• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DALAM MEMPERTAHANKAN TANAH ADAT (STUDI ETNOGRAFI KONFLIK AGRARIA PERKEBUNAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DALAM MEMPERTAHANKAN TANAH ADAT (STUDI ETNOGRAFI KONFLIK AGRARIA PERKEBUNAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DALAM MEMPERTAHANKAN TANAH ADAT (STUDI ETNOGRAFI KONFLIK

AGRARIA PERKEBUNAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DESA BANGUN REJO DENGAN PTPN II)

SKRIPSI

Disusun Oleh : Trias Yunita Tampubolon

Nim : 1709010

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2022

(2)

PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DALAM MEMPERTAHANKAN TANAH ADAT (STUDI ETNOGRAFI KONFLIK

AGRARIA PERKEBUNAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DESA BANGUN REJO DENGAN PTPN II)

SKRIPSI

Diajukan Oleh : Trias Yunita Tampubolon

Nim : 1709010

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2022

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU DALAM MEMPERTAHANKAN TANAH ADAT (STUDI ETNOGRAFI KONFLIK

AGRARIA PERKEBUNAN MASYARAKAT ADAT RAKYAT PENUNGGU KAMPUNG BANGUN REJO DENGAN PTPN II)

Sepanjang tahun 2020 terdapat 241 kasus konflik agraria, dan perkebunan menjadi sektor tertinggi sebanyak 122 diseluruh Indonesia. Perbedaan kepentingan atas fungsi tanah memicu konflik yang tidak terlepas dari pelanggaran HAM, dan kerugian dari kedua pihak antara masyarakat adat dengan pihak perkebunan. Tingginya konflik agraria perkebunan adalah bukti sistem dan praktik-praktik perkebunan di Indonesia mengandung masalah struktural yang krusial dan sistematis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor pemicu atau penyebab terjadinya konflik perkebunan, dan mengetahui serta memahami perjuangan atau upaya masyarakat adat rakyat penunggu mempertahankan tanah adatnya dalam arena konflik perkebunan antara masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Landasan teori yang digunakan adalah teori konflik Ralf Dahrendorf dan sebagai kerangka analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab konflik antara masyarakat rakyat penunggu Bangun Rejo dengan PTPN disebabkan oleh perpanjangan HGU atas lahan sengketa, data wilayah adat kebun yang belum tervalidasi, pemahaman masyarakat adat dalam aturan hukum terkait pentingnya legalitas keberadaan masyarakat adat disuatu wilayah, serta pengakuan utuh atas perlindungan dan hak masyarakat adat. Hasil penelitian juga menunjukkan perjuangan masyarakat dilakukan dengan meminta bantuan perlindungan dari organisasi masyarakat adat seperti AMAN, Perempuan Adat AMAN, dan BPRPI dalam proses penyelesaian sengketa tanah, serta perjuangan dari elemen masyarakat adat seperti aksi demonstrasi, pendirian posko pertahanan lahan, dan tolong menolong antarwarga bersama tokoh adat, Perempuan Adat, dan Kelompok Tani Sinembah Makmur Jaya. Pertentangan, perbedaan kepentingan serta kebutuhan yang diperjuangkan antara masyarakat dengan PTPN II bagian dari usaha mendapatkan tujuan dan disebut sebagai konflik. Dalam konflik tersebut terdapat perpecahan, kerugian, tujuan, wewenang dan otoritas, antara kedua belah pihak. Konflik yang timbul melahirkan ketegangan-ketegangan seperti dominasi, kekuasaan dan kekerasan.

Kata Kunci: Masyarakat Adat, Konflik Agraria Perkebunan

(7)

ABSTRACT

THE STRUGGLE OF THE INDIGENOUS PEOPLES OF THE WAITING PEOPLE IN DEFENDING THE INDIGENOUS LAND (ETHNOGRAPHIC STUDI OF AGRARIAN CONFLICT PLANTATION OF INDIGENOUS

PEOPLES IN THE VILLAGE OF BANGUN REJO WITH PTPN II)

Throughout 2020 there were 241 cases of agrarian conflict, and plantations became the highest sector with 122 throughout Indonesia. Differences in interests over land functions trigger conflicts that cannot be separated from human rights violations, and losses from both parties between indigenous peoples and plantation parties. The high level of plantation agrarian conflicts is proof that plantation systems and practices in Indonesia contain crucial and systematic structural problems. This study aims to determine the triggering factors or causes of plantation conflicts, and to know and understand the struggles or efforts of the Penunggu indigenous peoples to defend their customary lands in the plantation conflict arena between the Penunggu indigenous peoples and PTPN II. The research method used is qualitative research with an ethnographic approach. Data collection techniques were carried out using participatory observation methods, in-depth interviews, and documentation. The theoretical basis used is Ralf Dahrendorf's conflict theory and as an analytical framework. The results showed that the factors causing the conflict between the people who waited for Bangun Rejo and PTPN were due to the extension of the HGU over the disputed land, the data on customary plantation areas that had not been validated, the understanding of indigenous peoples in the rule of law regarding the importance of the legality of the existence of indigenous peoples in an area, as well as complete recognition of protection and rights of indigenous peoples. The results of the study also show that community struggles are carried out by asking for protection assistance from indigenous community organizations such as AMAN, AMAN Indigenous Women, and BPRPI in the process of resolving land disputes, as well as struggles from elements of indigenous peoples such as demonstrations, establishment of land defense posts, and mutual assistance among residents together. traditional leaders, Indigenous Women, and the Sinembah Makmur Jaya Farmers Group.

Conflicts, differences in interests and needs that are fought for between the community and PTPN II are part of the effort to achieve goals and are referred to as conflicts. In the conflict there are divisions, losses, goals, authority and authority, between the two parties. The conflicts that arise give rise to tensions such as domination, power and violence.

Keywords: Indigenous Peoples, Plantation Agrarian Conflict

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perjuangan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Dalam Mempertahankan Tanah Adat (Studi Etnografi Konflik Agraria Perkebunan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampung Bangun Rejo Dengan PTPN II)”.

Skripsi ini menjelaskan dan menggambarkan perjuangan masyarakat adat rakyat penunggu Bangun Rejo dalam mempertahankan tanah adatnya dari konflik agraria perkebunan dengan PTPN II, khususnya okupasi lahan yang terjadi pada tahun 2017. Selama proses penulisan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan, saran, kritik, dukungan moril ataupun materil, motivasi, dan penyemangat yang telah diberikan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari tanpa dukungan tersebut, skripsi ini tidak akan dapat berjalan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, MSP selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Linda Elida, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi dan juga sebagai ketua penguji pada siding meja hijau saya, sekaligus

(9)

merupakan dosen yang selalu memberi ilmu bermanfaat selama penulis berkuliah di Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan waktu, tenaga, ide, arahan, masukan dan pengetahuan yang luar biasa dan proses pembimbingan yang menyenangkan selama penulisan skripsi ini, terimakasih atas kesabaran bapak dalam membimbing penulis. Penulis merasa sangat beruntung mendapatkan kesempatan menjadi salah satu anak bimbingan bapak.

6. Bapak Drs. Muba Simanihuruk M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan kepedulian yang mendalam terhadap penulis untuk proses yang membangun dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Dra. Ria Manurung, M,Si selaku dosen penasehat akademik, yang selalu membimbing, masukan dan motivasi kepada penulis selama berkuliah.

8. Seluruh dosen di Departemen Sosiologi yang telah membekali, memberikan ilmu, mengarahkan, dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.

9. Staf dan karyawan Departemen Sosiologi, Kak Ernita dan Bang Abel yang selalu penulis sibukkan dengan urusan berkas-berkas sejak awal berkuliah hingga saat ini.

10. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk (Alm) kedua orang tua penulis, mamak (Acu Herfina) dan bapak (M.F.Aziz Tampubolon) yang luar biasa jasa dan

(10)

pengorbanannya selama penulis bersama mereka. Sekaligus Kakak (Debora Fransiska Tampubolon dan Maria Tampubolon), dan Adik (Immanuel Tampubolon) yang penulis sayangi yang selalu berjuang memberikan semangat, doa serta dukungan hingga skripsi ini dapat selesai. Penulis ucapkan terima kasih.

11. Para sahabat saya Christin Tiolina Napitupulu, dan Cindy Marito Sitinjak. Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan tercapai segala cita-citanya.

12. Teman saya Berton Ranto Simamora sekaligus sahabat dan partner kuliah, yang sudah berjuang membantu dan menemani penulis selama kuliah dan menyusun skripsi. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan tercapai segala cita-citanya.

13. Teman seperjuangan saya Rapita Sari Hutabarat, Eva Marpaung, Elsa Febriana Sidauruk, Mei Marbun, Febriani Siburian, Reba Sitanggang, Elma Lili Berutu, Eklesya Simatupang, Dewi Sitorus, Jochelin, Tria Agustina, Evanita, Ayaki Padang, dan Indah yang selalu membantu ketika penulis membutuhkan, yang tanpa sengaja penulis temukan di sosiologi FISIP USU yang menjadi tempat bagi penulis untuk bertukar pikiran, belajar, dan selalu memberi pengalaman berharga. Penulis ucapkan rasa terimakasih atas setiap moment, pengalaman, dan waktu yang berharga.

14. Teman-teman Sosiologi FISIP USU stambuk 2017 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

15. Teman-teman GMKI FISIP USU yang menjadi tempat bagi penulis untuk tumbuh dan belajar. Terkhusus tim panitia LDK, PKK (Leo

(11)

Adymulia Simamora, Andre Butar-Butar, Bunga Sitorus dan Anrickson Sarumpaet).

16. Para senioran GMKI FISIP USU Abangda Piki Darma Pardede, Yunisari Theresia Zalukhu, Lita Winda, Corry, yang selalu ada bagi penulis dan memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pribadi penulis dalam berproses.

17. Para informan yang sudah mengizinkan penulis untuk mau berbagi cerita dan pengalamannya, meluangkan waktu untuk dapat wawancara dengan penulis bahkan dalam kondisi dan situasi yang sulit, dan bersedia membantu penulis dalam pengumpulan data terkait skripsi yang dikerjakan.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna kepada seluruh pembaca. Atas dukungan dari pihak-pihak tersebut, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan,10 Januari 2022 Penulis

Trias Yunita Tampubolon 170901044

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Batasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 9

1.6 Definisi Konsep ... 10

1.6.1 Masyarakat Adat ... 10

1.6.2 Organisasi Masyarakat ... 11

1.6.3 Tanah Adat ... 11

1.6.4 Konflik Agraria Perkebunan ... 12

1.6.5 Perjuangan Masyarakat Adat ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

2.1 Teori Masyarakat Adat... 14

2.2 Masyarakat Adat Rakyat Penunggu ... 20

2.3 Tanah Adat ... 25

2.4 Konflik Agraria Perkebunan MARP ... 26

2.5 Penelitian Terdahulu ... 30

2.6 Kerangka Konsep Pemikiran ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Lokasi Penelitian ... 39

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 39

3.3.1 Unit Analisis ... 39

3.3.2 Informan ... 39

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.4.1 Data Primer ... 42

3.4.2 Data Sekunder... 45

3.5 Interpretasi Data ... 46

3.6 Jadwal Kegiatan ... 46

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 47

BAB IV PEMBAHASAN ... 48

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 48

4.1.1 Sejarah Singkat Kecamatan Tanjung Morawa ... 48

(13)

4.1.2 Kondisi Geografis Desa Bangun Rejo ... 49

4.1.3 Kondisi Monografis Desa Bangun Rejo ... 50

4.1.4 Areal Lahan Pertanian ... 52

4.1.5 Sejarah Tanah Adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu ... 54

4.2 Profil Informan ... 61

4.2.1 Informan MARP ... 61

4.2.2 Informan Tokoh Adat ... 68

4.2.3 Informan BPRPI ... 70

4.2.4 Informan Perempuan Adat AMAN ... 72

4.2.5 Informan Tambahan ... 74

4.3 Faktor Pemicu atau Penyebab Terjadinya Konflik Agraria Perkebunan Antara Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Dengan PTPN II ... 76

4.3.1 Kronologis Kejadian Konflik dengan PTPN II ... 76

4.3.2 Perpanjangan HGU Atas Lahan ... 79

4.3.3 Data Tentang Wilayah Adat ... 84

4.3.4 Pemahaman dan Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Aturan Hukum ... 88

4.3.5 Pengakuan Utuh Atas Hak Masyarakat Adat Dan Wilayahnya ... 91

4.4 Perjuangan dan Upaya-upaya Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Mempertahankan Tanah Adatnya dalam Arena Konflik Agraria Perkebunan Dengan PTPN II ... 93

4.4.1 Perjuangan Lahan ... 93

4.4.2 Penghadangan dan Aksi Demonstrasi ... 94

4.4.3 Penjagaan Lahan – Pendirian Posko Pertahanan ... 98

4.4.4 Peran Tokoh Adat, Perempuan Adat AMAN dan Kelompok Tani Sinembah Makmur Jaya ... 100

4.4.5 Peran Badan Perjuangan Rakyat Penunggu (BPRPI) ... 102

4.4.6 Berjuang Melalui Jalur Hukum dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ... 107

4.5 Teori Konflik dalam Sengketa Antara PTPN II Dengan Marp Bangun Rejo ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

5.1 Kesimpulan ... 117

5.2 Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

LAMPIRAN ... ...124

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Per Dusun dan Jenis Kelamin... 50 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Dan

Jenis Kelamin ... 51 Tabel 4.3 Profil Informan ... 76

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Gambar Kecamatan Tanjung Morawa ... 48

Gambar 4.2 Peta Wilayah Desa Bangun Rejo ... 49

Gambar 4.3 Wilayah HGU dan Lahan Bertani Masyarakat ... 53

Gambar 4.4 Surat Perjanjian Kontrak ... 77

Gambar 4.5 Status Pengakuan Wilayah Adat Indonesia ... 85

Gambar 4.6 Peta Wilayah Adat Kampong Bangun Rejo ... 86

Gambar 4.7 Registrasi Wilayah Adat Kampong Bangun Rejo ... 87

Gambar 4.8 Penghadangan Masyarakat di Lahan Okupasi ... 97

Gambar 4.9 Posko Masyarakat Ketika Konflik ... 99

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Pedoman Wawancara ... 124

Lampiran Dokumentasi Penelitian ... 127

Lampiran Status Pengakuan Wilayah Adat Di Indonesia ... 135

Lampiran Surat Perjanjian Kontrak (Van Concessie) ... 136

(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki kondisi lingkungan geografis yang menjadi sumber daya alam, budaya, ras, suku, dan agama yang berbeda-beda (Cultural Diversity). Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 jumlah penduduk Indonesia pada 2019 sebanyak 267 juta jiwa (Tempo, 2020). Jumlah tersebut terpencar diseluruh daerah dengan kharakteristik masyarakat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah adanya eksistensi masyarakat adat yang terpencar diseluruh penjuru wilayah.

Diskursus masyarakat adat selalu dihadapkan dengan ketidakmampuan masyarakat dalam membuktikan hak-hak kepemilikannya, dan banyaknya konflik yang timbul terutama berkaitan dengan hak-hak masyarakat tersebut. Hal ini menjadi problema dan perbincangan banyak kalangan karena berdampak pada kesetaraan dan hak asasi manusia termasuk kepada masyarakat adat.

Perundangan dibentuk untuk membangun suatu negara bangsa yang dapat menghormati keberagaman sistem sosial masyarakat Indonesia beserta haknya.

Perundangan membuat adanya konstitusional bersyarat atas pengakuan hak masyarakat adat. Undang-undang sektoral seperti UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), UU No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, dan lainnya adalah cara pemerintah menilai keberadaan masyarakat adat dan menetapkan kriteria bagi masyarakat adat. Hal ini juga menjadi kesulitan bagi masyarakat adat dalam mengimplementasikan konsep, pengakuan, dan perlindungan penuh atas eksistensi mereka, karena belum adanya sinkronisasi mengenai kriteria yang harus diikuti.

1

(18)

Secara konstitusional, Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Masyarakat adat dalam konteks kebudayaan mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. Masyarakat adat adalah istilah umum yang digunakan untuk menggolongkan kelompok-kelompok masyarakat dengan kesamaan kharakteristik seperti kesamaan asal usul, tanah, wilayah, sumber daya alam, dan identitas budaya yang khas (AMAN, 2013). Konsep ini mengacu pada kharaktersitik kemasyarakatan yang memiliki ciri-ciri tertentu atas dasar keturunan maupun daerah asal (tempat tinggal).

Eksistensi masyarakat adat berkaitan dengan tanah adat. Tanah bagi masyarakat adat dapat dikatakan sebagai sumber kehidupan sosial, budaya, spiritual, politik, ekonomi, dan identitas (Bosko, 2006). Tanah menjadi sarana produksi bagi pendapatan dan sumber pangan, tanah dapat menentukan status seseorang dalam pengambilan keputusan (politis), modal budaya untuk menentukan tinggi rendahnya status sosial, serta bermakna sakral (Heru Nugroho, 2001:237).

Pentingnya fungsi tanah dan perbedaan kepentingan serta kebutuhan pihak yang ingin memiliki dan mengolah tanah disuatu wilayah memicu adanya konflik.

Konflik ini muncul dan masih berlangsung serta penting dikaji adalah konflik terkait perebutan lahan atau tanah yang disebut dengan konflik agraria perkebunan. Alasan yang paling sering terjadi didalam konflik agraria perkebunan disebabkan oleh data administrasi mengenai data hutan adat (termasuk didalamnya

(19)

batas-batas tanah adat) yang tidak ada dan belum jelas atau belum transparan, sehingga konflik ini terus terjadi antara masyarakat adat dengan pihak kepentingan atas tanah (Kompas.com, 2021). Pengakuan utuh atas hak masyarakat adat dan wilayahnya secara perundangan yang masih menjadi pembahasan juga menyebabkan rentannya masyarakat adat berkonflik dengan negara. Pola konflik agraria perkebunan yang sering dialami oleh masyarakat adat di Sumatra Utara disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai riwayat perolehan tanah antara pandangan yuridis dengan sejarah masa lalu masyarakat adat dan tanah garapan leluhur yang berasal dari tanah perkebunan bekas Hak Erpacht dan konsesi khususnya di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli, yang dimiliki pemerintah Belanda dan dinasionalisasi menjadi perkebunan pemerintah RI/Perkebunan Milik Negara/PTPN sehingga terjadi klaim/okupasi, tuntutan masyarakat terhadap tanah garapan leluhur yang diklaim tapi belum mendapat ganti rugi, serta tumpang tindih atas SHGU.

Kasus pertanahan di Sumatra Utara terkait HGU telah dilakukan beberapa upaya seperti melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian BUMN. Konflik pertanahan di Sumatra Utara umumnya memerlukan urgensi pendataan ulang dan verifikasi/permohonan yang disampaikan oleh kelompok masyarakat sebagai pemohon/penuntut, untuk memperoleh kebenaran atas tanah yang menjadi konflik. Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan lahan seluas 5.873,068 ha dari HGU PTPN II , dan sebanyak 3.366,55 ha terletak di Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria dari tahun 2015-2019, konflik agraria ini masih berlangsung selama 5 tahun terakhir. Pada sepanjang

(20)

tahun 2020 terdapat 241 kasus konflik agraria. Konflik agraria tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus (Data KPA, 2015-2019). Dari data diatas, terlihat bahwa perkebunan menjadi sektor penyumbang konflik agraria tertinggi di Indonesia serta bukti bahwa sistem dan praktik-praktik perkebunan mengandung masalah struktural yang krusial dan sistematis. Masyarakat adat memandang penting ikatan kekerabatan, dan memiliki hubungan dengan wilayah atau daerah sebagai ruang hidupnya.

Dalam pengaturan konstitusi Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara melalui pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) UUD 1945. Keberadaan hak ulayat masyarakat adat diatur dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) pada pasal 3 yang menjelaskan bahwa pemilik hak ulayat adalah masyarakat hukum adat. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menghormati setiap warga negaranya dan setiap warga negara berhak mendapatkan hak dan kesejahteraan hidupnya.

Konteks penelitian ini, konflik agraria perkebunan terjadi antara masyarakat adat rakyat penunggu di Kampung Bangun Rejo dengan PTPN II.

Konflik tersebut terkait Hak Guna Usaha (HGU), sehingga terjadi okupasi lahan yang sebelumnya telah diusahakan oleh masyarakat. Posisi masyarakat adat rakyat penunggu dalam konflik tersebut merupakan kelompok masyarakat yang memberi tuntutan/klaim bahwa mereka bagian dari masyarakat adat Melayu Deli yang dulunya lahan tersebut merupakan lahan perolehan tanah dari sejarah masa lalu masyarakat adat Deli dan tanah garapan leluhur yang berawal dari tanah berstatus bekas hak konsesi (akta van concessive tahun 1870) dikuasai dan diusahai oleh Maskapai N.V. Verenigde Deli Maatschappij, dimana lokasi lahan membentang

(21)

antara Sei Wampu di Kabupaten Langkat sampai Sei Ular di Kabupaten Deli Serdang. Masyarakat juga menuntut/mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan tanah milik masyarakat yang pernah diberikan hak garapannya (Ngadimin, 2018).

Konflik agraria perkebunan yang terjadi di Kampung Bangun Rejo, Deli Serdang adalah salah satu Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang telah didorong oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). Kondisi kepemilikan tanah di Deli Serdang merupakan milik raja atau sultan yang berkuasa, dalam hal ini kesultanan Deli pada masanya yang didasari oleh sejarah. Hasil mediasi sultan dengan Belanda pada masanya kemudian memberikan tanah jaluran kepada rakyat setempat yang disebut sebagai rakyat penunggu, kemudian oleh negara RI tanah jaluran diambil dan pengelolaan diserahkan kepada PTPN. Hal ini terjadi dan mengancam eksistensi serta identitas masyarakat adat rakyat penunggu yang juga masih merupakan masyarakat adat.

Masyarakat adat rakyat penunggu adalah masyarakat yang telah

“tercerabut” dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang asli karena perkembangan dan perubahan zaman seperti masyarakat adat rakyat penunggu Kampung Selemak, Kampung Secanggang dan lain sebagainya (BPPN, 2013).

Sebutan masyarakat adat rakyat penunggu berasal dari asal usul, keturunan dan kekerabatan masyarakat tersebut yaitu Melayu Deli. Tanah adat (tanah jaluran), adalah sebutan tanah adat bagi masyarakat adat rakyat penunggu Melayu Deli sebagai tanah bekas tanaman tembakau. Dalam konteks sejarah kebudayaannya masyarakat adat rakyat penunggu telah ada sejak sebelum kolonial Belanda datang ke Sumatera Timur sebagai peladang reba (berladang dengan membuka hutan dan mengelola pertanian). Cara bertani rakyat penunggu semula beladang reba

(22)

berubah menjadi berjaluran karena perubahan kontrak kolonial Belanda terhadap Sultan Deli dalam membuka perkebunan tembakau yang berjalur-jalur.

PTPN II mengokupasi lahan masyarakat seluas 1300 Ha diatas lahan yang juga sudah diusahakan oleh masyarakat dengan klaim adanya perpanjangan HGU.

Pihak PTPN II mengokupasi lahan bersama dengan TNI/Polri dan Satpol meratakan kebun, ladang dan rumah Rakyat Penunggu Desa Bangun Rejo, Deli Serdang, Sumatra Utara. Konflik agraria perkebunan pada masyarakat adat rakyat penunggu melalui BPRPI bersama organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) seperti Perempuan adat AMAN melakukan pergerakan perlawanan guna mengatasi konflik secara bersama-sama, agar dapat mempertahankan tanah adat mereka.

Perjuangan mempertahankan tanah adatnya, masyarakat adat rakyat penunggu dibantu oleh organisasi masyarakat seperti AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia), dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang sama-sama memiliki tujuan bersama yaitu mendapatkan kembali hak mereka sebagai masyarakat adat. Hal ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Berbagai bentuk usaha masyarakat adat rakyat penunggu itu sendiri dalam perjuangan mempertahankan tanah adatnya ditengah- tengah konflik agraria perkebunan menjadi bentuk perjuangan kebudayaan, kerjasama antarmasyarakat setiap dusun di Kampung Bangun Rejo, tokoh adat sebagai pelaksana adat di kampung tersebut, adalah bentuk kebudayaan mereka mempertahankan tanahnya.

Berbagai penyebab konflik agraria perkebunan di Kampung Bangun Rejo yang juga bersenggolan dengan masyarakat adat rakyat penunggu dengan pihak

(23)

PTPN II dan berbagai upaya-upaya masyarakat adat tersebut menghadapi dan memperjuangkan, mempertahankan tanah adat mereka dalam arena konflik agraria perkebunan menjadi hal yang ingin peneliti kaji. Sehubungan dengan hal ini, penulis menganggap penting dan tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perjuangan masyarakat adat rakyat penunggu mempertahankan tanah adatnya dalam arena konflik agraria perkebunan dengan PTPN II.

(24)

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan masalah yang harus dicari jawabannya melalui pengumpulan data.

Rumusan masalah dalam penelitian akan membantu seorang peneliti untuk memilih fokus apa yang akan dikaji. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi perumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Apa saja faktor pemicu atau penyebab terjadinya konflik agraria perkebunan masyarakat adat rakyat penungu dengan PTPN II?

2. Bagaimana perjuangan dan upaya-upaya masyarakat adat rakyat penunggu mempertahankan tanah adatnya dalam arena konflik agraria perkebunan dengan PTPN II?

1.3 Batasan Masalah

Pembatasan masalah digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan maupun pelebaran pokok masalah agar penelitian dapat terarah dan memudahkan dalam pembahasan sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Beberapa batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Luas lingkup pembahasan hanya meliputi perjuangan atau upaya serta usaha yang dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama dalam menghadapi konflik, dan mempertahankan tanahnya.

2. Informasi yang disajikan yaitu: aspek dari perjuangan masyarakat dalam mempertahankan tanah masyarakat dari konflik okupasi lahan yang terjadi pada 14 Desember 2017 sampai ke tahap persidangan.

(25)

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu atau penyebab terjadinya konflik agraria perkebunan antara masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II

2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perjuangan masyarakat adat rakyat penunggu mempertahankan tanah adatnya dalam arena konflik agraria perkebunan dengan PTPN II

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih wawasan, kontribusi melalui kajian yang dilakukan untuk memperkaya penelitian yang sejenisnya tentang faktor penyebab terjadinya konflik agraria perkebunan masyarakat adat rakyat penunggu, dan makna tindakan perjuangan masyarakat adat rakyat penunggu mempertahankan tanah adatnya dalam arena konflik dengan PTPN II, serta menjadi referensi dalam ranah penelitian sosiologis.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan peneliti khususnya berkaitan dengan Perjuangan Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Mempertahankan Tanah Adat. Dapat memberikan kajian dan literasi bagi pemerintahan negeri atau lembaga swasta maupun pihak terkait pengambilalihan dan pengurusan agraria perkebunan dengan masyarakat adat dalam hal menjadi bahan pertimbangan penguatan kembali dalam memahami

(26)

eksistensi masyarakat adat memperjuangkan tanah adat. Penelitian ini dapat memberikan gambaran analisa secara mendalam mengenai makna tindakan dari perisitiwa penyebab konflik agraria perkebunan antara masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II.

1.6 Definisi Konsep

1.6.1 Masyarakat Adat

Definisi masyarakat adat jika dalam konteks kebudayaan mengacu pada kesepakatan internasional seperti dalam Deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa- Bangsa), sebuah deklarasi internasional yang disahkan oleh Majelis Umum PBB mengatur hak individu dan kolektif masyarakat adat, yang disahkan oleh 144 mayoritas negara termasuk Indonesia. Deklarasi PBB menyatakan Bahwa

“indigenous people” (masyarakat adat) adalah spectrum kelompok sosial yang luas (meliputi etnik minoritas adat, kelompok/masyarakat suku), yaitu kelompok yang memiliki sebuah identitas budaya sosial dan kultural yang dapat dibedakan dari masyarakat dominan, yang membuat mereka tidak diuntungkan dalam proses pembangunan. Konsep masyarakat adat adalah istilah umum yang digunakan untuk menggolongkan kelompok-kelompok masyarakat dengan kesamaan kharakteristik seperti kesamaan asal usul, tanah, wilayah, sumber daya alam, dan identitas budaya yang khas (AMAN:2013). Masyarakat adat adalah istilah yang umum digunakan oleh kalangan non-hukum mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional (Taqwaddin, 2010).

Dalam konteks penelitian ini masyarakat adat Bangun Rejo memberi tuntutan/klaim bahwa mereka merupakan masyarakat adat salah satunya adalah

(27)

masyarakat adat rakyat penunggu di Kampung Bangun Rejo yang berjuang mempertahankan tanah adatnya ketika okupasi dan konflik dengan pihak PTPN II, Dalam konteks kultural masyarakat adat rakyat penunggu berasal didasari atas dasar keturunan dan kekerabatan Melayu Deli. Masyarakat adat tersebut disebut sebagai rakyat penunggu (Bappenas, 2013:9).

1.6.2 Organisasi Masyarakat

Organisasi masyarakat adalah yang dibentuk dan didirikan oleh masyarakat berdasarkan kesamaan aspirasi, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk membantu atau berpartisipasi dalam pembangunan. Organisasi kemasyarakatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah organisasi yang membantu masyarakat rakyat penunggu dalam konflik dengan PTPN II seperti, BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Perempuan AMAN, serta Pemerintahan Daerah Kampung Bangun Rejo yang berperan dalam mengatasi konflik dan perjuangan mempertahankan tanah masyarakat adat rakyat penunggu dalam konflik agraria perkebunan dengan PTPN II.

1.6.3 Tanah Adat

Menurut Imam (2001), tanah adat adalah tanah wilayah milik masyarakat adat tertentu (Resmini,2019). Tanah adat disebut juga sebagai tanah ulayat. yang pada dasarnya memiliki batas-batas tertentu. Tanah adat bagi masyarakat adat merupakan wilayah untuk tempat tinggal, pemenuhan kebutuhan, dengan mengelola sumber daya alam yang ada di atas tanah masyarakat adat tersebut, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun temurun (Uktolseja, 2019:17).

Tanah adat seperti masyarakat adat rakyat penunggu menggunakan istilah

(28)

tanah adat sebagai tanah jaluran. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan tokoh adat, tanah jaluran adalah tanah sebutan untuk tanah ulayat etnik Melayu dan menjadi hak rakyat berdasarkan adat serta merupakan manifestasi hak ulayat yang secara deklaratif ditegaskan dalam akta-akta konsesi (Ikhsan, 2018:198).

Dalam penelitian ini, tanah adat yang dimaksud adalah tanah adat atau tanah ulayat masyarakat adat rakyat penunggu yang berada di Kebun Limau Mungkur Rayon Selatan, lahan yang bersengketa dengan PTPN II terkait perpanjangan HGU.

1.6.4 Konflik Agraria Perkebunan

Konflik agraria secara umum didasari oleh perebutan lahan atau tanah untuk mengelola atau memiliki lahan yang diklaim. Konflik agraria merupakan konflik pertentangan klaim antarsatu pihak atau lebih mengenai penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah atau sumber daya alam lain yang menyertainya (perkebunan, properti, infrastruktur, pertanian, kehutanan, pesisir/kelautan dan pertambangan). Menurut Maria SW Sumardjono, konflik agraria perkebunan pada umumnya dikarenakan adanya penggarapan tanah yang menjadi areal perkebunan atau wilayah masyarakat, pelanggaran terhadap ketentuan landreform, penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan, serta karena adanya berbagai masalah-masalah perdata terkait tanah atau lahan tersebut (Zakie, 2016:50). Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud dengan konflik agraria perkebunan adalah konflik agraria perkebunan antara masyarakat adat rakyat penunggu Kampung Bangun Rejo dengan PTPN II terkait perebutan lahan dan perpanjangan HGU.

(29)

1.6.5 Perjuangan Masyarakat Adat

Perjuangan merupakan salah satu wujud dari usaha dan upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai tindakan kolektif, cara, metode-meode maupun strategi guna mencapai suatu tujuan. Perjuangan juga merupakan posisi untuk pertahanan dalam menghadapi ancaman dan perlawanan yang dilakukan dengan perngorbanan baik materil maupun non materil. Dalam penelitian ini, perjuangan mengacu pada pertahanan dan upaya perlawanan dari masyarakat dalam menghadapi okupasi lahan oleh PTPN II, langkah-langkah, upaya dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat adat dengan aliansi-aliansi masyarakat adat dalam mempertahankan tanah dan mengembalikan hak dari lahan yang sudah mereka usahakan sejak dahulu.

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Masyarakat Adat

Dalam penelitian ini, teori masyarakat adat mengacu pada definisi kontekstual beragam dari berbagai lembaga/organisasi lokal maupun internasional/perundangan- undangan Indonesia yang memberikan gambaran, kharaktersitik, wilayah-wilayah masyarakat adat. Menurut Soekanto (2001: 91), masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan (dalam Haba, 2010). Istilah masyarakat adat dalam bahasa inggris adalah “indigenous people”, dan bahasa latin “indigenae” berarti penduduk asli yang digunakan untuk menandakan orang- orang dengan asal usul tertentu dengan orang-orang pendatang. Masyarakat adat merupakan masyarakat yang hidup secara komunal, yang didasari atas kebersamaan dan solidaritas tinggi.

Dalam konstitusi Indonesia digunakan beberapa istilah seperti kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat adat serta masyarakat tradisional.

a. PERMEN Agraria dan Tata Ruang No. 9 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah MHA dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, menyebutkan bahwa kriteria masyarakat hukum adat meliputi: (a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban, (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, (c) ada wilayah hukum adat yang jelas, (d) ada pranata dan perangkat hukum, yang masih ditaati.

(31)

b. Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, kesatuan MHA adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

c. Peraturan Daerah Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Pandumaan Sipituhuta, Pasal 1 ayat 4 masyarakat hukum adat (MHA) adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu dan diikat oleh identitas budaya, adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.

d. Putusan MK No.31/PUU-V/2007 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia No.31 tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku Terhadap UUD 1945, kriteria masyarakat hukum adat mengandung unsur;

1) Secara de facto masih hidup baik bersifat teritorial, genelologis ataupun fungsional jika memenuhi salah satu/gabungan unsur- unsur (adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok, adanya pranata pemerintahan adat, adanya harta kekayaan/benda-benda adat, dan adanya perangkat norma hukum

(32)

adat. Khusus pada kesatuan MHA yang bersifatteritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu., sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai dengan prinsip NKRI, dan ada pengaturan berdasarkan Undang-Undang).

2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat, jika MHA tersebut keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang lain, baik yang bersifat umm/sektoral, serta peraturan daerah, sebagai cermin perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat, substansi hak-hak tradisional itu diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan ataupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan HAM.

3) Sesuai dengan prinsip NKRI, jika MHA tersebut tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu keberadaannya tidak mengancam kedaultan dan integritas negara RI, dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

e. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 31/PUU-V/2007 merumuskan MHA sebagai: Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang bersangkutan secara de facto masih ada dan/atau hidup (actual existence), apabila setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:

a) ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in- grup feeling)

b) ada pranata pemerintahan adat

(33)

c) ada harta kekayaan dan/atau benda-benda adat d) ada perangkat norma hukum adat

e) khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu

Keputusan MK tersebut dinilai tidak bersifat kumulatif disamping beragamnya masyarakat adat di Nusantara. Menurut mantan ketua MK Jimly Asshiddiqqie (2006), untuk membutikan suatu masyarakat (hukum) adat memang ada sesuai dengan kriteria masyarakat hukum adat di atas, cukup dengan pemenuhan salah satu atau beberapa dari lima unsur tersebut (Zakaria, 2014:131).

Secara konstitusi, didalam UUD 1945 konsep masyarakat adat mengandung 2 konsep yaitu masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional.

UUD 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.

Menurut Arman (2020) istilah lainnya yang digunakan pada kelompok masyarakat dengan asal usul sama, didasari nilai dan norma-norma kebiasaan (adat) tertentu, yaitu masyarakat hukum adat (MHA), masyarakat adat, masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan komunitas adat terpencil (KAT).

Menurut sumber lain yang disebut sebagai masyarakat adat adalah:

1. Penduduk asli (bahasa Melayu: orang asli) 2. Kaum minoritas

3. Kaum tertindas atau termarginal karena identitas mereka yang berbeda dari identitas yang dominan di suatu negara atau wilayah.

(34)

Level internasional, konsep masyarakat adat mengacu pada Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Declaration of The Rights of Indigenous People (UNDRIP)), 13 September 2007 dengan terminologi indigenous people’s (masyarakat adat) yang merujuk pada masyarakat asli yang menghuni suatu kawasan tertentu secara turun temurun, sistem sosial yang khas, ekonomi, politik, budaya, bahasa dan kepercayaan (agama), serta termarginalkan hak-haknya (Arman, 2020:). Istilah indigenous people dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan istilah masyarakat adat. UNDRIP berbicara tentang hak-hak masyarakat adat diseluruh dunia. Dalam Pasal 3 UNDRIP, dinyatakan:

“Indigenous peoples have the right to self-determinaon. By virtue of that right they freely determine their polical status and freely pursue their economic, social and cultural development”. Diatur bahwa pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak tersebut termasuk hak dalam bidang politik, hak untuk mengembangkan ekonomi, dan hak untuk pembangunan dalam bidang sosial dan budaya (Muazzin, 2014:339). Dalam Konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut (Wahab, Ali dkk :2017).

 Tokoh sosiologi seperti Ferdinand Tonnies memperkenalkan konsep

Gemeinschaft dan Gesselschaft sebagai perbedaan kelompok masyarakat.

Gemeinschaft merujuk pada bentuk kelompok masyarakat alamiah yang menumbuhkan hubungan organik antara manusia dan lingkungannya,

(35)

solidaritas tinggi serta ikatan sukarela antar masyarakat. Gesselschaft merupakan bentuk kelompok masyarakat yang terikat atas persamaan tujuan, dan kesadaran akal rasional. Emile Durkheim dengan solidaritas mekanik dan solidaritas organik sebagai perbedaan kharakteristik kehidupan bermasyarakat (Soekanto, 2014).

 Menurut Otje Salman Soemadiningrat (2002), masyarakat adat memiliki 4

sifat yaitu magis-religius (pola pikir dengan keyakinan yang didasari religiusitas dan sakral), komunal (individu bagian integral dari keseluruhan masyarakat), konkret (corak yang jelas mengenai hubungan hukum didalam amsyarakat), dan kontan (kesetaraan dalam perolehan hasil dari hak ulayat).

Aspek organisasi kemasyarakatan, dalam hal ini mengacu pada draft RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (versi AMAN, 9 Maret 2012), masyarakat adat merupakan sekolompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di daerah wilayat adat, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya pada masyarakat pada umumnya.

Secara konstitusional, ada lima aspek yang harus dipenuhi untuk mengklaim diri sebagai sebuah komunitas (hukum) adat, yakni: Pertama, bentuk masyarakatnya adalah paguyuban (rechtsgemeenschapen), terdapat kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat, memiliki teritori adat yang jelas, terdapat pranata dan perangkat hukum atau adat yang masih ditaati, dan masih

(36)

mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk memenuhi pemenuhan hidup sehari-hari (Haba, 2010:258-259).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan terminologi masyarakat adat.

terminologi masyarakat hukum adat banyak digunakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dengan menekankan pada kondisi berlakunya

‘hukum adat’, akan tetapi peneliti melihat masyarakat adat di berbagai wilayah kepulauan Nusantara memiliki berbagai kharakter seperti sebagian dengan aturan adat atau kelembagaan adat aktif yang masih kental dan secara teratur dilaksanakan, sebagian yang lain dengan mekanisme sederhana, ada yang memiliki kelembagaan adat aktif dan bersifat feodal serta patriarki, ada yang memiliki aturan adat yang sudah ‘tercerabut’ oleh perkembangan zamannya.

Masing-masing masyarakat adat tersebut memiliki sejarah dan dinamika yang berbeda terasuk wilayah hidup yang berbeda-beda (Siscawati, 2014:4-5).

Masyarakat adat rakyat penunggu masuk kedalam terminologi masyarakat adat karena penggunaan masyarakat hukum adat pada dasarnya mereduksi masyarakat dalam satu dimensi saja yaitu hukum dan mempersempit makna entitas masyarakat adat. Masyarakat adat tidak hanya bergantung pada dimensi hukum, tetapi juga dimensi sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan ekologi, serta lebih banyak digunakan yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional (Arman, 2020:49-58).

2.2 Konsep Masyarakat Adat Rakyat Penunggu

Berdasarkan konteks kultural, definisi masyarakat adat megacu pada kesepakatan-kesepakatan nasional maupun internasional, melihat kharakteristik masyarakat tertentu. Konsep masyarakat adat yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konteks kultural (kebudayaan). Masyarakat adat memiliki

(37)

kharakteristik yang berbeda-beda disetiap negara seperti aturan adat yang mengatur status dan tradisi kondisi sosial, struktural, dan ekonomi maupun hukum atau pengaturan khusus lainnya (Konvensi ILO 169, dalam Rosnidar, 2017:8).

Menurut Van Vollenhoven, seorang pakar hukum adat dalam menemukan dan membagi keberadaan masyarakat adat di Indonesia kedalam 19 (sembilan belas) lingkungan hukum adat berdasarkan pengklasifikasian bahasa, garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya yang seragam. Berikut 19 lingkungan hukum adat tersebut (Arman, 2020:1-2):

1. Aceh. (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeuleu)

2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak, meliputi; Tanah Gayo (Gayo luesu), Tanah Alas, Tanah Batak (Tapanuli), Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu), Tapanuli Selatan (Padang Lawas, Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi), Nias (Nias Selatan)

3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci)

4. Mentawai (Orang Pagai)

5. Sumatra Selatan (Bengkulu (Rejang), Lampung (abung, paminggir, pubian, rebang, gedingtataan, tulang bawang), Palembang (anak lakitan, jelma daya, kubu, pasemah, semendo), Jambi (batin dan penghulu), Enggano

6. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatra Timur, Orang Banjar) 7. Bangka dan Belitung

8. Kalimantan

(38)

9. Gorontalo 10. Tanah Toraja 11. Sulawesi Selatan 12. Kepulauan Tidore 13. Maluku Ambon 14. Irian (Papua) 15. Kepulauan Timor 16. Bali dan Lombok

17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta) 19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten)

Dalam konteks lingkungan hukum adat di atas, masyarakat adat rakyat penunggu Kampung Bangun Rejo masuk kedalam klasifikasi lingkungan hukum adat Tanah Melayu. Sejarah kebudayaan MARP telah ada sejak sebelum kolonial Belanda datang ke Sumatra Timur sebagai peladang reba (berladang dengan membuka hutan dan mengelola pertanian). Cara bertani rakyat penunggu semula beladang reba berubah menjadi berjaluran karena perubahan kontrak kolonial Belanda terhadap Sultan Deli dalam membuka perkebunan tembakau yang berjalur-jalur.

Masyarakat adat rakyat penunggu adalah sebutan bagi masyarakat yang telah “tercerabut” dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang asli karena perkembangan dan perubahan zaman khususnya Melayu Deli. Kategori kelompok ini adalah Masyarakat Adat Melayu Deli yang bermukim di wilayah perkebunan tembakau di Sumatra Utara seperti masyarakat adat rakyat penunggu di Kampung

(39)

Bangun Rejo (BPPN, 2013). Sebutan masyarakat adat rakyat penunggu berasal dari asal usul, keturunan dan kekerabatan masyarakat tersebut yaitu Melayu Deli (Tanah Melayu). Beragamnya struktur sosial dan budaya setiap masyarakat adat, mengakibatkan definisi secara universal, tepat dan inklusif yang disetujui oleh dunia tentang masyarakat adat belum dapat diterapkan dengan cara yang sama.

Ferdinand Tonnies membagi 2 kategori sosial Gesselschaft (masyarakat patembayan) dan Gemeinschaft (masyarakat paguyuban). Dalam bukunya berjudul Gemeinschaft und Gesellschaft (tahun 1887), Tonnies membedakan konsep masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Gemeinschaft/masyarakat paguyuban, diasosiasikan dengan kelompok atau asosiasi, masyarakatnya ditandai dengan kehidupan bersama yang bersifat intim, pribadi dan ekslusif, rasa keterikatan tradisional, misalnya masyarakat pedesaan dengan organisasi atau komunitas dengan tujuan rasional (Sunarto, 2004:129). Memiliki solidaritas, keramah-tamahan, hubungan tetangga yang rukun secara tradisional. Situasi yang berorientasi pada nilai, aspiratif, memiliki peran dan terkadang sebagai kebiasan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Kesamaan ini adalah faktor penguat hubungan sosial, yang kemudian diperkuat dengan hubungan emosional serta interaksi antarindividu (Martono, 2016).

Gemeinschaft dibedakan atas 3 yaitu:

1) Gemeinschaft of Blood, didasari pada ikatan darah atau ikatan kekerabatan atau keturunan.

2) Gemeinschaft of place (locality), didasari oleh tempat tinggal yang saling berdekatan sehingga memungkinkan untuk terjadinya sikap dan perilaku

(40)

tolong menolong. Misalnya ikatan yang terbentuk karena adanya satu wilayah

3) Gemeinschaft of mind, didasari pada ideologi atau pikiran yang sama.

Menurut Tonnies, hubungan kehidupan yang disebabkan oleh persamaan keahlian atau pekerjaan serta pandangan yang mendorong orang untuk saling berhubungan secara teratur (Sunarto, 2004). Misalnya individu yang tergabung dalam satu negara, partai politik, atau satu keyakinan (agama).

Ketiga bentuk ini dapat ditemukan dalam masyarakat kota ataupun desa.

Gesellschaft (masyarakat patembayan) diartikan sebagai masyarakat yang ditandai oleh kehidupan publik yang bersifat mandiri, sementara dan semu (Sunarto,2004:129). Kehendak dan tujuan masyarakatnya didasari oleh akal manusia yang ditujukan pada tujuan-tujuan tertentu dan sifatnya rasional dengan menggunakan alat-alat dari unsur kehidupan lainnya. Menurut Sztompka (1994), konsep yang menunjuk pada hubungan anggota masyarakat yang memiliki ikatan lemah, nilai, norma dan sikap menjadi kurang berperan dengan baik (dalam Martono, 2016).

Menurut Tonnies, perubahan yang terjadi pada masyarakat pada dasarnya disebabkan oleh perubahan kecenderungan berpikir, adanya perubahan orientasi hidup, pandangan mengenai suatu aturan dan sistem organisasi. Perbedaan antara gemeinschaft dengan gesselschaft adalah didalam gemeinschaft individu tetap bersatu meskipun terdapat berbagai faktor yang memisahkan mereka, sedangkan dalam gesselschaft individu pada dasarnya terpisah kendatipun terdapat banyak faktor pemersatu. Masyarakat adat sebagai subjek hukum adalah badan hukum yang bersifat “Gemeinschaft” yaitu persekutuan adat yang terbentuk secara

(41)

alamiah karena perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi dan politik.

2.3 Tanah Adat

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanah adat diartikan sebagai tanah milik yang diatur oleh hukum adat. Menurut Harsono (2005) tanah adat adalah tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai suatu karunia kekuatan gaib/peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan tanah ulayat MHA adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada. Selanjutnya pasal 2 ayat (2), dikatakan bahwa dianggap masih ada jika memenuhi kriteria meliputi unsur adanya: (a) adanya masyarakat dan lembaga hukum adat, (b) wilayah tempat hak ulayat berlangsung, (c) hubungan, keterkaitan, dan ketergantungan kesatuan MHA dengan wilayahnya, dan (d) kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah di wilayah kesatuan MHA yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang masih berlaku dan ditaati masyarakatnya.

Tanah adat adalah tanah milik bersama warga masyarakat adat yang menjadi objek atas hak ulayat. Tanah adat erat dengan hak masyarakat adat yang disebut hak ulayat. Menurut Imam Sudiyat (2002:1), berpendapat tanah ulayat dapat diartikan sebagai tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu.

Berdasarkan pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999, tanah ulayat merupakan bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat adat tertentu (Santoso, 2005:80).

(42)

Setiap suku atau etnik disuatu daerah memiliki tanah warisan nenek moyang yang kemudian diwariskan oleh keturunannya, dan setiap kelompok atau entitas masyarakat mempunyai tanah warisan atau tanah nenek moyang sesuai dengan adat istiadat dan kebudayaan, letak geografis, dan adat kebiasaan berbeda- beda. Hal ini berimplikasi pada istilah tanah adat yang berbeda-beda disetiap daerah. Misalnya, patuanan (Ambon), wewengkon (Jawa), ulayat (Minangkabau), panyampeto dan pawatasan (Kalimantan), prabumian dan payar (Bali), Torluk (Angkola), ulos na so ra buruk (Batak), paer (lombok), ulayat (minangkabau), lingko (Manggarai), tanah jaluran/suguhan (Melayu Deli).

Tanah adat dalam masyarakat adat rakyat penunggu disebut dengan tanah jaluran, merupakan tanah bagi masyarakat adat rakyat penunggu Melayu Deli sebagai tanah bekas tanaman tembakau yang berjalur-jalur. Tanah Jaluran adalah tanah ulayat etnik Melayu yang disengketakan antara rakyat penunggu (notabene etnik Melayu) dengan PTPN.

2.4 Konflik Agraria Perkebunan MARP Dengan PTPN II

Agraria berasal dari bahasa latin ‘ager’, artinya lapangan, pedusunan, wilayah, tanah Negara. Konflik agraria merupakan konflik pertentangan klaim antarsatu pihak atau lebih yang diklaim mengenai penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah atau sumber daya alam lain yang menyertainya (perkebunan, properti, infrastruktur, pertanian, kehutanan, pesisir/kelautan dan pertambangan). Soerjono Soekanto berpendapat bahwa konflik adalah perbedaan atau pertentangan antar individu atau kelompok sosial yang terjadi karena perbedaan kepentingan, serta adanya usaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan disertai dengan ancaman atau kekerasan (Anas, 2019).

(43)

Berdasarkan teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan sosial dalam masyarakat. Konflik masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II menciptakan kekerasan, dominasi dari aparat keamanan dan perlawanan masyarakat adat. Konflik tersebut didasari oleh pengakuan dari PTPN II atas perpanjangan HGU N0. 94/lau barus tahun 2003-2028 yang berada di Kebun Limau Mungkur, lahan masyarakat yang diusahakan sejak lama sebagai tanah adat nenek moyang dan tanah adat.

PTPN II mengklaim telah memiliki izin perpanjangan HGU (hak guna usaha) diatas lahan masyarakat tersebut. Pihak PTPN II bersama TNI/Polri dan Satpol PP (500 aparat kepolisian) meratakan kebun, ladang dan rumah Rakyat Penunggu Desa Bangun Rejo, Deli Serdang, Sumatra Utara dengan memasukkan 2 alat berat (beko dan buldoser) ke lahan masyarakat adat rakyat penunggu, dan dampaknya tanaman warga rusak seperti pisang, ubi dan jagung serta tanaman palawija dan buah-buah pohon lainnya.

Perlawanan atas tanah dilakukan warga seperti barisan ibu-ibu yang naik ke alat berat untuk mengambil kunci, warga yang melawan aparat sebagian ditangkap dan dimasukkan kedalam truk, kepala keluarga yang tergusur harus pindah ke desa tetangga, kekerasan juga terjadi seperti menyeret ibu hamil yang bertahan melawan penggusuran tersebut. Adanya usaha suatu kelompok untuk mendapatkan tujuan tertentu dan memiliki dominasi kekuasaan dan wewenang, menciptakan dominasi kekuasaan bagi kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dan wewenang. Dalam hal ini, konflik okupasi lahan dari pihak PTPN II menjadi

(44)

kelompok superordinat karena memiliki dominasi kekuasaan dan wewenang yang cukup besar dan kelompok masyarakat sebagai subordinat, karena berada sebagai kelompok yang tidak memiliki kekuasaan dan wewenang. Hal ini dilihat dari jumlah aparat yang tidak sebanding dengan kekuatan dan jumlah masyarakat, perbedaan akses dan fasilitas perlawanan antara PTPN II dengan masyarakat, serta jumlah kerugian materi masyarakat.

Menurut Martono (2016:35), teori konflik berpandangan bahwa setiap masyarakat memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda-beda. Adanya perbedan kepentingan dan kebutuhan melahirkan konflik (perubahan sosial).

Menurut Dahrendorf, konflik tidak hanya melahirkan tekanan dan dampak negatif tetapi juga dapat melahirkan perubahan sosial. Misalnya, lembaga-lembaga atau organisasi yang terbangun dan berjalan seiring karena konflik agraria di nusantara.

Konflik yang bertentangan atas perebutan lahan masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II, terlibat dalam pertentangan dan kepentingan yang berbeda. Akan tetapi hal ini membawa pengaruh terhadap masyarakat adat rakyat penunggu yang terlembaga lewat lembaga adat BPRPI atau AMAN. Hasil kerja sama antara lembaga adat dengan masyarakat adat rakyat penunggu tersebut merupakan jembatan dari konflik agraria yang terjadi. Konflik agraria perkebunan tidak hanya membawa pengaruh terhadap kesatuan masyarakat, melainkan melahirkan sisi konflik dan sisi kerja sama terkait konflik yang terjadi dan melahirkan proses pembentukan dan penyatuan bagi masyarakat itu sendiri baik secara individual maupun secara komunal (Poloma, 1992).

(45)

Berdasarkan jenis konflik, terdapat 4 bentuk konflik oleh Simon Fisher dan Deka Ibrahim, yaitu:

1. Tanpa konflik, merupakan gambaran situasi yang relatif stabil, hubungan-hubungan antarkelompok dapat saling memenuhi dan berlangsung damai, baik melalui kemampuan masyarakat dalam menciptakan sttruktur sosial guna meminimalisir potensi konflik maupun sifat kebudayaan masyarakatnya.

2. Konflik tersembunyi (laten conflict), merupakan suatu keadaan atau konflik yang di dalamnya terdapat banyak persoalan sifat tersembunyi, dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani serta hanya diketahui oleh kelompok yang terlibat.

3. Konflik terbuka (manifest conflict), merupakan situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan, berakar dalam (deep rooted), dan sangat nyata, sehingga diperlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai dampak. Biasanya akan muncul keterlibatan sejumlah pihak dengan tuntutan yang tersebar luas.

4. Konflik di permukaan, merupakan konflik yang tidak memiliki akar penyebab terlalu mendalam dan muncul karena kesalahpahaman mengenai hal-hal tertentu, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi dan dialog antarpihak yang terlibat.

Pada dasarnya konflik agraria perkebunan sudah merupakan konflik yang sering terjadi dan berlangsung lama sehingga dikatakan sebagai konflik laten, situasi konflik agraria perkebunan tersebut memiliki akar penyebab yang nyata sebagaimana konflik agraria perkebunan lainnya yang terjadi di Indonesia disertai

(46)

praktik-praktik relasi asimetris antara negara, koorporasi dengan masyarakat adat yang memerlukan penanganan untuk mengatasi persoalan antara masyarakat adat yang memiliki hak ulayat atas tanah adatnya dengan negara atau koorporasi.

Konflik agraria perkebunan yang terjadi hingga saat ini diawali oleh konflik laten yang kemudian berkembang menjadi konflik terbuka, karena berdampak pada masyarakat adat yang terdampak, sudah tidak lagi menjadi persoalan yang tersembunyi melainkan terbuka, diperlukannya tindakan untuk mengatasi konflik tersebut dan muncul keterlibatan sejumlah pihak dengan tuntutan untuk mempertahankan tanah adat mereka, dalam hal ini konflik agraria perkebunan masyarakat adat rakyat penunggu dengan PTPN II.

2.5 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti yakni:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Arkanudin dan Rupita (2020), yang berjudul Etnografi Konflik Masyarakat Batu Daya dengan Perusahaan PT. Swadaya Mukti Prakarsa di Simpang Dua, Ketapang, Kalimantan Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masyarakat adat memiliki kedaulatan khusus dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk didalamnya tanah adat.

Perkebunan kelapa sawit seperti PT. Swadaya Mukti Prakarsa merupakan perusahaan perkebunan yang dilindungi oleh undang-undang agraria, yang mana terdapat aturan, persyaratan serta hak-hak yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Terbukanya lahan untuk komoditas sawit mengalami fase perubahan tata guna lahan. Masyarakat Batu Daya melakukan budi daya padi ladang, karet rakyat yang dikombinasikan dengan tanaman buah-buah

(47)

atau tanaman untuk kerajinan seperti rotan dan bambu. Dampak sosial positif perusahaan perkebunan terhadap wilayah sekitar, misalnya menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, meningkatkan jumlah uang yang beredar di pasar desa, dan mendorong perkembangan peluang usaha (ekonomi) serta menciptakan konektivitas yang mudah antara wilayah kota dan desa, antara kota dan kota, serta antara desa dan desa (sosial). Dampak negatifnya, menjadi pemicu konflik sosial antara masyarakat desa setempat dan pekerja perkebunan maupun pihak perusahaan sawit, serta mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, misalnya terjadi penangkapan paksa warga desa oleh aparat karena dituduh menjadi provokator dalam penolakan konsesi lahan oleh perusahaan, tidak adanya informasi memadai oleh perusahaan tentang rencana proyek, maksud dan tujuan, rencana perolehan dan pemanfaatan lahan yang dimiliki warga dan lahan-lahan milik bersama warga desa untuk kepentingan perkebunan sawit, tidak ada pemberitahuan dan persetujuan ke masyarakat adanya survei pengukuran, pematokan dan pemetaan lahan warga, serta penggusuran. Menggunakan tenaga lapangan (preman) untuk melindungi aktivitas perusahaan dan dapat betindak melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga. Perusahaan melakukan sosialisasi rencana proyek setelah kegiatan pematokan dan penggusuran lahan sudah berlangsung, serta adanya protes dari warga. Kecenderungan perusahaan dan pemerintah secara permanen mengindividualisasikan tanah, dengan cara-cara yang bertentangan dengan penguasaan secara adat dan yang menyebabkan ketegangan intra-komunitas. Ketidakjelasan batas-batas

(48)

sah dari konsesi dan tanah dalam peta yang menyebabkan kebingungan atas luasan lahan dan tumpang tindih lahan dan hak atas lahan-lahan ini.

Pengaturan kompensasi untuk tanah yang hilang karena diberikan kepada perusahaan jarang dirundingkan dengan masyarakat sebelum investasi atau operasi dilaksanakan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Syafi’i Imam (2016), yang berjudul Konflik Agraria di Indonesia: Catatan Reflektif Konflik Perkebunan Sawit di Kota Waringin Timur menunjukkan bahwa Konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat adat Dayak, disebabkan oleh status kepemilikan lahan (kuasa lahan) seperti tumpang tindih lahan, klaim sepihak, ganti rugi dan permasalahan kebun plasma dalam konteks kemitraan antara perusahaan dan masyarakat menyangkut mekanisme pembangunan kebun plasma, pencemaran air, dan penyerobotan lahan oleh perusahaan (temuan dari tim penelitian konflik SDA Pusat Penelitian Politik LIPI (Gayatri dan Syafi’i, 2015)). Tumpang tindih perusahaan perkebunan dalam kebijakannya mengakibatkan pelanggaran hukum seperti pemalsuan dokumen oleh perusahaan PT Bumi Sawit Kencana 2 (dalam pengukuran ulang lahan serta ganti rugi lahan masyarakat dan beberapa petani), penyerobatan lahan tanpa ganti rugi, dan mengabaikan pembangunan kebun plasma untuk masyarakat (konflik PT Bangkit Giat Usaha Mandiri (PT BUM) dengan masyarakat yang terjadi di Desa Tumbang Kalang), konflik di Kecamatan Cempaga Hulu, antara PT. Windu Nabatindo Sejahtera (PT.

WNS) dengan salah satu anggota petani FKKTDM-KT seperti penyerobatan

(49)

lahan, proses ganti rugi lahan dan ganti rugi tanam tumbu, kriminalisasi, pengrusakan fasilitas publik, serta sifat ketiga perusahaan industri perkebunan sawit tersebut yang ekstraktif mempercepat laju kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Widianarti dan Munahar Holil (2018), yang berjudul Strategi Komunikasi BPRPI Mengembalikan Tanah Jaluran Masyarakat Melayu di Sumatra Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persoalan konflik agraria banyak menyangkut pada masyarakat adat di seluruh Indonesia termasuk masyarakat adat Melayu yang bermukim mulai daerah Langkat, Deli, dan Serdang (dalam sejarah kesultanan di Sumatera Timur). Tanah jaluran (tanah ulayat) masyarakat Melayu yang menjadi arena perebutan lahan juga oleh PTPN II mendasari terbentuknya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) untuk memperjuangkan tanah ulayat. Tanah jaluran terdiri dari 67 kampung, dan perladangan dengan total luas areal tanah jaluran mencapai 350.000 Ha di Sumatrra Utara.

Perjuangan BPRPI dalam mengembalikan tanah jaluran dilakukan melalui diskusi persoalan, hak dan respons tentang tanah jaluran kepada pengunjung-pengunjung di warung kopi Kota Medan sebagai public sphere serta membangun isu keetnisan Melayu, membangun wacana memori kolektif (tanah jaluran, hak ulayat dan tanah ulayat). Public sphere dikonsepkan oleh Habermas sebagai pertukaran informasi dari berbagai pandangan tentang pokok persoalan. Mendesiminasikan persoalan tanah dan dampaknya kepada media massa dan media hibrid. Fungsi media massa

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Tugas Akhir ini, dilakukan simulasi untuk mengamati kerusakan pada thyristor dalam suatu rangkaian penyearah tiga fasa terkontrol penuh, dengan beban yang digunakan yaitu

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin,

3 Jumlah hydrant fasilitas kesiagaan kebakaran Unit 1 3 Program Peningkatan Kesiagaan & Pencegahan Bahaya Kebakaran 4 Jumlah sarana dan prasarana areal makam

Adapun kecamatan yang ada di Kota Medan terbagi atas 21 yakni: Kecamatan Medan Amplas, Medan Area, Medan Barat, Medan Belawan Kota, Medan Deli, Medan Denai, Medan Helvetia,

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan

Dalam hal Anggota Kliring tidak memenuhi kewajiban pembayaran biaya Kliring dan Penjaminan Penyelesaian Transaksi KBIE kepada KPEI selambat-lambatnya 5 (lima) Hari

Kebijakan pada Program Pengelolaan Belanja Transaksi Khusus dalam jangka menengah diarahkan untuk antara lain: (1) mendukung program jaminan kesehatan nasional (JKN) khususnya

Menyediakan kelompok calon tenaga kerja yang cukup banyak agar manajer dapat memilih karyawan yang mempunyai kualifikasi yang mereka perlukan.Sony secara konsisten