• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Ulayat Masyarakat Adat Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

D. Hak Ulayat Masyarakat Adat Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Secara etimologis masih belum ada kesatuan pandangan tentang penggunaan istilah “hak ulayat” dalam masyarakat. Hak ulayat sendiri merupakan istilah yang lebih dikenal di kalangan masyaratak Minangkabau, Sumatera Barat. Beberapa daerah lain di Indonesia, masyarakat menyebutnya dengan berbagai istilah dan dalam konteks yang berbeda-beda, baik sebagai milik – Patuanan

(Ambon) – maupun sebagai daerah penghasil makanan – Panyampeto

(Kalimantan) – ataupun sebagai lapangan yang terpagar – Pawatasan

(Kalimantan), wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), atau sebagai tanah terlarang bagi orang lain – Totabuan (Bolaang Mongondow). Selain itu juga ada istilah

Torluk (Angkola), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Payar (Bali), Paer

(Lombok) dan Ulayat (Minangkabau) (Ter Haar).57 Hak ulayat mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam

57

Daud Djubedi, Hak Ulayat Laut Di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta, Penerbit Genta Press, 2015, hlm.17.

hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau orang-orang luar.58

Menurut Sumardjono, Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat di Indonesia untuk pertama kalinya diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).59 Dimana tercantum di dalam Pasal 3 UUPA secara lengkap :

“ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”.

Definisi tanah ulayat baru dapat kita temui dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum yang menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.60

58

Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Hak Ulayat Masyarakat dalam Ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Artikel Penataan Ruang, Tanpa Tahun.

59

Rokhmin Daruhi, Loc, Cit,. 60

Lihat Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999

Dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Undang-Undang Pesisir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat dalam Undang-Undang tersebut adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil61. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat dengan masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.62 Namun Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik tidak dengan status HP3 ini dalam penguasaan pesisir dengan hak ulayat telah terjadi jauh lama bahkan sebelum Undang-Undang Pokok Agraria lahir sehingga sangatlah penting diakuinya masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat pesisir selanjutnya secara tegas dituangkan sebagaimana dalam Pasal 61 Nomor 27 tahun 2007 yang berbunyi :

1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.

61

Lihat Pasal 1 ayat 32 UU 27 Tahun 2007 62

2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan.

Hak Ulayat Laut

Secara terminologis, hak ulayat laut adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris,

Sea Tenure. Menurut Sudo, Sea Tenure adalah sebuah sistem tentang pemanfaatan wilayah laut oleh beberapa orang atau kelompok sosial dengan mengatur tingkat eksploitasi dan melindungnya dari over explotation. Sementara menurut Laundsgraade bahwa istilah sea tenure mengacu pada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban yang mucul kaitannya dengan kepemilikan wilayah laut. Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa yang dmaksud dengan hak ulayat laut adalah seperangkat aturan mengenai praktik pengelolaan wilayah laut dan sumber daya yang terkandung didalamnya.63 Namun perlu dipahami bahwa munculnya konsep pengelolaan wilayah laut tersebut tidaklah lahir begitu saja, tapi sangat dipengaruhi oleh upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan laut. Dengan demikian maka hak ulayat laut dapat dianggap sebagai bentuk adaptasi oleh suatu komunitas masyarakat adat pesisir yang bertujuan agar laut dapat dimanfaatkan dengan baik dan terhindar dari kerugian sosial yang lebih besar bagi masyarakat.64

63

Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 24 64

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang hukum perdata dan bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban bidang hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Menurut Budi Harsono, Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihakii oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah maupun perairan sebagai

res nulius. 65 Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res nulius dalam lingkungan hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut, hal ini berarti perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.66

Klaim pemilikan wilayah laut oleh masyarakat adat tentunya memiliki argumentasi yang jelas. Banyak pertimbangan yang dijadikan dasar dalam menetapkan batas wilayah laut guna menjaga ekploitasi potensi laut yang berlebihan. Namun demikian, masyarakat adat sangat menyadari bahwa batas-batas wilayah laut yang ditetapkan sebagai bagian dari hak ulayat laut cenderung

65

Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Loc, Cit,. 66

bersifat kabur atau imajiner. Menurut Antarikasa, praktik pembatasan luas wilayah laut dalam tradisi hak ulayat laut biasanya dibatasi dengan tanda-tanda alam pada wilayah daratan kemudian berdasarkan batas wilayah daratan tersebut ditetapkan batas wilayah laut. Caranya adalah dengan menarik garis imajiner ke arah laut sampai batas wilayah laut hitam bagian dalam.67

Eksistensi Hak Ulayat di Lapangan

Beberapa kearifan lokal hak ulayat masyarakat adat pesisir yang masih dilaksanakan dan dilindungi oleh pemerintah dengan ditetapkannya sebagai kawasan konservasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil :68

1. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna Sumber kearifan lokal masyarakat di Kawasan Pulau Tiga bersumber dari ajaran Islam dan kepercayaan yang berbau mistik. Prinsip-prinsip kearifan lokal mereka berbasiskan ekologi dan ekosistem. Bentuk kearifan lokal yaitu dengan mengkeramatkan daerah-daerah tertentu, larangan membunuh atau menagkap hewan tertentu, penghormatan terhadap laut, pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi penangkapan sederhana.

2. “Kelong” Kearifan Lokal Nelayan Batam

Di Kota Batam dan beberapa wialyah lain di kepulauan Riau sebenarnya terdapat pengelolaan perikanan tradisional yang disebut “Kelong”. Kelong

67

Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 31 68

ini merupakan sejenis perangkap dan diperuntukkan untung menagkap Ikan Dingkis atau Ikan Baronang.

3. “Awig-awig” Hak Ulayat Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat

Dikecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dan di Dusun Serewe Kabupaten Lombok Timur, terdapat hak ulayat laut yang mengatur tentang pelarangan penggunaan bom dan potassium cyanida pada kawasan terumbu karang dalam upaya penangkapan ikan oleh nelayan serta pelarangan menebang hutan mangrove.

4. “Panglima Laot”, Kearifan Lokal Nelayan Aceh

Panglima Laot adalah lembaga pemimpin adat nelayan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14. Teritori jendral nelayan yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala) tempat nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam saat ini tercatat ada 140 lhok yang masing-masing dipimpin oleh panglima lhok. Kewenangan panglima laot (abu laot, ayah laut) ada dua tugas pokok : Pertama, dia menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang. Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari nelayan tidak boleh melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17 agustus, juga pada hari-hari ketika ikan dilaut sedang kawin atau bertelur. Kedua, panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan dibereskan diantara kaum nelayan sendiri.

5. Mane’e, Kearifan Lokal Nelayan Kabupaten Kepulauan Talaud

Mane’e merupakan kearifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, berupa pengaturan masa penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah mereka, misalnya dengan cara membuat larangan menagkap ikan pada masa-masa tertentu serta pembuatan sejenis sistem bendungan untuk mempermudah penangkapan ikan.

Dokumen terkait