BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.6. Karakteristik Masyarakat Tionghoa
Orang Tionghoa adalah mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang
Tionghoa, mempunyai darah Tionghoa (walaupun sudah banyak bercampur) dan
mempunyai nama Tionghoa (namun banyak Tionghoa Indonesia yang lahir di masa
Orba tidak lagi mempunyai nama Tionghoa). Satu hal yang khas dari Tionghoa
peranakan dari Indonesia (khususnya Jawa), bahwa mereka sudah tidak bisa lagi
berbahasa Mandarin (Setiono, 2003).
Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang
Tionghoa Indonesia; tetapi sebagian besar belum mengenal golongan penduduk ini
dengan wajar. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan
suatu kelompok yang berasal dari satu daerah di Negara China, tetapi terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berasal dari dua provinsi yaitu Fukien dan Kwantung,
yang terpencar di daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa
empat bahasa China yang dipergunakan di Indonesia yaitu: Hokkien, Teo-Chiu,
Hakka dan Kanton yang masing-masing memiliki perbedaan sehingga penggunaan
bahasa yang satu belum tentu diketahui atau dipahami suku yang lain (Somers, 2003).
Karakteristik etnis masyarakat Tionghoa yang cenderung lebih mengutamakan
faktor material (makanan) dari faktor kesehatan, mengingat latar belakang
kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda kelaparan di negerinya sendiri.
Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik dalam bidang kesehatan. Setiap
kali bertemu, masyarakt Tionghoa umumnya bertanya “sudah makan atau belum”.
Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang lebih mengutamakan faktor kesehatan
sehingga setiap bertemu, lebih cenderung mempertanyakan “sehat apa tidak” (Wahid,
2006).
Di sisi entitas kelompok, penduduk keturunan Tionghoa bukan hanya terlihat
sebagai orang luar (out group), tetapi juga menempatkan dirinya sebagai orang luar. Umumnya, badan-badan usaha-usaha milik etnik Cina hampir tidak pernah
mempercayakan jabatan-jabatan puncak manajemen kepada tenaga profesional yang
bukan etnik Cina demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan yang bukan
Cina amat jarang terjadi. Dengan demikian, baik dalam sistem ekonomi maupun
dalam sistem sosio-budaya, secara umum etnik Cina tampak terpisah dari masyarakat
lingkungan sekitarnya. Hal ini menambah sulitnya masyarakat Tionghoa
membaurkan diri dengan masyarakat pribumi. Semua ini berakibat terhadap tingkat
rendah, khususnya fasilitas kesehatan yang dijalankan oleh orang pribumi (Wahid,
2006).
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan pemanfaatan
pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa tidak jauh berbeda dengan
masyarakat lain. Beberapa faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
2.6.1Umur
Umur dapat didefiniskan sebagai jumlah waktu kehidupan yang telah
dijalani oleh seseorang. Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit
penyakit. Kelompok umur usia muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap
penyakit infeksi (diare, infeksi saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih
cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan
penyakit akibat gaya hidup (life style). Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi, jantung koroner atau kanker)
(Notoatmodjo, 2005).
Resiko kesakitan akibat faktor umur ini menyebabkan tingkat pemanfaatan
pelayanan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh umur. Menurut Feldstein (2004)
semakin bertambah umur seseorang, maka semakin bertambah pula permintaannya
terhadap pelayanan kesehatan (Razak, 2004).
2.6.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki oleh mahluk hidup,
menggunakan istilah masing-masing; laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita.
Dalam studi epidemiologi, jenis kelamin juga menjadi salah satu bagian dari
karakteristik yang memiliki pengaruh terhadap kejadian kesakitan. Sebagai contoh,
penyakit kanker serviks hanya dijumpai pada wanita, sedangkan kanker prostat hanya
dijumpai pada pria (Notoatmodjo, 2005).
Tingkat kerentanan manusia yang bersumber dari jenis kelamin tersebut
menjadikan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berbeda pada
masing-masing jenis kelamin. Perempuan cenderung lebih rentan terhadap penyakit-penyakit
infeksi. Hal ini disebabkan oleh tahap-tahap kehidupan yang dilaluinya, mulai dari
remaja (haid), dewasa (mengandung dan melahirkan) sampai masa tua (menopause).
Secara umum, kaum perempuan lebih peduli dengan keadaan kesehatannya sehingga
lebih banyak memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk mengatasi masalah
kesehatannya (Notoatmodjo, 2005).
2.6.3 Tingkat Pendapatan
Kemauan masyarakat Tionghoa untuk mengakses pelayanan kesehatan di
Puskesmas juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan. Rata-rata tingkat
pendapatan perkapita masyarakat Tionghoa lebih tinggi dari rata-rata pendapatan
perkapita penduduk lainnya, sehingga cenderung lebih memilih mengakses fasilitas
kesehatan yang lebih bermutu dan mempunyai fasilitas kesehatan yang lebih lengkap,
Menurut Rafael yang dikutip Tarigan (2002), tingkat penghasilan (income) seseorang berhubungan kuat dengan permintaan pelayanan kesehatan. Semakin tinggi
tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan fasilitas
kesehatan yang lebih baik dan lengkap secara sarana dan prasarana.
Menurut data Susenas 2001, penduduk miskin lebih banyak memanfaatkan
pelayanan Puskesmas untuk rawat inap, sedangkan penduduk kaya lebih akses pada
RS Swasta. Sedangkan untuk tingkat nasional, RS Pemerintah lebih banyak
dimanfaatkan penduduk kawasan timur Indonesia yang relatif memiliki tingkat
pendapatan perkapitan lebih rendah dari kawasan barat Indonesia.
Menurut Saadah (1999), yang dikutip oleh Lukito (2003), tingkat sosial
ekonomi sangat mempengaruhi seseorang terhadap pemilihan media, sumber
informasi, dan kemampuan dalam membeli alat yang dibutuhkan dalam menunjang
kesehatannya.
2.6.4 Tingkat Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (2002), kesehatan merupakan interaksi berbagai
faktor, baik internal (dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia).
Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal terdiri
dari kondisi sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi,
pendidikan, dan sebagainya. Menurut, Lukito (2003), pemanfaatan masyarakat
terhadap berbagai fasilitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat
seseorang untuk memahami sebuah perubahan dan manfaat sebuah perubahan,
khususnya dalam bidang kesehatan.
Menurut penelitian Prihardjo (2005), rendahnya pemanfaatan kesehatan
Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Tingkat pendidikan
yang dimaksud bisa bersifat dualis. Disatu sisi, rendahnya pemanfaatan pelayanan
kesehatan Puskesmas dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah. Masyarakat
tidak banyak mengerti tentang fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh Puskesmas. Disisi lain, tingkat pengetahuan yang tinggi juga bisa
menyebabkan rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan Puskesmas. Hal ini
dilihat masyarakat yang telah mengetahui kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan
yang masih rendah di Puskesmas.
2.6.5Pekerjaan
Sebagain besar etnis Tionghoa di Indonesia memliki mata pencaharian
sebagai pedagang terutama di wilayah Jawa. Sebagian besar mereka adalah orang
Hokkien. Namun, berbeda dengan etnis Tionghoa yang berada di Jawa Barat dan di
bagian Pantai Barat Sumatera. Etnis Tionghoa yang berada di wilayah ini lebih
banyak bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan
Siapiapi (Riau) orang Hokkien umumnya menjadi nelayan (Puspa, 2005)
Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pemanfaatan pelayanan kesehatan pada masyarakat etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa
merupakan bagian dari etnis Tionghoa yang menyebar ke Bagan Siapapi (Riau) yang
memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya yang
cenderung memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Jenis pekerjaan kasar/lepas yang
memiliki resiko kecelakaan inilah yang menyebabkan Puskesmas dimanfaatkan oleh
masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan (Puspa, 2005).
2.6.6 Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap obyek (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan itu berasal dari kata
tahu yang berarti: mengerti sesudah (melihat, mengalami). Pengetahuan dapat
diperoleh dari pengalaman langsung, maupun dari pengalaman orang lain yang
sampai kepadanya. Selain itu, dapat juga melalui media komunikasi, seperti: radio,
televisi, majalah, atau surat kabar (Poerwadarminta, 1976).
Menurut Benjamin Bloom (1908), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005)
pengetahuan dibagi menjadi beberapa tingkatan yang selanjutnya disebut dengan
Taksonomi Bloom. Menurut Bloom, pengetahuan dibagi atas: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
Menurut beberapa ahli, pengetahuan merupakan salah satu penyebab utama
timbulnya tindakan atau perubahan perilaku. Menurut Fritz Heider, perubahan
perilaku terjadi karena disposisi internal, misalnya pengetahuan, motif, sikap, dan
sebagainya. Sedangkan menurut Finer (1957) timbulnya tindakan terjadi akibat
ketidakseimbangan kognisi (cognitive dissonance). Ketidakseimbangan ini terjadi karena dalam diri individu terdapat dua elemen kognisi (pengetahuan, pendapat, atau
keyakinan) yang bertentangan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau
obyek, dan stimulus tersebut menimbulkan keyakinan bertentangan di dalam diri
individu sendiri, maka terjadilah ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan inilah yang
menyebabkan lahirnya sebuah perilaku baru. Menurut Rogers (1962), tindakan dapat
timbul melalui kesadaran. Kesadaran yang dimaksud berawal dari tingkat
pengetahuan seseorang. Kesadaran tersebut kemudian akan berlanjut mengikuti
empat tahap berikutnya, yaitu keinginan, evaluasi, mencoba, dan menerima
(penerimaan) atau dikenal juga dengan AIETA (Awareness, Interest, Evaluation, Trial, and Adoption) (Nursalam, 2007).
2.6.7 Sikap
Sikap (attitude), adalah evaluasi positip-negatip-ambivalen individu terhadap objek, peristiwa, orang, atau ide tertentu. Sikap merupakan perasaan, keyakinan, dan
kecenderungan perilaku yang relatip menetap. Unsur-unsur sikap meliputi kognisi,
sikap adalah pengalaman khusus, komunikasi dengan orang lain, adanya model, iklan
dan opini, lembaga-lembaga sosial dan lembaga keagamaan (Makmun, 2005).
Sikap adalah juga respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan
(senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Dengan
demikian, dapat dijelaskan bahwa sikap merupakan sindrom atau kumpulan gejala
dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan,
perhatian dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2005).
Dalam bidang kesehatan, yang dimaksud dengan sikap terhadap kesehatan
adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya empat variabel, yaitu:
1. Sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan
tanda-tandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara pencegahannya,
cara mengatasi atau menanganinya sementara)
2. Sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan,
antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan
kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara, dan
sebagainya.
3. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.
4. Sikap untuk menghindari kecelakaan, baik kecelakaan rumah tangga, maupun
kecelakaan lalulintas, dan kecelakaan di tempat-tempat umum (Notoatmodjo,
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sikap masyarakat etnis Tionghoa
cenderung lebih mengutamakan faktor material (makanan) dari faktor kesehatan,
mengingat latar belakang kedatangan mereka ke Indonesia yang saat itu dilanda
kelaparan di negerinya sendiri. Hal ini menciptakan sebuah nilai budaya yang unik
dalam bidang kesehatan. Setiap kali bertemu, masyarakat Tionghoa umumnya
bertanya “sudah makan atau belum”. Berbeda dengan masyarakat etnis Jawa yang
lebih mengutamakan faktor kesehatan sehingga setiap bertemu, lebih cenderung
mempertanyakan “sehat apa tidak” (Wahid, 2006).
2.6.8 Persepsi
Ada banyak definisi tentang persepsi sebagaimana yang dikemukakan para
ahli. Atkinson (1991), menyatakan bahwa persepsi timbul karena adanya respons
terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat kompleks, stimulus
masuk kedalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui
proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi. Definisi yang hampir sama
dikemukakan oleh Gibson (1986). Menurut Gibson persepsi mencakup penerimaan
stimulus (input), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi prilaku dan
membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain
sesuai dengan keadaannya (Notoatmodjo, 2005).
Persepsi adalah suatu proses otomatis yang terjadi dengan sangat cepat dan
yang kita miliki dapat mempengaruhi tindakan kita. Menurut Robbin (2003), yang
dikutip Notoatmodjo (2005), mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana
seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan sensasi yang dirasakan
dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungannya.
Menurut Anderson yang dikutip Notoatmodjo (2003), persepsi merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam memanfaatkan
pelayanan kesehatan. Persepsi termasuk dalam faktor predisposisi (predisposing factors), karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang
berbeda-beda.
2.6.9 Solidaritas Komunal
Salah satu karakteristik masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah memiliki
solidaritas komunal yang tinggi sehingga menyebabkan sulitnya proses pembauran
etnis. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang menganggap dirinya sebagai pihak
luar sehingga nasionalismenya sangat diragukan untuk mendorong proses pembauran.
Sehingga tidak ada pilihan lain mereka selain untuk bertahan dengan solidaritas
komunal mereka sebagai kelompok minoritas yang tertindas (Ihromi, 1999).
Demikian juga dalam penggunaan bahasa, walaupun mereka menjalankan
integrasi lokal dalam beberapa kehidupan keseharian etnis Cina, terutama yang belum
atau tidak melakukan pernikahan asimilasi dengan pihak pribumi, tetapi mereka tetap
Etnis Cina yang tidak atau belum berasimilasi melalui perkawinan dengan kaum
pribumi, biasanya hanya mengambil kebiasaan-kebiasaan budaya lokal terutama
dalam hal makanan (Ihromi, 1999).