BAB II
TINJAUAN UMUM REKLAMASI WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
A. Defenisi Reklamasi
Reklamasi secara awam dapat diartikan hanya sebatas penimbunan daerah
perairan atau bibir pantai guna memperluas wilayah daratan untuk berbagai peruntukan. Berdasakan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bahwa Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.26
Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 ini lahir atas perintah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Maka dengan lahirnya Perpres 122/2012
memperjelas pengaturan terkait dengan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dimana telah banyak terjadi persoalan pro dan kontra dalam beberapa pelaksanaan reklamasi di tanah air baik sebelum maupun sesudah lahirnya Perpres
122/2012 tersebut.
26
Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang memberikan defenisi mengenai reklamasi telah memberikan keseragaman defenisi diantaranya
oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak
dan Cianjur) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR 28/PERMEN-KP/2014.
Secara etimologi sendiri istilah reklamasi merupakan turunan dari istilah Inggris reclamation yang berasal dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil kembali, dengan penekanan pada kata “kembali”. Di dalam teknik pembangunan,
istilah reclaim juga dipergunakan di dalam misalkan me-reclaim bahan dari bekas bangunan atau dan puing-puing, seperti batu dan kerikil dan bekas konstruksi
jalan, atau kerikil dari puing beton untuk dapat digunakan lagi. Dalam teknik sipil atau teknik tanah, istilah reclaim atau reklamasi juga dipakai di dalam
mengusahakan agar suatu lahan yang tidak berguna atau kurang berguna menjadi berguna kembali atau lebih berguna. Sampai berapa jauh tingkat kegunaan ini bergantung dari sasaran yang ingin dicapai. Di dalam pembangunan penghunian
dan perkotaan adakalanya daerah-daerah genangan dikeringkan untuk kemudian dimanfaatkan. Bahkan wilayah laut pun dapat dijadikan daratan.27
27
Selanjutnya beberapa kajian mengenai bahasa, kata reklamasi memiliki berbagai defenisi yang tertulis di dalam beberapa kamus dimana penulis mengutip
antara lain :
1. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Reklamasi yaitu 1.
sanggahan dengan nada yang keras; 2. usaha memperluas pertanian dengan memanfaatkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak bermanfaat
misal (dengan cara menguruk daerah rawa-rawa) sehingga bermanfaat;28 2. Berdasarkan Kamus Hukum (Cetakan Ke-5, Sudarsono) Reklamasi yaitu
1. suatu sanggahan atau bantahan yang disampaikan dengan nada keras; 2.
usaha memperluas tanah pertanian dengan menggunakan daerah atau wilayah (areal) yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat seperti daerah
rawa-rawa atau sebagainya.29
3. Berdasarkan Cambridge Advance Learner’s Dictionary diberikan keterangan mengenai reklamasi sebagai mana dikutip oleh F.Kalalo, yaitu
percobaan untuk membuat tanah layak untuk bangunan atau pertanian dan pengolahan bahan-bahan sisa untuk memperoleh bahan-bahan berguna
darinya.30
Oleh beberapa defenisi mengenai reklamasi diatas maka kita dapat memahami bahwa reklamasi merupakan suatu usaha meningkatkan sumber daya
28
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, hlm. 1188.
29
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2007, hlm.401.
30
lahan agar yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat atau dapat disebut sebagai revitalisasi daerah pesisir. Defenisi mengenai reklamasi juga disebutkan oleh
Guru Besar IPB Prof.Dr.Ir.Dietriech G.Begen,DEA jelas mengatakan bahwa reklamasi adalah kegiatan atau proses perubahan pada sumberdaya atau ekosistem
pesisir untuk memperbaiki dan meningkatkan manfaat sumberdaya ekosistem pesisir bagi berbagai kebutuhan manusia.31
Gambar 1.1 Peta Reklamasi Nasional
Sumber : www.rapper.com-ketika reklamasi bukan hanya masalah jakarta
Pembangunan di wilayah pesisir dengan melaksanakan reklamasi bukanlah hal yang baru dilaksanakan oleh negara-negara untuk memperluas daratannya. Di Negara Indonesia sendiri kegiatan reklamasi telah berlangsung
sejak tahun 1979 dan tengah berlangsung hingga sekarang. 32 Antara lain pelaksanaan reklamasi pantai di tanah air beserta peruntukan penggunaan tanah :
31
BAPEDDA SIBOLGA, Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 7 Mei 2015, hlm.2.
32
a. Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Kawasan pantai utara Jakarta direncanakan untuk melalui proses reklamasi
darat. Lahan yang akan direklamasi mencakup 17 pulau. Beberapa perusahaan pengembang dalam proyek ini meliputi PT Muara Wisesa Samudera, PT Pelindo,
PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jakarta Propertindo, PT Jaladri Kartika Ekapaksi, PT Kapuk Niaga Indah dengan total
anggaran Rp. 83 triliun. Dua perusahaan pengembang yang sudah mendapatkan izin pada era kepemimpinan Fauzi Bowo adalah PT Muara Wisesa Samudera yang merupakan anak perusahaan dari Agung Podomoro Group, dan PT Kapuk
Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Tujuan pembangunan setiap pulau memilik fungsi berbeda, beberapa di antaranya
yaitu.
1. Kawasan pertokoan tepi laut.
2. Kawasan outdoor dengan background tematik.
3. Kawasan taman burung (pengetahuan dan wisata). 4. Kawasan olahraga terbuka dengan standar internasional.
5. Kawasan olahraga air dan wisata pantai.
6. Kompleks olahraga, rumah sakit pusat dan pengembangan olahraga internasional.
7. Kawasan industri, perdagangan dna logistik. 8. Kawasan lembaga jasa dan keuangan.
Hingga saat ini reklamasi Jakarta masih menuai pro kontra dari Pemprov Jakarta, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir,
dan Pulau-pulau Kecil di kementerian itu, Sudirman Saad mengatakan izin reklamasi itu bukan merupakan kewenangan kepala daerah, namun oleh
Kementerian Kelautan. Reklamasi yang akan dilakukan pada 17 pulau belum pernah ada izin dari Kementerian.
b. Reklamasi Teluk Benoa, Bali
Perusahaan pengembang reklamasi Benoa adalah PT Tirta Wahana Bali Indonesia. Tipe reklamasi ini adalah reklamasi darat dengan anggaran Rp. 30
triliun. Alasan dicanangkannya reklamasi Benoa adalah kerusakan alam yang terjadi di kawasan ini.
1. Teluk Benoa menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan sedimentasi yang sudah sangat tinggi dan perubahan bentang alam.
2. Terjadi penyumbatan di daerah hilir DAS (daerah aliran sungai) sekitar
Teluk Benoa.
3. Teluk Benoa sudah tidak lagi produktif karena keadaan teluk yang rusak
parah. Hal ini diakibatkan endapan limestones bekas jalan tol yang tidak diangkat. Serta rembesan minyak dan oli dari kapal di pelabuhan Benoa yang terjadi setiap saat tanpa ada yang mengawasi. Terjadi pendangkalan
yang amat sangat, dan sedimentasi sudah hampir menyentuh pesisir mangrove. Endapan lumpur rata-rata mencapai 16 meter.
5. Sudah tidak ada lagi biota laut, seperti ikan, kerang, udang dan lainnya yang bisa ditangkap nelayan di teluk saat lautsurut.
Namun, sumber lain mengemukakan bahwa Teluk Benoa memiliki ekosistem Teluk Benoa terdiri dari dua ekosistem besar yakni ekosistem
mangrove dan ekosistem Padang Lamun. Ekosistem ini merupakan ekosistem terbesar di tanah Bali. Adanya pendapat yang berbeda mengenai kondisi Teluk
Benoa saat ini selayaknya harus segera mendapatkan hasil pengkajian yang komprehensif. Reklamasi Benoa dilakukan hanya karena kondisi teluk yang sudah rusak dan harus segera diperbaiki. Beberapa tujuan reklamasi Benoa adalah
sebagai berikut.
a. Kawasan nelayan dan pertokoan tepi laut.
b. Kawasan hunian dan hotel mangrove eco chalet. c. Kawasan olahraga air dan waterfront.
d. Kawasan taman botanical.
e. Pulau Pudut, kawasan kultur dan pura. f. Kawasan pusat belanja.
c. Reklamasi Panati Losari, Makasar
Tipe reklamasi yang dijalankan di daerah ini adalah reklamasi darat
(pesisir). Pemanfaatan lahan reklamasi pantai atau penimbunan laut terjadi di pesisir kota Makassar mulai gencar dilakukan sejak awal tahun 2000-an. Namun
membuat master plan rencana reklamasi kawasan strategis bisnis global terpadu Makassar yang pada akhirnya direspon oleh Pemprov dengan membuat rencana
pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI). Koordinasi Advokasi Kopel Indonesia, Musaddaq dikutip media menyebutkan, proyek CPI tanpa perencanaan
di RPJMD 2008-2013. Anggaran yang digunakan bukan dari APBN, namun menggunakan APBD. Proyek tersebut belum direstui pemerintah pusat, karena
tidak melalui mekanisme persetujuan legislatif karena menimbun laut seluas 1.466,10 hektar.
d. Reklamasi Pelabuhan Balik Papan
Proyek reklamasi pelabuhan Semayang Balikpapan di bawah perusahaan pengembang PT Pelindo IV Cabang Balikpapan, PT Pandega Citra Niaga , PT
Sentra Gaya Makmur konsorsium antara Vico dan Helindo, PT Wulandari Bangun Lestari, PT Karunia Wahana Nusa, PT Sugico Graha, dan PT Avica Jaya Nusantara. Tipe reklamasinya adalah reklamasi darat dan laut. Reklamasi ini
dimulai tahun 2016 dan direncanakan rampung tahun 2024. Total investasi yang diperkirakan saat ini adalah Rp. 27, 8 triliun. Tujuan reklamasi Balikpapan yaitu
untuk pembangunan beberapa area berikut.
a. Area car terminal b. Area supply base
Dikutip dari Banjarmasin Post, Coastal ini akan dibangun selebar 50 meter, kemudian ada pedestrian atau kawasan untuk pejalan kaki selebar 25 meter.
Jalan itu akan menghubungkan Pelabuhan Semayang di wilayah selatan dengan Bandara Sepinggan di utara. Pemkot saat ini masih mengurus izin dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Setelah itu, masing-masing investor harus memperoleh izin kerja reklamasi dari Kementerian Perhubungan.
e. Reklamasi Dermaga Logistik, Balik Papan
Pengembang proyek reklamasi Dermaga Logistik Balikpapan dibawahi langsung oleh TNI Angkatan Laut dan didanai oleh pemerintah daerah setempat.
Anggaran reklamasi dermaga ini mencapai Rp. 180 miliar. Reklamasi pantai ini telah mulai dibangun pada September 2015 dan dicanangkan rampung tahun
2017. Tujuan pembangunan: Dermaga pendukung pelaksanaan operasi di wilayah Timur Indonesia, operasi menjaga keamanan, pertahanan laut RI. Dikutip dari Jakartagreater.com, Dermaga yang dibangun nanti, berada di Pantai Melawai,
sekitar 500 meter dari Semayang. Dermaga ini akan menjadi pendukung operasi di wilayah Timur Indonesia dan sangat membantu kapal-kapal perang dalam
melakukan pembekalan ulang, sebelum beroperasi menjaga keamanan dan pertahanan laut RI, khususnya wilayah laut perbatasan serta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Alur laut ini menjadi jalur pelayaran internasional yang
f. Reklamasi Teluk Palu, Sulawesi Tengah
Proyek reklamasi Teluk Palu ini di bawah perusahaan pengembang, PT.
Yauri Properti Investama, PT Mujur Gemilang Abadi, dan PT Toloan. Tipe reklamasi yang digunakan adalah reklamasi darat (pesisir). Jumlah anggaran tidak
diketahui pasti, namun menurut kabar yang tersiar anggaran mencapai kurang lebih Rp. 200 miliar. Teluk Palu terbentang dari Donggala di ujung sebelah barat
laut, melingkar membentuk huruf U menuju kawasan Pantai Barat Sulawesi Tengah di sebelah utara, melintasi Kota Palu. Sepanjang teluk ini, Anda akan disuguhkan pada pemandangan menarik berupa birunya laut yang nampak
menyatu dengan warna biru langit, desir angin, pantai berpasir putih (di wilayah Kota Palu agak berbatu), dan rindang pepohonan (kelapa, ketapang, johar, bakau,
dan lain-lain).
Direktur Operasional Perusahaan Daerah Kota Palu, Taufik Kamase berpendapat bahwa Teluk Palu memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga
harus dimanfaatkan secara maksimal. Kawasan pantainya sangat indah. Namun, saat ini masih berantakan dan tak ada fasilitas yang baik untuk
wisata. “Bayangkan saja, untuk mencari tempat kencing saja susah. Ini persoalan sepele namun harus dipikirkan.” ungkap Taufik kepada Antaranews. Secara
umum, tujuan reklamasi Palu adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki kawasan pantai menjadi lebih baik fasilitasnya.
b. Menjadikan Kota Palu menjadi kota pariwisata yang baik, termasuk pusat
Dikutip dari Jawa Pos, luas reklamasi mencapai 24,4 hektar dan dilakukan berdasarkan rekomendasi Pemda. Sementara peletakan batu pertama dilakukan
oleh Wali Kota Palu sebelumnya, Rusdy Mastura. Namun, pro kontra masih terjadi di kawasan ini. Warga pesisir melakukan berbagai aksi tolak reklamasi,
bahkan sebagian dari mereka mengancam akan memblokir proses pengurugan. Kecaman juga datang dari Walhi, karena khawatir habitat flora dan fauna di
sekitar pantai akan terkena dampak buruk.33
g. Reklamasi Pulau Nipa, Kepulauan Riau
Pulau Nipa termasuk salah satu pulau terluar dari 12 pulau yang perlu
mendapat perhatian khusus karena letaknya cukup dekat dengan negara Siangapura. Pada awal tahun 2000 pulau ini menjadi perhatian utama akibat
penambangan pasir yang diekspor untuk reklamasi dataran negara Singapura, menyebabkan luas pulau berkurang dan nyaris tengglam. Saat ini pulau Nipa telah direklamasi dan dibangun pangkalan Angkatan Laut (AL) untuk menjaga
kedaulatan Pulau Nipa yang letaknya cukup dekat dengan negara Malaysia. Penduduk sekitar menyebut pulau ini dengan Pulau Angup. Terdapat patok
referensi batas teritorial negara atau titik dasar dengan kode TD 190 dan TR 190 yang berfungsi sebagai acuan pengukuran dan penetapan media line perjanjian perbatasan negara Indonesia – Singapura pada tahun 1974.
33
Secara administrasi pulau Nipa termasuk ke dalam wilayah Desa Pomping. Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini
terletak di Selat Singapura dan berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura. Sedangkan secara geografis plau Nipa terlatak pada koordinat 01˚09’13” dan 103˚39’11” T. Pulau Nipa memiliki luas sekitar 0,5 Ha sebelum
reklamasi, namun setelah reklamasi luasnya mencapai 60 Ha. Pulau Nipa
mempunyai nilai yang sangat strategis karena berada di jalur pelayaran internasional dari dan menuju Pelabuhan Jurong Singapura.34
B. Defenisi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai peraturan pokok mengenai
pertanahan di tanah air tidak memberikan defenisi secara langsung mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengaturan lebih lanjut mengenai tanah yang
berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun secara eksplisit sebagaimana
pada Pasal 1 UUPA sebagai doktrin Wawasan Nusantara dimana Prof. A.P.
Parlindungan menyatakan dengan doktrin Wawasan Nusantara inilah dapat kita
artikan sebagai hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi,
air dan ruang angkasa demikian juga hubungan dengan tubuh bumi baik yang berada
dibawah air, perairan dalam maupun laut teritorial bangsa dan negara Indonesia.35 Hal
ini dapat menjadi penjelasan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga
34
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/456 (diakses pada tanggal 16 April 2016)
35
termasuk didalam kesatuan Wawasan Nusantara Negara Indonesia yang diatur
didalam UUPA.
Defenisi terkait wilayah pesisir secara jelas dapat kita temukan didalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa:36
a. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar-sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu penge-tahuan dan
manajemen untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat.
b. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
c. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
d. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat.
Pada dasarnya, tidak seorangpun di Indonesia yang belum pernah mendengar kata wilayah pesisir. Baik di daerah perkotaan hingga ke daerah
36
pedesaan tentu pernah melihat daerah pesisir. Namun pada masyarakat kita terdapat defenisi kata wiayah pesisir yang beragam bergantung pada pengetahuan
yang diperoleh oleh masing-masing. Untuk menengahi hal tersebut, telah terdapat kesepakatan umum akan arti dari wilayah pesisir sebagaimana tertulis didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai kamus bahasa indonesia resmi bahwa pesisir adalah tanah datar berpasir di pantai atau laut, pesisir basah adalah
daerah antara garis pantai waktu air laut surut dan pantai waktu air laut pasang, selanjutnya yang terlebih bersifat khusus pesisir kering adalah daerah antara garis pantai waktu air laut pasang dan garis pantai tertinggi yang dapat dicapai oleh air
laut pada waktu topan melanda.37
Pengelolaan wilayah pesisir telah menjadi perhatian pemerintah pusat
karena daerah wilayah pesisir yang rentan akan kerusakan oleh aktivitas manusia dengan memfaatkan sumber dayanya dan akibat bencana alam serta keunikan dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut yang rentan berkembangnya
konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat
dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi.38 Penyerahan pengelolaan wilayah pesisir juga dilakukan oleh pemerintah pusat dengan asas desentralilsasi pada pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kewenangan daerah Provinsi
37
http://kbbi.web.id/pesisir (diakses pada tanggal 2 Januari 2016) 38
atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil sejauh 12 mil dari garis pasang surut pantai.39
Menurut Soegiarto bahwa :40
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Secara umum, menurut Sugeng Budiharsono wilayah didefenisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang
bagian-bagiannya bergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :41
1. Wilayah Homogen
Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/ kriteria
mempunyaisifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi (seperti daerah dengan struktur
produksi dan konsumsi yang homogen, daerah dengan tingkat pendapatan rendah, dan lain-lain), geografi (seperti wilayah yang mempunyai tipografi atau iklim yang sama), agama, suku dan sebagainya.
39
Pasal 27 ayat 3 UU 27 Tahun 2007
40
Rokhmin Dahuri, Pengelolaan Sumber Daya Wila yah Pesisir Dan Laut Secara Terpadu, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, 2004, hlm.8.
41
2. Wilayah Nodal
Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk,
faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.
3. Wilayah Administratif
Wilayah administrasi adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan desa atau keluarahan, RT/RW.
4. Wilayah Perencanaan
Boudeville (dalam Glasson, 1978) mendefenisikan wilayah perencanaan
sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting
dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai
suatu kesatuan.
Wilayah pesisir dan lautan menurut Sugeng Budiharsono, dapat termasuk dalam keempat jenis wilayan tersebut. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir
kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah
pesisir dianggap sebagai halaman belakang yang merupakan tampat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan
penyedia input (pasa input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa
wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun juga dapat berupa kabupaten/kota pada kabupaten/kota yang berupa pulau kecil. Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir sering melewati
batas-batas satuan wilayah administratif. Sebagai contoh adalah wilayah pesisir Kabupaten karawang, apabila nelayan atau petambak di Kabupaten Karawang
menebang habis pohon bakau yang ada di pantainya untuk dijadikan tambak udang, maka dampak negatifnya tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tetapi akan berdampak terhadap wilayah pesisir Kabupaten Bekasi maupun Kabupaten
Inderamayu. Kondisi tersebut terjadi karena wilayah pesisir pantai utara Jawa Barat bahkan Laut Jawa,yang merupakan suatu kesatuan wilayah perencanaan.42
Selanjutnya Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu juga menyatakan defenisi terkait wilayah pesisir bahwa konsep wilayah pesisir dan lautan dari sudut pandang ilmu perancanaan pembangunan wilayah tentunya berbeda dengan ilmu
kelautan yang berorientasi kepada aspek fisik saja. Definisi yang dikembangkan dari aspek fisik bukan definisi fungsional, melainkan definisi yang bersifat kaku
42
dan lebih berorientasi fisik. Definisi yang dikembangkan juga bervariasi tergantung negaranya. Sebagai contoh negara Costa Rica mendefinisikan batas
wilayah pesisir adalah jarak secara sembarang ke arah darat dari pasang surut dan batas ke arah laut adalah rata-rata pasang terendah atau rata-rata pasang
tertinggi.43 Sedangkan menurut Beatley, “wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang
masih terkena pengaruh percikan air laut pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua”.44
Keunikan geografis dari wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
diungkapkan oleh Griffith dan Inniss (1992) serta Beller (1990) yang dikutip dalam Artikel Garasi, pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat
menonjol yaitu antara lain :45
a. Terpisah dari habitat pulau induk sehingga sangat insuler;
b. Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan;
c. Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan
manusia;
d. Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi; e. Tidak mempunyai daerah hinterland.
43
Ibid, hlm.22
44
Rokhmin Dahuri, Op. Cit,. hlm.9
45
Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dalam Undang-Undang Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang
daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar
yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat.46 Sehingga pentingnya pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang benar dengan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
C. Bentuk dan Sistem Kegiatan Reklamasi
1. Bentuk Reklamasi
Berdasarkan lokasinya, pelaksanaan reklamasi pantai dibedakan menjadi dua yaitu Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula
(reklamasi menempel pantai), dimana garis pantai yang baru akan menjadi lebih jauh menjorok ke laut dan daerah reklamasi yang terpisah dari pantai47 :
46
Muhammad Ilham Arisaputra, Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah Pesisiir di Indonesia, Jurnal Hukum (Perspektif Hukum), Vol 15, 2015, hlm.33.
47
a. Reklamasi menempel pantai
Bentuk menempel pantai dapat dilakukan pada pantai dengan kondisi
drainase yang baik sehingga kegiatan reklamasi tidak menimbulkan dampak atau permasalahan dalam pengelolaan drainase. Letak lahan reklamasi ini
menyatu dengan pantai daratan induk. Keuntungannya anatara lain adalah kemudahan pembuatan pasarana/jaringan transportasi, sedangkan kerugiannya
adalah lahan reklamasi yang baru menghalangi/memperpanjang sistem jaringan drainase yang ada sehingga akan meningkatkan elevasi muka air di muara yang berdampak dengan meningkatnya potensi banjir di daerah hulu.48
b. Reklamasi Terpisah dari Pantai
Bentuk terpisah dari pantai dilakukan pada kondisi saat sistem drainase
pada wilayah tersebut relatif buruk sehingga dilakukan reklamasi menempel pada pantai akan meningkatkan potensi banjir.49
2. Sistem Reklamasi
Sistem reklamasi yang dikenal di Belanda, cara-cara reklamasi untuk membangun lahan baru pada prinsipnya dapat dibagi di dalam dua golongan yakni
yang dikenal dengan istilah polder dan sistem urukan, di dalam bahasa Inggris fill. Sistem polder berusaha mendapat lahan kering dengan membuang air yang menggenanginya dengan pemompaan. Untuk keperluan pemompaan lahan polder
dibagi dalam petak-petak dengan menggali parit-parit di mana air dapat berkumpul, mula-mula pada parit-parit kecil, untuk dialirkan ke parit-parit lebih
48
https://kskbiogama.wordpress.com/2010/04/03/aspek-sistem-dan-bentuk-reklamasi-di-wilayah-pesisir/ (diakses pada tanggal 30 februari)
besar, akhirnya ke parit induk yang mengelilingi kawasan polder. Dari parit induk ini air kemudian dipompa keluar ke daerah yang lebih tinggi untuk lebih lanjut di
buang ke laut. Untuk mencegah agar air di wilayah sekeliling polder tidak memasuki lahan polder, sekeliling lahan polder, di sisi luar parit induk dibangun
tanggul rendah. Teknologi polder ini mulai dikembangkan terutama di negara Belanda yang wilayahnya mula-mula banyak yang bersifat rawa dan payau yang
terlindungi dari laut hanya oleh bebukitan pasir di sepanjang pentainya.50
Reklamasi pada dewasa ini banyak dilakukan dengan sistem urukan, dua sistem utama :
1. Sistem Polder
Gambar. 1.2 Skema Polder
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai
Mutiara Pluit
50
Pertama, adalah dengan menguruk pasir pada wilayah yang akan direklamasi hingga tinggi tertentu, kemudian membangun konstruksi pelindung
tepinya yang dapat berupa turap atau berupa tanggul laut di dalam galian di tepi lahan yang sudah diuruk itu. Maka, pada cara reklamasi ini urukan dilakukan atas
wilayah yang sedikit lebih luas daripada yang direncanakan. Kelebihan urukan ini kemudian dikeruk kembali dan pasirnya dibuang di tempat lain apabila konstruksi
pelindung tepi itu, atau lebih tepat konstruksi pelindung pantai itu, sudah rampung. Sistem ini umumnya disebut blanket fill.51
Gambar 1.3 Urutan Pekerjaan Reklamasi dengan sistem Blanket Fill Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate
Pantai Mutiara Pluit
51
2. Sistem Hydraulic Fil
Sistem kedua, adalah hydraulic fill. Melalui sistem ini, konstruksi
pelindung dahulu yang dibangun, tentunya didalam air dan tidak di dalam galian kering seperti blanket fill. Setelah seluruh konstruksi pelindung rampung, barulah
lahan laut yang telah terlindungi ini diuruk secara hydraulis, artinya pasir uruk dipompa olah kapal keruk ke dalam wilayah yang telah terlindungi itu.52
Gambar : 1.4 Urutan Pekerjaan Reklamasi dengan sistem Hydraulic Fill
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai Mutiara Pluit
Hasil dari kedua sistem utama ini sama, yakni lahan yang diuruk higga tinggi tertentu, umumnya kering tetapi belum cukup kuat untuk memikul beban
bangunan. Tanah ini berangsur akan menguat secara alamiah melalui proses pemadatan yang disebabkan oleh berat tanah itu sendiri dan pengeringan alamiah.
Akan tetapi proses alamiah ini memerlukan waktu tahunan. Maka agar cepat siap-pakai, pemadatan pembangunan tanah ini dipercepat dengan teknik yang disebut
soil improvement. Proses penguatan tanah ini atau secara teknis dapat disebut proses meningkatkan daya pikulnya adabermacam caranya dengan hasil daya pikul yang berbeda-beda.53 Serta terdapat pula Sistem Kombinasi, sistem ini
dengan cara membuat tanggul terlebih dahulu seperti dalam polder kemudian diurug. Karena jenis berat material urug yang lebih besar dari pada berat jenis air
laut, maka air laut akan berangsur-angsur melimpah ke luar diganti oleh material urug sampai elevansi yang telah ditentukan.54
3. Cara Pemandatan Tanah Hasil Reklamasi
Sistem reklamasi dan cara pemadatan yang dipilih, bergantung dari berbagai faktor yang meliputi kondisi lokasi semula, masalah persediaan pasir
uruk, peralatan yang tersedia, pendanaan, pamasaran, dan faktor lain.55 Secara lazim cara pemadatan yang dilakukan denga cara soil improvement yaitu dengan pemasangan Vertical Drain, Dynamic compaction dan pemasangan Surcharge.
53
A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai Mutiara Pluit, Jakarta, Penerbit Djambatan, 2004, hlm.8.
54
Moch. Choirul Huda, Loc, Cit,. 55
Gambar1.5 Peningkatan daya pikul lempung lunak dengan Vertical Drain
Dynamic Compaction dan Surcharge
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate
Pantai MutiaraPluit
Selain dengan cara pemadatan di atas terdapat pula cara pemadatan tanah
yang lainnya berdasarkan ilmu pemadatan tanah, antara lain:56
a. Pemadatan Metode Vibrocompaction
Pemadatan dengan cara vibrocompaction umumnya hanya efektif untuk
tanah bergradasi pasir dan lebih kasar dari pasir. Cara ini umumnya dilakukan dengan bantuan alat vibrocompaction yang dapat berupa tiang
(pancang) berujung terbuka atau tertutup. Tiang tersebut dimasukkan ke dalam tanah dengan digetar. Pada sebagian dari cara ini, tanah dipadatkan dengan “menusuk-nusuk”kan tiang pancang yang bergetar kedalam tanah
(tanpa tambahan material pengisi) dan sebagian lagi dengan menambahkan meterial pengisi (pasir atau kerikil).
56
b. Sistem Vibroflotation.
Sistem Vibroflotation ini dikembangkan mulanya di Jerman 60 tahun yang
lalu. Alat vibroflotation pada umumnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu : alat vibrator, pipa pemanjang (extension tube), dan mobil derek/crane
pemikul.Perbedaan sistem ini dengan sistem vibrating probe ialah bahwa pada vibroflotation penggetaran bekerja akibat perputaran pada poros alat
vibrator yang tidak sentris sehingga menghasilkan gaya centrifugal pada arah horisontal dan “menyibak” tanah kesamping dan menghasilkan
lubang pada tanah. Akibat getaran centrifugal dan berat sendiri dari
vibrator, alat ini dapat dengan cepat masuk kedalam tanah. Penggetaran menyibak tanah kesamping itu juga dapat dilakukan dengan bantuan air
yang dipompa ke alat vibrator dengan tekanan (water jet). Pada saat penarikan keatas, lubang yang ditimbulkan oleh sistem ini diisi dengan pasir atau kerikil, sambil tetap digetarkan untuk memadatkan bahan
pengisi tersebut.
c. Sistem Vibro Compozer.
Sistem ini mula-mula dikembangkan di Jepang oleh Murayama (1958). Prinsipnya ialah sebuah pipa casing dipancangkan kedalam tanah dengan digetar (melalui alat vibrator diujung atas pipa). Kemudian pasir
dimasukkan kedalam pipa casing dengan bantuan tekanan udara. Pasir tersebut kemudian dipadatkan dengan cara menarik turunkan pipa casing
pemadatan, tanah pasir pengisi tetap dalam keadaan mendapat tekanan udara.
d. Sistem Soil Vibratory Stabilization
Sistem Soil Vibratory Stabilization (SVS) ini juga dikenal sebagai
sistem Toyomenka (dikembangkan oleh PT.Toyomenka di Jepang) merupakan kombinasi antara vertikal vibration akibat Vibratory driving
hammer (penumbuk getar arah vertikal) dan sistem getar putar pada vibroflotation. Pemadatan ini menggunakan bahan pengisi pasir atau krikil (pada waktu pencabutan alat ke atas), tetapi water jet tidak digunakan
sama sekali. Sistem vibrocompaction yang diuraikan diatas dapat memadatkan tanah sampai kedalam 20,0 meter, tetapi umumnya sistem ini
tidak banyak digunakan untuk kedalaman > 30.0 meter.
Sistem vibroflotation, vibro-compozer dan SVS juga dapat digunakan pada tanah lempung yang lunak. Tetapi tujuannya terutama ialah untuk
pemasangan sand column atau stone column pada tanah asli. Jadi yang dituju bukan perubahan kepadatan tanah asli tetapi instalasi sand/stone
D. Hak Ulayat Masyarakat Adat Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Secara etimologis masih belum ada kesatuan pandangan tentang penggunaan istilah “hak ulayat” dalam masyarakat. Hak ulayat sendiri merupakan
istilah yang lebih dikenal di kalangan masyaratak Minangkabau, Sumatera Barat.
Beberapa daerah lain di Indonesia, masyarakat menyebutnya dengan berbagai istilah dan dalam konteks yang berbeda-beda, baik sebagai milik – Patuanan
(Ambon) – maupun sebagai daerah penghasil makanan – Panyampeto
(Kalimantan) – ataupun sebagai lapangan yang terpagar – Pawatasan
(Kalimantan), wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), atau sebagai tanah terlarang
bagi orang lain – Totabuan (Bolaang Mongondow). Selain itu juga ada istilah
Torluk (Angkola), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Payar (Bali), Paer
(Lombok) dan Ulayat (Minangkabau) (Ter Haar).57 Hak ulayat mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib, sebagai
pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur
peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam
57
hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga atau orang-orang luar.58
Menurut Sumardjono, Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat di Indonesia untuk pertama kalinya diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).59 Dimana tercantum di dalam Pasal 3 UUPA secara lengkap :
“ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak
Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi ”.
Definisi tanah ulayat baru dapat kita temui dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum yang menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat
hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.60
58
Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Hak Ulayat Masyarakat dalam Ketentuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Artikel Penataan Ruang, Tanpa Tahun.
59
Rokhmin Daruhi, Loc, Cit,. 60
Dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. Undang-Undang Pesisir menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Masyarakat dalam Undang-Undang tersebut adalah masyarakat yang terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil61. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat dengan masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.62 Namun Masyarakat Adat yang bermukim di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik tidak dengan status HP3 ini dalam penguasaan pesisir dengan hak ulayat telah terjadi jauh lama bahkan sebelum Undang-Undang Pokok Agraria lahir sehingga sangatlah penting diakuinya
masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat pesisir selanjutnya secara
tegas dituangkan sebagaimana dalam Pasal 61 Nomor 27 tahun 2007 yang berbunyi :
1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.
61
Lihat Pasal 1 ayat 32 UU 27 Tahun 2007 62
2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan.
Hak Ulayat Laut
Secara terminologis, hak ulayat laut adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris,
Sea Tenure. Menurut Sudo, Sea Tenure adalah sebuah sistem tentang pemanfaatan wilayah laut oleh beberapa orang atau kelompok sosial dengan mengatur tingkat
eksploitasi dan melindungnya dari over explotation. Sementara menurut Laundsgraade bahwa istilah sea tenure mengacu pada hubungan timbal balik
antara hak dan kewajiban yang mucul kaitannya dengan kepemilikan wilayah laut. Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa yang dmaksud dengan hak ulayat laut adalah seperangkat aturan mengenai praktik pengelolaan wilayah laut dan sumber
daya yang terkandung didalamnya.63 Namun perlu dipahami bahwa munculnya konsep pengelolaan wilayah laut tersebut tidaklah lahir begitu saja, tapi sangat
dipengaruhi oleh upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan laut. Dengan demikian maka hak ulayat laut dapat dianggap sebagai bentuk adaptasi oleh suatu komunitas masyarakat adat pesisir yang bertujuan agar laut dapat
dimanfaatkan dengan baik dan terhindar dari kerugian sosial yang lebih besar bagi masyarakat.64
63
Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 24 64
Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang hukum perdata dan bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban
bidang hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan, sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya. Menurut Budi Harsono, Hak ulayat meliputi semua tanah dan
perairan yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah dihakii oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah maupun perairan sebagai
res nulius. 65 Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res
nulius dalam lingkungan hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut, hal ini berarti perairan yang
merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk sepenuhnya di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.66
Klaim pemilikan wilayah laut oleh masyarakat adat tentunya memiliki argumentasi yang jelas. Banyak pertimbangan yang dijadikan dasar dalam menetapkan batas wilayah laut guna menjaga ekploitasi potensi laut yang
berlebihan. Namun demikian, masyarakat adat sangat menyadari bahwa batas-batas wilayah laut yang ditetapkan sebagai bagian dari hak ulayat laut cenderung
65
Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Loc, Cit,. 66
bersifat kabur atau imajiner. Menurut Antarikasa, praktik pembatasan luas wilayah laut dalam tradisi hak ulayat laut biasanya dibatasi dengan tanda-tanda
alam pada wilayah daratan kemudian berdasarkan batas wilayah daratan tersebut ditetapkan batas wilayah laut. Caranya adalah dengan menarik garis imajiner ke
arah laut sampai batas wilayah laut hitam bagian dalam.67
Eksistensi Hak Ulayat di Lapangan
Beberapa kearifan lokal hak ulayat masyarakat adat pesisir yang masih dilaksanakan dan dilindungi oleh pemerintah dengan ditetapkannya sebagai
kawasan konservasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil :68 1. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna
Sumber kearifan lokal masyarakat di Kawasan Pulau Tiga bersumber dari ajaran Islam dan kepercayaan yang berbau mistik. Prinsip-prinsip kearifan lokal mereka berbasiskan ekologi dan ekosistem. Bentuk kearifan lokal
yaitu dengan mengkeramatkan daerah-daerah tertentu, larangan membunuh atau menagkap hewan tertentu, penghormatan terhadap laut,
pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi penangkapan sederhana.
2. “Kelong” Kearifan Lokal Nelayan Batam
Di Kota Batam dan beberapa wialyah lain di kepulauan Riau sebenarnya terdapat pengelolaan perikanan tradisional yang disebut “Kelong”. Kelong
67
Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 31 68
ini merupakan sejenis perangkap dan diperuntukkan untung menagkap Ikan Dingkis atau Ikan Baronang.
3. “Awig-awig” Hak Ulayat Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dikecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dan di Dusun Serewe
Kabupaten Lombok Timur, terdapat hak ulayat laut yang mengatur tentang pelarangan penggunaan bom dan potassium cyanida pada kawasan
terumbu karang dalam upaya penangkapan ikan oleh nelayan serta pelarangan menebang hutan mangrove.
4. “Panglima Laot”, Kearifan Lokal Nelayan Aceh
Panglima Laot adalah lembaga pemimpin adat nelayan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14. Teritori jendral nelayan
yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala) tempat nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam saat ini tercatat ada 140 lhok yang masing-masing dipimpin oleh panglima lhok.
Kewenangan panglima laot (abu laot, ayah laut) ada dua tugas pokok : Pertama, dia menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang.
Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari nelayan tidak boleh melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17 agustus, juga pada hari-hari ketika ikan dilaut sedang kawin atau bertelur.
Kedua, panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan
5. Mane’e, Kearifan Lokal Nelayan Kabupaten Kepulauan Talaud
Mane’e merupakan kearifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, berupa pengaturan masa penangkapan ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan
perikanan di wilayah mereka, misalnya dengan cara membuat larangan menagkap ikan pada masa-masa tertentu serta pembuatan sejenis sistem