BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG PERDAGANGAN ORANG
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI
A. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengaturan hukum mengenai larangan terhadap perdagangan orang telah seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang dikhususkan mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahan pun perdagangan perempuan dan anak sudah diklasifikasikan sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tidakan tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana.36
Sebelum undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang berbunyi : “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Hanya Pasal ini yang secara khusus menyebut perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang.37
Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 297, tetapi tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang. Pasal 297 yang berbunyi perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Hanya Pasal ini yang secara khusus menyebutkan perdagangan
36
Alfitra, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP,(Jakarta : penebar swadaya grup, 2014) , Halaman 108
37
orang walaupun masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap perdagangan orang. Pemberian sanksi dalam Pasal 297 KUHP tersebut tergolong sangat ringan dan tidak memberikan sanksi yang tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban kejahatan perdagangan manusia.38
Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi mengakselerasi globalisasi tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan tidak hanya melibatkan perorangan, tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalagunakan wewenang kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antarnegara.
Pasal 297 KUHP tidak cukup untuk mencakup berbagai macam bentuk kejahatan yang terdapat dalam modus perdagangn orang. Seperti perdagangan orang melalui jeratan utang. Selain itu, Pasal ini tidak mencantumkan masalah-masalah penyekapan atau standarisasi kondisi pekerjaan. Jika ukuran hukum tidak jelas, aparat penegak hukum akan sulit membedakan antara penampungan dan penyekapan.39
Jika dibandingkan rumusan perdagangan orang dalam KUHP tentang tindak pidana perdagangan orang, maka dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pengertian
38
Alfitra, Op.cit Halaman 109
39
Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah lebih rinci atau mencakup ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang dari rumusan KUHP. Dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Perdagangan orang adalah sebagai berikut.
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, eksploitasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa :
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”
Unsur tujuan untuk mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi di atas digunakan. Dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 7, dengan menyebutkan bahwa “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban ...” Ditegaskannya persetujuan korban adalah sebagai hal yang tidak relevan atau tidak berarti lagi, jika disebutkan dalam peraturan tentang perdagangan orang karena dapat melemahkan niat untuk menghukum pelaku perdagangan orang.
Sering terjadi dalam kasus bahwa argumentasi pelaku selalu menggunakan alasan bahwa korban telah setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau dan sepakat untuk ikut. Oleh karena itu, dipertegas lagi dalam Pasal 26 undang – undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Unsur tujuan ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat.40
Penyalahgunaan kekuasaan dimaksud adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankan secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.41 Pengertian pemanfatan posisi kerentanan tidak dijelaskan dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun pengertian penjertaan utang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 15 bahwa :
“Penjeratan utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.”
Cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan unsur dari tindak pidana perdagangan orang, yaitu dengan kekerasan atau
40
Ibid, Halaman 26
41Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Perdagangan Orang
ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang. Jadi, rumusan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang digunakan sebagai jalan atau cara melakukan tindak pidana perdagangan orang, yaitu ancaman kekerasan dan kekerasan yang sudah dijelaskan dalam Bab 1, sedangkan cara penculikan, penyekapan, penipuan, tidak dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang, tetapi ditemukan dalam Pasal-Pasal dalam KUHP dan Pasal-Pasal yang dikualifikasikan mengatur tindak pidana perdagangan orang.
Sehubungan dengan pandangan Utrech bahwa peristiwa pidana mempunyai unsur-unsur adalah suatu kelakukan yang bertentangan dengan (melawan) hukum, suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah dan suatu kelakuan yang dapat di hukum,42 maka dalam tindak pidana perdagangan orang terdapat perbuatan yang bertentangan melawan hukum adalah melakukan perbuatan merekrut, mengirim, dan penyerahterimaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan utang. Unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana perdagangan orang adanya kesalahan digambarkan secara eksplisit dalam rumusan untuk tujuan eksploitasi orang tersebut yang berarti ada maksud untuk mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang tersebut.
42
Pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat digolongan menjadi 4 (empat) golongan, sebagai berikut43
1. Orang Perseorangan, yaitu :
a. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2).
b. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau eksploitasi di negara lain (Pasal 3)
c. Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 4)
d. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi (Pasal 5), dan setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam negeri atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi (Pasal 6)
43
e. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi (Pasal 9), dan setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 10)
f. Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang
g. Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang.
2. Kelompok
Yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan perbuatan pidana perdagangan orang. Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah sepertiga (Pasal 16).
Dalam rumusan unsur Pasal 16 Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan orang menunjukkan bahwa peran atau kapasitas masing-masing pembantu pelaku dalam keikutsertaannya adalah melakukan tindak pidana
sama dengan pelaku. Dengan demikian, pidana yang diancam kepada pembantu sanksinya disamakan dengan pelaku, sehingga ketentuan ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHP. Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 membedakan peran atau kapasitas masing-masing pembantu pelaku dalam keikutsertaannya. Pelaku dalam perdagangan orang sering digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas yang terorganisir. Walaupun gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pula pelaku perdagangan orang yang jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisir, sebagian beroperasi secara indepeden, sementara sebagian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitasnya.44
3. Korporasi
yaitu perkumpulan/organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum yang bergerak di bidang usaha yang dalam pelaksanaannya melakukan penyalahgunaan izin yang diberikan
Di Indonesia perkembangan Korporasi sebagai subjek tindak pidana terjadi diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu dalam perundang-undangan khusus, sedangkan KUHP sendiri masih menganut subjek Tindak Pidana berupa “orang” (Pasal 59 KUHP).45
Tindak pidana perdagangan orang diangap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik
44
Ibid, Halaman 123
45
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13 ayat (1).
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dlakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya, Pasal 13 ayat (2).
4. Penyelenggara Negara
Yaitu pegawai negeri atau pejabat pemerintah yang diberi wewenang tertentu namun melakukan penyalahgunaan dari yang seharusnya dilakukan.46. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 8 Undang-undang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan orang unsur yang paling fundamental adalah unsur kesalahan. Sebab, orang atau korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawabannya kalau tanpa kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang tentunya kesalahan yang dimaksud berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut terdapat klasifikasi tindak pidana perdagangan orang, yaitu tindak pidana materiil dan tindak pidana formil yang keduanya terdapat dalam Bab 2. Untuk mengetahui pertanggung jawaban pelaku perdagangan orang dalam
46
undang nomor 21 tahun 2007, perlu mengklasifikasikannya dalam beberapa bagian :47
a. Bagian pertama, yaitu mereka yang disebut dengan pelaku (trafficker) antara lain:
1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen atau calon-calonnya di daerah adalah trafficker, mana kala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.
2. Agen atau calo-calo bisa orang luar, bisa juga seorang tetangga. Dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen
3. Aparat pemerintah adalah Trafficker, mereka yang terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal
4. Majikan adalah trafficker, manakala menempatkan pekerjaannya dalam kondisi eksploitatif, seperti tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.
5. Pemilik atau pengelola rumah bordil berdasarkan Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja diluar kemauannya, mejeratnya dalam lilitan utang,
47
menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (dibawah 18 tahun). 6. Calo pernikahan adalah trafficker, manakala pernikahan yang diaturnya
telah mengakibatkan pihak istri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan. 7. Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker, manakala mereka sadar
menjual anak atau saudaranya, baik langsung maupun melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau, jika mereke menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya atau menjerat anaknya dalam libatan utang
8. Suami adalah trafficker, manakala ia menikahi perempuan, tetapi kemudian mengirim istrinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada Pelaku (trafficker) diatas, adalah antara lain :48
a) Untuk pelaku setiap orang (orang perorangan dan korporasi) yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada mereka adalah :
48
1) Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 2 – Pasal 6 Undang-undang Nomor 21 tahun 2007)
2) Ancaman pidana dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya (berdasarkan Psal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007).
3) Pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 5 miliar rupiah. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan matinya korban (berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 21 tahun 2007)
4) Ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak (berdasarkan Pasal 17 Undan-undang Nomor 21 tahun 2007)
5) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, juga dapat dijatuhkan pidana terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 (berdasarkan Pasal 15 ayat (1) undang-undang nomor 21 tahun 2007)
6) Korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : pencabutan izin usaha, perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana, pancabutan satus badan hukum, pemecatan pengurus atau korporasi dalam bidang usaha yang sama (berdasarkan Pasal 15 ayat (2) undang-undang nomor 21 tahun 2007)
b) Untuk pelaku aparat (penyelenggara negara). Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan :
1) Pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 (berdasarkan Pasal 8 ayat (1) undang-undang nomor 21 tahun 2007)
2) Pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (berdasarkan Pasal 8 ayat (2) undang-undang nomor 21 tahun 2007)
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga) (berdasarkan Pasal 16 undang-undang nomor 21 tahun 2007).
b. Bagian kedua, yaitu mereka yang disebut dengan pengguna (user) perdagangan orang, baik yang secara langsung mengambil keuntungan dari korban maupun yang tidak secara langsung melakukan eksploitasi. Mereka yang disebut dengan Pengguna (user), antara lain :49
1. Germo dan pengelola rumah bordil yang membutuhkan perempuan dan anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur
2. Laki-laki hidung belang, pengidap pedofilia dan kelainan seks lainnya serta para pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional yang tinggal sementara di suatu negara
3. Para pengusaha yang membutuhkan pekerja anak yang murah, penurut, mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti
4. Pengusaha bisnis hiburan yang memerlukan perempuan muda untuk dipekerjakan di panti pijat, karaoke, dan tempat hiburan lainnya
5. Para pebisnis bidang pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan wisata seks
6. Agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab
7. Sindikat narkoba yang memerlukan pengedar baru untuk memperluas jaringannya
49
8. Keluarga menengah ke atas yang membutuhkan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga
9. Keluarga yang ingin mengadopsi anak secara ilegal
10. Laki-laki dari luar negeri yang menginginkan perempuan “tradisional” sebagai pengantinnya
Ancaaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pengguna (user)
perdagangan orang adalah pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6,, yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 12 undang-undang nomor 21 tahun 2007)
c. Bagian ketiga, yaitu mereka yang disebut penganjur (Uitlokker) dan atau yang menyuruh melakukan (Doenplegger), atau biasa disebut dengan orang yang menggerakkan supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP.
Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada penganjur (Uitlokker) dan menyuruh melakukan (Doenpleger) dalam tindak pidana perdagangan orang adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah, dalam hal tindak pidana tidak terjadi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.50
50
d. Bagian keempat, yaitu mereka yang disebut orang yang turut serat melakukan
(Medepleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang turut serta melakukan (Medepleger) adalah dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 11 undang-undang nomor 21 tahun 2007) e. Bagian kelima, yaitu mereka yang disebut membantu melakukan
(medeplichtigheid).
Membantu melakukan tindak pidana perdagangan orang tidak hanya pada saat dan sebelum kejahatan dilakukan. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang pada saat dan sebelum kejahatan dilakukan adalah dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 11 undang-undang nomor 21 tahun 2007). Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang setelah kejahatan dilakukan (membantu pelarian) pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan cara memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta benda, atau harta kekayaan
lainnya kepada pelaku, menyembunyikan pelaku, atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahum dan paling banyak 5 (lima) tahun dan dipidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta (berdasarkan Pasal 23 undang-undang nomor 21 tahun 2007). Ketentuan tentang pembantuan pada Pasal 10 dan Pasal 23 tersebut merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan maksimum pidana poko terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.51
Ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang menyebutkan apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. Dengan adanya pidana pengganti dapat diterima, tetapi dengan maksimal satu tahun pidana kurungan dianggap terlalu ringan kerena tidak sepadan dengan kerugian yang diderita korban. Oleh karena itu, perlu disesuaikan dengan jumlah kerugian yang diderita korban baik materiil maupun nonmateriil.
Disamping itu, juga untuk menghindari kecenderungan pelaku untuk menjalani pidana kurangan daripada harus membayar uang restitusi karena pidana kurungan tidak terlalu lama. Dapat terjadai nilai restitusinya sangat besar untuk menghindari itu, maka pelaku memilih menjalankan pidana kurungan selama setahun dan kewajiban membayar restitusi otomatis menjadi gugur. Korban tidak mendapat ganti rugi secara materiil atas penderitaannya. Oleh karena itu, restitusi
51
menjadi kewajiban pelaku yang harus dibayar kepada korban atau keluarganya. Apabila pelaku belum dapat membayar, maka dapat diadakan penyitaan. Jika pelakunya meninggal dunia, maka ganti rugi menjadi tanggung jawab ahli warisnya.52
B. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas