• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA MASYARAKAT ADAT LAU CIH DENGAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI SUMATERA UTARA SKRIPSI. Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA MASYARAKAT ADAT LAU CIH DENGAN PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II DI SUMATERA UTARA SKRIPSI. Oleh:"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

FATURRAHMAN AULIA

NIM:150200594

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

*Faturrahman Aulia

**Edy Ikhsan

***Rosnidar Sembiring

Pengakuan terhadap masyarakat adat jelas diterangkan dalam Undang- undang Pokok Agraria dalam Pasal 3 dan 5, namun selalu ada pengecualian dan batasan terhadap pengakuan dan penerapaannya.Walaupun peraturan tertulis sudah konkrit,yang diberikan oleh negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga negara tak terkecuali masyarakat adat.

Permasalahan yang dikemukakan adalah: Bagaimanakah kedudukan hukum tanah ulayat dalam hukum positif di Indonesia.Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih.Bagaimanakah upaya penyelesaian Sengketa Tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih?.Untuk itu, metode yang digunakan adalah dengan cara normatif yuridis dan sosiologis empiris, dimana selain melakukan kajian kepustakaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan juga melakukan wawancara kelapangan untuk mengetahui efektifitas penerapan hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa kedudukan tanah ulayat dalam kedudukan hukun positif indonesia sangat konkrit hal itu dapat di lihat pada Konstitusi telah memberikan ruang khusus terhadap keberadaan Masyarakat adat dalam UUD 1945 (setelah amandemen) yang tertuang dalam Pasal 18 B Ayat(2), hukum yang saling berpijak pada landasan yang berbeda dalam memberi dan pendefenisian tentang hak-hak atas tanah.Disatu sisi masyarakat hukum adat mengklaim hak-hak atas tanah berdasarkan konsep ipso facto,dimana keberadaan hak-hak masyarakat tunduk pada sistem hukum adat,yang tidak tertulis,dipihak pemerintah mengembangkan pemahaman hak-hak atas tanah berdasarkan konsep ipso jure,yang tunduk pada sistem hukum Agraria Nasional.Untuk itu di sarankan perlu pihak pimpinan perusahaan dalam penguasan perusahaan harusnya diketahuinya batas-batas wilayah asset perusahaan. Dari cerita aset perusahaan, mengetahui masalah-masalah dan kebenaran asset sehingga tidak terjadi konflik terhadap pemilik tanah orang lain atau tanah bukan milik perusahaan. Agar tidak ada perselisihan atas pemilik-pemilik tanah lainnya.Perlu diketahui dimana posisi tanah ulayat yang di kuasai dan tidak di kuasai secara turun-temurun untuk memperoleh suatu pembuatan usaha di atas tanah, agar tidak adanya konflik atas kepemilikan atas tanah.

Kata Kunci: Tanah Ulayat, Penyelesian, Masyarakat Adat

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita semua limpahan rahmat dan berkah yang tak terhingga sehingga kita masih dapat berkarya dan beribadah kepadaNya. Dan dengan berkahNya pula penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan-kekurangannya.

Skripsi ini berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT ADAT LAU CIH DENGAN PT.PERKEBUNAN NUSANTARA II DI SUMATERA UTARA”

Selain dimaksudkan untuk melengkapi syarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara guna memperoleh gelar Sarjana Hukum, tulisan ini paling tidak dapat menggugah para intelektual, para aparat penegak hukum, pemerintah dan pihak lainnya untuk lebih peduli terhadap permasalahan masyarakat adat, terutama masyarakat adat Lau Cih.

Tulisan ini tidak akan terwujud begitu saja tanpa melibatkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa informasi, data dan penyediaan bukubuku kepustakaan. Masa-masa menjalani kuliah selama ± 4 tahun banyak pengetahuan yang penulis serap dari para dosen, para guru besar dan para rekan-rekan mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mewarnai penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sekaligus sebagai apresiasi atas semua jasajasa terutama para dosen, dukungan orang tua, dukungan abang, adik-adik dan rekanrekan mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Namun demikian dalam kesempatan pertama penulis ingin menyampaikan ucapaan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(6)

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum. sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum. sebagai Ketua Departemen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah memberikan masukan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Tidak lupa penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Ayahanda Eko Budi Armanto dan Ibunda Edowati Istanti, atas kasih sayang, doa, nasehat, dorongan dan perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada adik Farras Luthfiyah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Semoga tulisan dan capaian pada hari ini dapat memberi cambuk sekaligus motivasi bagi adik tersayang untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi di masa-masa yang akan datang.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis di kampus anggota dari Par-par, Kita-kita Racing, SAPMA PP USU, SAPMA PP Hukum dan HMI Komisariat Hukum USU, jika saya tidak mengenal mereka, mungkin saya mahasiswa yang berkarakter apatis terhadap sekitar dan tidak tahu apa-apa tentang kampus.

(7)

8. Sahabat-sahabat SMA penulis SOTO’15 (Rian, Juandri, Bagus, SF Yoga, Anjas, Iqbal Ardiansyah, Iqbal Fahreza, Hafandy, Haikal Mirza, Roza, Ihza, Andre, Angin dan Badai (Maiya, Nizal, Ical, Juha, Alya, Ekky, Vinny, Dita, Rendy) yang telah memberikan dukungan, nasihat, dan doa kepada penulis.

9. Teman-teman penulis Farah, Ichsan BB,Yaumil di Fakultas Hukum USU yang banyak membantu dalam penulisan skripsi ini , serta teman-teman satu stambuk 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, disini penulis doakan semoga dapat meraih sukses pada masa-masa yang akan datang.

Selaku manusia penulis tidak luput dari salah dan khilaf, dengan ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan di dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga memohon kritik serta saran yang bersifat membangun demi perbaikannya dikemudian hari.

Akhir kata penulis berharap kiranya skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Aamin.

Medan, Oktober 2018 Hormat Penulis,

FATURRAHMAN AULIA

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Peneletian ... 7

D. Manfaat Peneletian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Tinjauan Pustaka ...11

G. Metode Penulisan ...16

H. Sistematika Penulisan ...19

BAB II : KEDUDUKAN HUKUM TANAH ULAYAT DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA ...21

A. Hak Konstitusional Masyarakat Adat ...21

B. Hak Ulayat dalam Perundang- Undangan ...27

C. Kedudukan Hukum Tanah Ulayat dalam Hukum Positif di Indonesia ...30

BAB III : FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA SENGKETA TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT ADAT LAU CIH DENGAN PT.PERKEBUNAN NUSANTARA II ...42

A. Tinjauan Umum Masyarakat Adat Lau Cih ...42

(9)

B. Status Tanah yang Menjadi Objek Sengketa antara Masyarakat Adat

Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II ...50

C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah Ulayat antara Masyarakat Adat Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II ...51

BAB IV : UPAYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ANTARA MASYARAKAT ADAT LAU CIH DENGAN PT.PERKEBUNAN NUSANTARA II ...63

A. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Tanah ...63

B. Kendala dalam Penyelesaian Sengketa Tanah antara Masyarakat Adat Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II ...67

C. Upaya dan Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah antara Masyarakat Adat Lau Cih dengan PT. Perkebunan Nusantara II ...68

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 70

A. Kesimpulan ...71

B. Saran ...74

DAFTAR PUSTAKA ...75

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki beribu-ribu pulau yang dipisahkan oleh selat dan laut, ini merupakan kondisi Lingkungan Gerografis yang menjadi sumber dasar adanya keanekaragaman suku, budaya, ras dan golongan di Indonesia (Cultural Diversity).

Setiap pulau memiliki suku dan budaya yang berbeda, dengan kepemilikan wilayah tersendiri dengan kemajemukan tersebut,tidak dipungkiri bahwa penggunaan akan tanah kewilayahan sangat banyak dibutuhkan. Tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran dan kehidupan bagi manusia, karenanya tanah sebagai satu-satunya kebutuhan manusia untuk tinggal.Tanah memiliki peran yang sangat penting dalam penghidupan bangsa Indonesia dimana penggunaanya sangat dibutuhkan.1

Tanah bagi kehidupan manusia, mengandung makna yang Multidimensional. Pertama, secara ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya, dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah.

Peran tanah dalam kehidupan manusia merupakan induk dari segala pokok kebutuhan selain dari kebutuhan pangan maupun sandang. Tanah dapat dinilai

1 Sudjito, 1987, Prona Pensertifikatan Tanah Secara Massal dan Penyelesaian Sengketa Tanah Yang Bersifat Strategis, Cet.1, Liberty, Yogyakarta: Hlm.1

(11)

sebagai harta permanen, sebagai harta yang bernilai ekonomis berkelanjutan untuk masa yang akan datang. Bukan hanya sekedar bernilai ekonomis tinggi tetapi juga memiliki nilai-nalai lainnya yang dapat menopang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebutuhan penting akan tanah bukan menjadi dasar seseorang dapat dengan mudah memiliki dan menguasai tanah. Jelas diterangkan mengenai arti penting dan batasan sebuah tanah bagi masyarakat dan negara sebagai Organisasi Masyarakat tertinggi di Indonesia yang dituangkan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pasal tersebut menjelaskan bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam beserta air dan kekayaan alam lainnya termasuk tanah yang berada dalam wilayah teritori Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) berarti dikuasai, diatur, dikelola dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah dengan segenap lembaga pengelolahnya untuk dipergunakan bagi kemakmuran atau mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya, dimana Negara memiliki wewenang untuk pengaturan keberadaan hak-hak atas tanah tersebut. Penjelasan mengenai tanah untuk tindak lanjut pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya dikenal dengan sebutan UUPA, salah satu tujuan utama UUPA adalah untuk meletakkan dasar-dasar pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat. Negara memiliki wewenang untuk pengaturan kepemilikan hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum. Hal ini jelas diterangkan dalam pasal 2 ayat (1), yaitu:

(12)

“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 , dan hal-hal sebagai dimaksud dalam pasal 1, Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk kekayaan Alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai Organisasi kekuasaan seluruh Rakyat”

Tujuan dari hak menguasai dari negara diterangkan kembali pada pasal 2 Ayat (2), yaitu:

“Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini, memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, Penggunaan, persediaan dan pemeliharaan Bumi, Air dan Ruang Angkasa.

b. Menentukan dan mengatur Hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa .

c. Menentukan dan Mengatur Hubungan-hubungan Hukum antara orang-orang dengan Perbuatan-perbuatan yang mengenai Bumi,Air dan Ruang Angkasa.2

Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Dengan berpedoman pada tujuan tersebut di atas, negara dapat memberikan tanah kepada sesorang atau Badan Hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan penggunaanya.3

Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki tradisi budaya, seni dan kebiasaan yang beraneka ragam sesuai dengan banyaknya suku yang mendiami nusantara ini,oleh karena itu,setiap suku yang ada di Indonesia dapat dipastikan memiliki budayanya masing-masing. Untuk itu, tepatlah pemikiran pendiri bangsa ini dan perancang Hukum Agraria menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional.4 Sebelum UUPA dan peraturan pertanahan lainnya keluar,

2 Heru Nugroho , 2001, Menggugat Kekuasaan Negara, Muhammadiyah Universit Press, Surakarta: Hlm. 237

3 Ali Achmad Chomzah, 2001, Hukum Agraria (Pertanahan Nasional) Jilid 1, Prestasi Pustaka, Jakarta: Hlm. 29

4 Supriadi, 2006, Hukum Agraria,Sinar Grafika,Palu: Hlm. 52

(13)

hukum adat telah ada terlebih dahulu yang mengatur mengenai banyak hal termasuk tanah.

”Hukum tanah baru yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang- undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah nasiona positif yang tertulis. UUPA merupakan hasilnya yang pertama”.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas jelas terlihat bahwa eksistensi masyarakat adat dan hukum adat diakui hanya jika tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan kepentingan nasional. Namun, Pembangunan hukum tanah nasional secara yuridis formal menjadikan hukum adat sebagai sumber utama, sehingga segala bahan yang dibutuhkan dalam pembangunan hukum tanah nasional sumbernya tetap mengacu pada hukum adat. Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah hukum adat, seperti yang bersifat komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak- hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.5 Dengan beragam suku bangsa adat istiadat di Indonesia maka sangat banyak hukum adat yang berlaku di setiap daerah mengenai kepemilikan tanah (Hak Ulayat).

Pengakuan terhadap masyarakat adat jelas diterangkan dalam Undang- undang Pokok Agraria dalam Pasal 3 dan 5, namun selalu ada pengecualian dan batasan terhadap pengakuan dan penerapaannya. Seperti pada pasal 3 UUPA yang berbunyi:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta

5 Ibid Hlm. 53

(14)

tidak boleh berdtentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Walaupun peraturan tertulis sudah konkrit,yang diberikan oleh negara justru pembatasan-pembatasan yang mau tidak mau menjadi sebuah keharusan untuk ditaati oleh warga negara tak terkecuali masyarakat adat. Dengan adanya pembatasan tersebut pemerintah dalam politik hukumnya akan mengarahkan bahwa suatu saat nanti hak-hak adat akan hilang atau dihilangkan. Bahkan yang lebih ekstrem lagi dengan adanya pengakuan bersyarat dapat digunakan oleh pemerintah atau investor untuk merampas tanah masyarakat adat. 6Hak Ulayat Masyarakat Adat kadang dikesampingkan dengan kepentingan lain tanpa melihat nilai spiritual yang dimiliki sebidang tanah yang ada pada wilayah masyarakat adat. Sehingga eksistensi terhadap perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat tidak terlihat lagi.

Seperti yang terjadi di Desa Lau Cih Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang. Ketika pada tanggal 04 April 2017,PT.Perkebunan Nusantara II(PTPN-II) menggarap secara sepihak tanah ulayat masyarakat adat lau cih seluas 850 ha, tanpa ada persetujuan dari masyarakat setempat.Pihak PTPN II jugak menggusur Jambur Arihta Ras Lau cih,rumah warga,dan tanaman yang berada di lokasi tanah sengketa tersebut.7

Pihak masyarakat adat lau cih melalui ketua masyarakat adat yang membawahi Desa Lau Cih,Datuk Adil Abraham Sembiring Pelawi menyatakan bahwa tanah yang di ambil PTPN-II adalah tanah ulayat.Beliau menjelaskan bahwa ada empat bagian dalam Kesultanan Deli masing-masing urung Sepuluh

6 S. Gloria, 2012, Skripsi, Pengakuan Negara terhadap Hak Atas Tanah Adat bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum Indonesia

7 http://www.tribunnews.com/regional/2017/08/01/ini-alasan-ptpn-hancurkan-rumah-dan- tanaman-warga Penulis :Rina

(15)

Dua Kuta,Serba Nyaman,Suka Piring,Senembah Deli,untuk masyarakat adat lau cih masuk bagian Urung Sepuluh Dua Kuta.jadi Adil mengklaim bahwa tanah sengketa ini ada tanah adat milih masyarakat adat lau cih yang sudah di tempati dan di kuasai sejak tahun 1951,jauh sebelum PTPN ada.

Masyarakat adat yang berada di tanah sengketa juga mengklaim bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah yang berasal dari tanah ulayat sebayak lau cih.Pernyataan terserbut di perkuat dengan adanya bukti-bukti sejarah berupa prasasti/tugu peniggaalan sibayak lau cih area lahan terserbut.

Masyarakat juga mengklaim bahwa pada tahun 1996 PTPN II meninggalkan area tahan karena sudah habis masa berlaku haknya untuk menempati tanah ini,setelah itu masyarakat kembali menguasai dan menggarap tanah adat lau cih.

Pihak PTPN-II mengklaim juga bahwa tanah tersebut adalah milik mereka berdasarkan sertifikat HGU Nomor 171 Tahun 2009,sehingga PTPN-II ingin mengambil tanah tersebut,yang selama ini sudah di tempati oleh masyarakat semenjak tahun 1999 sampai 2017.Dengan mengklaim memiliki sertifikat HGU,pihak PTPN-II secara sepihak mengusir secara paksa masyarakat yang tinggal di tanah sengketa tersebut serta mengancurkan rumah dan tanamannya.Masyarakat adat Lau Cih yang tidak terima sempat melawan sehingga terjadi bentrok dengan Polisi dan TNI yang mengawal jalannya penggusuran tersebut.

Pada pasal 12 Ayat (1) Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi:

“Dalam hal tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum Adat, pelaku usaha perkebunan harus melakukan musyawarah dengan masyarakat Hukum Adat Pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.

(16)

Jelas berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh pihak PTPN-II yang melakukan penggarapan tanah secara sepihak tanpa adanya transparasi dan musyawarah terlebih dahulu.Kenyataanya di lapangan,masyarakat lau cih justru di tindas dan menjadi korban ketidakadilan.

Karena sengketa yang tidak menemui titik penyelesain,Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menginstruksikan Gubernur untuk memfasilitas penyeleseain sengketa lahan ini.Instruksi Kemendagri tertuang dalam surat nomor 590/2304/BAK.8

Sehubungan dengan hal itu, penulis menganggap sangat penting untuk melakukan penelitian mengenai “Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara”di Kabupaten Deli Serdang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan hukum tanah ulayat dalam hukum positif di Indonesia?

2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih?

3. Bagaimanakah upaya penyelesaian Sengketa Tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih?

C. Tujuan Peneletian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas,tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini,adalah:

8https://www.inews.id/daerah/sumut/113485/kemendagri-minta-gubernur-sumut- selesaikan-sengketa-lahan-lau-cih Penulis:Ariandi

(17)

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum tanah ulayat menurut hukum positif di Indonesia.

2. Untuk mencari dan mengetahui penyebab terjadinya sengketa tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih.

3. Untuk mencari alternatif cara penyelesaian sengketa tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih.

D.Manfaat Peneletian

Berdasarkan adanya latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, penulis juga ingin menuliskan manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penulisan skripsi ini di harap bisa sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata, khususnya tentang perlindungan Hak Ulayat masyarakat adat dan penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi.

2. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu bentuk latihan dalam menyusun suatu karya ilmiah yang ditujukan kepada kalangan Praktisi dan Penegak Hukum serta masyarakat untuk lebih memahami mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah ulayat, mengetahui serta mengetahui upaya atau alternatif apa saja yang dapat di lakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah ulayat.

(18)

E. Keaslian Penelitian

Skripsi ini berjudul : Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Adat Sibayak Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara(PTPN II) adalah judul yang belum pernah dipublikasikan di media manapun.

Berdasarkan penelusuran perpustakaan dan hasil-hasil pembahasan skripsi yang sudah ada manapun yang sedang dilakukan ternyata belum pernah dilakukan pembahasan skripsi yang berjudul diatas dan ini adalah murni hasil penelitian dan pemikiran dalam rangka melengkapi tugas memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada dasarnya belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, meskipun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul.penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan tersebut sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT ANTARA MASYARAKAT ADAT SENAMA NENEK DENGAN PTPN V DI KENEGERIAN SENAMA NENEK KECAMATAN TAPUNG

HULU KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU Skripsi ini ditulis oleh:

Nama : Al Jamil Febriadi Nim : 127011074/M.kn

Departemen : Hukum Kenotariatan Tahun : 2017

(19)

Skripsi ini membahas tentang:

a.Peranan lembaga adat Kenegerian Senama Nenek dalam

hal penyelesaian sengketa tanah hak ulayat yang terjadi antara masyarakat adat Kenegerian Senama Nenek dengan perusahaan PTPN V di

Kenegerian Senama Nenek Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau

b.Penyelesaian sengketa yang dilakukan lembaga adat

Kenegerian Senama Nenek dalam penyelesaian sengketa tanah hak ulayat yang terjadi antara masyarakat adat Kenegerian Senama Nenek dengan perusahaan PTPN V di Kenegerian Senama Nenek Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau

c.Bagaimanakah Status tanah hak ulayat yang semula di kuasai oleh PTPN V di Kenegrian Senama Nenek setelah adanya penyelesaian sengketa yang di lakukan oleh Lembaga Adat Kenegrian Senama Nenek

2. Skripsi yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT

KAUM OLEH MASYARAKAT ADAT DI NAGARI SUPAYANG

KECAMATAN SALIMPAUNG KABUPATEN TANAH DATAR (SENGKETA TANAH KAUM DATUK TIANSO DAN KAUM DATUK CUMANO)

Skripsi ini ditulis oleh:

Nama : Randy Prasatya Nim : 130200520

Departemen :Hukum Keperdataan Tahun : 2017

Universitas Sumatera Utara

(20)

14

Skripsi ini membahas tentang:

a.Penyebab terjadinya sengketa tanah ulayat kaum oleh masyarakat adat di nagari supayang Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar (studi kasus sengketa tanah kaum Datuk Tianso dan kaum Datuk Cumano)

b.Proses penyelesaian sengketa tanah ulayat kaum oleh msyarakat adat di nagari supayang Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar (studi kasus sengketa tanah kaum Datuk Tianso dan kaum Datuk Cumano) ?

3. Tesis yang berjudul UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT DI DESA CULIK KECAMATAN ABANG KABUPATEN KARANGASEM PROPINSI BALI

Tesis ini ditulis oleh:

Nama: Nadira Balqies Nim : 09400017

Departemen: Hukum Keperdataan Tahun : 2013

Tesis ini membahas tentang:

a. gambaran umum desa adat culik kecamatan abang kabupaten Karangasem Provinsi Bali

b.upaya penyelesaian sengketa tanah ulayat di desa adat culik kecamatan abang kabupaten karangasem Provinsi Bali

c.kendala-kendala yang di hadapi dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat di desa culik kabupaten karangasem Provinsi Bali

(21)

F. Tinjauan Pustaka 1. Tanah

Kamus besar bahas Indonesia terbitan pustaka Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, mengemukakan bahwa yang dimaksud tanah adalah lapisan permukaan atau lapisan bumi yang di atas sekali.Pengertian tanah ditinjau dari segi geologis-agronomis.9

Tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas.Dimanfaatkan untuk menanam tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut tanah bangunan.10 Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebahagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebahagian dari ruang yang di atasnya,dengan pembatasan dalam pasal 4, yaitu:sekedar di perlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas- batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.11

2. Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. 12

9 Mohammad Hatta, Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan, Media Abadi,Yogyakarta, 2005, Hlm. 24

10 Y.W Sunindhia, dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria, Bina Aksara, Jakarta.,1988. Hlm 8.

11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 262.

12 Ibid h. 330

(22)

Apabila melihat ketentuan Pasal 16 jo. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), maka macam-macam hak atas tanah dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu hak-hak atas tanah yang akan tetap ada selama UUPA masih berlaku. Macam-macam hak atas tanah yang masuk dalam kelompok ini yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah,dan Hak Memungut Hasil Hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, maksudnya adalah hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo.Pasal 53 UUPA tidak bersifat limitatif, artinya, di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak masih dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-undang.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu Hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu singkat diusahakan akan dihapus sebab mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal, dan yang tidak sesuai dengan jiwa atau asas-asas UUPA. Macam-macam hak atas tanah yang bersifat sementara ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

2. Sengketa Tanah

Sengketa adalah pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak lainya dan atau antara pihak yang satu

(23)

dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang maupun benda.13

Istilah sengketa berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu dispute Sedangkan dalam bahasa belanda disebut dengan istilah geding atau

process.Sementara itu, penggunaan istilah sengketa itu sendiri belum ada kesatuan pandangan dari para ahli. Ada ahli yang menggunakan istilah sengketa, dan ada juga yang menggunakan istilah konflik. Kedua istilah itu sering kali digunakan oleh para ahli.

Richard L. Abel menggunakan istilah sengketa, yaitu melihat dari aspek ketidak cocokan atau ketidak sesuain para pihak tentang sesuatu yang bernilai.

Sesuatu yang bernilai dimaknakan sebagai suatu yang mempunyai harga atau nilai.

Daen G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin menggunakan istilah konflik, yaitu melihat dari perbedaan kepentingan atau tidak dicapainya kesepakatan para pihak.

Yang diartikan dengan perbedaan kepentingan adalah berlainannya keperluan atau kebutuhan dari masing-masing pihak.14

Priyatna Abdulrasyid mengemukakan bahwa dalam setiap sengketa, salah satu pihak mungkin merupakan pihak yang benar, juga kemungkinan memiliki elemen hak hukum satu pihak mungkin benar dalam satu masalah dan pihak lain benar dalam masalahnya lainnya, atau kedua tuntutan pada dasarnya bermanfaat untuk keduanya, atau salah satu pihak mungkin benar secara hukum namun pihak lainya benar secara moral,oleh karena itu sengketa pada dasarnya merupakan

13 Salim, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Di Indonesia, Mataram: Pustaka Reka Cipta, 2012, H. 221.

14 Ibid, H. 219

(24)

perbedaan mendasar menyangkut suatu persepsi atau konsep yang membuat kedua pihak benar jika ditinjau dari sudut yang berbeda.15

Adapun jenis-jenis dari sengketa tanah:

a. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai, atau pendapat,kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.

b. Sengketa batas, yaitu perbedaan, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.

c. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan d. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.

e. Sertifikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat atas hak tanah lebih dari

f. Sertifikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti;

g. Akta jual beli palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

15 Priyatna Abdulrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:

Fikahati Aneska, 2002, H. 6.

(25)

kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.

h. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.

i. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

j. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak.16

G. Metode Penulisan

1. Jenis dan Sifat Penulisan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dan bertujuan untuk menjelaskan penyelesaian sengketa tanah ulayat,khususnya kepada masyarakat adat lau cih dan PTPN II.

Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan Yuridis Normatif yaitu dengan menganalisis permasalahan di dalam penelitian melauli pendekatan terhadap asas-

16 Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Penanganan Kasus Pertanahan, http://www.bpn.go.id., 1 Januari 2017

(26)

asas hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data Penelitian

Data penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.17

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen berupa peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah, dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim yang mengikat.18Dalam penulisan ini diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria(UUPA) dan peraturan- peraturan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas di dalam penulisan skripsi ini.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami atau menganalisis bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yaitu dokumen yang merupakan informasi , hasil kajian, atau bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti. Termasuk pula dalam bahan hukum

17Sumaidi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 39

18Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana PrenadaMediaGroup,2011), hlm. 141

(27)

sekunder adalah wawancara dengan narasumber. Wawancara juga digunakan sebagai pendukung untuk memperjelas bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier

Yaitu dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan keterangan- keterangan maupun bahan yang mendukung dan memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara studi kepustakaan (library research) yang menafsirkan dan membandingkan buku-buku dan bacaan tersebut dengan setiap permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen dan juga dilakukan penelitian lapangan (field research) yang merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh langsung dari responden mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelesain sengketa tanah ulayat antara masyarakat adat lau cih dengan PTPN II.

Pengumpulan data dan informasi ini dilakukan dengan cara metode wawancara.

Wawancara adalah metode pengumpulan melalui percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.19

4. Analisis Data

19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009). hlm. 186

(28)

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data berikut dengan analisisnya. Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan terdiri dari dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus. Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.

H.Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan ditujukan untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari isi skripsi ini dan agar membuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah:

BAB I Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan

BAB II Dalam bab ini membahas bagaimana hak konstitusional masyarakat adat,hak ulayat dalam perundangan-undangan dan kedudukan hukum tanah ulayat dalam hukum positif indonesia

BAB III Dalam bab ini membahas tinjauan masyarakat adat lau cih, ,status tanah yang menjadi objek sengketa antara PTPN II dengan

(29)

Masyarakat Adat Lau Cih dan faktor penyebab sengketa tanah antara PTPN II dengan masyarakat adat lau cih

BAB IV Dalam bab ini membahas bentuk-bentuk penyelesaian sengketa tanah, kendala dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat Masyarakat Adat Lau Cih dengan PT.Perkebunan Nusantara II, dan peran dan upaya pemerintah dan pihak-pihak lainnya dalam upaya penyelesaian sengketa tanah antara PT.Perkebunan Nusantara II dengan Masyarakat Adat Lau Cih

BAB V Bab ini memuat intisari dari bab-bab sebelumnya dan jawaban atas pokok-pokok permasalahan dalam penulisan ini. Selain itu, penulis juga akan mengemukakan saran-saran mengenai permasalahan- permasalahan yang telah dibahas dan dipaparkan di atas agar dapat digunakan dan menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang membahas terhadap penyelesaian sengketa tanah ulayat masyarakat adat lau cih dengan PTPN II

(30)

HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Hak Konstitusional Masyarakat Adat

Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk paling tidak merujuk kepada empat jenis masyarakat asli yang ada di dalam negara- bangsa Indonesia. Dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenal Masyarakat Hukum Adat, tetapi dalam perkembangan terakhir, masyarakat asli Indonesia menolak dikelompokkan sedemikian mengingat perihal adat tidak hanya menyangkut hukum, tetapi mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan.20

Pengertian Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini adalah komunitas- komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu (wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.21

Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adalah badan hukum yang bersifat“Gemeenschaap” yaitu persekutuan hukum yang terbentuk secara alamiah karena perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan politik bukan

“verenigingen”yang terbentuk dengan sengaja untuk kepentingan-kepentingan ekonomi an sich anggota-anggotanya. Sebagai Badan Hukum Masyarakat adat yang mempunyai hak-hak (kewenangan) yang bersifat publik.22

20 http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat_adat

21 http://masyarakatadat.org/id/galeri/film/masyarakat-adat-di-indonesia.html

22 Masyarakat hukum adat mempunyai hak-hak "ke(enangan# yang bersifat publik

(31)

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama satu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. R. Supomo dan Hazairin berpendapat bahwa Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.23

Menurut Ter Haar, Masyarakat adat terdiri dari faktor teritorial (daerah) dan geologis (keturunan). Masayarakat adat teritorial adalah masyarakat adat berdasarkan lingkungan daerah, apakah di dalam lingkungan daerah persekutuan atau tidak,sedangkan masyarakat adat berdasarkan genealogis adalah persekutuan masyarakat adat berdasarkan sautau keturunan (keluarga). Keanggotaan persekutuan seorang bergantung pada apakah seorang itu masuk dalam satu keturunan yang sama atau tidak. Ter Haar mengemukakan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal tersebut merupakan kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus

23 http://tesishukum.com/pengertian-hukum-adat-menurut-para-ahli/

(32)

sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaa dan milik gaib. Golongan- golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum. Inti perumusan Ter Haar dapat dikemukakan bahwa masyarakat hukum (persekutuan Hukum) adalah

a. Kesatuan manusai yang teratur, b. Menetap di suatu daerah tertentu c. Mempunyai penguasa-penguasa

d. Mempunyai kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud.24

Para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di anatara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecendrungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.25

Penelusuran sejarah dan analisis normatif hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik dab feodalistik.26Asas domein verkelaring yang menyertainya jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.27Pasca proklamasi kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia mendapat banyak tuntutan untuk memperbaharui hukum agraria nasional. Seperti Pasal II Aturan peralihan UUD 1945 yang menentukan,bahwa peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat memproduk hukum-hukum

24http://yessysca.blogspot.co.id/2011/06/tangkuman-hukum-adat-karangan- soerojo.html?m=1, Terjemahan dari Beginselen en stelsel van het adatrecht, Hlm.15

25 Prof. Bushar Muhammad, S.H.,1975, Asas-asas hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta: Hlm. 21-22

26 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. 2011. hlm 119

27 Ibid.

(33)

baru sesuai dengan jiwa kemederkaan.28Pasal ini mempunyai pengaruh penting dalam politik agraria nasional.

Soepomo dalam pidatonya yang terkenal pada tahun 1947 ia mengemukakan bahwa untuk Negara Indonesia yang baru dibangun harus ada satu hukum nasional dan hukum nasional itu menurut pendapatnya hukum adat harus menduduki tempat yang penting. Hal ini kemudian menjadi dasar bahwa sebagaimana halnya dengan negara-negara yang termasuk dalam kelompok “Civil Law Countries” ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku dalam negara dituangkan dalam bentuk Undang- Undang.29

Konstitusi telah memberikan ruang khusus terhadap keberadaan Masyarakat adat dalam UUD 1945 (setelah amandemen) yang tertuang dalam Pasal 18 B Ayat(2),yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Ketentuan dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tersebut menyatakan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengakuan masyarakat adat, yaitu:

1) Sepanjang masih hidup, persayaratan ini tentu harus dilihat dari dalam dan dari luar masyarakat adat itu sendiri, dengan begitu maka akan terlihat eksistensi dan partisipatif masyarakat adat dalam membangun kehidupan sosialnya.

2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat, persyaratan ini tidak hanya dilihat dari konteks politik dan ekonomi saja melainkan lebih dalam pada kehidupan masyarakat adat itu sendiri. Persyaratan ini sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk berkembang dengan bebas yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat adat itu sendiri dalam menghadapi perkembangan kehidupan sosial

28 Ibid.

29Supriyoko, Ki (ed.) Pendidikan Multikultural dan Revitalisasi Hukum Adat, dalam Perspektif Sejarah, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala TahunTerbit : Juli 2005. hlm.39

(34)

masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat pada umumnya.

3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan, keberagaman budaya, suku, ras,dan agama adalah wajah Indonesia dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika yang merupakan kekayaan nasional. Masyarakat adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari NKRI, oleh karenanya keduanya haruslah saling melengkapi.

4) Pengakuan tersebut diatur dalam undang-undang, persyaratan ini berdasarkan pada prinsip negara hukum. Dimana semua aktifitas kehidupan berbangsa dan bernegara diatur dan dilaksanakan berdasarkan hukum.

Rikardo Simarmata30menyatakan empat persyaratan terhadap masyarakat adat dalam UUD 1945 setelah amandemen memiliki sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Sedangkan menurut F. Budi Hardiman31pengakuan bersyarat itu memiliki paradigma subjek-sentris, paternalistik, asimetris, dan monogal, seperti Negara Mengakui, Negera Menghormati, Sepanjang sesuai dengan prinsip NKRI yang mengandaikan peranan besar negara untuk mendefinisikan,mengakui, mengesahkan, melegitimasi eksistensi, sepanjang masyarakat adat mau ditaklukan di bawah regulasi negara atau dengan kata lain dijinakan. Paradigma seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dan otonomi yang ada dalam demokrasi.

Menurut Satjipto Rahardjo32, empat persyaratan dalam Pasal 18B ayat (2) sebagai bentuk kekuasaan negara yang hegemonial yang menentukan ada atau tidaknya masyarakat adat. Negara ingin mencampuri, mengatur semuanya, mendefinisikan,membagi, melakukan pengkotakan, yang semuanya dilakukan oleh menurut pemegang kekuasaan negara. Sedangkan menurut Soetandyo Wignjosoebroto33empat persyaratan itu baik ipso facto maupun ipso jure akan gampang ditafsirkan sebagai pengakuan yang dimohonkan, dengan beban

30 Yance Arizona,Satu Dekade Legislasi Masyaraka Adat: Trend legislasi nasional tentang keberadaan dan hak‐hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia (1999-2009).

31 Ibid.

32 Ibid.

33 Ibid.

(35)

pembuktian akan masih eksisnya masyarakat adat itu oleh masyarakat adat itu sendiri, dengan kebijakan untuk mengakui atau tidak mengakui secara sepihak berada ditangan kekuasaan pemerintah pusat.

Ketentuan mengenai masyarakat adat berikutnya terkait dnegan kebudayaan dan hak-hak tradisional yang tertuang dalam Pasal 28 I ayat (3) menegaskan bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa negara mempunyai tugas untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesiadi tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ketentuan tersebut dipertegas kembali dalam Pasal 32 Ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Hak-hak konstitusional masyarakat adat menurut Komisi Hak Asasi Manusia dan Konvensi International Labour Organization (ILO) Tahun 1986 meliputi:34

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri 2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan

3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat dan keamanan ekonomi 4. Hak atas pendidikan

5. Hak atas pekerjaan 6. Hak anak;

7. Hak pekerja;

34 Jawahir Thontowi, dkk. Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (Mha): Perspektif Hukum DanKeadilan Terkait Dengan Status MHA Dan Hak - Hak Konstitusionalnya. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2012

(36)

8. Hak minoritas dan masyarakat adat;

9. Hak atas tanah;

10. Hak atas persamaan;

11. Hak atas perlindungan lingkungan;

12. Hak atas administrasi pemerintahan yang baik;

13. Hak atas penegakan hukum yang adil

Berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 dan konvensi ILO 1986 tersebut negara mempunyai tanggungjawab dan kewajiban untuk mengakui, menghormati dan menjamin pemenuhan hak-hak kesatuan masyarakat adat yang keberadaannyamasih ada dan masih relevan dengan perkembangan sosial masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan.

B. Hak Ulayat dalam Perundang-Undangan

Masyarakat adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu Hak Ulayat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UUPA:

“Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 3 dinyatakan bahwa;

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan uu dan peraturan lain yang lebih tinggi.”

Hak Ulayat adalah seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dala lingkungan wilayahnya. Hak Ulayat memiliki dua unsur, yakni unsur kepunyaan yang termasuk kewajiban-kewajiban hukum perdata di dalamnya dan unsur-unsur kewenangan

(37)

untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang termasuk di bidang hukum.35

Hak Ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan hukum ada yang berbahasa belanda, mengikuti penamaannya oleh Van Vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat mengandung dua unsur yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.36

Hukum adat hidup dan berkembang sesuai dengan tatanan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dipatuhinya sebagai sebuah kebenaran, termasuk dalam hal ini adalah norma-norma adat dalam konsep penguasaan tanah.

Masyarakat hukum adat menganal tanah yang ditempatinya tidak saja sebagai sebuah benda yang bernilai ekonomi akan tetapi tanah dalam alam berfikir masyarakat adat juga merupakan benda yang memiliki nilai magis. Tanah dalam konsep hukum adat merupakan harga diri, dimana ditanah tersebut dimakamkan para leluhur masyarakat adat, ditanah tersebut mereka hidup dan berkembang, Kedekatan antara masyarakat adat dengan tanah yang menghidupinya menimbulkan hubungan emosional yang sangat erat. Budaya, etnis, tradisi nilai-nilai msyarakat adat berkembang sesuai dengan kedekatan masyarakat adat pada alam

35 Siti Zumrokhatun & Darda Syahrizal, 2014, Undang-Undang Agraria dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Semarang: Hlm. 75

36 Supriadi, Op.Cit ,Hlm. 61

(38)

lengkungannya yang dalam hal ini juga termasuk tanah yang telah menghidupi mereka. 37

Hubungan msyarakat hukum adat dengan tanah yang sangat erat tersebut diartikan sebagai hubungan yang serba berpasangan (particepeeren deneken).

Hubungan antara manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain di satu pihak dan tanah di pihak yang lain yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan, dan menajdi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya hidup. Termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya bergantung padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya serta berpasangan dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking).38

Dalam konsep penguasaan tanah menurut hukum Adat, penguasaan tanah dan pemilikan tanah berhimpitan apabila orang berbicara tentang hak milik atau kepunyaannya, maka yang dimaksudkan olehnya adalah barang yang dikuasai sepenunhnya dan yang dapat dinikmati sepenuhnya pula. Selain itu, tidak dibedakan antara benda yang menjadi objek hak milik dengan hak atas benda tersebut. Benda yang dikuasai itulah yang merupakan tanda bukti miliknya.39

a. Terciptanya Hak Ulayat

Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau sesuatu kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugrahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan

37Fikky Fuad, Artikel, Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Agraria di Indonesia, Hlm. 47

38 Ibid., Hlm. 48

39 Ibid.

(39)

kelompok tertentu. Bagi masyarakat hukum adat, hak ulayat dapat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya dan menjadi masyarakat hukum adat baru yang mandiri dengan sebagian wilayah induknya sebagai tanah ulayatnya.

b. Pemegang hak ulayat

Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang terjadi karena teritorial dalam artian para warganya bertempat tinggal di wilayah yang sama, namun ada pula yang karena genealogi yang dimana warga terikat karena pertalian darah.

c. Tanah yang menjadi objek

Tanah yang menjadi objek adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat teritorial yang bersangkutan. Dan dapat diketahui secara mudah dengan batas-batas wilayah tanah ulayatnya.40

Dalam hukum adat juga mengatur hubungan antara ketua adat, masyarakat dan Individu-individu sebagai anggota masyarakat dengan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Menurut konsepsi hukum adat, tanah menjadi milik bersama masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hak ulayat yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Hak ulayat ini merupakan hak yang tertinggi kedudukannya:41

a. Unsur Kepunyaan yaitu semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan.

b. Unsur kewenangan yaitu untuk mengatur, merencanakan dan memimpin penggunaannya yang dilimpahkan kepada seorang Kepala Adat.

40 Siti Zumrokhatun & Darda Syahrizal, Op.Cit Hlm. 75

41 Samun Ismaya, 2011,Pengantar hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta: Hlm. 49

(40)

C.Kedudukan Hukum Tanah Ulayat Dalam Hukum Positif Indonesia 1. Hakekat Kepemilikan Tanah dalam Hukum Positif di Indonesia

Dalam hal kepemilikan tanah, konsepsi hukum tanah nasional menyatakan tanah di seluruh Indonesia adalah milik Bangsa Indonesia, yang sekaligus menjadi simbol kesatuan bagi keutuhan bangsa dan negara, karenanya tidak dapat diperjual belikan atau diperdagangkan, tidak boleh dijadikan objek penguasaan yang menimbulkan disintegrasi bangsa.42di dalam UUPA disebutkan bahwa dalam konsepsi kepemilikan terdapat unsur komunalistik religious, artinya ketentuan hukum Indonesia melihat bahwa tanah itu adalah milik bersama yang diberikan oleh Sang Pencipta guna kesejahteraan masyarakat, berarti Indonesia mengatur prinsip Negara kesejahteraan.43Oleh karena itu, terdapat terminology “hak menguasai oleh Negara”, yang merupakan hak menguasasi tertinggi. Hak menguasai ini memberikan kewenangan pada Negara untuk mengelola bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.44Dengan demikian, maka di samping terminology kepemilikan terdapat juga terminology penguasaan, yang memiliki makna lebih luas dari kepemilikan. Hak penguasaan atas tanah apabila sudah dihubungkan dengan suatu tanah tertentu, maka yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai

42 Gita Zilfa, “Jenis-jenis Hak Atas Kepemilikan Tanah di Indonesia dan Pelepasan hak milik atas tanah kepada Penanam Modal Asing

43 Rosmidah, “Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia”, Inovatif: Jurnal Ilmu Hukum, 2013, h. 72.

44 Agus Surono, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T), (Jakarta: FH-Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013), h. 2.

(41)

hak.45Oleh karena itu, dalam konteks ini dimungkinkan seseorang hanya menguasai secara yuridis saja, tanpa penguasaan fisik. Penguasaan yuridis dimaksudkan sebagai kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, meskipun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.46Ini semisal kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang pemilik tanah.47

Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, yaitu:

1. Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, semata-mata beraspek publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat disebut dalam Pasal 3 UUPA beraspek perdata dan publik.

4. Hak-hak Perorangan atau Individu, semuanya beraspek Perdata terdiri atas:

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individu yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 UUPAdan Pasal 53 UUPA.

b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan sebagaimana dalam Pasal 49 UUPA.

45 Boedi Harsono, Op.Cit h. 23.

46 Rosmidah, Op.Cit, h. 71.

47 Boedi Harsono, Op,Cit, h. 23.

(42)

c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut dengan hak tanggungan, sebagaimana dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA.48

2. Hak Atas Tanah dalam dalam Hukum Positif di Indonesia

Sebutan nama hak atas tanah dalam UUPA merupakan nama lembaga- lembaga baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari lembaga-lembaga hak-hak atas tanah dari perangkat-perangkat hukum tanah yang lama. Lembaga-lembaga hak atas tanah yang lama sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 dan terjadinya unifikasi hukum tanah, sudah tidak ada lagi. Sedangkan hak-hak atas tanah yang lama sebagai hubungan hukum konkret sejak 24 September 1960 dikonversi oleh UUPA atau diubah menjadi salah satu hak yang baru dari hukum tanah nasional.49

“Hak atas tanah” merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang menjadiaknya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.50Inilah yang harus diperhatikan, bahwa selain kewenangan- kewenangan yang ada pada hak atas tanah, hak atas tanah juga berisikan kewajiban- kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang bersangkutan.

Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut, yang bersifat umum, artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah yakni:

a. Pasal 6, yang menyatakan, bahwa; semua hak atas tanah mempunyai fungsi social;

48 Muwahid, Pokok-pokok Hukum Agraria di Indonesia (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2016), h. 11.

49 Rosmidah, Op.Cit, h. 72.

50 Boedi Harsono, Op.Cit, h. 24.

(43)

b. Pasal 15 dihubungkan dengan Pasal 52 ayat 1 tentang kewajiban memelihara tanah yang dihaki; dan

c. Pasal 10 khusus mengenai tanah pertanian, yaitu kewajiban bagi pihak yang mempunyainya untuk mengerjakan atau mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif.51

3. Landasan Yuridis Hak Tanah Adat

Salah satu Hasil amandemen UUD 1945 adalah Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) yang terkait dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang.” Lebih lanjut Pasal 28 I Ayat (3) menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.52

dalam UUPA juga mengakui keberadaan hak ulayat. Ini bisa dilihat dalam Pasal 3 UUPA:

“Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

dengan demikian UUPA memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat, yaitu:

a. Syarat eksistensinya (keberadaannya), yaitu tanah hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Artinya bahwa di daerah yang semula ada tanah hak ulayat, namun dalam perkembangan selanjutnya, hak milik perorangan menjadi kuat, sehingga menyebabkan hilangnya tanah hak ulayat, maka tanah hak ulayat

51 Rosmidah, Op.Cit, h. 73.

52 Rosmidah, Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, h. 94

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi dengan judul “Proses Mediasi Pada Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi Kasus pada Konflik Pertanahan PT. Nusa Pusaka Kencana Bahilang dengan

Penyelesaian Sengketa Alternatif yang bisa dilakukan dalam Menyelesaiakan Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Adat dengan Pemerintah di atas Tanah Register 40

Setelah mempelajari dari Peraturan- peraturan yang menyangkut Bidang Pertanahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan / dilaksanakan baik oleh Tim B Plus sebelumnya dan

Organisasi kemasyarakatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi yang membantu masyarakat rakyat penunggu dalam konflik dengan PTPN II seperti, BPRPI

Berdasarkan kaca mata penulis, masyarakat yang berkonflik tersebut datang ke MUI Kota Medan untuk meminta bantuan penyelesaian konflik warisan yang terjadi pada

Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat desa Ikhwan Kecamatan Dumoga Barat Kabupaten Bolaang Mongondow tergolong pada konflik horizontal yakni konflik yang terjadi

Kampung Ongko Asa yang berada di Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat merupakan kampung yang memiliki konflik pertanahan yang sangat sering terjadi dibandingkan

Hal tersebut menyebabkan masyarakat melakukan perusakan terhadap rumah karyawan pabrik, 125 rumah dilaporkan rusak, 5 mobil pickup, 5 sepeda motor, satu mini market, satu stasiun radio