).

Profitabilitas dikatakan baik apabila memenuhi target laba yang diharapkan. Profitabilitas yang rendah menunjukkan bahwa tingkat kinerja manajemen perusahaan tersebut kurang baik. Perusahaan yang mempunyai rugi atau tingkat profitabilitas rendah nantinya akan membawa dampak buruk dari

reaksi pasar dan akan menyebabkan turunnya penilaian kinerja suatu perusahaan. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas tinngi dapat dikatakan bahwa laporan keuangan tersebut mengandung berita baik dan perusahaan yang mengalami berita baik cenderung menyerahkan laporan keuangannya dengan tepat waktu (Hilmi dan Ali, 2008).

Profitabilitas mempunyai tujuan dan manfaat, tidak hanya bagi pihak pemilik usaha atau manajemen saja, tetapi juga bagi pihak luar perusahaan, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan atau kepentingan dengan perusahaan. Tujuan penggunaan rasio profitabilitas bagi perusahaan, maupun bagi pihak luar perusahaan menurut Kasmir (2012), yaitu:

1. Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode tertentu.

2. Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.

3. Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu.

4. Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.

5. Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.

6. Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.

1. Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode.

2. Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang.

3. Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu.

4. Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. 5. Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang

digunakan baik modal pinjaman maupun modal sendiri.

Ada beberapa macam rasio yang sering dipakai oleh berbagai lembaga keuangan dalam menghitung tingkat profitabilitas perusahaan. Menurut Mamduh (2009) rasio-rasio ini adalah:

1. Profit Margin

Profit margin merupakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Profit margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Sementara Profit margin yang rendah menadakan penjualan yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu. Secara umum rasio yang rendah bisa menunjukan ketidakefisienan manajemen.

Profit Margin =

2. Net Profit Margin

Net profit margin adalah rasio antar laba setelah pajak dengan penjualan yang mengukur laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah penjulan. Disamping itu rasio ini juga digunakan untuk menghitung sejauh mana

kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Jadi semakin tinggi net profit margin, maka akan semakin baik kinerja operasional perusahaan.

Net profit margin =

3. Return On Asset (ROA)

Return on asset adalah rasio keuangan yang menunjukan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan aktiva yang dipergunakan. Semakin tinggi rasio ini, maka akan semakin baik keadaan suatu perusahan, begitu pula sebaliknya.

Return On Asset =

4. Return On Equity (ROE)

Return on equity adalah rasio keuangan perusahaan yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba bersih yang tersedia bagi pemegang saham perusahan. Rasio ini dipengaruhi oleh besar kecilnya hutang perusahaan, apabila proporsi hutang makin besar maka rasio ini juga akan semakin besar.

Return On Equity =

2.4 Likuiditas

Likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada saat ditagih (Munawir, 2010).

Menurut Husnan (2003) bahwa “Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang harus segera dipenuhi (jangka pendek)”.

Menurut Kasmir (2012) menyatakan bahwa Rasio Likuiditas sering juga disebut dengan nama rasio modal kerja merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya perusahaan. Caranya adalah dengan membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar dengan total passiva lancar (utang jangka pendek). Penilaian dapat dilakukan untuk beberapa periode sehingga terlihat perkembangan likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu.

Likuiditas perusahaan ditentukan oleh dua dimensi pengamatan yaitu statis dan dinamis (Lancaster, et al.,1999; Hutchison, 2002; Moss dan Stine, 1993). Pandangan statis berdasarkan pada rasio keuangan tradisional yaitu current ratio dan quick ratio dengan data yang berasal dari neraca keuangan sementara pandangan dinamis lebih kepada ketersediaan likuiditas berdasarkan hasil operasi perusahaan.

Tagihan seorang pemberi kredit jangka panjang, misalnya pemilik obligasi, sebaliknya bersifat jangka panjang, dan karenanya ia akan lebih berminat terhadap kemampuan aliran kas untuk melunasi hutang dalam jangka panjang. Pemilik obligasi mungkin akan menilai struktur modal perusahaan, sumber-sumber dana dan penggunaan dana, profitabilitas selama beberapa periode dan proyeksi profitabilitas di masa yang akan datang. Berikut ini adalah tujuan yang dapat dipetik dari hasil rasio likuiditas, yaitu:

1. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek.

2. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek tanpa memperhitungkan persediaan.

3. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah sediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan.

4. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang.

5. Untuk mengukur seberapa besar perputaran kas.

6. Sebagai alat perencanaan kedepan, terutama yang berkaitan dengan perencanaan kas dan utang.

7. Menjadi alat pemicu bagi pihak manajemen untuk memperbaiki kinerjanya.

8. Sebagai alat bagi pihak luar terutama yang berkepentingan terhadap perusahaan dalam menilai kemampuan perusahaan agar dapat meningkatkan saling percaya.

Pada umumnya perhatian pertama dalam analisis keuangan adalah rasio likuiditas, yaitu rasio yang memperlihatkan hubungan (perbandingan) antara kas dan aktiva lancar lainnya dengan kewajiban lancar. Menurut Fred Weston yang dikutip oleh Kasmir (2012) menyebutkan bahwa rasio likuiditas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban (utang) jangka pendek. Artinya apabila perusahaan akan mampu untuk memenuhi utang tersebut terutama utang yang telah jatuh tempo.

Dengan kata lain, rasio likuiditas berfungsi untuk menunjukkan atau mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya yang sudah jatuh tempo, baik kewajiban kepada pihak luar perusahaan (likuiditas badan usaha) maupun di dalam perusahaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegunaan rasio ini adalah untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membiayai dan memenuhi kewajiban (utang) pada saat ditagih.

Selanjutnya menurut Kasmir (2012) rasio likuiditas atau sering juga disebut rasio modal kerja merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa likuidnya suatu perusahaan. Caranya adalah dengan membandingkan komponen yang ada di neraca, yaitu total aktiva lancar dengan total passiva lancar (utang jangka pendek). Penilaian dapat dilakukan untuk beberapa periode sehingga terlihat perkembangan likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu.

Tujuannya dari rasio likuiditas adalah untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Dari rasio likuiditas ini dapat diketahui apakah perusahaan mampu memenuhi kewajibannya yang akan segera jatuh tempo. Menurut Kasmir (2012) tujuan dan manfaat yang dapat dipetik dari hasil rasio likuiditas adalah :

1. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih. Artinya, kemampuan untuk membayar kewajiban yang sudah waktunya dibayar sesuai jadwal batas waktu yang telah ditetapkan (tanggal dan bulan tertentu).

2. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya jumlah

kewajiban yang berumur dibawah satu tahun atau sama dengan satu tahun dibandingkan dengan total aktiva lancar.

3. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan sediaan atau piutang. Dalam hal ini aktiva lancar dikurangi sediaan dan utang yang dianggap kualitasnya lebih rendah.

4. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah sediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan.

5. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang.

6. Sebagai alat perencanaan ke depan, terutama yang berkaitan dengan perencanaan kas dan hutang.

7. Untuk melihat kondisi dan posisi likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode.

8. Untuk melihat kelemahan yang dimiliki perusahaan, dari masing masing komponen yang ada di aktiva lancar dan utang lancar.

9. Menjadi alat pemicu bagi pihak manajemen untuk memperbaiki kinerjanya, dengan melihat rasio likuiditas yang ada pada saat ini.

Menurut Riyanto (2001) rasio-rasio dalam likuiditas adalah ”current ratio, cash ratio, acid test ratio (quick ratio), dan working capital to total assets ratio”.

a. Rasio lancar (Current Ratio)

Rasio umum yang digunakan untuk menganalisa laporan keuangan adalah current ratio yang memberikan ukuran kasar tentang likuditas perusahaan, sebagaimana yang dikemukakan Wals (2003).

Perhitungan rasio ini didasarkan pada perbandingan sederhana antara total aktiva lancar dan kewajiban lancar. Aktiva lancar merupakan jumlah likuid, misalnya kas, yang tersedia untuk bisnis. Sementara kewajiban lancar memberikan indikasi kebutuhan akan kas di masa depan.

Menurut Horne (2005) ”Rasio lancar adalah aktiva lancar dibagi kewajiban lancar. Ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menutupi kewajiban lancar dengan aktiva lancar perusahaan”.

Sawir (2005) mengatakan: Current Ratio merupakan ukuran yang paling umum digunakan untuk mengetahui kesanggupan memenuhi kewajiban jangka pendek karena rasio ini menunjukkan seberapa jauh tuntutan dari kreditor jangka pendek dipenuhi oleh aktiva yang diperkirakan menjadi uang tunai dalam periode yang sama dengan jatuh tempo uang.

Rasio lancar =

b. Cash Ratio (Rasio kontan)

Cash Ratio yaitu kemampuan perusahaan untuk membayar hutang yang harus segera dipenuhi dengan kas yang tersedia dalam perusahaan dan efek yang segera dapat diuangakan.

Cash Ratio =

c. Acid test Ratio (Rasio Cair atau Quick Ratio)

Menurut Sartono (2000) “quick ratio (acid test ratio) adalah rasio antara aktiva lancar dikurangi persediaan dibagi hutang lancar. Rasio ini mengukur solvabilitas jangka pendek tetapi tidak memperhitungkan persediaan karena persediaan merupakan aktiva lancar yang kurang liquid”. Sedangkan menurut Horne (2005) “acid test ratio memberikan ukuran yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar”.

Quick Ratio =

d. Working Capital to Total Assets

Working capital to total assets digunakan untuk menghitung berapa kelebihan aktiva lancar di atas hutang lancar. Working capital to total assets adalah kemampuan untuk membayar hutang yang segera harus dipenuhi dengan aktiva lancar yang lebih likuid (quick assets).

Working capital to total assets =

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa siklus konversi kas terhadap likuiditas mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Apabila terjadi perubahan tingkat siklus konversi kas maka akan berpengaruh terhadap tingkat likuiditas. Siklus konversi kas yang cepat menunjukkan perusahaan semakin baik karena kas dapat segera diputarkan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan seperti membayar kewajiban lancarnya.

Dokumen terkait