• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAL WAT TAMWIL

D. Peraturan yang Mengatur BMT

1. Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian…

Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan

kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19456

dan berdasar atas asas kekeluargaan.7

Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.8

Nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu: Kekeluargaan; Menolong diri sendiri; Bertanggung jawab; Demokrasi; Persamaan; Berkeadilan; dan Kemandirian.9

Koperasi mempunyai perangkat organisasi Koperasi yang terdiri atas Rapat Anggota, Pengawas, dan Pengurus.10 Dalam hal sumber permodalan Koperasi, maka dapat berupa:

a. Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal.

b. Selain tersebut diatas, modal Koperasi dapat berasal dari:

6

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, pasal 2. 7 Ibid., pasal 3. 8 Ibid., pasal 4. 9 Ibid., 5. 10 Ibid., pasal 31.

1) Hibah;

2) Modal Penyertaan;

3) Modal pinjaman yang berasal dari: a) Anggota;

b) Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya; c) Bank dan lembaga keuangan lainnya;

d) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau

e) Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan/atau sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.11

Selain sumber permodalan tersebut diatas, Koperasi dapat menerima Modal Penyertaan dari:

a. Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau

b. masyarakat berdasarkan perjanjian penempatan Modal Penyertaan.12

Pemerintah dan/atau masyarakat wajib turut menanggung risiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai dengan Modal

11

Ibid., pasal 66. 12

Penyertaan sebatas nilai Modal Penyertaan yang ditanamkan dalam Koperasi.13

Berdasarkan undang-undang ini, jenis Koperasi terdiri dari Koperasi konsumen; Koperasi produsen; Koperasi jasa; dan Koperasi Simpan Pinjam.14

Dimana koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan Anggota dan non-Anggota;15

Koperasi produsen menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi yang dihasilkan Anggota kepada Anggota dan non-Anggota16

; Koperasi jasa menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan jasa non-simpan pinjam yang diperlukan oleh Anggota dan non-Anggota17

; dan Koperasi Simpan Pinjam menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani Anggota.18

13

Ibid., pasal 75 ayat 2. 14

Ibid., pasal 83. 15

Ibid., pasal 84. 16

Ibid., pasal 84 ayat 2. 17

Ibid., pasal 84 ayat 3. 18

Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah.19

Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah diatur dengan Peraturan Pemerintah.20

Di dalam Undang-undang ini, Koperasi Simpan Pinjam harus memperoleh izin usaha simpan pinjam dari Menteri.21

Untuk memperoleh izin usaha simpan pinjam, Koperasi Simpan Pinjam harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.22

Adapun kegiatan dalam Koperasi Simpan Pinjam yaitu:

a. menghimpun dana dari Anggota;

b. memberikan Pinjaman kepada Anggota; dan

c. menempatkan dana pada Koperasi Simpan Pinjam sekundernya. 23

Untuk meningkatkan pelayanan kepada Anggota, Koperasi Simpan Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan simpan pinjam. Jaringan pelayanan simpan pinjam dapat terdiri atas:

a. Kantor Cabang;

b. Kantor Cabang Pembantu; dan c. Kantor Kas.24

19

Ibid., pasal 87 ayat 3. 20

Ibid., pasal 87 ayat 4. 21

Ibid., pasal 88 ayat 1. 22

Ibid., pasal 88 ayat 2. 23

Ibid., pasal 89. 24

Untuk meningkatkan usaha Anggota dan menyatukan potensi usaha serta mengembangkan kerjasama antar-Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Simpan Pinjam dapat mendirikan atau menjadi Anggota Koperasi Simpan Pinjam Sekunder. Koperasi Simpan Pinjam Sekunder dapat menyelenggarakan kegiatan:

a. simpan pinjam antar-Koperasi Simpan Pinjam yang menjadi anggotanya; b. manajemen risiko;

c. konsultasi manajemen usaha simpan pinjam;

d. pendidikan dan pelatihan di bidang usaha simpan pinjam;

e. standardisasi sistem akuntansi dan pemeriksaan untuk anggotanya; f. pengadaan sarana usaha untuk anggotanya; dan/atau

g. pemberian bimbingan dan konsultasi.

Koperasi Simpan Pinjam wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam memberikan Pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan peminjam untuk melunasi Pinjaman sesuai dengan perjanjian dan wajib menempuh cara yang tidak merugikan Koperasi Simpan Pinjam dan kepentingan penyimpan dan wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian terhadap penyimpan.

Koperasi Simpan Pinjam dilarang melakukan investasi usaha pada sektor riil. Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari Anggota harus menyalurkan kembali dalam bentuk Pinjaman kepada Anggota.25

Dalam menjamin simpanan, maka Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin Simpanan Anggota. Adapun pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam untuk menjamin Simpanan Anggota.

Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam menyelenggarakan program penjaminan Simpanan bagi Anggota Koperasi Simpan Pinjam dan koperasi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti program penjaminan simpanan pada Lembaga Penjamin Koperasi. Ketentuan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam diatur dengan Peraturan Pemerintah.26

Dalam hal meningkatkan kepercayaan terhadap koperasi, maka wajib dilakukan pengawasan terhadap koperasi oleh Menteri. 27

Sedangkan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam yang kemudian Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam bertanggung jawab kepada Menteri.28

25 Ibid.,pasal 93. 26 Ibid.,pasal 94. 27 Ibid.,pasal 96. 28 Ibid.,pasal 100.

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka Koperasi yang telah didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diakui sebagai Koperasi berdasarkan Undang-Undang ini.29

Undang-undang ini diundangkan Pada Tanggal 30 Oktober 2012 dan mulai berlaku pada saat diundangkan.

2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.30

Berdasarkan Undang-undang ini, yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 31

Adapun yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana

29

Ibid., pasal 122. 30

Republik Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pasal 1 ayat 1.

31

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.32

Selain itu adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 33

OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.34

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

32

Ibid., pasal 1 ayat 9. 33

Ibid., pasal 1 ayat 10. 34

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.35

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.36

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.37

Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

35 Ibid.,Pasal 4. 36 Ibid.,Pasal 5. 37 Ibid., pasal 6.

g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.38

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

38

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut: i. izin usaha;

sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.39

Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi:

a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;

b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan

c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.40

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain: 39 Ibid., pasal 9. 40 Ibid., pasal 28.

a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important

bank; dan

f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.41

Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK dan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.42

Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2011.

41

Ibid., 43. 42

3. Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Undang-Undang yang terdiri dari 42 pasal ini memuat substansi pokok mengenai ketentuan lingkup LKM, konsep Simpanan dan Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan.

Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-ticensing).

Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,

pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.43

Adapun menurut Undang-undang ini LKM bertujuan untuk:44

a. meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;

b. membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan

c. membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

Bentuk badan hukum yang dapat digunakan oleh LKM antara lain adalah:

a. Koperasi; atau

b. Perseroan Terbatas.45

LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.46Untuk

43

Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro pasal 1. 44 Ibid., pasal 3. 45 Ibid., pasal 5. 46

memperoleh izin usaha LKM harus dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai:

a. Susunan organisasi dan kepengurusan;

b. Permodalan;

c. Kepemilikan; dan

d. Kelayakan rencana kerja.47

Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.48Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.49

Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah LKM wajib membentuk dewan pengawas syariah.50Dewan pengawas syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan LKM agar sesuai dengan prinsip syariah.51

47

Ibid., pasal 9 ayat 2. 48

Ibid., pasal 12 ayat 1. 49

Ibid., ayat 2.

50

Ibid., pasal ayat 1. 51

Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM.52 Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat Pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama Pemerintah Daerah dan LKM.53 Dalam hal mengatur cakupan wilayah kegiatan usaha, LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:

a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau

b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.54

Agar lebih terarah dan terawasi, maka pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.55Dalam melakukan pembinaan, Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Pembinaan dan pengawasan tersebut didelegasikan kepada pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

52

Ibid., pasal 19 ayat 1. 53

Ibid., pasal 19 ayat 2. 54

Ibid., pasal 27. 55

Sebagaimana sebuah lembaga keuangan yang akuntabel, maka LKM wajib melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.56

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.57

Lembaga-tersebut diatas wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.58Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang ini.59 Dan Undang-undang ini disahkan di Jakarta, pada tanggal 8 Januari 2013 dan mulai berlaku tanggal 8 Januari 2015.

56 Ibid., pasal 29. 57 Ibid., ayat 1. 58 Ibid., ayat 2. 59 Ibid., ayat 3.

57 A. Kelembagaan BMT

Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menunjukkan

progress yang sangat baik, pasalnya LKM merupakan lembaga keuangan yang mampu berbaur dengan masyarakat ekonomi rendah, dengan ciri khas nya yang berbeda dengan bank, LKM hadir sebagai mitra masyarakat untuk mengakses modal.

LKM juga tidak hanya sebagai perantara antara pihak surplus dana dan pihak yang kekurangan dana, LKM turut melakukan pembinaan, pengawasan, dan monitoring nasabah pembiayaannya sehingga LKM dalam praktiknya mampu menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak bankable namun memiliki prospek dalam menjalankan usaha kecil dan menengah adalah masyarakat yang layak untuk diberi pembiayaan. Hal ini juga ditunjukkan dengan rendahnya nilai NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet pada LKM lebih rendah daripada NPF pada bank.

Berbeda dari banyaknya LKM yang ada di Indonesia, BMT merupakan LKM yang dapat dikatakan memiliki karakteristik yang berbeda dengan LKM sejenisnya. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dijalankan oleh BMT dan juga corak dari kegiatan usaha yang berbeda dengan LKM lain yang sejenis.

BMT yang pada awalnya masih menggunakan payung hukum perkoperasian saat ini dirasa kurang terpenuhi secara kelembagaan dan ketepatan hukum dengan undang-undang tersebut, yaitu undang-undang No. 25 Tahun 1992 yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Banyak hal yang tidak diatur dengan baik perihal kelembagaan BMT, baik dari sisi pengawasan, pengaturan, aspek syariah, standar kompetensi, dll.

Dengan alasan tersebut, maka pemerintah yang saat ini telah mengeluarkan penyempurnaan undang-undang dalam sektor keuangan dimana Bank Indonesia saat ini tidak lagi mengatur tentang Lembaga Keuangan di Indonesia dan dialihfungsikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka dengan munculnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri membuat BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro tidak lagi diatur oleh undang-undang perkoperasian dan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 namun juga oleh undang OJK dan undang-undang LKM.

Adanya undang-undang baru di dalam sektor keuangan nasional diatas membuat banyak praktisi BMT merasa ruang lingkup operasional BMT dibatasi oleh undang-undang tersebut. Undang-undang baru yang mengatur BMT masih dirasakan kurang tepat mengakomodasi kebutuhan hukum BMT saat ini. Banyak pula pihak

yang merasa undang-undang diatas belum matang untuk diundangkan dan terlihat tumpang tindih.

Kerancuan dalam undang-undang terkait operasional BMT membuat BMT bukan hanya terbatasi operasionalnya, namun juga membuat BMT semakin rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam bidang hukum karena ketidaktepatan dan ketidakmampuan undang-undang dalam menjawab kebutuhan BMT sebagai lembaga keuangan mikro di masyarakat.

Adanya beberapa undang-undang juga membuat BMT sulit merujuk hukum atau undang-undang mana yang menjadi acuan dasar apabila terjadi perselisihan atau penyimpangan.

Dengan melihat review regulasi yang mengatur BMT diatas, maka berikut beberapa hal yang dapat dilihat agar didapat pemahaman terkait landasan operasional BMT dalam undang-undang.

1. Bentuk Badan Hukum

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro dapat berupa:

a. Koperasi

Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan

oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. BMT yang berbadan hukum koperasi dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum koperasi.

b. Perseroan Terbatas

Baitul Mal Wat Tamwil sebagai Lembaga Keuangan Mikro dapat berbentuk Koperasi atau Perseroan Terbatas walaupun pada prakteknya umumnya berbentuk badan hukum koperasi.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, jika BMT berbentuk Perseroan Terbatas maka sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) harus dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota atau badan usaha milik desa/ kelurahan. Sisa kepemilikan sahamnya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/ atau koperasi. Kepemilikan saham warga negara Indonesia di dalam LKM berbentuk perseroan terbatas dibatasi hanya 20%. LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung oleh warga Negara asing dan/ atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga Negara asing atau badan usaha asing. Klausul ini akan menyulitkan bagi Baitul Mal Wat Tamwil jika memilih berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. Pasalnya, BMT akan sulit berkoordinasi dengan pemerintah daerah kabupaten maupun kota

atau dengan badan usaha milik desa atau kelurahan baik dalam hal permodalan maupun operasional. Dalam hal permodalan, pemerintah daerah haruslah menganggarkan APBD dalam hal ini untuk menggalakkan keuangan mikro dalam basis LKM, sedangkan kenyataannya APBD belum secara matang dan serius dialokasikan untuk menyokong LKM di suatu desa atau kota. Pemerintah daerah masih menitik beratkan fokus pada pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa BMT dapat berbadan hukum Koperasi maupun Perseroan Terbatas. Apabila BMT memilih untuk berbadan hukum Koperasi, maka BMT haruslah merujuk pada peraturan Koperasi, jika BMT memilih untuk berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka BMT wajib menaati peraturan terkait peraturan Perseroan Terbatas.

Selain itu Baitul Mal Wat Tamwil yang berbadan hukum koperasi dapat saja bersama Pemerintah Daerah membentuk Lembaga Keuangan Mikro lainnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.1

Dokumen terkait