• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Prosedur Penelitian

1. Unsur Intrinsik Novel Pasung Jiwa

Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur internal karya sastra. Unsur intrinsik yang dibahas dalam penelitian yaitu: tema, penokohan, alur, sudut pandang, latar, dan amanat.

a. Tema

Tema menurut Stanton dan Kenny (Nurgiyantoro, 2007: 114) adalah makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Tema merupakan hal yang penting dalam sebuah karya sastra karena melalui tema kita dapat melihat ide dan gagasan pengarang.

Nurgiyantoro (2007: 118) mengemukakan tema adalah dasar cerita, gagasan dasar umum cerita. Dasar (utama) cerita sekaligus berarti tujuan (utama) cerita. Jika dilihat dari sudut pandang, dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihat dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan itulah pembaca berusaha menafsirkan apa dasar utama cerita, hal itu akan dilakukan berdasarkan detail-detail unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan. Tema sebuah karya sastra harus berkaitan dengan makna kehidupan. Tema yang menjadi gagasan dalan novel Pasung Jiwa karya Madasari ini adalah kebebasan. Novel Pasung Jiwa mempertanyakan kebebasan seperti apa yang sebenarnya sudah kita miliki. Kebebasan seperti apa yang sebenarnya sudah dijamin oleh negeri ini. “Pasung Jiwa” mengajak kita untuk melihat bahwa perbedaan yang ada harusnya tetap menjadi pilihan masing-masing orang karena setiap manusia memiliki kebebasan pribadi mereka sehingga muncul juga tanggung jawab karenanya

Tema yang diangkat dalam novel ini sarat dengan nuansa perlawanan terhadap ketidakadilan dan menyuarakan kebebasan, sangat relevan dengan keadaan sekarang ini dimana hingga kini masih banyak orang yang kehilangan kebebasan karena berbagai faktor seperti pandangan agama, sistem sosial, ekonomi, hingga politik. Novel ini mengangkat tema kebebasan yang sarat akan kritik sosial. Baik kritik terhadap keadaan politik, ekonomi, moral sampai adat istiadat di masyarakat. Melalui tokoh-tokohnya, penulis hendak menyuarakan kebebasan melawan ketidakadilan. b. Penokohan

Penokohan dalam novel Pasung Jiwa ada dua tokoh utama yakni Sasana dan Jaka (Cak Jek atau Jaka Wani), juga beberapa tokoh tambahan yaitu: Ayah, Ibu, Cak Man, Masita, Banua, Memed dan Leman, empat orang Marjinal, Elis, dan Kalina. Tokoh-tokoh dalam novel pasung Jiwa diceritakan secara jelas baik tokoh utama maupun tokoh tambahan. Bahkan termasuk tokoh yang hanya satu atau dua kali muncul dalam cerita. Sehingga pembaca pun dapat terhanyut merasakan emosinya. Dikatakan bahwa penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang merujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2009: 161).

1) Sasana

Sasana dilahirkan sebagai seorang laki-laki. Sasana dilahirkan di tengah keluarga yang tergolong mampu dan berpendidikan cukup tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari profesi kedua orang tuanya, ia terlahir dari seorang ibu ahli bedah dan ayahnya pengacara. Sejak masih berada dalam rahim ibunya, Sasana sudah dikenalkan dengan piano dan karya-karya piano klasik. Semasa sekolah dasar, Sasana sudah mahir memainkan komposisi-komposisi klasik dunia. Sasana kecil adalah Sasana yang penurut dan anak kebanggaan orangtuanya.

Saat Sasana tumbuh dewasa, ia banyak mengalami kekerasan mulai dari gang di sekolahnya, sampai pelecehan yang dilakukan oleh

aparat Negara. Sasana menjadi membenci dunia laki-laki, iapun tidak suka terlahir sebagai laki-laki.

Jika dilihat dari segi mentalitas, Sasana juga merupakan orang yang minder. Sadar sebagai seorang transgender, Sasana melihat kekurangan yang ada pada dirinya karena untuk menjadi perempuan tidak semudah yang dibayangkan. Meskipun berubah menjadi Sasa, Sasana tetap memiliki naluri sebagai laki-laki. Bertindak spontan dengan kegarangan yang masih tersimpan di dalam dirinya, ketika Sasa dipermalukan dan dilecehkan.

Sasana sebenarnya memiliki sifat pemberani dan pemberontak. Namun karena berbagai kejadian yang menimpanya, kemudian ia takut untuk melakukan sesuatu. Sasana mempunyai mental yang lemah. Lemah dalam hal ini bukan berarti keterbelakangan mental, akan tetapi cenderung kepada mental yang rapuh, minder, penakut, frustasi dan putus asa. Keadaan psikologis Sasana yang lemah bukan berarti tanpa sebab. Karena sebelumnya melalui dimensi fisiologis telah terlihat bahwa ia mengalami gangguan kepribadian.

Sasana adalah seseorang yang memiliki toleransi dan empati kepada temannya yang kesulitan, ia mau membantu Cak Man mencari anaknya dengan berdemo meskipun akhirnya dirinya sendiripun menjadi korban.

2) Jaka

Jaka adalah seseorang yang tidak mau diatur dan diperintah, ia menyukai kebebasan. Tokoh Jaka juga digambarkan sebagai seseorang yang ahli persuasi atau provokator. Jaka sangat pandai berbicara dan menularkan semangat yang berapi-api pada orang-orang sekitarnya.

Di sisi lain, Jaka adalah pribadi yang cukup perhatian terhadap orang lain, tapi terlalu takut untuk mengambil keputusan. Ia ingin membela hak orang lain yang tertindas, namun ia sendiri hidup dalam ketidakberdayaan. Jaka bersembunyi dibalik kepengecutan dan ketakutannya.

Setelah bergabung dengan laskar keagamaan, dan merasa bahwa ia memiliki kekuasaan dan kekuatan , kian membuatnya menjadi sombong. Ia merasa semua orang tunduk padanya dan merasa yang ia perbuat adalah yang paling benar untuk membela agamannya. Jaka tidak peduli dengan kepentingan orang lain, ia bersikap kejam dan egois, ia rela melakukan apa saja untuk menghancurkan segala sesuatu yang menurutnya melanggar kaidah di Laskar keagamaan yang dianutnya sekalipun hal itu akan mencelakakan orang lain bahkan membuat sahabatnya sendiri dipenjara.

3) Ayah

Tokoh Ayah adalah Ayah dari Sasana, digambarkan sebagai sosok yang otoriter dan pemarah, juga tidak mudah percaya pada orang lain. Dibalik sikapnya yang keras terhadap Sasana, Ayah sebenarnya cukup sabar, tegar, dan hati-hati dalam bertindak. Ayah membela Sasana dengan berusaha mencari keadilan untuk Sasana ketika Sasana mendapat perlakuan kasar dan kekerasan dari gang di sekolahnya.

Ayah tidak menginginkan anaknya menjadi transgender, didikannya yang keras selama ini semata-mata karena Ayah ingin Sasana menjadi laki-laki yang kuat bukan sebaliknya, Sasana malah memilih untuk menjadi perempuan. Karena kekecewaan Ayah terhadap Sasana, ia tidak lagi mengakui Sasana sebagai anaknya. 4) Ibu

Ibu digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan tulus mencintai anaknya dalam keadaan apapun. Tokoh Ibu yang

digambarkan dalam novel ini memiliki sikap otoriter, Ibu menuntut anaknya untuk menjadi sempurna. Namun ketika tahu anaknya tidak nyaman dengan semua itu, dengan kelembutan dan kasih sayangnya, Ibu mau mengerti dan memahami apa yang bensr-benar dibutuhkan anaknya. Ibu mau menerima apapun keadaan anaknya, rela mempertaruhkan segalanya demi kebahagiaan Sasana.

5) Cak Man

Tokoh Cak Man mempunyai sikap yang ramah dan baik. Cak Man juga seorang ayah yang sayang pada keluarganya, peduli terhadap keselamatan anaknya, namun tak banyak yang bisa dilakukan Cak Man untuk dapat menemukan Marsini. Dalam keputusasaannya, Cak Man selalu berharap Marsini masih hidup dan dapat ditemukan.

6) Masita

Masita adalah seorang dokter yang sedang mengadakan penelitian di Rumah Sakit Jiwa di tempat Sasana dirawat. Masita digambarkan sebagai seorang wanita yang ramah, baik, dan memiliki pemikiran yang kritis.

Di balik sikap Masita yang ramah, sabar, dan tulus, ia juga menyimpan semangat dan keberanian untuk melawan. Masita memiliki jiwa pemberontak, ia membantu Sasana untuk keluar dari Rumah Sakit Jiwa karena ia tahu bahwa Sasana tidaklah sakit jiwa seperti apa yang dikatakan orang-orang.

7) Banua

Banua adalah seorang pasien rumah sakit jiwa di mana Sasana di rawat. Banua digambarkan penulis sebagai teman yang baik dan periang, sosok yang sok tahu, sok benar dan jujur apa adanya. Dia juga memperjuangkan kebebasannya, sama seperti halnya Sasana. 8) Memed dan Leman

Memed dan Leman adalah anak-anak yang baik, mereka kehilangan orangtua dan hidup sendiri di jalanan. Mereka tidak putus asa meskipun harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, mereka gigih dan giat bekerja, apapun mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup. Memed dan Leman sebenarnya masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, akan tetapi mereka dipaksa mandiri karena orangtuanya memang sudah tidak peduli lagi.

9) Empat Orang Marjinal

Marjinal adalah kelompok pemuda pengamen jalanan yang mempunyai penampilan unik, nyentrik, dan nyeleneh. Mereka terdiri dari empat orang yang memiliki pemikiran, tujuan, dan semangat juang yang sama. Secara fisiologis digambarkan bahwa empat orang Marjinal berusia sama dengan tokoh Sasana. Penampilan empat orang Marjinal digambarkan penulis dengan jelas, mulai dari gaya rambut sampai tato yang ada di tubuh mereka.

Di balik penampilan yang sangar dan menyeramkan, Marjinal mempunyai pemikiran yang cerdas dan terbuka. Mereka peduli dengan nasib rakyat kecil yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah pada masa itu. Mereka memiliki semangat juang untuk mengubah nasib dengan cara apapun yang mereka bisa lakukan.

Meskipun empat orang anggota Marjinal adalah anak-anak jalanan, namun merekan memiliki sikap yang sopan dan memiliki pemikiran serta wawasan yang luas. Mereka juga memiliki rasa kepedulian kepada sesama, hal tersebut terlihat saat mereka ikut membantu mencari Marsini.

Empat orang Marjinal yang merupakan pengamen jalanan adalah anak-anak muda yang mempunyai talenta dan kreativitas dalam bermusik, dibalik penampilan mereka yang nyeleneh, mereka mempunyai semangat untuk mengubah nasib, mempunyai semangat juang yang tinggi untuk menyuarakan suara minor rakyat kecil,

orang-orang yang tiap hari kerja untuk makan demi bertahan hidup, mereka juga sangat peduli dengan permasalahan orang lain.

10)Elis

Elis adalah seorang pelacur di Sintai yang melayani para buruh pabrik dengan bayaran rendah. Ia menjadi pelacur bukan karena paksaan, melainkan suatu pilihan, ia harus menghidupi anaknya di kampung.

Elis bukanlah wanita yang lemah, ia berani melawan. Dia akan berontak dan pantang mundur jika ada yang menentang prinsipnya sekalipun hal yang sepele. Penulis menggambarkan Elis sebagai sosok wanita yang tegar dan pemberani

11)Kalina

Kalina digambarkan sebagai sosok wanita yang kuat dan berani melawan, ia protes karena pemecatan dirinya dari pabrik yang dianggap sewenang-wenang. Kalina memiliki watak pemberontak , ia berani melawan dngan segala ketidakadilan terhadap dirinya. Meskipun pada akhirnya ia dipecat dati tempatnya bekerja setelah diperkosa mandornya sendiri.

c. Alur

Stanton (Nurgiyantoro, 2007: 167) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sependapat dengan Waluyo (2011: 9) yang menyebutkan plot sebagai alur cerita alur cerita yang berarti struktur gerak yang didapat dari cerita fiksi. Plot didefinisikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, cerita satu menyebabkan atau disebabkan kejadian yang lain. Alur yang digunakan dalam novel Pasung Jiwa adalah alur maju (progresif), yaitu peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa selanjutnya. Setiap peristiwa yang terdapat dalam

cerita saling berurutan, kejadian pertama menyebabkan munculnya kejadian kedua dan seterusnya. Seperti yang dikatakan oleh Sudjiman (1988: 30-36), struktur alur meliputi paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), gawatan (rising action), tikaian (conflict), rumitan (complication), klimaks, leraian (falling action), selesaian (denoument). Adapun urutan peristiwa yang terjadi dalam novel Pasung Jiwa adalah sebagai berikut:

1) Paparan

Tahap paparan dalam novel Pasung Jiwa diawali dengan memaparkan tentang tokoh utama Sasana dan latar belakang Sasana. Sebenarnya ada dua tokoh utama dalam novel ini, yaitu Sasana (Sasa) dan Jaka (Cak Jek/ Jaka Wani), keduanya mempunyai pertalian benang merah yang saling terhubung satu dengan yang lainnya.

Pada tahap paparan, digambarkan bahwa Sasana adalah anak laki-laki yang telahir dari orangtua yang mapan. Ayahnya pengacara dan ibunya seorang ahli bedah. Sejak kecil Sasana dikenalkan dan diajarkan bermain piano sampai ia mahir dan mengikuti banyak lomba. Kedua orangtua Sasana bangga melihat prestasi dan kepandaian Sasana.

2) Rangsangan

Tahap rangsangan dalam novel ini dimulai saat Sasana masuk SMA. Sasana tumbuh menjadi anak laki-laki kesayangan Ayah dan Ibunya, akan tetapi ia membenci dunia laki-laki yang menurutnya penuh dengan kekerasan. Sasana benci dilahirkan sebagai laki-laki, ia membenci laki-laki dan menyesal terlahir dengan bentuk fisik seorang laki-laki yang semuanya serba keras dan kasar.

Sasana mulai merasa ada keanehan pada dirinya, berbagai peristiwa kekerasan yang dialaminya di sekolah membuat dia semakin tidak bisa menerima bahwa dirinya adalah laki-laki.

Bertahun-tahun Sasana merasa hidup dalam ketidakbebasan, sampai kemudian ia memiliki kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Malang dan bertemu Jaka (Cak Jek). Jaka adalah seorang mahasiswa yang berbakat memainkan gitar. Kepiawaian dan hobinya dalam bermusik kemudian mempertemukan Jaka dengan Sasana membentuk orkes dangdut dan mengamen bersama.

Sasana berdandan layaknya perempuan dengan baju sexy dan make-up perempuan. Sasana merasa lebih nyaman tampil sedemikian rupa, ia merasa inilah sisi lain Sasana yang terpasung dalam jiwa yang salah.

Hal itu tak berlangsung lama, setelah Sasana dan Jaka pergi ke Sidoarjo untuk mencari Marsini, anak Cak Man yang hilang, mereka terpisah. Sasana ditangkap dan di sekap di kantor Koramil.

4) Tikaian

Kejadian di koramil membuat Sasana sangat terpukul. Ketika keluar dari tahanan ia memutuskan untuk kembali pada keluarganya. Sayangnya kembalinya Sasana pada keluarganya tak berlangsung lama. Jiwanya terus menerus dibayangi rasa sakit dan terhina atas ulah bejat tantara-tentara yang menangkap dan memperkosanya sehingga akhirnya Sasana harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Sasana kembali terkukung, kali ini tidak hanya jiwanya saja melainkan secara fisik dia kembali terpenjara dalam Rumah Sakit Jiwa dengan aturan-aturan yang harus ia patuhi.

Tidak berbeda jauh dengan Sasana, Jaka yang berhasil melarikan diri lalu merantau ke Batam. Jaka menjadi buruh pabrik yang hidup monoton dan harus patuh pada peraturan yang telah dibuat. Ia pun mendapat perlakuan yang tidak adil oleh mandor pabrik hingga nekat mengalang aksi mogok kerja sehingga dirinya dikejar-kejar aparat, melarikan diri ke kapal dan ikut berlayar tanpa tahu kemana arah tujuan kapal itu.

Rumitan dalam novel ini saat Jaka melarikan diri dari Batam ke Jakarta. Jaka yang semula merasa tertekan dengan dirinya sendiri yang pengecut dan miskin mulai menemukan jati dirinya pada sebuah laskar keagamaaan. Jaka kemudian menjadi pemimpin Laskar Malang karena kepiawaiannya dalam berbicara dan membujuk massa, dan berpenggalaman karena sebelumnya ia sempat belajar pada Laskar di Jakarta.

Sasana melarikan diri dari Rumah Sakit Jiwa, ia kembali ke Malang, mencoba mengamen sendirian tanpa Jaka. Saat itu sedang terjadi krisis moneter, Sasana hidup di jalanan karena tak memiliki uang untuk sewa kamar. Setelah rezim Soeharto turun, Sasana memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kembali pada kedua orangtuanya. Namun Ayah Sasana sangat malu melihat anak laki-lakinya berdandan menyerupai perempuan. Ayah tak mau lagi menganggap Sasana sebagai anaknya.

Lain halnya dengan ibu, ibu memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pekerjaannya sebagai ahli bedah, ibu memilih unutk mendampingi Sasana dan menjadi menejer pribadi Sasana. Sasana kembali bernyanyi, namun kali ini ia lebih profesional bukan mengamen di jalan tetapi bernyanyi dari panggung ke panggung. 6) Klimaks

Pada suatu hari Jaka Wani melakukan pembersihan acara dangdut porno. Ia menghancurkan acara itu dan menangkap si biduanita karena menganggapnya telah menistakan agama. Jaka yang telah menguatkan imannya, dan berkali-kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia melakukan ini untuk Allah, pada akhirnya tetap goyah ketika melihat amarah pada diri si biduanita. Amarah pada diri Sasa. 7) Leraian

Konflik batin yang kuat dialami oleh Jaka Wani ketika melihat Sasa dikeroyok, ia hanya menonton tanpa berani membela Sasa, bahkan tak sanggup menatap wajah Sasa. Ia merasa sedang membela

agama dan sedang berjuang untuk hal yang dianggapnya benar. Namun Sasa yang telah ia lahirkan adalah salah dalam pandangan agama, dan ia sendirilah yang telah melahirkan kesalahan itu.

8) Selesaian

Pada akhirnya Jaka memilih untuk menyelamatkan Sasana dan bersama-sama membebaskan diri dari belenggu yang menjerat diri mereka masing-masing. Cak Jek memutuskan untuk membawa Sasa keluar dari penjara. Dengan cara yang cerdik dengan sorban dan jubah serta mengatasnamakan laskarnya, ia berhasil membebaskan Sasa untuk menebus kesalahannya.

d. Latar atau Setting

Latar atau setting meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Hal tersebut mengacu pada pendapat Nurgiyantoro (2007: 302) yang mengatakan bahwa latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang digunakan dalam novel Pasung Jiwa karya Madasari meliputi empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Malang, Sidoarjo, dan Batam. Latar waktu dalam novel Pasung Jiwa meliputi tahun 1993-2003. Latar waktu dalam novel ini mencakup keadaan pagi, siang, dan malam hari. Latar sosial dalam novel Pasung Jiwa karya Madasari terdapat keberagaman latar sosial menggambarkan tahun 90-an dimasa di mana banyak terjadi kerusuhan dan demo ketika rakyat sedang mengalami penderitaan akibat krisis moneter yang terjadi. Dalam novel ini juga terdapat latar sosial yang menggambarkan tingkatan kelas sosial berdasarkan golongan pangkat dan jabatan, adanya kesenjangan sosial, di mana yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dapat bertindak dengan sesuka hati sedangkan masyarakat biasa hanya bisa pasrah dengan ketidakadilan yang mereka terima tanpa bisa melawan apalagi mendapatkan pembelaan.

e. Sudut Pandang

Sudut pandang menurut Nurgiyantoro (2009: 246) adalah cara penyajian cerita, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan pada karya

fiksi berdasarkan posisi pengarang di dalam cerita. Siswandarti (2009: 44) juga sependapat bahwa sudut pandang adalah posisi pengarang dalam cerita fiksi.Dalam novel Pasung Jiwa, penulis menggunakan sudut pandang Orang Pertama Tokoh Utama atau Akuan-Sertaan. Novel ini bercerita tentang Sasana dalam sudut pandang pertama dibagian pertama, selanjutnya di bagian kedua bercerita tentang Jaka dengan sudut pandang orang pertama pula. Novel Pasung Jiwa memiliki dua karakter tokoh utama dan keduanya diceritakan penulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama akuan-sertaan.

f. Amanat

Amanat atau nilai moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya (Kenny, 1966: 89 dalam Nurgiyantoro, 2009:321). Hal yang sama diungkapkan oleh Siswandarti (2009:44) bahwa amanat adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui cerita, baik tersurat maupun tersirat.

Dari keseluruhan rangkaian peristiwa dan konflik yang ada, dapat disimpulkan bahwa amanat dalam novel Pasung Jiwa karya Madasari ialah: Setiap kita mestinya berani menguak rasa takut, belenggu akan selalu ada di seluruh kehidupan, kekuasaan, tubuh, ekonomi, budaya, sosial, bahkan sampai yang paling mendasar yakni agama, namun dibalik semua itu, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang diberi kemampuan, akal pikiran, dan rasa untuk dapat berjuang, mempertahankan hakikatnya sebagai manusia yang seutuhnya, menjadi pribadi yang dapat mengekspresikan diri, karena kebebasan hanya terlahir dari proses yang di perjuangkan.

Demikian paparan peneliti mengenai unsur intrinsik dalam novel Pasung Jiwa karya Madasari. Analisis unsur intrinsik yang merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Masing-masing unsur intrinsik memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Tema sebagai ide pokok dari sebuah cerita tidak dapat dikembangkan

tanpa adanya alur, latar atau setting, dan juga penokohan. Kesemuanya itu dapat diceritakan dengan baik karena adanya sudut pandang penulis.