• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1.1. Aspek Pemasaran Kopi (Kajian Pustaka)

Kopi merupakan komoditas yang cukup penting dalam menghasilkan devisa bagi Indonesia. Sebagian besar kopi Indonesia (50%-80%) masih diekspor dalam bentuk biji (green beans coffee), sedangkan produk hasil turunannya lebih banyak dipasarkan di dalam negeri. Pemasaran kopi secara umum dapat dilakukan dalam bentuk segar, produk olahan sekunder dan produk olahan akhir. Pada umumnya kopi diperdagangkan dalam bentuk kopi beras dengan kadar air 13%, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor. Pemasaran kopi dalam bentuk segar kemungkinan besar akan memberikan nilai tambah yang kecil bila dibandingkan dengan menjual produk olahan sekunder atau olahan akhir.

Hasil penelitian terhadap berbagai produk pertanian dan perkebunan menunjukkan bahwa petani hanya mendapatkan margin keuntungan yang sedikit bila dibandingkan dengan pedagang atau pengusaha menengah/ pengusaha besar skala industri yang menjual kopinya dalam bentuk produk olahan akhir dan atau diversifikasi produk dan di luar pasar retensi. Mata rantai pemasaran: kopi yang dihasilkan oleh petani yang dikenal sebagai kopi asalan pada umumnya belum memenuhi standar mutu kopi ekspor, kadar airnya masih tinggi yaitu berkisar antara 16-20%. Kopi asalan ini tidak langsung dijual kepada eksportir, tetapi dijual melalui pedagang perantara sebelum dijual ke eksportir. Mata rantai perdagangan kopi asalan ini pada umumnya cukup panjang, mulai dari pedagang keliling, pedagang lokal, pedagang besar dan eksportir.

Rantai pemasaran kopi dari petani atau perkebunan dapat juga melalui berbagai jalur ke asosiasi petani kopi atau langsung ke pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang pengumpul akan memasarkan kopi beras ke pedagang besar atau langsung ke eksportir dan perusahaan kopi bubuk. Syarat yang harus dipenuhi adalah kopi harus bermutu baik dan sudah disortasi sehingga memenuhi syarat mutu yang ditentukan. Pengembangan produk: Dalam era perdagangan bebas sekarang ini produsen dituntut untuk mengembangkan kreativitas dalam menciptakan produk yang bermutu sehingga dapat diterima oleh konsumen.Beberapa potensi produk yang dapat dikembangkan dalam upaya menigkatkan pemasaran kopi antara lain: Mengembangkan

berbagai produk kopi dalam ragam kemasan, mengembangkan produk baru dengan campuran antara kopi dengan produk lain, misalnya susu, cokelat, kue, kembang gula, dodol dsb, mengembangkan segmen pasar yang baru baik untuk produk yang sudah beredar maupun untuk produk baru yang akan dikembangkan serta aliansi strategis dalam mengembangkan produk olahan kopi dengan berbagai perusahaan yang produknya dapat digabung dengan produk kopi, baik di dalam maupun di luar negeri (misal dengan industri minuman, industri makanan, industri essence dsb).

Pemasaran kopi dunia sampai saat ini masih mengalami masalah yang belum terselesaikan, karena perbedaan kemampuan antara produsen dan buyer. Pada pasar konvensional, usaha untuk mendapatkan harga kopi serendah mungkin menekan produsen untuk tidak lagi memperhatikan masalah lingkungan dan kelangsungan usaha perkebunannya. Pada pemasaran yang berkelanjutan dengan produk kopi premium, produsen mengalami kesulitan karena kebiasaan lama untuk memanfaatkan bahan kimia yang berlebihan dan kurangnya kemampuan untuk berorganisasi. Permasalahan lain adalah beberapa importir telah memiliki cabang di dalam negeri yang berfungsi sebagai buying agent untuk mendapatkan harga lebih murah, serta peran organisasi perkopian dimana para pengurusnya adalah juga sebagai pedagang. Rantai perdagangan kopi dari kopi yang berkelanjutan dalam sistem rantai pemasaran kopi memiliki peran yang penting terhadap kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan petani dan lingkungannya. Instrumen rantai suplai kopi yang mendasarkan pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan secara potensial bisa mengurangi resiko berkebun

Ketidak-sempurnaan pasar kopi bukan hanya terjadi di Indonesia, negara lain juga mengalami permasalahan yang sama. Permasalahan untuk menciptakan pemasaran kopi yang berkelanjutan adalah karena:informasi yang tidak mencukupi, perbedaan kekuatan kekuatan pasar dan membawa permasalahan terlalu keluar dari jalur yang seharusnya. Perdagangan internasional memang akan banyak kendala, hal ini karena perbedaan latar belakang budaya, sosial dan latar belakang ekonomi, yang biasanya dihadapi oleh kedua belah pihak (produsen dan buyer) dalam melakukan negosiasi dan strategi yang efisien. Dalam hal informasi, pihak produsen, pembuat keputusan, dan juga konsumen seharusnya saling memberi informasi. Produsen seharusnya berusaha untuk saling tergantung dalam usaha mendapatkan informasi terbaru dari berbagai pihak. Permasalahan lain adalah karena produsen dan organisasi kelompok tani kopi kebanyakan masih lemah dalam hal bahasa asing, yang menghambat komunikasi dan negosiasi serta kampanye akan produk yang dimiliki.

Untuk kondisi pasar ekspor, diketahui bahwa kopi yang diekspor sebagian besar adalah jenis Kopi Robusta (94%), dan sisanya adalah kopi jenis Arabika.

Rata-rata volume ekspor kopi dari Indonesia berkisar antara 410.000-520.000 ton per tahun. Tujuan utama ekspor Kopi Indonesia adalah Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Polandia dan Korea Selatan. Nilai ekspor kopi Indonesia berfluktuatif. Fluktuasi nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dibandingkan dengan perubahan volume ekspor (AEKI, 2012).

Pelabuhan Panjang (Lampung) merupakan pintu gerbang ekspor Kopi Robusta Sumatera, pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) merupakan pintu gerbang Kopi Arabika Sumatera, sedangkan pelabuhan Tanjung Perak (Jawa Timur) merupakan pintu gerbang Kopi Arabika dan Robusta yang dihasilkan dari Jawa Timur dan wilayah Indonesia bagian timur. Permintaan akan Kopi Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat mengingat Kopi Robusta Indonesia mempunyai keunggulan karena body yang dikandungnya cukup kuat, sedangkan Kopi Arabika mempunyai karakteristik cita rasa (acidity, aroma, flavour) yang unik dan ekselen.

Tabel 8   Pelaku pemasaran kopi bubuk per kabupaten di Provinsi Sumsel, 2014 

No Kabupaten/Kota Perusahaan Jumlah Produksi (ton) Jumlah Nilai Investasi (Rp.000) JumlahTenaga Kerja (orang)

1 Palembang 28 799,36 955.318 89 2 OKI 1 15 20.000 2 3 Banyuasin 4 602 283.500 47 4 Muba 2 15,6 6.500 2 5 Muara Enim 34 212,8 1.413.780 110 6 OKU 8 33,7 24.280 19 7 OKU Selatan 24 4,098 1.492.600 63 8 Lahat 24 1.488,2 1.030.400 82 9 Pagar Alam 17 110,31 327.000 64 10 Empat Lawang 6 0,455 151.000 29 11 Lubuk Linggau 17 131,73 333.050 66 Total 165 7.679,253 6.034.428 573

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan, 2015

Industri pengolahan kopi di Provinsi Sumatera Selatan sebagian besar didominasi oleh perusahaan berskala rumah tangga (industri kecil). Hanya terdapat enam perusahaan yang terkategori industri menengah, yaitu lima perusahaan di Kota Palembang dan satu perusahaan di Kabupaten OKU Selatan. Bentuk kopi yang dipasarkan di Sumatera Selatan mayoritas terbagi menjadi dua jenis bentuk pemasaran yaitu kopi yang masih berbentuk biji dan kopi yang sudah diolah (kopi bubuk). Hal ini menyebabkan, pelaku pemasaran kopi di Sumatera Selatan tergolong menjadi dua kelompok mengikuti bentuk kopi yang dijual. Kelompok pertama adalah pelaku usaha pemasaran yang menjual kopi dalam bentuk olahan (kopi bubuk) dan kelompok kedua adalah pemasar yang menjual kopi biji.

Pada kelompok industri inti, selain terdiri dari kelompok industri pengolahan kopi bubuk, juga terdapat kelompok industri pengolah kopi biji. Jika dibandingkan dengan kelompok industri pengolahan kopi bubuk, maka terlihat bahwa jumlah kelompok industri pengolahan biji kopi (491 perusahaan) lebih banyak dibanding industri kopi bubuk yang berjumlah 165 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan pasar kopi biji lebih banyak daripada kopi bubuk, sehingga perusahaan yang mengusahakan bentuk produksi kopi biji juga jauh lebih banyak dibanding perusahaan yang produk akhirnya adalah kopi bubuk.

Pemasaran kopi di Sumatera Selatan terdiri atas pemasaran dalam negeri (lokal dan regional), serta pemasaran internasional (ekspor). Pemasaran pasar dalam negeri maupun pemasaran ekspor tersebut umumnya dilakukan oleh produsen (petani) dan pelaku industri kopi. Bentuk pasar dalam negeri memiliki struktur yang sama dengan pasar komoditi pertanian lainnya, dimana terdapat saluran pemasaran yang relatif sama, dan posisi petani cenderung bertindak hanya sebagai price taker, sedangkan pedagang berada pada posisi price maker. Pada bentuk pemasaran kopi untuk pasar internasional diatur oleh International Coffee Organization ((ICO) yang turut menentukan standar harga kopi dunia, maka dalam pemasarannya Indonesia terkendala aturan ICO tersebut.

Permasalahan utama industri pengolahan kopi yang terkait bidang pemasaran adalah kondisi pasar dalam negeri dan luar negeri,sebagai berikut:

• Meningkatnya impor produk kopi olahan utamanya produk kopi instant dan kopi mix dengan kualitas dan harga rendah.

• Maraknya produk kopi olahan impor yang mengandung gula dengan Bea Masuk (BM) rendah (0-5%) sehingga mengurangi daya saing produk dalam negeri yang mengandung gula dengan harga dalam negeri dan BM lebih tinggi.

• BM produk olahan kopi ke negara maju masih cukup tinggi utamanya yang mengandung susu dan produk pertanian lainnya.

• Adanya kampanye negatif terhadap kopi luwak utamanya tentang permasalahan

animal welfare dan keaslian produk kopi luwak

Untuk Wilayah Sumatera Selatan, sistem dan kondisi pemasaran produk kopi dicerminkan melalui sistem dan pemasaran kopi di wilayah sentra-sentra kopi Sumatera Selatan yaitu sistem dan kondisi pemasaran yang terjadi di Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Empat Lawang dan Kabupaten OKU Selatan. Ketiga wilayah ini mewakili sistem dan kondisi pemasaran kopi di Sumsel dikarenakan pusat pengolahan dan perdagangan kopi Sumsel memang banyak berlangsung di ketiga wilayah produsen ini.

Pada Kabupaten Muara Enim, produk kopi dipasarkan melalu saluran pemasaran yang dimulai dari petani selaku produsen, mayoritas menjual kepada pedagang

pengumpul, yang selanjutnya berpindah tangan ke pedagang besar dan eksportir, hingga sampai ke tangan konsumen seperti yang disajikan pada bagan rantai pemasaran pada Gambar 4 berikut ini.

Petani Eskportir Pedagang Pengumpul (Tengkulak) Industri Kopi Bubuk Pedagang Besar Biji Kopi Asalan

(Rp.20.000/kg)

Konsumen LN

Lokal

Regional Biji Kopi Kering

(Rp.22.000/kg) Biji Kopi kering (Rp.23.000/kg) Kopi Bubuk Murni (Rp.40.000-60.000/kg) Kopi Bubuk Campur Jagung (Rp.22.000-25.000/kg) Biji Kopi kering

(Rp.24.000/kg)

Rantai Pemasaran dan Margin Harga Kopi di Kabupaten Muara Enim

Gambar 4. Rantai Pemasaran dan Margin Harga Kopi di Kabupaten Muara Enim Gambaran klaster industri kopi di Kabupaten Muara Enim selaras dengan saluran pemasaran yang ada di wilayah ini, dimana biji kering kopi asalan sebagai bahan baku kopi bubuk dihasilkan oleh perkebunan kopi rakyat. Biji kopi tersebut selanjutnya dibeli oleh pengepul kopi, yang kemudian diolah oleh pengusaha pabrik kopi, hingga menghasilkan kopi bubuk. Produksi kopi bubuk tersebut selanjutnya didistribusikan pada pasar lokal, pasar nasional dan sudah ada yang memasuki pasar ekspor. Semua rantai pengusahaan tersebut dilakukan di wilayah Kabupaten Muara Enim, belum begitu terlihat kerjasama antar sektor dalam pengembangan klaster kopi, namun dukungan dari pihak pemerintah kabupaten maupun provinsi cukup baik.

Wilayah kedua adalah Kabupaten Empat Lawang, dimana produk kopi Empat Lawang ini dipasarkan melalu saluran pemasaran yang dimulai dari petani selaku produsen, mayoritas menjual kepada penggiling, yang selanjutnya berpindah tangan ke pedagang besar, industri kopi bubuk dan eksportir, hingga sampai ke tangan konsumen seperti yang disajikan pada bagan rantai pemasaran pada Gambar 5 berikut ini.

Petani Eskportir Penggiling Industri Kopi Bubuk Luar Pedagang Besar Biji Kopi Asalan

(Rp.20.000/kg)

Konsumen LN

Lokal

Nasional Biji Kopi Kering

(Rp.20.500/kg)

Biji Kopi kering (Rp.22.000/kg) Kopi Bubuk Murni - Dikemas : Rp.40.000-/kg - Tidak dikemas: 50.000/kg) Biji Kopi kering

(Rp.23.000/kg)

Rantai Pemasaran dan Margin Harga Kopi di

Dokumen terkait