• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. PENGARUH CARA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU

1. Umur Simpan

Pengamatan umur simpan yang dilakukan berdasarkan analisis secara subyektif yaitu ada/tidaknya bau asam yang merupakan indikasi awal terjadinya kerusakan. Oleh karena itu, mie dinyatakan rusak apabila sudah tercium bau asam. Hasil analisis umur simpan mie dengan berbagai jenis garam alkali ditunjukkan pada Gambar 6.

44 24 0 10 20 30 40 50 Na2CO3 0,6% STPP 0.2% jenis mie um ur s im pa n (j am

Gambar 6. Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan berbagai jenis garam alkali

Gambar 6 menunjukkan bahwa umur simpan mie yang menggunakan Na2CO3 mencapai 44 jam sedangkan umur simpan mie yang menggunakan STPP hanya bertahan 24 jam. Sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Gracecia (2005), umur simpan mie pasar daerah Jakarta dan Bogor antara 1

- 4 hari dengan nilai modus 2 hari (48 jam). Begitu pula dengan survei yang dilakukan oleh Priyatna (2005), umur simpan mie pasar daerah Tanggerang dan Bekasi antara 1 - 4 hari dengan nilai modus 2 hari (48 jam). Dari 40 responden pedagang mie, mie yang umur simpannya selama 3-4 hari di Tanggerang ada sebanyak 28,56%, sedangkan di Bekasi sebanyak 33,33%. Mie yang umur simpannya mencapai 3-4 hari ini diduga menggunakan zat terlarang seperti formalin dan boraks sebagai bahan pengawet. Formalin dilarang digunakan dalam produk pangan karena dapat menyebabkan luka bakar, muntah, sakit kepala, kerusakan hati, jantung, ginjal, pankreas dan kematian (OSHA, 2006).

Umur simpan mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lama dibandingkan dengan mie yang menggunakan STPP. Oleh karena itu, mie yang menggunakan Na2CO3 dipilih sebagai mie dengan garam alkali terbaik dengan umur simpan yang lebih lama.

Umur simpan mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lama dibandingkan dengan mie yang menggunakan STPP karena pH larutan dan pH mie yang menggunakan Na2CO3 lebih tinggi dibandingkan dengan pH larutan atau pH mie yang menggunakan STPP. Gambar 7 menunjukkan pH larutan dan pH mie yang menggunkan Na2CO3 atau STPP.

11.4 9.2 8.81 6.13 0 2 4 6 8 10 12 Na2CO3 0.6% STPP 0.2% Sampel pH

pH larutan garam alkali pH mie

Gambar 7. Nilai pH larutan dan pH mie dengan berbagai jenis garam alkali Nilai pH larutan dan pH mie yang menggunakan Na2CO3 berturut-turut 11.40 dan 8.81 sedangkan pH larutan dan pH mie yang menggunakan STPP berturut-turut 9.20 dan 6.13. Sebagian besar mikroorganisme

memiliki pH optimal dan pH maksimal. Nilai pH optimal bakteri berkisar antara pH 6 – 7 dan pH optimal kapang dan khamir berkisar antara pH 4 - 7. Sedangkan pH maksimal bakteri 9, pH maksimal kapang dan khamir yaitu pH 8 - 11 (Lund et. al., 2000).

Nilai pH awal bahan juga mempengaruhi jenis mikroba yang mungkin tumbuh. Nilai pH awal mie yang menggunakan Na2CO3 sebesar 8.81 sedangkan pH awal mie yang menggunakan STPP sebesar 6.13. Pada kisaran pH 8 hingga 11, tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh, sedangkan pada kisaran pH 6 hingga 7, hampir semua mikroorganisme dapat tumbuh (Lund et. al., 2000).

2. Mutu Fisik

Mutu adalah kelompok sifat pada komoditas yang membedakan tingkat pemuas atau acceptability dari komoditas tersebut bagi pembeli atau konsumen (Soekarto, 1990). Mutu fisik merupakan sifat-sifat mutu pada komoditas yang dapat diamati secara fisik atau kasat mata. Parameter kekerasan, kelengketan, elastisitas, dan warna merupakan bagian dari mutu fisik mie. Mie yang baik memiliki tekstur yang lembut, halus, kenyal, tidak terlalu lengket, dan berwarna kuning cerah (Astawan, 1999). Hasil analisis mutu fisik mie yang menggunakan Na2CO3, mie yang menggunakan STPP dan mie pasar yang dilaporkan oleh Indrawan (2005) dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 5.

Tabel 14. Hasil analisis mutu fisik mie yang menggunakan Na2CO3, mie yang menggunakan STPP dan mie pasar

Parameter Satuan Mie Pasar* Na2CO3 0,6% STPP 0,2% Kekerasan gf 6736,63 10291,75 6410,57 Kelengketan gf 202,62 14,26 11,76 Elastisitas gf 25,74 12,91 14,53 Warna oHue 77,19 83,47 83,15 *) Indrawan (2005) a. Tekstur

Berdasarkan Tabel 14, kekerasan mie pasar lebih mendekati kekerasan mie yang menggunakan STPP dibandingkan dengan mie yang

menggunakan Na2CO3. Mie pasar yang dilaporkan oleh Indrawan (2005) diduga menggunakan bahan tambahan lain seperti kansui, obat mie (K2CO3) atau natrium bikarbonat sebagai garam alkali. Kansui merupakan garam alkali yang terdiri dari campuran STPP dan Na2CO3. Menurut Indrawan (2005), diantara 12 pabrik mie yang disurvei di daerah Jabotabek, terdapat 1 pabrik menggunakan kansui, 4 pabrik menggunakan obat mie, 1 pabrik menggunakan Na2CO3, dan 6 pabrik menggunakan natrium bikarbonat. Hasil analisis kekerasan mie yang menggunakan Na2CO3, dan mie yang menggunakan STPP ditunjukkan pada Gambar 8. 10291.75 6410.57 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Na2CO3 0.6% STPP 0.2% jenis mie ke ke ra sa n ( gf )

Gambar 8. Nilai kekerasan mie dengan berbagai jenis garam alkali Berdasarkan analisis ragam, mie yang menggunakan Na2CO3 lebih keras dan berbeda nyata dibandingkan dengan mie STPP (Lampiran 6). Menurut Astawan (1999), STPP memiliki kemampuan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan sehingga air tidak mudah menguap dan tidak menyebabkan permukaan adonan menjadi kering dan keras sebelum proses pembentukan adonan. Nilai kekerasan mie yang menggunakan STPP dan mie yang menggunakan Na2CO3 berturut-turut sebesar 6410,57 gf dan 10291,75 gf.

Indrawan (2005) melaporkan bahwa nilai kekerasan mie pasar sebesar 6736,63 gf (Indrawan, 2005). Nilai kekerasan mie pasar lebih mendekati nilai kekerasan mie yang menggunakan STPP dibandingkan

dengan mie yang menggunakan Na2CO3. Hasil analisis kelengketan dan elastisitas mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang menggunakan STPP dapat dilihat pada Gambar 9.

14.26 11.76 12.91 14.53 0 5 10 15 20 Na2CO3 0.6% STPP 0.2% jenis mie gf kelengketan elastisitas

Gambar 9. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan berbagai jenis garam alkali

Kelengketan mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang menggunakan STPP tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% meskipun mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lengket dibandingkan dengan mie yang menggunakan STPP (Lampiran 6). Indrawan (2005) melaporkan bahwa kelengketan mie pasar sangat tinggi yaitu 202,62 gf. Kelengketan mie pasar yang sangat tinggi ini diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk lendir yang menyebabkan mie menjadi lengket.

Mie yang menggunakan STPP lebih elastis dan berbeda nyata dibandingkan dengan mie yang menggunakan Na2CO3 berdasarkan analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 6). Menurut Astawan (1999), STPP dapat meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas adonan sedangkan Na2CO3 dapat meningkatkan kehalusan tekstur adonan. Di pasar, garam STPP biasa digunakan pada produk bakso untuk meningkatkan kekenyalan bakso karena STPP dapat berinteraksi dengan protein aktin dan miosin untuk memperkuat tesktur bakso.

Indrawan (2005) melaporkan bahwa mie pasar memiliki elastisitas yang tinggi sebesar 25.74 gf. Hal ini diduga karena adanya penambahan

senyawa boraks yang dapat meningkatkan elastisitas mie. Boraks merupakan senyawa berbahaya yang dilarang digunakan pada bahan pangan karena dapat menyebabkan sakit ginjal, respirasi, otak, hati, demam, muntah, kram perut dan kematian (OSHA, 2006).

b. Warna

Penambahan garam alkali pada pembuatan mie dapat mempengaruhi pembentukan warna mie. Hasil analisis warna (oHue) mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang menggunakan STPP dapat dilihat pada Gambar 10 dan Lampiran 6.

83.47 83.15 82.9 83 83.1 83.2 83.3 83.4 83.5 Na2CO3 0.6% STPP 0.2% jenis mie de ra ja t w arn a (o H ue )

Gambar 10. Warna mie dengan berbagai jenis garam alkali

Penambahan Na2CO3 dan STPP dapat meningkatkan pH adonan mie karena Na2CO3 dan STPP merupakan garam alkali yang memiliki pH di atas pH netral (pH 7). Na2CO3 memiliki pH 11.40 sedangkan STPP memiliki pH 9.20. Meningkatnya pH adonan dapat mengakibatkan pembentukan warna kuning dari komponen flavanoid (Hatcher, 2001).

Mie yang menggunakan Na2CO3 lebih kuning dan berbeda nyata dengan mie yang menggunakan STPP pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 6). Selain itu, mie yang menggunakan STPP secara visual lebih putih dibanding dengan mie yang menggunakan Na2CO3. Hal ini disebabkan karena pH STPP lebih rendah dibanding dengan pH Na2CO3 yang mengakibatkan tidak semua komponen flavanoid membentuk warna

kuning. Akan tetapi, kedua jenis mie ini masuk dalam kisaran warna merah kekuningan yang mendekati kisaran warna kuning.

Indrawan (2005) melaporkan bahwa nilai warna mie pasar sebesar 77,19 oHue. Nilai warna mie pasar ini cukup rendah dibandingkan dengan warna mie Na2CO3 atau mie STPP. Di pasar, warna mie pasar secara visual lebih coklat dan gelap dibandingkan dengan kedua mie lainnya. Pembentukan warna coklat disebabkan karena terjadi proses pencoklatan oleh enzim polifenoloksidase yang berasal dari tepung.

3. Kontribusi Harga Garam Alkali terhadap Harga Mie

Harga Na2CO3 relatif lebih murah dibandingkan dengan harga STPP di pasar. Daftar harga dan kontribusi harga Na2CO3 dan STPP pada pembuatan mie dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Daftar harga dan kontribusi harga Na2CO3 dan STPP pada pembuatan mie

Harga (Rp/Kg) Kontribusi Harga (Rp/kg mie) Na2CO3 STPP Na2CO30,6% STPP 0,2%

4000 15000 19,20 24,00 Kontribusi harga (Rp/kg mie) dihitung berdasarkan jumlah BTP yang digunakan pada pembuatan mie, rendemen mie yang dihasilkan dan harga BTP di pasar. Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen mie yang dihasilkan sekitar 125% yang artinya, bobot mie yang dihasilkan sebanyak 125 g mie dari penggunaan 100 g terigu (Lampiran 7). Untuk selanjutnya, perhitungan kontribusi harga mengacu pada hasil rendemen ini.

Harga satu kg STPP dapat mencapai Rp. 15.000,-/kg sedangkan harga satu kg Na2CO3 hanya Rp. 4.000-/kg. Selisih harga yang cukup besar ini dapat mempengaruhi harga produksi mie. Penambahan Na2CO3 dalam pembuatan mie hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 19,20/kg mie sedangkan penambahan STPP dapat mencapai Rp. 24,00/kg mie. Perhitungan kontribusi harga dapat dilihat pada Lampiran 8.

B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE

Elastisitas mie merupakan salah satu parameter mutu mie. Untuk memperbaiki elastisitas mie, di industri sering ditambahkan bahan tambahan pangan hidrokoloid seperti CMC, gum Arab dan karagenan yang dapat memberikan elastisitas mie yang lebih baik. Menurut Sunaryo (1985), penambahan CMC dalam pembuatan mie bertujuan untuk mempercepat pengembangan adonan. Akan tetapi, masih banyak industri yang menggunakan zat terlarang boraks untuk meningkatkan elastisitas mie. Berdasarkan hasil penelitian Oktaviani (2005), penggunaan boraks sebanyak 300 ppm pada pembuatan mie dapat meningkatkan elastisitas mie dari 22,5 gf hingga menjadi 31,96 gf. Pengamatan yang dilakukan terhadap mie dengan penambahan hidrokoloid meliputi pengamatan umur simpan secara subyektif dengan indikator bau asam yang dilakukan setiap 4 jam sekali, pengamatan mutu fisik yaitu kekerasan, kelengketan dan elastisitas serta analisis kontribusi harga masing-masing hidrokoloid. Pengamatan mutu fisik warna tidak dilakukan karena penambahan hidrokoloid tidak mempengaruhi warna mie.

1. Umur Simpan Mie dengan Penambahan Hidrokoloid

Pengukuran umur simpan mie dilakukan secara subyektif dengan indikator ada/tidaknya bau asam karena bau asam merupakan indikator awal terjadinya kerusakan mie. Pengukuran ini dilakukan setiap 4 jam sekali hingga bau asam muncul. Umur simpan mie dengan penambahan CMC, gum Arab atau karagenan dapat dilihat pada Gambar 11.

44 48 48 48 0 10 20 30 40 50 60

kontrol CMC 0.2% Gum Arab

0.5% Karagenan 0.5% jenis mie um ur s im pan ( ja m

Gambar 11. Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan penambahan berbagai jenis hidrokoloid

Penambahan hidrokoloid ke dalam mie ternyata tidak meningkatkan umur simpan yang cukup tinggi. Berdasarkan Gambar 11, umur simpan mie dengan penambahan CMC, gum Arab atau karagenan memiliki umur simpan yang sama yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tiga jenis hidrokoloid tersebut tidak berbeda umur simpannya, meskipun ketiga jenis hidrokoloid ini memberikan umur simpan yang lebih lama 4 jam dibandingkan dengan mie kontrol (44 jam). Oleh karena itu, pemilihan hidrokoloid terbaik akan dilihat dari segi mutu fisik dan kontribusi harga.

2. Tekstur

Penambahan hidrokoloid ke dalam mie ternyata dapat mempengaruhi mutu fisik mie. Hasil analisis kekerasan mie dengan berbagai jenis hidrokoloid ditunjukkan pada Gambar 12 berikut dan Lampiran 9.

10291.75 10310.43 9821.58 7513.43 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

kontrol CMC 0.2% Gum Arab

0.5% Karagenan 0.5% jenis mie keker asan (g f)

Kekerasan mie yang ditambahkan CMC atau gum Arab tidak berbeda secara signifikan dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95%, sedangkan kekerasan mie yang ditambahkan karagenan lebih rendah dan berbeda secara signifikan dengan mie kontrol (Lampiran 10). Mie dengan penambahan karagenan memiliki kekerasan yang lebih baik dibandingkan dengan mie dengan penambahan hidrokoloid lainnya karena nilai kekerasan mie karagenan (7513,43 gf) lebih rendah. Hasil analisis kelengketan dan elastisitas mie yang ditambahkan hidrokoloid dapat dilihat pada Gambar 13.

14.26 41.96 19.11 23.45 18.43 12.91 12.06 16.8 0 10 20 30 40 50

kontrol CMC 0.2% Gum Arab 0.5% Karagenan 0.5% jenis mie gf Kelengketan Elastisitas

Gambar 13. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan penambahan berbagai hidrokoloid

Penambahan CMC, gum Arab atau karagenan ternyata tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelengketan mie dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 10) meskipun kelengketan mie gum Arab sangat tinggi. Kelengketan mie gum Arab sebesar 41,96 gf sedangkan kelengketan mie CMC dan mie karagenan berturut-turut sebesar 18,43 gf dan 19,11 gf.

Penambahan CMC dapat meningkatkan elastisitas mie dan berbeda nyata dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan penambahan gum Arab atau karagenan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap elastisitas mie dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 10).

Mie dengan penambahan CMC memiliki elastisitas yang lebih baik dibandingkan dengan penambahan hidrokoloid lainnya karena mutu mie yang baik dan yang diinginkan oleh konsumen adalah semakin elastis. Selain itu, nilai elastisitas mie CMC, yaitu 23,45 gf mendekati nilai elastisitas mie yang dijual di pasar, yaitu 25,74 gf (Indrawan, 2005).

3. Kontribusi Harga Hidrokoloid terhadap Harga Mie

Berdasarkan umur simpan, ketiga jenis hidrokoloid yang ditambahkan pada mie memiliki umur simpan yang sama, yaitu 48 jam. Berdasarkan mutu fisiknya, mie karagenan lebih baik dibandingkan dengan mie CMC atau mie gum Arab untuk parameter kekerasan. Sedangkan untuk parameter elastisitas, mie CMC lebih baik dibandingkan dengan mie karagenan dan mie gum Arab. Untuk parameter kelengketan, ketiga jenis mie hidrokoloid ini tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Oleh karena itu, pemilihan hidrokoloid terbaik pada tahapan ini mengacu pada kontribusi harga yang diberikan oleh masing-masing hidrokoloid karena kontribusi harga akan sangat mempengaruhi harga produksi dan harga jual mie jika akan diaplikasikan ke dalam industri.

Harga hidrokoloid di pasar ternyata sangat beragam tergantung dari asal bahan dan proses pengolahannya. Karagenan merupakan hidrokoloid yang paling mahal dan cukup sulit dicari di pasar dibandingkan dengan dua hidrokoloid lainnya, yaitu gum Arab dan CMC. Harga pasar CMC, gum Arab dan karagenan serta kontribusi harganya dalam pembuatan mie dapat dilihat pada 16 berikut ini.

Tabel 16. Harga hidrokoloid serta kontribusi harganya

Harga (Rp/Kg) Kontribusi Harga

(Rp/kg mie)

CMC GA KA CMC 0,2% GA 0,5% KA 0,5%

60.000 130.000 600.000 96 520 2.400

Hidrokoloid yang memberikan kontribusi harga terbesar yaitu karagenan sebesar Rp. 2.400,-/kg mie sedangkan kontribusi harga terkecil berasal dari CMC yaitu hanya sebesar Rp. 96,-/kg mie. Sementara, kontribusi harga gum Arab sebesar Rp. 520,-/kg mie (Lampiran 11). Oleh

karena itu, hidrokoloid terbaik yang akan digunakan pada tahapan berikutnya adalah CMC karena memberikan kontribusi harga terkecil.

C. PENGARUH PENYANGRAIAN TAPIOKA TERHADAP MUTU MIE Penambahan bahan pemupur dalam pembuatan mie berfungsi agar benang-benang mie tidak saling menempel satu sama lain. Bahan pemupur yang sering digunakan di pasar adalah tapioka karena memberikan warna yang jernih pada saat dimasak menjadi mie basah mentah yang dimatangkan.

Ada dua jenis tapioka yang digunakan yaitu tapioka tidak bermerek dan tapioka bermerek. Tapioka tidak bermerek sering dijumpai di pasar-pasar tradisional. Sebenarnya, tapioka ini memiliki merek tertentu, akan tetapi dalam kemasan karungan sedangkan ketika di pasar, tapioka ini dijual dalam bentuk kemasan yang lebih kecil ukuran satu kg dan tidak dikemas secara higienis. Sementara, tapioka bermerek dijual dalam kemasan kecil ukuran 500 gram dan telah dikemas secara higienis.

1. Mutu Mikrobiologi Tapioka

Tapioka tidak bermerek diberi perlakuan penyangraian pada suhu 80oC selama 15 detik, 30 detik, dan 60 detik dan dihitung jumlah Total Plate Count (TPC) masing-masing perlakuan. Sementara, tapioka bermerek tidak diberi perlakuan penyangraian. Hasil analisis TPC tapioka dalam berbagai jenis perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Lampiran 12.

5.38 4.54 3.36 3.36 3.36 0.00 2.00 4.00 6.00 TTB0 TTB15 TTB30 TTB60 TGA jenis mie log T P C ( C F U /g ) Keterangan :

TTB0 : tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai

TTB15 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 15 detik

TTB30 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 30 detik

TTB60 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 60 detik

TGA : tapioka bermerek

Gambar 14. Total Plate Count (TPC) tapioka dengan berbagai waktu penyangraian

Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 14, penyangraian tapioka dapat mengurangi jumlah mikroba pada tapioka. Semakin lama waktu penyangraian, semakin sedikit jumlah TPC tapioka karena semakin banyak mikroba yang tidak tahan panas dan mati.

Tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) memiliki TPC paling kecil dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik (80oC) karena waktu penyangraian tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) lebih lama dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai dan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik (80oC).

Nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) sama dengan nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) dan nilai TPC tapioka bermerek. Tapioka bermerek dikemas secara higienis sehingga tidak mudah terkontaminasi.

Nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) sebesar 2,3 x 103 CFU/g sedangkan nilai TPC tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai dan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik (80oC) berturut-turut adalah 2,4 x 105 CFU/g dan 3,5 x 104 CFU/g . Meskipun nilai TPC tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai cukup tinggi, tetapi nilai TPC tapioka tidak bermerek yang tidak

disangrai masih memenuhi persyaratan SNI TPC tapioka yaitu sebesar 1,0 x 106 CFU/g.

2. Umur Simpan Mie dengan Aplikasi Bahan Pemupur

Untuk meningkatkan umur simpan mie, digunakan dua jenis tapioka yaitu tapioka tidak bermerek dan tapioka bermerek. Untuk meningkatkan mutu tapioka yang tidak bermerek, maka tapioka yang tidak bermerek disangrai pada suhu 80oC dengan dengan berbagai waktu. Tapioka yang telah diberi berbagai perlakuan diaplikasikan ke dalam mie sebagai bahan pemupur kemudian diamati umur simpan mie yang telah dipupur ini. Umur simpan dilakukan secara subyektif berdasarkan ada/tidaknya bau asam setiap 4 jam sekali. Hasil analisis umur simpan mie dengan berbagai jenis bahan pemupur dapat dilihat pada Gambar 15.

44 44 48 52 52

0

10

20

30

40

50

60

TTB0 TTB15 TTB30 TTB60 TGA

jenis mie

um

ur

s

im

pa

n

(a

m

Keterangan :

TTB0 : tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai

TTB15 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 15 detik

TTB30 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 30 detik

TTB60 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 60 detik

TGA : tapioka bermerek

Gambar 15. Umur simpan mie dengan berbagai jenis bahan pemupur Mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik (80oC) umur simpannya sama dengan mie dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai, yaitu 44 jam. Sedangkan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) atau tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) memiliki umur simpan

yang lebih lama dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai. Umur simpan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) yaitu 48 jam dan umur simpan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) yaitu 52 jam. Perbedaan umur simpan ini disebabkan karena jumlah TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) atau tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) lebih sedikit dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai. Semakin banyak jumlah TPC suatu produk, umur simpan produk tersebut akan semakin cepat karena asam yang terbentuk oleh mikroba pembentuk asam selama penyimpanan semakin banyak.

Mie dengan tapioka bermerek memiliki umur simpan yang sama dengan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) yaitu 52 jam. Hal ini berarti bahwa, proses penyangraian tapioka tidak bermerek selama 60 detik (80oC) dapat mengurangi jumlah TPC tapioka tidak bermerek yang menyerupai dengan jumlah TPC tapioka bermerek yang telah dikemas higienis. Akan tetapi, proses penyangraian dianggap tidak praktis karena membutuhkan biaya dan energi tambahan yang dapat mempengaruhi harga produksi mie.

3. Kontribusi Harga Tapioka terhadap Harga Mie

Penggunaan tapioka dapat mempengaruhi harga produksi mie. Harga tapioka yang tidak bermerek jauh lebih murah dibandingkan dengan tapioka bermerek. Akan tetapi, umur simpan mie tapioka tidak bermerek lebih cepat dibandingkan dengan mie tapioka bermerek. Hasil analisis harga dan kontribusi harga tapioka dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Harga tapioka dan kontribusi harganya

Jenis tapioka Harga (Rp/kg) Kontribusi Harga Tapioka (Rp/kg mie) Tidak bermerek Rp.3500/kg 105

Penggunaan tapioka tidak bermerek memerlukan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan tapioka bermerek, yaitu hanya sebesar Rp.105,-/kg mie sedangkan tapioka bermerek memerlukan biaya sebesar Rp.150,-/kg mie (Lampiran 13). Akan tetapi, untuk mendapatkan hasil maksimal dari penggunaan tapioka tidak bermerek diperlukan energi dan biaya tambahan untuk proses penyangraian sehingga tapioka terbaik sebagai bahan pupuran mie adalah tapioka bermerek.

D. PENGARUH CARA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE

Ada dua keknologi yang dilakukan pada tahapan ini, yaitu

Dokumen terkait