• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Manfaat Penelitian 1.Manfaat Teoretis

1) Unsur Intrinsik

Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa tema, penokohan, plot, latar, sudut pandang, dan amanat. Berikut ulasan unsur-unsur intrinsik novel.

a) Tema

Pada dasarnya tema adalah makna suatu cerita, tema merupakan unsur pembangun karya sastra yang pertama, setelah

membaca cerita, seseorang tidak hanya bertujuan untuk mencari dan menikmati kehebatan sebuah cerita, melainkan juga akan mencari apa yang sebenarnya diungkapkan oleh pengarang, makna apa yang terkandung dalam cerita tersebut.

Tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan dari suatu karya sastra yang menjadi dasar unsur gagasan sentral yaitu topik atau tema pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengarang dengan topiknya (Semi, 1993: 42).

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Staton dan Keni (dalam Nurgiyantoro, 1998: 67) tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Setiap karya fiksi tentu mengandung dan menyajikan sebuah tema, tetapi memahami sebuah tema dalam suatu karya tidaklah mudah. Setiap karya memiliki tema yang mendasari cerita tersebut.

Menurut Sayuti (1996:118), tema ialah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita, sedangkan Waluyo (2009: 141) mengemukakan bahwa tiap-tiap periode atau angkatan dalam kesusastraan mengungkapkan tema yang dominan sebagai ciri khas karya sastra untuk periode zaman. Namun keberadaan isi tema sebuah karya sastra tidak mudah ditunjukkan.

Nurgiyantoro (1998: 67) mengungkapkan bahwa tema merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Cara untuk menemukan atau menafsirkan tema dalam karya sastra dapat dilakukan melalui pendekatan cerita, mencari ide dan perwatakan, serta peristiwa konflik juga latar.

Tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau

petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang perlu dilakukan beberapa kali, karena belum cukup jika hanya dilakukan dengan sekali baca.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide atau gagasan pengarang yang mendasari gagasan pokok yang berfungsi sebagai pusat keseluruhan penggambaran cerita secara umum berdasarkan cara pandang pembaca secara sama antara satu orang dengan orang lain. b) Penokohan

Penokohan mencakup berbagai unsur antara lain siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana pelukisan dalam sebuah cerita sehingga pembaca paham dan mempunyai gambaran jelas. Perwatakan berhubungan dengan karakteristik atau bagaimana watak tokoh-tokoh itu, sedangkan penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh itu (Waluyo, 2009: 164).

Waluyo (2011:19-20) membagi tokoh menjadi beberapa bagian, yakni: (a) tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik; (b) tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipasti para diri pembaca; (c) tokoh sentral adalah tokoh yang kemunculannya mendominasi dalam cerita; (d) tokoh bawahan atau tokoh sampingan adalah tokoh yang dijadikan latar belakang dalam cerita.

Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi keterjalinannya dapat dilihat dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pasti berjalan secara harmonis dan

saling melengkapi dengan berbagai unsur lain (Nurgiyantoro, 1998: 172).

Pendapat lain diungkapkan oleh Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 164) tokoh atau karakter adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Dari pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penokohan adalah gambaran jelas seseorang (tokoh) yang ditampilkan pengarang dalam sebuah cerita fiksi terkait dengan watak yang dimiliki. Tokoh dalam karya fiksi bersifat tiga dimensi, yakni fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Definsi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka dan sebagainya. Dimensi sosiologi meliputi status sosial, pekerjaan, pandangan hidup, dan sebagainya. Dimensi psikologis meliputi mentalis, ukuran moral, keinginan, dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, serta watak tokoh. Watak ini dapat dilukiskan dengan cerita (deskripsi dan narasi), juga dapat diperhidup dengan dialog atau tingkah laku (Waluyo dan Wardani, 2011: 3).

Nurgiyantoro (1998: 194) membedakan dua teknik atau cara untuk melukiskan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku tokoh, yaitu: (1) teknik ekspositori (expository) dan (2) teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah pelukisan watak tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian atau, penjelasan secara langsung melalui dialog antar tokoh atau langsung menceritakan watak yang dimiliki tokoh. Teknik dramatik pelukisan watak tokoh seperti yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung.Artinya pengarang tidak

mendeskripsikan secara eksplisit sikap, sifat, serta tingkah laku. Hal ini mengharuskan pembaca untuk menebak tokoh.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk mengenali penokohan digunakan berbagai teknik misalnya, analitik, dramatik, atau gabungan antara analitik dan dramatik. Selain teknik tersebut bisa juga menggunakan teknik ekspositori dan dramatik.

c) Plot atau alur cerita

Alur atau plot sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2011: 9).

Alur dapat diartikan sebagai kejelasan cerita. Waluyo (2002: 164) mengemukakan bahwa alur pada peristiwa-peristiwa cerita harus menyatakan hubungan yang logis dan runtut yang membentuk kesatuan atau keutuhan. Dengan demikian pembaca diharapkan dapat menangkap benang merah dalam cerita dari awal sampai akhir cerita.

Sementara itu, Nurgiyantoro (1998: 110) mengatakan alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Pendapat lain mengenai alur juga diungkapkan oleh Tarigan (1985: 127) bahwa pada prinsipnya seperti juga bentuk sastra lainnya, suatu fiksi harus bergerak dari suatu permukaan (beggining), melalui suatu pertengahan (middle), menuju suatu akhir (ending), yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resulasi atau denoment. Setiap cerita biasanya dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: (1) Situation: pengarang mulai melukiskan suatu keadaan; (2) Generating circumstances: peristiwa yang

bersangkut-paut mulai bergerak; (3) Rising action: keadaan mulai memucak; (4) Climax: peristiwa-peristiwa mencapai klimaks; (5) Denoment: pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa.

Sementara itu Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseuruhan fiksi. Jika dilihat dari teknis pengalurannya, Esten (1990: 26) membedakan alur atas: (1) alur maju (konvensional, progresif) yaitu teknik pengaluran di mana jalannya peristiwa dimulai dari melukiskan keadaan sampai penyelesaiannya; (2) alur mundur (flashback, sorot balik, atau regresif) yaitu teknik pengaluran yang menempatkan peristiwa yang dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai menggambarkan keadaan; dan (3) alur tarik balik (back tracking) yaitu teknik pengaluran dimana jalan ceritanya tetap maju, namun pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Berdasarkan pengertian alur menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalinan cerita yang disusun berdasarkan urutan waktu berdasarkan hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa atau kejadian sehingga cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. d) Latar atau Setting

Latar merupakan salah satu fakta cerita yang harus diperhatikan, dianalisis dan dinilai (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 54). Latar memiliki fungsi untuk memberi konteks cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh disuatu tempat tertentu, pada suatu massa, dan lingkungan masyarakat tertentu.

Setting adalah tempat kejadian suatu cerita, dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis (Waluyo: 2011: 23). Namun, setting dapat disebut sebagai tempat dan waktu terjadinya cerita. Latar atau setting memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar (setting) dapat berfungsi menjadikan suasana cerita lebih hidup.

Sementara itu, Nurgiyantoro (1998: 216) mengatakan bahwa latar atau setting adalah segala keterangan petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita.

Menurut Abrams (dalam Fananie, 2000: 97) setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Selain itu, mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen latar hakikatnya tidak hanya menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis.

Montaque dan Henshaw (dalam Waluyo, 2002: 198) menyatakan tiga fungsi setting, yaitu (1) mempertegas watak para pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan. Waluyo (2002: 200) menambahkan bahwa latar atau setting tidak hanya menampilkan lokasi, tempat, dan waktu. Adat istiadat dan kebiasaan hidup dapat tampil sebagai setting. Adapun pengertian latar yaitu tempat terjadinya peristiwa dalam cerita suatu waktu tertentu.

Berdasarkan pengertian latar yang telah disampaikan diatas, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa latar adalah gambaran suatu keadaan yang melatarbelakangi suatu peristiwa yang berupa aspek yang ada dalam cerita yang berkaitan dengan waktu, tempat, suasana, fisik, sosiologis, dan aspek psikis. e) Sudut Pandang

Menurut Kenny (dalam Wardani, 2009: 43) point of view sebagai pandangan yang dipergunakan sebagai sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah fiksi kepada pembaca.

Hal ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 284) yang menjelaskan bahwa sudut pandang menunjukan pengertian sebuah cerita yang dilukiskan. Sedangkan Sayuti (1996: 40) membagi sudut pandang menjadi empat jenis, yaitu; (a) sudut pandang akuan-sertaan; (b) sudut pandang akuan-taksertaan; (c) sudut pandang diaan-mahatahu; dan (d) sudut pandang diaan-terbatas. Dari empat sudut pandang tersebut memiliki peran masing-masing, namun tidak menutup kemungkinan bahwa dalam sebuah novel pengarang menggunakan beberapa sudut pandang secara bersama-sama.

Berdasarkan pendapat di atas sudut pandang atau pusat pengisahan adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita yang digunakan pengarang untuk melihat kejadian cerita secara utuh untuk memperoleh totalitas cerita.

f) Amanat

Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 dalam Nurgiyantoro, 2009: 321).

Sudjiman (1988: 57) mengatakan bahwa amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat itu bersifat implisit dan eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh yang menjelang akhir cerita, sedangkan eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya.

Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Nurgiyantoro (1998: 336) bahwa dalam sebuah novel sering ditemukan adanya pesan yang tersembunyi, namun ada juga yang disampaikan secara langsung dan terkesan ditonjolkan pengarang. Bentuk penyampaian pesan moral yang ditonjolkan secara langsung identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling atau penjelasan expository.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang dibawa pengarang untuk dihadirkan melalui keterjalinan peristiwa di dalam cerita agar dapat dijadikan pemikiran maupun bahan perenungan oleh pembaca.