• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

4. Unsur Intrinsik Cerita Pendek (Cerpen)

Cerpen merupakan cerita fiksi yang berbentuk prosa. Di dalam sebuah fiksi biasanya terdapat unsur-unsur yang membangun sebuah cerita. Unsur-unsur fiksi dalam cerpen meliputi plot (alur cerita), karakter (perwatakan), tema (pokok pembicaraan), latar atau setting (tempat terjadinya cerita), suasana cerita, gaya cerita, sudut pandang pencerita (Sumardjo, 1984: 54-64).

a. Plot (Alur Cerita)

Plot adalah dasar atau alasan yang menyebabkan terjadinya perkembangan. Pola cerita selalu: perkenalan keadaan-perkembangan-penutup. Menurut Marjorie Boulton (via Sudjiman 1988: 29-35) alur merupakan peristiwa yang diurutkan dan membangun tulang punggung cerita. Sedangkan pengaluran adalah pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk memenuhi untuk beberapa tuntutan atau pengatauran urutan peristiwa pembentuk cerita.

Struktur umum alur terdiri atas tiga bagian. Pertama, bagian awal terdiri dari paparan yang merupakan fungsi utama awal paragraf, rangsangan merupakan peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan, dan gawatan atau tegangan merupakan ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi di dalam suatu cerita. Kedua, bagian tengah terdiri dari tikaian yaitu perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang

bertentangan atau pertentangan antara dirinya dengan kekuatan alam, dengan masyarakat, orang atau tokoh lain, ataupun pertentangan antara dua unsur dalam diri satu tokoh itu, rumitan merupakan perkembangan dari gejala awal tikaian menuju klimaks, dan klimaks merupakan puncak konflik antara tokoh-tokohnya dalam sebuah cerita, menurut Melani Budianta dkk (2003: 180) klimaks merupakan titik balik yang terjadi pada tokoh protagonis, dan pada titik inilah biasanya perhatian penonton atau pembaca mencapai puncak emosinya. Ketiga, bagian akhir terdiri dari leraian yaitu saat peristiwa konflik semakin reda, dan selesaian merupakan bagian akhir atau penutup cerita. Sedangkan pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. b. Karakter (Perwatakan)

Pelaku cerita merupakan unsur karakter, dengan mengenal watak pelaku cerita maka akan lebih memperjelas kita mengenal maksud cerita tersebut. Untuk mengenal watak seorang tokoh cerita yaitu dengan memperhatikan apa yang dilakukannya, apa yang dikatakannya, apa sikapnya dalam menghadapi persoalan, bagaimana penilaian tokoh lain atas dirinya. Dan, sebuah cerita dikatakan menarik apabila pengarang berpegang teguh pada watak pelaku yang diciptakannya.

Menurut Sudjiman (1988: 16-28) tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Penokohan merupakan penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Terdapat dua metode penokohan. Pertama,

metode analitis/ metode langsung/ metode perian atau metode diskursif, yaitu pengarang memaparkan watak tokohnya dan menambahkan komentar tentang watak tersebut. Kedua, metode tidak langsung/ metode ragaan/ metode dramatik, yaitu watak tokoh disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku tokoh yang disajikan pengarang, bahkan dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.

Di samping kedua metode penokohan di atas, William Keney (via Sudjiman, 1988: 26) mengemukakan metode kontekstual. Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari metode bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam mengacu kepada tokoh.

c. Tema (Pokok Pembicaraan)

Tema adalah pokok pembicaraan dalam sebuah cerita. Cerita tidak hanya berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi bagan itu harus mempunyai maksud tertentu. Tema dalam karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya. Menurut Sudjiman (1988:50) tema merupakan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra. Tema yang banyak dijumpai dalam karya sastra bersifat didaktis, yaitu pertentangan antara baik dan buruk. Tema biasanya didukung oleh pelukisan latar atau dalam penokohan.

d. Latar atau Setting (Tempat Terjadinya Cerita)

Setting dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai latar. Yang dimaksud setting atau latar adalah tempat dan masa terjadinya cerita. Sebuah cerita harus jelas di mana berlangsungnya suatu kejadian dan kapan.

Pengarang memilih setting tertentu di dalam sebuh cerita dengan mempertimbangkan unsur-unsur watak tokoh-tokohnya dan persoalan atau tema yang digarapnya. Dengan penggambaran setting yang baik, maka dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai kehidupan masyarakat tertentu.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1988: 44). Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 227–234) unsur latar dibagi menjadi tiga pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu (misalnya Magelang, Yogyakarta, dan lain sebagainya), inisial tertentu (misalnya: nama desa B dan sebagainya), lokasi tertentu tanpa nama jelas (misalnya: sungai, jalan, hutan, dan sebagainya). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dan, latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, misalnya kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

e. Suasana Cerita

Setiap karya fiksi ditulis dengan maksud tertentu. Maksud pengarang itu tidak hanya tercermin dalam tema saja, tetapi juga dalam suasana cerita. Suasana cerita membantu menegaskan tema, dan suasana dalam sebuah cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utamanya. Pembaca mengikuti tindak tanduk dan kejadian yang menimpa tokoh utama, dan pembaca juga ikut merasakan suasana cerita. Tokoh utama digunakan oleh pengarang untuk mengendalikan cerita. Pembaca diajak memasuki suasana haru atau gembira bersama tokoh utama yang dipilih oleh pengarang.

f. Gaya Cerita

Gaya merupakan cara khas pengungkapan seseorang. Hal ini tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, dalam memilih tema, dalam memandang tema atau meninjau persoalan, pendeknya gaya mencerminkan pribadi pengarangnya. Pada masa-masa permulaanya, seorang pengarang masih mencari gayanya, bahkan kadang meniru gaya orang lain. Tetapi bagi pengarang yang sudah berpengalaman tentu akan mempunyai gayanya sendiri. Gaya seorang pengarang biasanya akan nampak setelah menulis banyak karya.

g. Sudut Pandang Pencerita

Sudut pandang pencerita disebut juga point of view. Pencerita biasanya dalam menyampaikan suatu cerita menggunakan sudut pandangnya sendiri. Pencerita yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula dan sudut pandang yang berbeda itu menghasilkan versi cerita yang berbeda.

Ada empat macam sudut pandangan pencerita. Pertama, sudut pandang Yang Mahakuasa, yaitu seluruh cerita dituturkan pengarang seolah dia maha tahu segalanya. Kedua, sudut pandang orang pertama yaitu pengarang memilih seorang tokoh saja yang mengetahui seluruh cerita, dan tokoh itu bercerita menurut apa yang diketahui saja. Sudut pandang ini biasanya terdapat dalam sebuah cerita yang mengungkapakan masalah kejiwaan. Ketiga, sudut pandang peninjau, yaitu seorang pengarang memilih salah satu tokohnya untuk diikuti ceritanya. Sudut pandang ini terdapat dalam sebuah cerita yang bersifat realistis dan mementingkan adanya rasa kesatuan cerita. Keempat, sudut pandang obyektif, pengarang bertindak seperti dalam sudut pandang Yang Mahakuasa, hanya pengarang tidak sampai melukiskan keadaan batin tokoh-tokohnya. Sudut pandang ini digunakan oleh para pengarang modern, karena lebih sesuai dengan ilmu jiwa modern. Pengarang tidak menilai watak seseorang tokohnya, tetapi pembaca sendiri yang diminta untuk menilainya.

Dokumen terkait