• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG PERDAGANGAN ORANG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

C. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Setelah sekian lama banyak piha menunggu lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban,

57

akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan.

Sekalipun materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya,58 Dasar pertimbangan perlunya undang-undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk segara disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian pertimbangan dari undang-undang ini, yang antara lain bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

Salah satu alat bukti yang sah dalam suatu proses peradilan adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.59

Sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisisr, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, saksi pelapor, dan saksi ahli. Sehingga Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban direvisi

58

Beberapa ketentuan yang masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksananya, diantaranya: pengaturan tentang Pemberian Kompensasi dan restitusi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat; susunana panitia seleksi, kedudukan, susunan organisasi, tugas dan tanggung jawab sekretaris LPSK; Tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK.

59

Pasal 184 ayat (1) KUHAP; Keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

dan lahirlah Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.60

Bukan hal aneh apabila di Indonesia, tindakan teror atau ancaman, baik fisik maupun psikis banyak menimpa orang-orang yang akan memberikan kesaksian dalam suatu proses peradilan pidana, terlebih apabila kesaksian yang akan diberikan dapat memberatkan orang yang dituduh melakukan tindak pidana.

Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan, tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan

60

Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

hasil rekayasa apalagi hasil tekanan (pressure) dari pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan pengertian saksi itu sendiri yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.61

undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi diantara ketiganya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menyebutkan :

“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban yang meliputi :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

61

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan; i. Dirahasiakan identitasnya;

j. Mendapat identitas baru;

k. Mendapat tempat kediaman sementara; l. Mendapat tempat kediaman baru;

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penejalasan dalam Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu” antara lain, “tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak,

dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.”

Jelaslah, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak setiap saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam undang-undang ini.62

Saksi dan Korban tindak pidana perdagangan orang selain berhak seperti dalam ketentuan Pasal 5 tersebut juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Hal ini tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu :

Korban pelanggaran hak asasi manusia berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan :

a. Bantuan medis; dan

b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

Yang dimaksud dengan “bantuan medis” adalah bantuan yang diberikan untuk memulihkan kesehatan fisik korban, termasuk melakukan pengurusan dalam hal korban meninggal dunia misalnya pengurusan jenazah hinga pemakaman.63Sedangkan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikososial” adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk

62

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit. Halaman 154

63

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehinga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara sosial. Dan yang dimaksud dengan “rehabilitasi psikologis” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.64

Setiap korban tindak pidana sebagaimana ditetapkan dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak memperoleh restitusi. Restitusi tersebut berupa :

a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan. Jika korban tindak pidana telah meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.65

Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi :

64

Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

65

Pasal 7A ayat (1) samapai ayat (6) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

a. Memberiakan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);66 b. Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana

maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya (Pasal 10 ayat 1)

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini merupakan lembaga mandiri yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, namun mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan

LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan hukum kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. LPSK bertanggung jawab kepada presiden dan LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit dalma 1 (satu) tahun.

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen hukum dan HAM, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya

66 Kesaksian tanpa kehadiran saksi atau korban secara fisik di pengadilan dapat diberikan baik secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dengan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksiannnya maupun secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat berwenang.

masyarakat. Masa jabatan LPSK adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.