• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Hak Konstitusional Masyarakat Adat

B. Hak Ulayat dalam Perundang-Undangan

Masyarakat adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu Hak Ulayat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA:

“Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 3 dinyatakan bahwa;

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan uu dan peraturan lain yang lebih tinggi.”

Hak Ulayat adalah seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan wilayahnya. Hak Ulayat memiliki dua unsur, yakni unsur kepunyaan yang termasuk kewajiban-kewajiban hukum perdata di dalamnya dan unsur-unsur kewenangan

untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang termasuk di bidang hukum.35

Hak Ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan hukum ada yang berbahasa belanda, mengikuti penamaannya oleh Van Vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.36

Hukum adat hidup dan berkembang sesuai dengan tatanan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dipatuhinya sebagai sebuah kebenaran, termasuk dalam hal ini adalah norma-norma adat dalam konsep penguasaan tanah.

Masyarakat hukum adat menganal tanah yang ditempatinya tidak saja sebagai sebuah benda yang bernilai ekonomi akan tetapi tanah dalam alam berfikir masyarakat adat juga merupakan benda yang memiliki nilai magis. Tanah dalam konsep hukum adat merupakan harga diri, dimana ditanah tersebut dimakamkan para leluhur masyarakat adat, ditanah tersebut mereka hidup dan berkembang, Kedekatan antara masyarakat adat dengan tanah yang menghidupinya menimbulkan hubungan emosional yang sangat erat. Budaya, etnis, tradisi nilai-nilai msyarakat adat berkembang sesuai dengan kedekatan masyarakat adat pada alam

35 Siti Zumrokhatun & Darda Syahrizal, 2014, Undang-Undang Agraria dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Semarang: Hlm. 75

36 Supriadi, Op.Cit ,Hlm. 61

lengkungannya yang dalam hal ini juga termasuk tanah yang telah menghidupi mereka. 37

Hubungan msyarakat hukum adat dengan tanah yang sangat erat tersebut diartikan sebagai hubungan yang serba berpasangan (particepeeren deneken).

Hubungan antara manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu pihak dan tanah di pihak yang lain yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan, dan menajdi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya hidup. Termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya bergantung padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya serta berpasangan dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking).38

Dalam konsep penguasaan tanah menurut hukum Adat, penguasaan tanah dan pemilikan tanah berhimpitan apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaannya, maka yang dimaksudkan olehnya adalah barang yang dikuasai sepenunhnya dan yang dapat dinikmati sepenuhnya pula. Selain itu, tidak dibedakan antara benda yang menjadi objek hak milik dengan hak atas benda tersebut. Benda yang dikuasai itulah yang merupakan tanda bukti miliknya.39

a. Terciptanya Hak Ulayat

Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugrahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan

37Fikky Fuad, Artikel, Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Agraria di Indonesia, Hlm. 47

38 Ibid., Hlm. 48

39 Ibid.

kelompok tertentu. Bagi masyarakat hukum adat, hak ulayat dapat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya dan menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.

b. Pemegang hak ulayat

Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang terjadi karena teritorial dalam artian para warganya bertempat tinggal di wilayah yang sama, namun ada pula yang karena genealogi yang dimana warga terikat karena pertalian darah.

c. Tanah yang menjadi objek

Tanah yang menjadi objek adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. Dan dapat diketahui secara mudah dengan batas-batas wilayah tanah ulayatnya.40

Dalam hukum adat juga mengatur hubungan antara ketua adat, masyarakat dan Individu-individu sebagai anggota masyarakat dengan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Menurut konsepsi hukum adat, tanah menjadi milik bersama masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hak ulayat yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Hak ulayat ini merupakan hak yang tertinggi kedudukannya:41

a. Unsur Kepunyaan yaitu semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan.

b. Unsur kewenangan yaitu untuk mengatur, merencanakan dan memimpin penggunaannya yang dilimpahkan kepada seorang Kepala Adat.

40 Siti Zumrokhatun & Darda Syahrizal, Op.Cit Hlm. 75

41 Samun Ismaya, 2011,Pengantar hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta: Hlm. 49

C.Kedudukan Hukum Tanah Ulayat Dalam Hukum Positif Indonesia 1. Hakekat Kepemilikan Tanah dalam Hukum Positif di Indonesia

Dalam hal kepemilikan tanah, konsepsi hukum tanah nasional menyatakan tanah di seluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, karenanya tidak dapat diperjual belikan atau diperdagangkan, tidak boleh dijadikan objek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi bangsa.42di dalam UUPA disebutkan bahwa dalam konsepsi kepemilikan terdapat unsur komunalistik religious, artinya ketentuan hukum Indonesia melihat bahwa tanah itu adalah milik bersama yang diberikan oleh Sang Pencipta guna kesejahteraan masyarakat, berarti Indonesia mengatur prinsip Negara kesejahteraan.43Oleh karena itu, terdapat terminology “hak menguasai oleh Negara”, yang merupakan hak menguasasi tertinggi. Hak menguasai ini memberikan kewenangan pada Negara untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.44Dengan demikian, maka di samping terminology kepemilikan terdapat juga terminology penguasaan, yang memiliki makna lebih luas dari kepemilikan. Hak penguasaan atas tanah apabila sudah dihubungkan dengan suatu tanah tertentu, maka yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai

42 Gita Zilfa, “Jenis-jenis Hak Atas Kepemilikan Tanah di Indonesia dan Pelepasan hak milik atas tanah kepada Penanam Modal Asing

43 Rosmidah, “Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia”, Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, 2013, h. 72.

44 Agus Surono, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T), (Jakarta: FH-Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013), h. 2.

hak.45Oleh karena itu, dalam konteks ini dimungkinkan seseorang hanya menguasai secara yuridis saja, tanpa penguasaan fisik. Penguasaan yuridis dimaksudkan sebagai kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, meskipun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.46Ini semisal kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang pemilik tanah.47

Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, yaitu:

1. Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, semata-mata beraspek publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebut dalam Pasal 3 UUPA beraspek perdata dan publik.

4. Hak-hak Perorangan atau Individu, semuanya beraspek Perdata terdiri atas:

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individu yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 UUPAdan Pasal 53 UUPA.

b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan sebagaimana dalam Pasal 49 UUPA.

45 Boedi Harsono, Op.Cit h. 23.

46 Rosmidah, Op.Cit, h. 71.

47 Boedi Harsono, Op,Cit, h. 23.

c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut dengan hak tanggungan, sebagaimana dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA.48

2. Hak Atas Tanah dalam dalam Hukum Positif di Indonesia

Sebutan nama hak atas tanah dalam UUPA merupakan nama lembaga-lembaga baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga-lembaga-lembaga-lembaga hak-hak atas tanah dari perangkat-perangkat hukum tanah yang lama. Lembaga-lembaga hak atas tanah yang lama sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 dan terjadinya unifikasi hukum tanah, sudah tidak ada lagi. Sedangkan hak-hak atas tanah yang lama sebagai hubungan hukum konkret sejak 24 September 1960 dikonversi oleh UUPA atau diubah menjadi salah satu hak yang baru dari hukum tanah nasional.49

“Hak atas tanah” merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadiaknya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.50Inilah yang harus diperhatikan, bahwa selain kewenangan-kewenangan yang ada pada hak atas tanah, hak atas tanah juga berisikan kewajiban-kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan.

Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut, yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah yakni:

a. Pasal 6, yang menyatakan, bahwa; semua hak atas tanah mempunyai fungsi social;

48 Muwahid, Pokok-pokok Hukum Agraria di Indonesia (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2016), h. 11.

49 Rosmidah, Op.Cit, h. 72.

50 Boedi Harsono, Op.Cit, h. 24.

b. Pasal 15 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 1 tentang kewajiban memelihara tanah yang dihaki; dan

c. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif.51

3. Landasan Yuridis Hak Tanah Adat

Salah satu Hasil amandemen UUD 1945 adalah Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) yang terkait dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Lebih lanjut Pasal 28 I Ayat (3) menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.52

dalam UUPA juga mengakui keberadaan hak ulayat. Ini bisa dilihat dalam Pasal 3 UUPA:

“Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

dengan demikian UUPA memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat, yaitu:

a. Syarat eksistensinya (keberadaannya), yaitu tanah hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Artinya bahwa di daerah yang semula ada tanah hak ulayat, namun dalam perkembangan selanjutnya, hak milik perorangan menjadi kuat, sehingga menyebabkan hilangnya tanah hak ulayat, maka tanah hak ulayat

51 Rosmidah, Op.Cit, h. 73.

52 Rosmidah, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, h. 94

tidak akan dihidupkan kembali. Demikian pula di daerah-daerah yang tidak pernah ada tanah hak ulayat, tidak akan dilahirkan tanah hak ulayat yang baru.53

b. Syarat pelaksanaannya, yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.54

4.Hakekat Hak Tanah Adat

Pada dasarnya, hak ulayat merupakan sesuatu perangkaian dari wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah, termasuk lingkungan wilayahnya.55Secara yuridis, batasan hak ulayat terdapat dalam Pasal 1 dari Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1, bahwa: “Hak ulayat yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu merupakan lingkungan para warganya untuk menggambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang ditimbulkan dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

Dengan demikian, hak ulayat merupakan istilah teknis yuridis dalam lapangan hukum adat dikenal hak ulayat yang merupakan hak dari masyarakat hukum adat yang berisi wewenang dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut.56Daya laku dari hak ulayat bisa bersifat uda, yaitu:

53 Muwahid, Op.Cit, h. 14-15

54Ibid, h. 19.

55 Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, h

56 Muwahid, Op.Cit, h. 44.

a. Hak ulayat berdaya laku ke dalam. Perwujudannya berupa pemanfaatan tanah ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan warga masyarakat, dengan memungkinkan bagi setiap warganya memakai bagian tanah bersama itu untuk digarap guna memenuhi keperluan hidup pribadi dan keluarganya. Pengakuan hak individu warga atas tanah yang demikian itu hanyalah berlaku selama tanah itu digarap, dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan hak bersama tadi. Apabila hak menggarap itu tidak dimanfaatkan setelah melewati batas waktu tertentu maka hak itu lenyap dan kembali ke tangan masyarakat.

b. Hak ulayat berdaya laku ke luar. Perwujudannya bahwa orang asing atau orang luar masyarakat tanah milik bersama tadi, kecuali seizin masyarakat atau persekutuan dan harus pula memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Misalnya memberikan kepada persekutuan barang sesuatu yang disebut pengisi adat, sedangkan dalam Penjelasan angka 3 UUPA istilah itu disebut dengan recognitie. Dengan izin itu orang asing atau orang luar tersebut dimungkinkan membuka tanah untuk perladangan atau perkebunan, tetapi harus ditanami dengan tanaman yang tidak berumur panjang. Karena pada prinsipnya orang asing atau orang luar persekutuan tidak dibenarkan ikut memiliki tanah didalam wilayah persekutuan tersebut.57

Pengakuan hak ulayat dalam UUPA ternyata telah juga mendapat pengakuan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya bahkan dalam UUD 1945 Perubahan Kedua dan TAP MPR No. IX Tahun 2001. Adapun beberapa ketentuan tersebut, sebagai berikut:

1. UUD 1945 Perubahan Kedua (disahkan 18 Agustus 2000). Dalam UUD 1945 tersebut terdapat dua pasal yang memuat tentang pengakuan dan penghormatan terhadap hak masayarakat hukum adat, yaitu; 1). Pasal 18 B ayat (2) yang menentukan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”,2). Pasal Pasal 28 I ayat (3) yang menentukan; “identitas budaya dan hak masyarakat trdisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

57Agus Surono, Op.Cit, h. 4.

2. TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang dalam Pasal 4 disebutkan bahwa salah satu prinsip yang harus dijunjung dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam adalah pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak masayarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam.

3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 6 ayat (2) “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

4. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pasal 1 huruf f “hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pasal 4 ayat (3) “penguasaan hutan oleh Negara tetap memerhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak betentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 5 ayat (1) “hutan berdasarkan statusnya terdiri dari; (a) hutan Negara, dan (b) hutan hak”. Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurif a dapat berupa hutan adat. Pasal 67 ayat (1) “ masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak; (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masayarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meninghkatkan kesejahteraannya.

5. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Pasal 34 ayat (1) “Dalam hal badan usaha atau bentuk usaha tetap akan menggunkan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam wilayah kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara sesuai dengan ketentuan perindang-undangan yang berlaku”.

Pasal 34 ayat (2) “Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara”.

Penjelasan Pasal 34 Ayat (2) “Yang dimaksudkan dengan pengakuan dalam ketentuan ini adalah pengakuan atas adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah, sehingga penyelesaiannya dapat

dilakukan melalui musyawarah dan mufakat berdasarkan hukum adat yang bersangkutan”.

6. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Pasal 6 Ayat (2) “Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Ayat (3) “Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat”.

7. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Pasal 9 ayat (2) “Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

8. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.

Pasal 6 ayat (2) “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikanharus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”.

9. UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Pasal 58 ayat (3) “Pemegang hak atas tanah, atau pemakai tanah negara, atau masyarakat ulayat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan jalan, berhak mendapat ganti kerugian”.

10. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Pasal 213 ayat (2) “Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional”.

11. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Pasal 17

(1) HP-3 (hak pengusahaan perairan pesisir, garis bawah catatan penulis ) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.

(2) Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing. Pasal 18 “HP-3 dapat diberikan kepada: a). Orang perseorangan warga negara Indonesia; b). Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;

atau c). Masyarakat Adat”.

Pasal 61

(1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun.

(2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berkelanjutan. Berdasarkan ketentuan dalam beberapa perundang-undangan tersebut dapat dipahami bahwa hak ulayat diakui, dihormati dan dilindungi. Hanya saja pengakuan, penghormatan dan perlindungan yang ditentukan dalam Konstitusi, TAP MPR dan Undang-Undang tersebut masih bersifat abstrak, masih dalam tataran peng-andai-an, atau masih bersifat kondisional. Pengakuan itu baru berwujud kalau hak ulayat tersebut benar-benar ada (eksis) dan pelaksanaan hak ulayat yang benar-benar-benar-benar ada tersebut harus

sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Pengakuan tersebut harus didasarkan pada hasil penelitian sebagaimana telah diuaraikan di atas. Pengakuan tersebut perlu ditetapkan dalam keputusan kepala daerah lokasi hak ulayat berada.

Penerbitan surat keputusan kepala daerah tidak bermakna pemberian atau penetapan hak ulayat tetapi sebagai wujud pengakuan atau pengukuhan hak ulayat.

Karena sesuai dengan konsepsinya bahwa adanya hak ulayat bukan karena

Karena sesuai dengan konsepsinya bahwa adanya hak ulayat bukan karena

Dokumen terkait