• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada umumnya arah sebuah kelenteng dibangun menurut perhitungan Feng Shui (风水) atau prinsip keseimbangan dengan alam. Kelenteng

Talang yang sebelumnya merupakan bangunan sebuah Masjid yang digunakan para Muslim Tionghoa di kota Cirebon, dibangun menghadap ke arah Masjidil Haram (Mekkah) yang pada umumnya digunakan sebagai arah kiblat saat melaksanakan ibadah shalat.

b. Bentuk

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, bentuk bangunan pada rumah peribadatan umat Konghucu pada umumnya merupakan pengelilingan setengah lingkaran atau berbentuk seperti huruf U. Dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu ruangan bagian depan, ruangan bagian tengah dan pada

bagian akhir merupakan bagian meja altar yang dibuat lebih tinggi dari bangunan bagian depan. Menurut hasil wawancara dengan Bpk. Ependi selaku narasumber, bentuk bangunan pada Kelenteng Talang dibuat terpisah antara ruangan pada bagian tengah dengan ruangan samping kiri dan ruangan samping kanan. Hal tersebut, dikarenakan bahwa bentuk ruangan pada Kelenteng Talang sebelumnya merupakan sebuah bangunan masjid yang digunakan oleh para umat Islam.

c. Mimbar Khotbah

Karena pada awal pembangunannya merupakan sebuah bangunan masjid, Bapak Ependi mengemukakan bahwa pada saat pemugaran bangunan tersebut terdapat sebuah mimbar khotbah yaitu tempat berceramah bagi seorang penceramah di masjid. Selain ditemukan mimbar khotbah, juga terdapat tempat pengimaman yang menjorok ke dalam yaitu tempat seorang Imam saat memimpin shalat.

d. Sumur dan Padasan

Sumur dan padasan merupakan tempat berwudhu yang biasa dipakai oleh umat Islam di pedesaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dan hasil pengamatan penulis ditempat yang diteliti, dapat dilihat bahwa karena pada saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi bangunan kelenteng, maka pada saat ini padasan sudah dihancurkan sedangkan sumur yang terdapat di kelenteng tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Ad).

B. Unsur Kebudayaan Tionghoa

Pada tahun 1853-1920, setelah bangunan masjid dialih fungsikan menjadi tempat peribadatan umat Konghucu, bangunan masjid tersebut berubah menjadi sebuah bangunan kelenteng yang pada umumnya dibangun dengan menggunakan unsur kebudayaan China, yang dapat dilihat pada: a. Gerbang Utama

Gerbang utama memasuki Kelenteng Talang didominasi oleh warna khas China, yaitu:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan.

Pada bagian depan saat memasuki pintu gerbang kelenteng terdapat tulisan China bertuliskan “孔道教堂” (tempat berdo’a), yang didominasi

oleh warna merah dan kuning keemasan. Selain itu, penulis juga mengamati bahwa pada bagian atap gerbang kelenteng dibuat melengkung keatas seperti gerbang kelenteng pada umumnya. Pada bagian belakang pintu gerbang Kelenteng Talang, terdapat kunci kayu berbentuk balok empat arah. Bapak Ependi selaku narasumber,

mengungkapkan bahwa kunci kayu balok tersebut merupakan simbol dari keempat arah mata angin. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Ba).

b. Atap

Bagian atap pada bangunan Kelenteng Talang, memiliki ukiran khas China yang pada bagian ujung atap dibuat mencuat keatas, seperti rumah peribadatan khas China pada umumnya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bb).

c. Serambi atau Teras

Pada bagian depan bangunan Kelenteng Talang terdapat sebuah ruangan pendopo yang memiliki fungsi sebagai teras, yaitu sebagai tempat menjamu para tamu yang datang ke kelenteng. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pendopo tersebut didominasi oleh warna merah serta warna kuning keemasan pada bagian langit-langitnya dan terdapat ukiran khas China berwarna emas dan lampion sebagai penghias pendopo tersebut. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bc).

d. Warna

Bangunan pada Kelenteng Talang didominasi oleh warna:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan. Ketiga warna khas China yang mendominasi bangunan Kelenteng Talang tersebut, memiliki simbol kegembiraan, kesenangan, kemewahan dan keagungan serta sebuah kesakralan pada bangunan tempat peribadatan dalam menjalankan ibadah.

e. Jendela

Dari arah gerbang utama, saat memasuki pintu gerbang Kelenteng Talang dapat dilihat 4 buah jendela persegi empat berukuran besar, yang terletak 2 pada bagian kanan dan 2 pada bagian kiri pintu utama. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, keempat jendela tersebut memiliki warna khas China yaitu merah menyala dan berwarna kuning emas pada bagian pinggir jendelanya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Be).

f. Pilar

Bapak Ependi selaku narasumber penulis dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa pilar penyangga yang terdapat pada Kelenteng Talang serupa dengan pilar bangunan-bangunan kelenteng pada umumnya yaitu berukuran besar, berwarna dasar merah menyala serta kuning keemasan (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bf).

g. Langit-langit Bangunan

Bagian langit-langit pada Kelenteng Talang disesuaikan dengan bentuk atap dari luar bangunan kelenteng. Pada bagian atas langit-langit kelenteng, penulis dapat melihat berbagai macam ukiran khas China yang berfungsi untuk memperindah bentuk bangunan. Menurut Bpk. Ependi, selaku narasumber dari Kelenteng Talang mengemukakan bahwa lampion khas China tersebut, tidak memiliki kandungan makna simbolis. Lampion tersebut hanya digunakan sebagai penghias ruangan pada bagian langit-langitnya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bg).

h. Meja Altar

Pada bagian meja altar terdapat berbagai macam ukiran khas China berwarna merah, kuning keemasan dan hijau. Bapak Ependi selaku narasumber, mengemukakan bahwa meja altar tersebut berfungsi sebagai tempat meletakkan koleksi-koleksi objek pemujaan, pada bagian kanan dan bagian kiri meja altar terdapat beberapa papan arwah bertuliskan “陈

三才” nama lain dari Tan Sam Cai berserta para keturunannya dan

beberapa para pengikutnya serta terdapat tempat pembakaran hio yang biasa digunakan umat Konghucu saat beribadah. Selain itu, terdapat berbagai macam peralatan pemujaan berupa meja sesaji (yang terdapat pada meja altar), yaitu bokor pedupaan dan berbagai macam lilin berwarna merah. Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa lilin tersebut digunakan sebagai tanda terima

kasih para penganut agama Konghucu kepada para dewa. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bh).

i. Hio (香)

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Ependi selaku narasumber, mengemukakan bahwa hio merupakan bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau harum yang berfungsi sebagai menentramkan pikiran dan memudahkan konsentrasi serta mengusir hal-hal yang bersifat negatif.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, ruangan utama pada Kelenteng Talang terdapat asap hio yang terbakar dan asap tersebut mengelilingi seluruh ruangan Kelenteng Talang yang memberikan kesan kesakralan dan kekhusyukan umat Konghucu yang sedang memanjatkan doa.

j. Ukiran dan Patung Dewa-Dewi

Pada bagian dalam bangunan Kelenteng Talang terdapat berbagai macam bentuk ukiran-ukiran khas China yang didominasi oleh warna merah dan kuning keemasan, ukiran khas China tersebut berupa hiasan bermotifkan:

Naga ( 龙 ), yang mengandung makna simbolis tinggi berupa

kebesaran dan laki-laki.

Burung Hong (凤凰), yang mengandung makna kebajikan, keluwesan

Bunga Teratai (莲 花 ), merupakan simbol yang melambangkan pengayoman, keindahan dan keagungan.

Selain terdapat ukiran khas China, pada ruangan bagian dalam Kelenteng Talang juga terdapat relief aksara berukuran besar bertuliskan huruf China kuno yang merupakan barang sejarah peninggalan Tan Sam Cai (Lihat pada gambar 3. 4. 2.Bj). Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa relief aksara tersebut berisikan catatan-catatan sejarah nama para raja dari Dinasti Ming (1368-1644). Selain itu, juga terdapat berbagai macam patung yang merupakan patung dewa-dewi yang disembah oleh para penganut agama Konghucu berwarna kuning keemasan.

Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya fenomena pengalihfungsian bangunan Kelenteng Talang tersebut adalah salah satu hal yang sangat wajar, karena hal tersebut merupakan salah satu proses perjalanan sejarah yang sangat lumrah. Bahwa pada saat pembangunan masjid Muslim Tionghoa tersebut, merupakan masa proses Islamisasi di kota Cirebon Jawa Barat, yaitu masa masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Pulau Jawa. Sehingga, terdapat adanya partisipasi para Muslim Tionghoa yang juga memiliki peran penting dalam misi pengembangan ajaran Islam (yaitu dengan didirikannya bangunan masjid oleh Tan Sam Cai atau Muhammad Syafi’i). Mengenai asal-usul Kelenteng Talang adalah sebuah masjid

dengan argumen pada bentuk bangunannya, dapat dikatakan bahwa tidak ada bentuk bangunan tempat peribadatan memiliki bentuk yang baku.

3. 5. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kompleks Pemakaman Astana gunung Sembung

3. 5. 1. Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung

Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, terletak di sebuah bukit kecil sekitar 5 km dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan wawancara langsung dengan Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengemukakan bahwa kompleks pemakaman kerajaan seluas 4 hektar tersebut, pada ketujuh terasnya menampung seluruh keturunan dari Syech Syarief Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati (杜亞 波), seorang Sunan dari perkumpulan Wali Songo dan penguasa pemerintahan

Kompleks Keraton Kasepuhan sebagai pusat pengembangan ajaran Islam di Jawa Barat. Menurut Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengemukakan bahwa kompleks pemakaman tersebut hanya dapat dimasuki oleh anggota keluarga kesultanan Cirebon sebagai keturunannya dan petugas harian yang merawat atau sebagai juru kunci dari kompleks pemakaman tersebut. (Lihat pada gambar denah Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung 3. 5. 1).

Bapak Yusuf Amir sebagai pengelola Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, menyatakan bahwa pada bangunan kompleks pemakaman para raja tersebut terdapat 9 buah pintu yang melambangkan Wali Songo dan bagi para peziarah yang datang, hanya diperbolehkan masuk sampai pada pintu

ketiga. Hal tersebut, dikarenakan untuk menghindari kerusakan keramik-keramik atau porselen khas Tiongkok yang berada disepanjang dinding serta guci-guci yang dipajang sepanjang jalan menuju makam Sunan Gunung Jati yang harus dilestarikan. Sedangkan pada pintu keempat hanya dibuka satu tahun sekali, yaitu pada saat acara Grebeg Syawal, yaitu ziarah yang dilakukan oleh para keluarga keraton.

Pada bagian Barat makam Sunan Gunung Jati, terdapat makam Puteri China Tan Hong Tien Nio atau Puteri Ong Tien isteri dari Sunan Gunung Jati serta beberapa makam keluarga serta kerabat keraton yang berada dalam satu bangunan paling atas dan bermemolo Kendi Pertula. Tepat pada bagian belakang makam Puteri Ong Tien, terdapat sekitar 13 makam dengan 2 makam berukuran kecil (yang diduga makam anak-anak). Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengungkapkan bahwa seluruh makam yang berada dibelakang makam Puteri Ong Tien adalah makam orang-orang Muslim Tionghoa yang merupakan para pengikut Puteri Ong Tien. Sedangkan di lingkar berikutnya adalah makam para raja Cirebon beserta para kerabatnya, yang merupakan keturunan dari Syech Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung hingga saat ini masih menjadi tempat keramat dan sering didatangi penziarah umat Islam termasuk masyarakat Tionghoa. Sebagian dari mereka, datang ke Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung sebagai tanda penghormatan bagi leluhurnya dan sebagian lagi dari mereka datang hanya untuk mencari berkah guna melariskan barang-barang dagangannya.

Menurut Hasan Basyari dalam bukunya Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya (1989: 23), mengemukakan bahwa:

Untuk peziarah bangsa Tionghoa disediakan ruangan khusus bagian Barat serambi muka ini dengan maksud agar tidak merasa saling terganggu karena cara yang berlainan.

Sementara itu, pihak pengelola Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung juga menyediakan dupa atau kemenyan, lilin dan hio (peralatan ibadah dalam tradisi Konghucu) dalam memanjatkan doa bagi masyarakat Tionghoa yang datang ke kompleks pemakaman tersebut. Bagi penziarah masyarakat Tionghoa, disediakan ruangan khusus pada bagian Barat serambi muka Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, dengan maksud agar tidak terganggu dengan cara doa yang berlainan dengan para penganut agama Islam.

Berdasarkan hasil data-data yang telah terkumpul pada Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, penulis dapat menyimpulkan bahwa Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi Sunan Gunung Jati dan Puteri China Tan Hong Tien Nio atau Puteri Ong Tien beserta para Muslim Tionghoa di kota Cirebon, hingga saat ini telah menjadikan perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa sebagai perekat budaya yang meleburkan identitas kedua kebudayaan tersebut di kota Cirebon Jawa Barat.

3. 5. 2.Unsur Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tionghoa Pada Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung

Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung serta wawancara langsung dengan narasumber,

dikemukakan bahwa keunikan lainnya dari Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung terlihat dari perpaduan unsur kebudayaan Jawa, Islam dan China pada bentuk bangunannya, yang dapat dilihat pada:

A. Unsur Kebudayaan Islam

Dokumen terkait