• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 ANALISIS DATA Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kompleks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 ANALISIS DATA Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kompleks"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3 ANALISIS DATA

3. 1. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kompleks Keraton Kasepuhan

3. 1. 1. Sejarah Kompleks Keraton Kasepuhan

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Edi Sedyawati. “Kesenian Keraton”. 28 November 2002, yaitu:

Istilah keraton berasal dari kata “ka-ratu-an”, yang berarti tempat bersemayam bagi para ratu. Ada pula yang meyakini bahwa keraton berasal dari bahasa sansekerta “kratu” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keraton disamping sebagai tempat bersemayam bagi para pemimpin (raja dan ratu), juga diartikan sebagai tempat atau sumber kebijaksanaan seorang raja atau pemimpin sebuah pemerintahan. Istilah keraton sering pula diidentikkan dengan pengertian negara yang memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan. Keraton atau istana terdiri atas beberapa bagian bangunan atau tempat yang memiliki fungsi berbeda-beda. Disamping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan didalam sebuah keraton semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan dan keagamaan yang berdiri dengan ciri khas masing-masing. (http://www.gatra.com/2002-12-23/versi_cetak.php?id=22918).

Keraton Kasepuhan atau istana Sultan Sepuh, yaitu pusat keraton yang dianggap paling penting karena merupakan keraton tertua di kota Cirebon Jawa Barat, yang hingga saat ini masih dihuni oleh keturunan-keturunan keluarga para

(2)

raja terdahulu. Sebagai pusat pengembangan ajaran Islam, Keraton Kasepuhan memiliki akar sejarah yang sangat panjang, yaitu sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat penyebaran agama Islam diseluruh Jawa Barat, yang tetap lestari dengan benda-benda cagar budaya yang terkandung di dalamnya sebagai peninggalan sejarah masa lalu.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Mungal, selaku narasumber dari Kompleks Keraton Kasepuhan menyatakan bahwa Keraton Kasepuhan merupakan kelanjutan dan perkembangan dari Keraton Pakungwati (Udang Perempuan) yang didirikan oleh Pangeran Cakra Buwana pada tahun 1420. Setelah melepaskan diri dengan Banten dan Sunda Kelapa pada tahun 1526-1527, Keraton Pakungwati diperluas dan berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan yang memiliki arti tempat tinggal yang sepuh berdiri pada tahun 1529, dengan bentuk pemerintahan satu-satunya di Nusantara yang lestari hingga saat ini, yaitu kesultanan. Penguasa pertamanya adalah Syech Syarief Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati (杜亞波).

Sebagai bangunan keraton yang dibangun di wilayah melting pot (tempat pertemuan antar bangsa), dengan adanya kerjasama dengan masyarakat Tionghoa dalam menyebarkan ajaran Islam, para komunitas Tionghoa juga memiliki peran penting dalam mendirikan pemerintahan Keraton Kasepuhan. Selain Sunan Gunung Jati, tradisi masyarakat Cirebon menyebutkan tokoh Muslim Tionghoa yang berasal dari Hokkian, bernama Haji Tan Eng Hoat (Maulana Ifdhil Hanafi) bergelar Pangeran Adipati Wirasenjaja, merupakan Raja Muda bawahan

(3)

Kesultanan Cirebon dan Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i) bergelar Tumenggung Arya Wira Tjoela sebagai Menteri Keuangan dan Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien) isteri dari Sunan Gunung Jati, sebagai pelopor dan penggerak Islam di kota Cirebon. Bersama sang Sunan para tokoh Muslim Tionghoa tersebut, menyebarkan agama Islam dan memperluas pemerintahan diseluruh Jawa Barat yang berpusat pada pemerintahan Keraton Kasepuhan.

Berikut ini adalah sebuah kutipan yang diperoleh melalui sebuah data dari internet yang dinyatakan oleh Sigit Indra. “Arsitektur Keraton”. 15 Desember 2002, yaitu:

Pada abad ke-13 di Pulau Jawa, bentuk bangunan sebuah keraton lebih mendominasi pada kebudayaan Arab, India dan China. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada tata letak bangunan keraton, penataan bangunan, fungsi bangunan serta ragam hias beserta ornamennya. Gambaran tersebut dalam kompleks sebuah keraton diartikan sebagai penempatan bangunan yang megah diantara bangunan lainnya. (http://gatra.com/2002-15-12/versi_cetak.php?id=22909).

Lokasi Keraton Kasepuhan yang terletak di Kompleks Keraton Kasepuhan No. 150 kecamatan Lemahwungkuk kota Cirebon, merupakan salah satu kompleks bangunan unik yang dibangun dengan tumpukan batu bata merah tanpa dilapisi adonan semen, melainkan dengan menggunakan putih telur dan getah pepohonan. Selain itu, Keraton Kasepuhan yang memiliki luas lahan sekitar 25 hektar dan terdiri dari 37 bangunan tersebut, merupakan satu-satunya keraton di Nusantara yang memiliki banyak sekali barang pecah belah yang berasal dari daratan Tiongkok.

(4)

Berdasarkan hasil pengamatan serta hasil wawancara langsung dengan narasumber dari Kompleks Keraton Kasepuhan, penulis dapat menyimpulkan bahwa seluruh bangunan yang berada pada Kompleks Keraton Kasepuhan terbentuk dari beberapa bangunan yang merupakan tempat persinggahan para perantauan yang berasal dari bangsa luar pada masa proses Islamisasi di kota Cirebon Jawa Barat. Kemudian, bangunan-bangunan tersebut dijadikan satu kompleks berupa bangunan sebuah keraton yang dipimpin oleh seorang raja atau sultan sebagai pemimpin suatu pemerintahan. (Lihat pada gambar denah Kompleks Keraton Kasepuhan 3. 1. 1).

3. 1. 2.Unsur Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tionghoa Pada Kompleks Keraton Kasepuhan

Bapak Mungal selaku narasumber dari Kompleks Keraton Kasepuhan, mengemukakan bahwa jika dilihat dari gaya atau corak dan motif yang muncul serta pola-pola bangunan yang beraneka ragam, dapat disimpulkan bahwa beberapa bentuk bangunan pada Kompleks Keraton Kasepuhan merupakan hasil perpaduan dari:

A. Unsur Kebudayaan Islam a. Ukiran Struktur Penopang

Struktur penopang merupakan sebuah tiang yang berfungsi sebagai penyangga suatu bangunan. Saat memasuki halaman Keraton Kasepuhan, terdapat beberapa bangunan pendopo yang memiliki unsur kebudayaan Islam pada ukiran struktur penopangnya, yaitu:

(5)

Bangunan Mande Pendawa Lima, berfungsi sebagai tempat para pengawal raja. Pada bangunan tersebut terdapat 5 buah tiang struktur penopang yang memiliki ukiran khas Islam, melambangkan 5 buah Rukun Islam.

Mande Malang Semirang.

Bangunan Mande Malang Semirang, berfungsi sebagai tempat para raja melihat acara yang diselenggarakan di alun-alun Sangkala Buwana. Pada bagian tengah bangunan tersebut, terdapat 6 buah tiang struktur penopang yang memiliki ukiran khas Islam, melambangkan 6 Rukun Iman dan 20 buah tiang ukiran struktur penopang yang melambangkan 20 sifat Allah.

Mande Semar Tinandu.

Bangunan Mande Semar Tinandu memiliki 2 buah tiang struktur penopang yang memiliki ukiran khas Islam, tiang tersebut melambangkan 2 Kalimat Syahadat yang berfungsi sebagai tempat penghulu atau penasehat raja.

Berdasarkan hasil data-data yang telah terkumpul, penulis dapat menganalisa bahwa terdapatnya unsur ajaran Islam pada ukiran struktur penopang tersebut, diakibatkan karena Keraton Kasepuhan dibangun pada masa proses Islamisasi di kota Cirebon Jawa Barat, sehingga terdapat unsur ajaran Islam pada beberapa bentuk bangunannnya. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Aa).

(6)

b. Batu Lingga Yoni

Setelah melewati bangunan pendopo, penulis melihat 2 buah batu bernama Lingga Yoni yang merupakan batu koleksi peninggalan sejarah Keraton Kasepuhan. Menurut narasumber dari Keraton Kasepuhan, Batu Lingga Yoni tersebut melambangkan Nabi Adam dan Hawa yaitu simbol dari keperkasaan dan kesuburan. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Ab).

c. Ukiran Pintu Buk Bacem

Pintu Buk Bacem merupakan salah satu pintu gerbang memasuki ruangan bangsal keraton. Pintu tersebut, terbuat dari kayu jati berdiameter besar yang pada bagian depan dan belakangnya terdapat hiasan berupa ukiran berciri khas Islam. Pintu Buk Bacem dibuat menggunakan 1 buah pohon jati yang direndam dengan berbagai ramuan. Narasumber dari Keraton Kasepuhan, mengemukakan bahwa proses perendaman kayu jati tersebut mengandung makna bahwa sebagai seorang manusia membutuhkan proses pengembangan diri sehingga menjadi manusia yang berakhlak baik dan berkualitas bagi diri sendiri, agama maupun bagi orang lain yang berada disekitarnya. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Ac).

d. Bangsal Keraton Lukisan Macan Ali

Saat memasuki ruang Bangsal Pringgandani, terdapat sebuah lukisan Macan Ali yang berasal dari Timur Tengah (Arab). Lukisan tersebut, merupakan lambang kota Cirebon pada masa Wali Songo yang pada bagian tubuh macan tersebut, tertera kaligrafi berbahasa Arab

(7)

bertuliskan Laa Ilaha Ilallahu Muhammad Rasulullahi didominasi oleh warna kuning dan warna cokelat pada bagian tubuhnya.

Kelambu

Pada ruangan Bangsal Agung Panembahan, tepat dibelakang kursi singgasana raja terdapat sebuah ranjang yang dihiasi oleh 9 buah kelambu dengan beraneka macam warna. Berdasarkan hasil pengamatan penulis serta hasil wawancara dengan Bapak R. Mungal selaku narasumber dari Keraton Kasepuhan, menyatakan bahwa karena penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh para Sunan dari Wali Songo, maka kelambu tersebut merupakan simbol sejarah dari kesembilan Sunan perkumpulan dari Wali Songo.

(Lihat pada gambar 3. 1. 2. Ad).

e. Langgar Alit

Relung Bangunan.

Langgar Alit merupakan sebuah bangunan berbentuk pendopo yang memiliki fungsi sebagai tempat bertadarus, setelah melaksanakan ibadah shalat tarawih pada bulan suci Ramadhan. Bangunan tersebut, terbuat dari kayu jati dan dikelilingi oleh berbagai macam ukiran kayu khas Islam pada bagian relung-relung bangunannya.

Struktur Penopang.

Tiang tunggal pada struktur penopang bangunan Langgar Alit memiliki ukiran yang kental dengan nuansa Islam. Menurut Bapak Mungal, selaku juru kunci dari Keraton Kasepuhan menyatakan

(8)

bahwa tiang pada struktur penopang tersebut memiliki 4 ukiran yang menunjukkan arah penjuru mata angin dan mengandung makna bahwa Islam memiliki 4 macam Mahzah yaitu: Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, Mahzab Hambali dan Mahzab Hanafi. Keempat Mahzab tersebut, merupakan pedoman bagi para Sunan dari Wali Songo yang memiliki niat dan tujuan yang sama tergantung pada cara pemikirannya masing-masing. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Ae).

Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas serta hasil pengamatan penulis pada unsur kebudayaan Islam yang terdapat pada bangunan Kompleks Keraton Kasepuhan, penulis menganalisa dan menyimpulkan bahwa terdapatnya unsur kebudayaan Islam pada awal berdirinya Keraton Kasepuhan, diakibatkan karena bangunan tersebut merupakan pusat pengembangan ajaran Islam di seluruh Jawa Barat. Selain itu, karena Keraton Kasepuhan merupakan peninggalan keraton yang dipimpin oleh seorang raja yang beragama Islam, maka sangatlah wajar apabila Kompleks Keraton Kasepuhan memiliki nuansa khas Islam yang sangat kuat.

B. Unsur Kebudayaan Tionghoa

Berdasarkan hasil pengamatan penulis serta hasil wawancara langsung dengan narasumber Bapak Mungal, selain memiliki unsur kebudayaan Islam pada beberapa bangunannya, Kompleks Keraton Kasepuhan juga memiliki unsur kebudayaan Tionghoa, yang dapat dilihat pada:

(9)

a. Feng Shui (风水)

Bapak Mungal mengungkapkan bahwa Keraton Kasepuhan dibangun menggunakan perhitungan Feng Shui (prinsip keseimbangan dengan alam), yang dapat dilihat pada:

Pada abad ke-19, beberapa bagian bangunan pada Kompleks Keraton Kasepuhan dipugar dan tata letak dari bangunan keraton tetap dipertahankan hingga saat ini, yaitu lokasi Keraton Kasepuhan tetap menghadap ke arah Utara, yang diyakini menghadap ke arah magnet dunia. Menurut perhitungan Feng Shui (风水) dan falsafah sang raja

adalah untuk mengharapkan kekuatan.

Saat memasuki Pintu Gledegan (pintu gerbang Keraton Kasepuhan), bagian depan jalan memasuki keraton tidak lurus (berliku-liku), jalan pada bagian depan lebih tinggi, pada bagian tengah jalan lebih rendah dan pada bagian belakang yaitu bangunan Keraton Kasepuhan, jalanan lebih tinggi dari jalan yang berada pada bagian depan dan berbentuk bulat seperti sebuah gentong. Menurut perhitungan Feng Shui (风水), jalan tersebut dibuat dengan maksud agar pemerintahan

Keraton Kasepuhan dapat mengendalikan politik dan perekonomian dengan benar, yaitu setiap pemasukan yang datang dapat disimpan dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dalam keadaan nyata, adalah untuk melindungi diri dari serangan musuh, mencegah bencana alam yang akan datang dan menghindari peluru yang datang

(10)

dari arah luar keraton, agar tidak mengenai sasaran pada titik pusat (bangunan bangsal keraton).

Secara keseluruhan, bangunan pada Kompleks Keraton Kasepuhan dibangun mengelilingi air. Pada bagian depan keraton, terdapat sebuah laut (air) dan membelakangi sebuah gunung bernama Gunung Ciremai. Menurut perhitungan Feng Shui (风水) adalah “bersandar

pada gunung dan memandang lautan (air)”. Gunung merupakan figur kesombongan dan berpandangan sempit sedangkan laut merupakan figur kerendahan dan keluasan hati yang disesuaikan dengan alam raya dan alam bathin manusia, yang mengandung makna bahwa sebagai manusia harus membuang kesombongan pada diri sendiri.

Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya data-data dari dokumentasi Keraton Kasepuhan, yaitu Baluarti Keraton Kasepuhan Cirebon yang melampirkan bahwa bangunan Kompleks Keraton Kasepuhan dibangun berdasarkan perhitungan Feng Shui (风 水 ). Sehingga, penulis dapat

menganalisa karena pembangunan Kompleks Keraton Kasepuhan tersebut dibangun atas adanya partisipasi masyarakat Tionghoa, maka pembangunan Keraton Kasepuhan tersebut dibangun menggunakan perhitungan Feng Shui (风水) atau prinsip keseimbangan dengan alam.

(11)

b. Keramik-Keramik Khas Tiongkok

Awal kedatangan keramik-keramik serta porselen khas Tiongkok di Pulau Jawa adalah pada masa Dinasti Ming (1368-1644), yang pada saat itu adalah masa populernya agama Islam di Pulau Jawa. Sebagai kota pelabuhan penting yang menjadi tempat persinggahan antar bangsa (melting pot), kota Cirebon menjadi ajang pertukaran barang-barang hasil ekspor-impor dari daratan China seperti berbagai macam keramik-keramik, porselen, guci, jambangan dan tembikar yang didominasi oleh warna biru dan putih.

Prof. Kong Yuanzhi dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia (2005: 434-435), berpendapat bahwa:

Sejumlah keraton diberbagai tempat di Indonesia, juga menyimpan banyak benda keramik Tiongkok, misalnya di Cirebon, Jawa Barat terdapat benda-benda keramik mahal buatan Tiongkok yang tersimpan dibeberapa keraton.

Bapak Mungal selaku narasumber mengemukakan bahwa adanya keramik-keramik khas China yang menjadi hiasan utama di Keraton Kasepuhan, dikarenakan dalam perjalanannya meninggalkan daratan China menuju kota Cirebon Jawa Barat, Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien) berlayar menggunakan 3 awak kapal besar yang berisikan berbagai macam barang-barang berharga dari kerajaan China. Maka, Kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat didominasi oleh hiasan berupa barang-barang peninggalan sejarah Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien) isteri dari Sunan Gunung Jati. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Bb).

(12)

c. Pintu Buk Bacem

Selain memiliki ukiran khas Islam pada ukiran pintu kayu jatinya, pintu Buk Bacem juga dibangun melengkung seperti jembatan (hoeg atau buk). Pada bagian dinding Pintu Buk Bacem, terdapat berbagai macam keramik-keramik khas Tiongkok dengan berbagai motif yang berwarna biru, kuning, putih dan hijau. Keramik-keramik khas Tiongkok tersebut, merupakan peninggalan sejarah Dinasti Ming yang dibawa oleh Puteri Ong Tien, isteri dari Sunan Gunung Jati yang berasal dari daratan China. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Bc).

d. Bangunan Bangsal Keraton

Bangunan bangsal keraton terdiri dari tiga ruangan, yaitu Bangsal Pringgandani, Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Agung Panembahan. Ruang Bangsal Pringgandani, digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu seperti bangsawan, para pejabat tinggi dan tamu-tamu penting lainnya. Ruang Bangsal Prabayaksa digunakan sebagai tempat persidangan para menteri Negara Keraton Kasepuhan, sedangkan ruang Bangsal Agung Panembahan digunakan sebagai tempat singgasana raja atau tempat beristirahat para raja beserta para keturunannya. Ketiga ruangan bangsal keraton tersebut, juga digunakan sebagai tempat acara Sesaji Panjang Jimat atau Selamatan Maulud (perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW) yang biasa diselenggarakan oleh pihak Keraton Kasepuhan setiap satu tahun sekali.

(13)

Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (2005: 228), mengemukakan bahwa:

Perayaan-perayaan besar yang mengiringi hari Maulud seperti upacara Panjang Jimat di kota Cirebon, baik disebut pula perayaan-perayaan Cina yang (sampai tahun 1965) mengiringi hari Tahun Baru China (Cap Go Meh), yaitu arak-arakan patung yang dikeluarkan dari kuil setiap satu tahun sekali.

Sesaji Panjang Jimat atau Selamatan Maulud di kota Cirebon Jawa Barat adalah sebuah acara mengeluarkan dan mencuci barang-barang pecah belah peninggalan masyarakat Tionghoa di kota Cirebon. Barang-barang peninggalan sejarah tersebut berupa guci, keramik-keramik, porselen dan jambangan yang sebagian besar merupakan peninggalan sejarah Dinasti Ming, yang pada saat ini menjadi bagian sejarah Keraton Kasepuhan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan Bapak Mungal, penulis dapat menyimpulkan bahwa bangunan pada ruang bangsal keraton memiliki unsur kebudayan Tionghoa yang sangat kuat. Hal tersebut dapat dilihat pada:

Atap.

Atap pada bangunan bangsal keraton berbentuk paruh burung hong (凤凰), yang mengandung simbol kebajikan dan keluwesan. Menurut

Bapak Mungal selaku narasumber penulis dari Kompleks Keraton Kasepuhan, mengemukakan bahwa terdapatnya simbol burung khas China tersebut diakibatkan adanya hubungan kerjasama yang baik

(14)

antara masyarakat kota Cirebon dengan masyarakat Tionghoa pada masa masuk dan berkembangnya ajaran Islam di kota Cirebon.

Bentuk.

Bentuk bangunan pada bangsal keraton, serupa dengan rumah peribadatan Tionghoa yaitu kelenteng. Bangunan bangsal keraton tersebut, terdiri dari 3 bagian ruangan yaitu ruangan bagian depan (Bangsal Pringgandani), ruangan bagian tengah (Bangsal Prabayaksa), dan ruangan bagian belakang yang lebih tinggi dari ruangan pada bagian depan, seperti altar pada sebuah kelenteng (Bangsal Agung Panembahan).

Warna.

Bangunan bangsal keraton (Bangsal Pringgandani, Bangsal Prabayaksa dan Bangsal Agung Panembahan), didominasi oleh warna khas China yaitu:

Merah (红色), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan sebuah simbol keagungan,

kekayaan dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan.

Ketiga warna khas China tersebut, mendominasi ruangan pada bagian ukiran langit-langit Bangsal Pringgandani beserta ukiran-ukiran khas China yang terdapat pada ruangan Bangsal Prabayaksa.

(15)

Ukiran.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara dengan narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa karena ruangan bangsal keraton sebagai tempat bersandingnya seorang raja (pemimpin), maka pada dinding ruangan Bangsal Prabayaksa terdapat ukiran khas China yang memiliki makna simbolis bagi seorang pemimpin, yaitu:

Burung Kakak Tua ( 鹦 鹉 ), merupakan simbol yang

melambangkan bahwa seorang pemimpin harus pandai berbicara dan pandai berdiplomasi. Selain itu, seekor burung disaat terbang selalu melihat sekitarnya, hal tersebut mengandung makna bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan rakyatnya secara adil dan merata.

Bunga Teratai (莲花), merupakan simbol yang melambangkan pengayoman, keindahan dan keagungan.

Buah Manggis (山竹子), merupakan sebuah simbol kebenaran

dan kejujuran. Karena jumlah daun kelopak pada bagian luar yang terdapat disekitar batangnya, selalu sama dengan jumlah potongan buah di dalamnya. Buah manggis tersebut, juga memiliki unsur nasehat bahwa kita jangan pernah menilai sesuatu dari luarnya saja, karena kejujuran dan kebenaran merupakan suatu modal utama yang sangat penting bagi seorang pemimpin yang memimpin suatu pemerintahan.

(16)

Pintu.

Pada bagian dalam ruangan bangsal keraton, terdapat beberapa pintu Ukiran pada bagian pintu bangsal keraton memiliki ukiran khas China, berupa:

Bunga Teratai (莲花), merupakan simbol pengayoman, keindahan

dan keagungan.

Dalam ukiran hiasan bunga teratai tersebut, terbayang siluet seekor gajah yang didominasi oleh warna:

Merah (红色), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan sebuah simbol keagungan,

kekayaan dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan.

Memolo Bunga Teratai.

Pada bagian tangga menuju bangsal keraton (Bangsal Agung Panembahan), terdapat 2 pasang ukiran bunga teratai merah berukuran besar, yang merupakan simbol:

Bunga Teratai (莲花), merupakan simbol yang melambangkan pengayoman, keindahan dan keagungan.

(17)

Ruang Bangsal Prabayaksa didominasi oleh keramik-keramik dan porselen khas Tiongkok disekeliling bangunannya. Keramik-keramik dan porselen tersebut, memiliki gambar berupa motif:

Perahu China ( 中 国 的 船 ), merupakan simbol yang melambangkan bahwa bangsa China unggul dalam pelayaran dan perniagaan.

Burung Hong (凤凰), merupakan simbol kebajikan, keluwesan

dan perempuan.

Naga (龙), merupakan simbol kebesaran.

Bunga Teratai (莲花), merupakan simbol yang melambangkan

pengayoman, keindahan dan keagungan.

Mega Mendung (乌云), merupakan simbol yang melambangkan

garis tidak putus, dalam keadaan nyata rejeki yang datang tidak ada putus-putusnya.

Kursi Singgasana dan Meja Raja.

Kursi Singgasana yang terdapat pada Bangsal Agung Panembahan, memiliki sebuah meja berkaki naga (龙) yang badannya saling melilit.

Memiliki makna bahwa “ucapan raja merupakan sebuah hukum”. Kursi dan meja singgasana raja tersebut, didominasi oleh warna

(18)

kuning keemasan (金 色 ) yang merupakan simbol keagungan, kekayaan dan kehormatan.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Mungal, maka telah terkumpul hasil data-data tersebut diatas. Maka, dapat disimpulkan bahwa pembangunan bangsal keraton tersebut, diakibatkan adanya penghormatan terhadap masyarakat Tionghoa yang telah menjalin hubungan kerjasama dalam menjalankan berbagai misi dengan pemerintahan Keraton Kasepuhan. Selain itu, terdapatnya unsur kebudayaan China pada bangunan bangsal keraton, juga merupakan sebuah penghormatan kepada salah satu isteri dari Sunan Gunung Jati, yaitu Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien). Perpaduan antara kedua kebudayaan tersebut, merupakan semacam perekat budaya antara identitas kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa yang harus dilestarikan. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Bd).

e. Kereta Singa Barong

Kereta Singa Barong merupakan sebuah kendaraan yang digunakan oleh seorang raja Keraton Kasepuhan. Bapak Mungal selaku narasumber dari Kompleks Keraton Kasepuhan, mengungkapkan bahwa kereta tersebut dibuat pada tahun 1549 dan memiliki arti Singa yang berasal dari kata Sing Ngarani (bahasa Cirebon) dan Barong yang memiliki arti bareng-bareng. Singa Barong yang bisa disebut Sing Ngarani bareng-bareng

(19)

dalam bahasa Indonesia berarti “yang memberi nama sama-sama” dan merupakan hasil perwujudan dari 3 binatang yang dijadikan satu yaitu: a). Belalai Gajah, merupakan simbol binatang yang sangat dihormati oleh

masyarakat India, melambangkan persahabatan dengan Negara India yang beragama Hindu.

b). Kepala Naga, merupakan simbol kebesaran yang melambangkan persahabatan dengan Negara China yang beragama Budha.

c). Sayap dan Badan Burung Bouraq, merupakan simbol perwujudan binatang yang membawa Nabi Muhammad SAW hijrah ke Sidhratul Muntaha, melambangkan persahabatan dengan Negara Mesir yang beragama Islam.

Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas yang didapat melalui hasil pengamatan penulis serta hasil wawancara langsung dengan narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa Kereta Singa Barong merupakan maskot dari Keraton kasepuhan dan merupakan gambaran bahwa teknologi masyarakat kota Cirebon tempo dulu cukup tinggi. Kereta tersebut, memiliki sistem kemudi menggunakan power steering, yaitu roda depan lebih kecil agar mudah membelokkan badan kereta. Selain itu, Kereta Singa Barong telah mengenal teknologi suspensi dengan menggunakan pegas lempengan besi yang dilapisi karet-karet pada keempat rodanya, sehingga dapat bergoyang-goyang ke arah depan dan ke arah belakang, dengan bergoyangnya tubuh kereta ini dapat membuat sayap Kereta Singa Barong tersebut bergerak-gerak. Itulah sebabnya pada saat kereta bertubuh bouraq, berkepala gajah dan bermahkota naga ini sedang

(20)

berjalan, akan tampak seperti terbang dan akan terlihat megah ketika sang raja berada dalam kereta Singa Barong tersebut. Kereta ini dahulunya dipergunakan untuk Upacara Kirab keliling kota Cirebon setiap tanggal 1 Muharam dengan ditarik oleh 4 ekor kerbau bule, dan semenjak tahun 1942 kereta ini sudah tidak dipergunakan kembali.

Kereta ini sangat identik dengan warna khas China, yaitu:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan.

Bapak Mungal selaku narasumber penulis, mengemukakan bahwa warna kuning merupakan warna yang bercampur dengan emas sedangkan warna hitam bercampur dengan tumbukan intan yang ditaburkan pada badan kereta ini. Unsur kebudayaan Tionghoa lainnya pada Kereta Singa Barong, juga dapat dilihat pada bagian depan kereta yang terdapat sepasang ukiran naga laki-laki dan perempuan, naga laki-laki berbentuk polos dan berukuran besar sedangkan naga perempuan menggunakan perhiasan dan berukuran lebih kecil.

Berdasarkan hasil data-data yang telah dikumpulkan dan hasil wawancara dengan Bapak Mungal selaku narasumber, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya perpaduan budaya antara ketiga Negara tersebut,

(21)

dikarenakan sikap akomodatif Sunan Gunung Jati dengan para Muslim Tionghoa yang selalu menampilkan kesenian berkebudayaan Islam (Arab), Hindu (India) dan Budha (China) dalam menarik simpati dan menyebarkan ajaran Islam, maka bentuk dari Kereta Singa Barong tersebut merupakan simbol perwujudan dan perpaduan yang mencerminkan persahabatan dengan Negara Arab, India dan China pada masa penyebaran agama Islam. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Be).

f. Bangunan Museum Benda Kuno

Bangunan Museum Benda Kuno, merupakan sebuah bangunan tempat penyimpanan barang-barang peninggalan sejarah bangsa China di kota Cirebon. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber, pada tahun 1974-1975 Bangunan Museum Benda Kuno dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Purbakala, yang bentuknya diubah menjadi huruf E. Pada bagian samping bangunan Museum benda kuno ini, juga terdapat ukiran kayu China, ukiran ini dibuat oleh Kapten China bernama Tan Tjoeng Lay, seorang ahli bahasa yang menyukai ilmu kejawen (Tan Tjoeng Lay merupakan seorang Muslim Tionghoa yang mengabdi pada Sultan Sepuh I).

Pada Bangunan Museum Benda Kuno tersebut, terdapat berbagai macam barang-barang antik peninggalan bangsa China, diantaranya adalah:

Pagoda Graken, tempat meramu jamu yang berasal dari China. Peti Kandaga, tempat perhiasan Puteri China.

(22)

Tempat tinta dari China.

3 buah peti kayu berukir dari China.

Naga Tunggul Wulung, ukiran kayu berbentuk naga yang badannya saling melilit.

Meriam dari China.

Cangkir dan keramik-keramik dari China. Genta kerajinan China

Mangkok besar, kendi, jambangan yang berasal dari Dinasti Ming. Ukiran kayu khas China bermotifkan wadasan yang ditumbuhi pohon

teratai.

(Lihat pada gambar 3. 1. 2. Bf).

g. Peninggalan Sejarah Bangsa China di Keraton Kasepuhan

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan wawancara langsung dengan Bapak Mungal selaku narasumber, maka telah terkumpul data-data peninggalan sejarah bangsa China yang menjadi bagian dari Kompleks Keraton Kasepuhan, diantaranya adalah:

2 buah tandu Jempana yang berasal dari China, biasa dipergunakan oleh permaisuri dan putera mahkota. Tandu tersebut merupakan persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten Tan Boen Wee (seorang ahli bahasa dan sekretaris pada masa pemerintahan kesultanan pertama).

Tandu Garuda Mina, dipergunakan untuk mengarak anak raja yang akan dikhitankan. Bagian depan pada Tandu Garuda Mina merupakan

(23)

burung jantayu dan pada bagian belakang merupakan ekor ikan, yang mengandung falsafah bahwa apabila mengalami kehidupan diatas harus mengingat kehidupan orang yang berada dibawah. Sebab, orang yang menduduki Tandu garuda Mina merupakan seorang calon pemimpin sebuah pemerintahan.

2 buah meriam berbentuk naga, berasal dari Mongolia pada tahun 1424. (Lihat pada gambar 3. 1. 2. Bg).

Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa pada masa Islamisasi di kota Cirebon tersebut, diakibatkan karena Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Keraton Kasepuhan beserta para Muslim Tionghoa di kota Cirebon, memiliki peran penting dalam menjalankan proses masuk dan berkembangnya agama Islam di seluruh Jawa Barat. Hal tersebut, dapat dibuktikan dengan berdirinya Kompleks Keraton Kasepuhan sebagai pusat pengembangan ajaran Islam diseluruh Jawa Barat, sehingga dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah masyarakat Muslim Tionghoa, yang hingga saat ini dapat dijumpai pada bangunan Kompleks Keraton Kasepuhan.

3. 2.Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa

3. 2. 1. Sejarah Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki arti Sang yaitu ke-Agungan, Cipta yaitu dibangun dan Rasa yaitu digunakan, kata-kata tersebut mengandung makna bahwa “bangunan ini pergunakanlah untuk ibadah dan kegiatan agama”.

(24)

Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak dilingkungan Kompleks Keraton Kasepuhan, yaitu sekitar 100 meter di sebelah Barat alun-alun Sangkala Buwana. Ada berbagai macam versi mengenai awal dibangunnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa, diantaranya menurut catatan Keraton Kasepuhan yang mengacu pada candrasengkala, waspada panembahe yuganing ratu, yaitu kalimat yang bermakna 2241, alias 1422 Saka, sezaman dengan 1500 Masehi.

Menurut Bapak Adnan, selaku juru kunci dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa mengemukakan bahwa pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa diprakasai oleh Syech Syarief Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati (杜 亞 波 ). Sunan Kalijaga ( 颜 四 章 ) sebagai pemimpin

pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa, melibatkan 500 tenaga kerja dari Cirebon, Demak dan Majapahit dan dibantu oleh Raden Sepat arsitek dari Majapahit yang merancang Masjid Agung Sang Cipta Rasa dengan bentuk dari Mongolia.

Tata ruang bangunan pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, berbentuk persegi panjang seluas 400 meter persegi. Menurut Denys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (2005: 219), mengemukakan bahwa:

Denah ruang sembahyang pada dasarnya berbentuk bujur sangkar, tetapi tidak halnya di Masjid Agung Cirebon yang denahnya persegi panjang. Kerangkanya pada dasarnya mendukung beberapa atap bersusun yang jumlahnya selalu ganjil (tiga atau lima).

Pada bagian dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa, ruangan terbagi menjadi lima bagian, yaitu bagian ruangan utama, tiga ruangan serambi dan ruangan pada bagian belakang. Ruang utama adalah ruangan masjid, tempat para jamaah masjid melaksanakan ibadah shalat, lantainya terbuat dari terakota tanah

(25)

atau tembikar berukuran 30x30 sentimeter. Serambi bagian selatan disebut Bangsal Prabayaksa yang dalam bahasa Jawa kuno berarti “ruang pertemuan”, yang berfungsi sebagai tempat bertemunya para jamaah masjid dan serambi pada bagian depan bernama Bangsal Pemandangan, yang berarti tempat “cuci mata”, pada bagian ruangan inilah para jamaah masjid dapat menikmati suasana alun-alun Sangkala Buwana. Ruangan pada bagian belakang masjid berukuran 5x20 meter, ruangan tersebut merupakan ruangan bagi para kuncen, para pengurus masjid dan sebagai tempat penyimpanan Al-Quran dan buku-buku pelajaran agama Islam.

Prof. Kong Yuanzhi, dalam bukunya Silang Budaya Tiongkok Indonesia (2005: 352), mengemukakan bahwa:

Masjid-masjid yang dibangun atau pembangunannya diikuti oleh para masyarakat Tionghoa di Indonesia, akan menunjukkan gaya bangunan masjid model istana Tiongkok.

Jika ditinjau dari aspek konsep dan bentuk gaya bangunan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki perbedaan dengan masjid lain yang dibangun pada masanya di Pulau Jawa. Pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki bangunan seperti pagoda China (atap yang bersusun-susun), tiang yang tinggi, ruangan yang luas, koridor yang berliku-liku yang hingga saat ini terlihat sangat kokoh sebagai bangunan tua peninggalan sejarah para Sunan dari perkumpulan Wali Songo.

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul serta hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara langsung dengan narasumber yaitu Bapak Adnan selaku juru kunci dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, penulis dapat menyimpulkan bahwa pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan salah satu hasil

(26)

perwujudan akulturasi pada bentuk sebuah bangunan rumah peribadatan yang memiliki unsur kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa yang sangat kuat. Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas, maka dapat dianalisa bahwa terjadinya perpaduan budaya Islam dan budaya Tionghoa dalam pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa diakibatkan adanya kerjasama antara para Sunan dari Wali Songo dengan para Muslim Tionghoa dalam menjalankan sebuah misi yaitu dalam menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di kota Cirebon Jawa Barat. Maka dengan adanya partisipasi para Muslim Tionghoa tersebut, tehnik pembangunan dalam mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak terlepas dari adanya unsur kebudayaan Tionghoa yang dapat dilihat pada beberapa bentuk ornamen bangunannya.

3. 2. 2.Unsur Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tionghoa Pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan salah satu narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa yaitu Bapak Adnan, maka dapat disimpulkan bahwa bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki hasil perpaduan dari: A. Unsur Kebudayaan Islam

a. Pintu

Ruang utama pada masjid memiliki 9 buah pintu. Pintu utama terletak pada bagian sebelah Timur sedangkan delapan pintu lainnya terletak dibagian samping kiri dan samping kanan pintu utama. Pintu tersebut memiliki ketinggian 1 meter, sehingga pada saat memasuki ruangan utama masjid, diharuskan untuk menundukkan kepala. Menurut Bapak

(27)

Adnan selaku narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mengungkapkan bahwa kesembilan pintu kayu berwarna cokelat tersebut mengandung makna kerendahan hati, sopan santun dan penghormatan bagi orang lain. Selain itu, juga merupakan simbol dari kesembilan Sunan dari perkumpulan Wali Songo yang memiliki jasa besar dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Aa).

b. Mihrab

Mihrab pada bagian dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa, merupakan daerah utama pada bangunan masjid. Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan narasumber, mihrab tersebut diyakini warga sekitar masjid tepat menuju Mekkah. Hal tersebut juga diakui oleh sejarahwan Perancis, Dennys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (II, 2005: 218), bahwa:

…di Cirebon Masjid Agung menjadi satu dengan kompleks keraton, satu-satunya bangunan masjid yang tetap mempunyai qiblat yang tepat, dengan mihrabnya yang menghadap ke Mekkah.

Bapak Adnan selaku juru kunci dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mengungkapkan bahwa mihrab tersebut menghadap ke arah Barat dengan miring 30o ke arah Barat Laut yang diyakini tepat menuju ke arah Masjidil Haram, Mekkah.

c. Papan Penyekat

Papan penyekat yang terdapat pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa menggunakan bahan perekat berupa batu bata dan kaca yang memiliki

(28)

ukiran khas Islam dan Jawa. Bapak Adnan selaku narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mengemukakan bahwa papan penyekat bertuliskan kaligrafi Arab tersebut merupakan simbol bahwa bangunan tersebut merupakan tempat ibadah bagi para umat Islam. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Ac).

Berdasarkan hasil data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis dan hasil wawancara dengan narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa yaitu Bapak Adnan, penulis dapat menganalisa bahwa terdapatnya unsur kebudayaan Islam pada bangunan masjid tersebut, dikarenakan bahwa bangunan tersebut merupakan rumah peribadatan bagi umat Islam. Selain itu, karena pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa diprakasai oleh para Sunan dari perkumpulan Wali Songo yang memiliki peran penting dalam proses masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Pulau Jawa, maka pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki perpaduan unsur kebudayaan Islam yang sangat kuat.

B. Unsur Kebudayaan Tionghoa

Bapak Adnan selaku narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, mengemukakan bahwa unsur kebudayaan Tionghoa pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dapat dilihat pada:

a. Atap

Atap pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, berbentuk limas yang serupa dengan bangunan pagoda China. Sejarahwan ternama dari Belanda, Graaf

(29)

dan Pigeaud dalam Chinese Muslims in Java (1984: 179-180), berpendapat bahwa:

Atap bertingkat yang menjadi style pada masjid-masjid kuno di Jawa itu menyerupai pagoda di China yang digunakan untuk tujuan keagamaan semua agama.

Atap yang serupa dengan pagoda gaya Timur tersebut, disangga oleh 12 tiang yang memiliki ukiran khas Islam, sehingga bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa memberikan pengaruh tertentu antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa pada bagian atap dan tiang penyangganya. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Ba).

b. Pintu Gerbang

Bapak Adnan selaku narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, berpendapat bahwa pintu gerbang pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa terbuat dari kayu jati dan pada bagian dinding gerbang tersebut dicat berwarna merah, serupa dengan gerbang kelenteng pada masyarakat Tionghoa. Hal ini dikarenakan bahwa dalam pembangunan masjid tersebut, tidak terlepas dari adanya partisipasi para Muslim Tionghoa di kota Cirebon Jawa Barat. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Bb).

c. Soko Tatal

Atap masjid pada bagian Tenggara disangga oleh sebuah pilar yang terbuat dari potongan kayu disambung-sambungkan, dikenal dengan sebutan soko tatal atau tiang serpihan kayu. Tiang penyangga tersebut, dikaitkan hingga menjadi satu kesatuan pilar yang kokoh. Bapak Adnan

(30)

selaku narasumber, mengemukakan bahwa teknik pembuatan tiang soko tatal (tiang penyangga) pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sama dengan teknik penyambungan potongan kayu pada tiang untuk kapal jung China, yang dikerjakan hanya dalam waktu 1 malam dan diyakini tercipta karena kesaktian Sunan Kalijaga. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Bc).

d. Mihrab

Bagian ruang utama yang terpenting adalah mihrab yaitu tempat seorang imam memimpin shalat. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, mihrab tersebut dihiasi relief khas China yang bermotifkan:

Bunga Teratai (莲 花 ), merupakan simbol yang melambangkan

pengayoman, keindahan dan keagungan. Bunga teratai tersebut, didominasi oleh warna:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, dapat disimpulkan bahwa mihrab pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan perpaduan yang mencerminkan kebudayaan Islam (dapat dilihat pada arahnya yang menghadap Masjidil Haram- Mekkah) dan bentuknya yang mengadopsi dari unsur kebudayaan Tionghoa. Sehingga ruang utama pada Masjid

(31)

Agung Sang Cipta Rasa tersebut, memiliki perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa yang cukup kuat. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Bd).

e. Porselen Tiongkok

Pada bagian ruang utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, terdapat sebuah porselen Tiongkok berwarna kuning keemasan dengan motif berciri khas China berwarna merah dan hijau. Narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa mengemukakan bahwa, porselen khas Tiongkok tersebut merupakan simbol penghormatan masyarakat setempat terhadap salah seorang isteri dari Sunan Gunung Jati yang berasal dari daratan China, yaitu Puteri Ong Tien. (Lihat pada gambar 3. 2. 2. Be).

Berdasarkan hasil pengumpulan data-data tersebut diatas, serta hasil pengamatan penulis dan wawancara langsung dengan Bapak Adnan selaku narasumber dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa, diakibatkan adanya partisipasi masyarakat kota Cirebon dengan masyarakat Tionghoa dalam penyebaran agama Islam yang berpusat pada Kompleks Keraton Kasepuhan di kota Cirebon Jawa Barat. Sehingga, dalam pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun oleh sebagian para Sunan dari Wali Songo tersebut, terdapat beberapa unsur yang juga menggunakan tehnik pembangunan masjid dari masyarakat Tionghoa. Hal tersebut, dikarenakan adanya hubungan kerjasama yang harmonis dalam misi menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam antara kedua kebudayaan

(32)

tersebut di kota Cirebon Jawa Barat, sehingga terwujud dalam perpaduan kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa pada bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

3. 3. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Taman Air Goa Sunyaragi

3. 3. 1. Sejarah Taman Air Goa Sunyaragi

Taman Air Goa Sunyaragi merupakan sebuah kompleks taman air yang terletak di bagian sisi Utara Jl. Brigjen Dharsono, kota Cirebon Jawa Barat yang dibangun pada tahun 1529. Bangunan taman air tersebut, memiliki luas sekitar 8.400 meter persegi dan berasal dari kata sunya yang memiliki arti sepi, serta ragi yang memiliki arti raga. Karena, tujuan utama didirikannya bangunan ini adalah sebagai tempat beristirahat dan bermeditasi dalam kesunyian dan sebagai tempat untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, yang biasa digunakan oleh para raja beserta keluarga dan keturunan dari Keraton Kasepuhan Cirebon.

Berdasarkan hasil wawancara langsung penulis dengan Bapak Budi Slamet, selaku narasumber dari Taman Air Goa Sunyaragi mengemukakan bahwa Taman Air Goa Sunyaragi sebagai salah satu benda cagar budaya di kota Cirebon Jawa Barat, sebelumnya merupakan sebuah taman air yang sangat indah. Hal tersebut, dikarenakan bahwa pada awal berdirinya taman air tersebut dikelilingi oleh sebuah danau bernama Danau Jati dan terdapat berbagai macam air terjun buatan sebagai penghias goa tersebut.

(33)

pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi adalah Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i), seorang Menteri Keuangan di masa awal pemerintahan kesultanan Kasepuhan dan salah seorang pendiri masjid Muslim Tionghoa, yang kini dialihfungsikan menjadi sebuah kelenteng bernama Kelenteng Talang di kota Cirebon, Jawa Barat. Tan Sam Cai sebagai pendiri Taman Air Goa Sunyaragi, mengadopsi bentuk yang berasal dari China yaitu serupa dengan“Forbiden City (istana terlarang)”, salah satu istana kerajaan yang terdapat di daratan China.

Sumanto Al Qurtuby, dalam bukunya Arus Cina –- Islam – Jawa (2005: 186), mengemukakan bahwa:

Goa yang dulu menjadi tempat “bertapa” para bangsawan Cirebon sekaligus bunker militer dari serbuan musuh ini kemudian dihancurkan Belanda pada tahun 1787. Jika memperhatikan arsitektur goa ini, memang menimbulkan dugaan kuat adanya pengaruh Cina.

Secara garis besar bangunan Taman Air Goa Sunyaragi terbagi menjadi dua bagian yaitu bangunan pesanggrahan dan bangunan goa. Bangunan pesanggrahan, biasa digunakan oleh para raja yang dilengkapi dengan ruangan serambi, ruang tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah serta dikelilingi oleh taman lengkap dengan kolam airnya. Sedangkan pada bangunan goa, terdapat berbagai macam goa yang berbentuk gegunungan, dilengkapi dengan terowongan penghubung bawah tanah beserta saluran air.

Berdasarkan hasil data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi yang memiliki perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa tersebut, diakibatkan adanya pengaruh dari seorang arsiteknya yang berasal dari daratan China, yaitu Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i). Bangunan Taman Air

(34)

Goa Sunyaragi tersebut, biasa digunakan oleh para keturunan raja keraton yang akan melakukan meditasi (bersemedi) untuk menenangkan hati. Karena taman air tersebut didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa yang berasal dari daratan China dan didirikan pada awal masuk dan berkembangnya agama Islam di kota Cirebon Jawa Barat, maka pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi memiliki perpaduan antara unsur kebudayaan Islam dan unsur kebudayaan Tionghoa yang memiliki makna dan fungsi yang berbeda pada setiap bentuk bangunannya.

3. 3. 2.Unsur Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tionghoa Pada Taman Air Goa Sunyaragi

Berdasarkan hasil data-data yang telah didapat melalui wawancara langsung dengan Bapak Budi Slamet selaku narasumber dari Taman Air Goa Sunyaragi, maka dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari gaya atau corak dan motif-motif ragam hias yang beraneka ragam, bangunan Taman Air Goa Sunyaragi merupakan perpaduan dari:

A. Unsur Kebudayaan Islam a. Musholla

Pada bangunan goa terdapat beberapa ruangan musholla yang dilengkapi dengan arah kiblat (arah ke Mekkah), serta memiliki beberapa pawudlon atau tempat wudhu yang digunakan sebelum melaksanakan ibadah sholat bagi umat Islam. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Bapak Budi Slamet, maka dapat disimpulkan bahwa karena bangunan ini didirikan oleh seorang Muslim Tionghoa yang dipimpin

(35)

oleh seorang raja yang menganut agama Islam, maka sangatlah wajar apabila pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi memiliki beberapa ruangan musholla, agar memudahkan para raja dalam menjalankan ibadah shalat. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Aa).

b. Pintu

Pintu pada bangunan Taman Air Goa Sunyaragi, dibuat berukuran sempit dan rendah, sehingga saat memasuki pintu tersebut diharuskan untuk menundukkan kepala. Bapak Budi Slamet selaku narasumber, mengungkapkan bahwa pintu yang terdapat pada setiap bangunan goa, mengandung makna bahwa bagi setiap orang yang melewati pintu tersebut dilatih untuk saling menghormati, berbudi pekerti yang baik serta berakhlak yang mulia. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Ab).

c. Bangsal Jinem

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Budi Slamet, dapat disimpulkan bahwa bentuk sisi bagian belakang pada bangunan Bangsal Jinem menyerupai bentuk Ka’bah yang terdapat di Mekkah. Menurut narasumber dari Taman Air Goa Sunyaragi, mengungkapkan bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah simbol bagi agama Islam. Pada bagian dalam ruangan Bangsal Jinem tersebut, terdapat sebuah kursi singgasana raja yang biasa digunakan oleh raja pada saat menyampaikan sebuah pidato. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Ac).

(36)

Dari hasil pengumpulan data yang dilakukan penulis melalui wawancara langsung dengan Bapak Budi Slamet selaku narasumber, selain memiliki unsur kebudayaan Islam pada beberapa bentuk bangunannya, Taman Air Goa Sunyaragi juga memiliki unsur kebudayaan Tionghoa pada: a. Bangunan Pemantau

Bangunan pemantau terletak pada bagian belakang bangunan Bangsal Jinem. Bangunan tersebut, digunakan oleh para pengawal raja untuk memantau keadaan sekeliling taman air disaat raja melakukan meditasi (bersemedi). Bangunan berbentuk pendopo tersebut, memiliki unsur kebudayaan Tionghoa yang dapat dilihat pada:

Atap.

Atap pada bangunan tersebut berbentuk pagoda China yang pada bagian ujungnya dibuat melengkung keatas.

Keramik-Keramik Khas Tiongkok

Bangunan Pemantau pada Taman Air Goa Sunyaragi didominasi keramik khas Tiongkok, berupa:

Bunga Teratai (莲花), merupakan simbol yang melambangkan

pengayoman, keindahan dan keagungan. Naga (龙), merupakan simbol kebesaran.

Perahu China ( 中 国 的 船 ), merupakan simbol yang

melambangkan bahwa bangsa China unggul dalam pelayaran dan perniagaan.

(37)

Keramik-keramik khas Tiongkok pada bangunan pemantau tersebut didominasi oleh keramik-keramik berwarna biru dan putih.

(Lihat pada gambar 3. 3. 2. Ba).

b. Goa Arga Jumut

Goa Arga Jumut merupakan sebuah bangunan goa kecil yang terdapat pada bangunan goa di Taman Air Goa Sunyaragi. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan wawancara langsung dengan Bapak Budi Slamet selaku narasumber penulis dari Taman Air Goa Sunyaragi, dikemukakan bahwa dalam goa tersebut terdapat dua ruangan kecil yang digunakan sebagai tempat bermeditasi (semedi) para sultan beserta para keturunannya. Pada bagian Barat bangunan (sebelah kanan), biasa digunakan sebagai tempat orang-orang bersemedi yang ingin menuju ke Mekkah. Sedangkan pada bagian Timur bangunan (sebelah kiri), biasa digunakan bagi orang-orang bersemedi yang ingin menuju para leluhurnya di daratan China. Menurut Bapak Budi Slamet, selaku narasumber dari Taman Air Goa Sunyaragi mengungkapkan bahwa dari bangunan Goa Arga Jumut inilah pusat kekuatan ilmu kebatinan jiwa raga bagi para sultan yang ingin menenangkan hatinya atau ingin memanjatkan doa, yang dapat menembus antara Mekkah dan China. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Bb).

(38)

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, keramik-keramik khas Tiongkok peninggalan masa Dinasti Ming, juga menghiasi beberapa bangunan yang terdapat di Taman Air Goa Sunyaragi, keramik-keramik tersebut didominasi oleh warna biru dan putih dengan berbagai macam motif khas China. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Budi Slamet selaku narasumber penulis, mengemukakan bahwa karena pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi dibangun pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati beserta para Muslim Tionghoa di kota Cirebon, maka keramik-keramik khas Tiongkok juga menjadi hiasan utama pada bangunan Taman Air Goa Sunyaragi. Hal ini juga merupakan penghormatan pada salah satu isteri dari Sunan Gunung Jati, yaitu Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien).

d. Ukiran

Berdasarkan hasil data yang telah didapat, pada bangunan Taman Air Goa Sunyaragi terdapat berbagai macam ukiran khas China berbentuk:

Bunga Teratai (莲 花 ), merupakan simbol yang melambangkan

pengayoman, keindahan dan keagungan.

Motif Mega Mendung (乌云), simbol yang tidak memiliki garis putus,

dalam keadaan nyata rejeki yang datang tidak ada putus-putusnya. Kedua ukiran khas China tersebut, banyak mendominasi bangunan pada Taman Air Goa Sunyaragi, terutama pada bagian bangunan-bangunan goanya. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Bd).

(39)

e. Kuburan China

Bapak Budi Slamet selaku narasumber dari Taman Air Goa Sunyaragi, mengemukakan bahwa kuburan yang terdapat pada bagian halaman Taman Air Goa Sunyaragi merupakan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat memanjatkan doa bagi para keturunan pengiring-pengiring dan para pengawal Puteri China Tan Hong Tien Nio (Puteri Ong Tien), isteri dari Sunan Gunung Jati yang berasal dari daratan China. Berdasarkan hasil pengamatan penulis serta hasil wawancara dengan Bpk. Budi Slamet selaku narasumber, mengungkapkan bahwa hingga saat ini kuburan China tersebut masih sering dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa yang ingin memanjatkan doa kepada para leluhurnya. (Lihat pada gambar 3. 3. 2. Be).

Berdasarkan data-data yang telah terkumpul diatas, serta hasil wawancara langsung dengan Bapak Budi Slamet selaku narasumber, penulis menganalisa bahwa terbentuknya bangunan Taman Air Goa Sunyaragi tersebut memiliki adanya unsur kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa yang sangat kuat. Karena, bangunan Taman Air Goa Sunyaragi digunakan sebagai tempat bermeditasi para pembesar kerajaan yang sebagian besar dari mereka merupakan para Muslim Tionghoa yang taat pada ajaran Islam. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara arsitek pendiri Taman Air Goa Sunyaragi bernama Tan Sam Cai yang merupakan seorang Menteri Keuangan di Keraton Kasepuhan dengan Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Keraton Kasepuhan.

(40)

Selain itu, pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi tersebut juga merupakan sebuah penghormatan bagi salah seorang isteri dari Sunan Gunung Jati yang berasal dari daratan China, Tan Hong Tien Nio atau Puteri Ong Tien yang memiliki peran penting dalam proses masuk dan berkembangnya ajaran Islam di kota Cirebon, Jawa Barat. Oleh sebab itu, pembangunan Taman Air Goa Sunyaragi tidak terlepas dari adanya nuansa kebudayaan Tionghoa yang sangat kuat pada beberapa bentuk bangunannya.

3. 4. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kelenteng Talang

3. 4. 1. Sejarah Kelenteng Talang

Kelenteng merupakan rumah peribadatan bagi masyarakat Tionghoa yang menganut agama Konghucu. Rumah peribadatan China yang terletak di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan rumah peribadatan China yang terdapat di daratan Tiongkok. Di kota Cirebon Jawa Barat, terdapat sebuah kelenteng kontroversial dan merupakan salah satu kelenteng tertua yang juga dikenal dengan nama Kelenteng Talang (Lithang Konghucu). Kelenteng Talang yang terletak di Jl. Talang no. 2 kota Cirebon Jawa Barat, dibangun pada awal abad ke-15 dan pendirinya adalah seorang Muslim Tionghoa bernama Tan Sam Cai (Muhammad Syafi’i).

Bapak Ependi selaku pengurus Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa bangunan Kelenteng Talang disebut sebagai kelenteng kontroversial, karena pada awal pembangunannya kelenteng tersebut merupakan sebuah masjid tempat beribadah bagi umat Islam. Nama Talang sendiri, berasal dari kata “Toa-Lang”

(41)

yang berarti “orang besar” atau “paduka tuan yang terhormat”, yang merupakan sebutan dari Sam Po Toa Lang , Sam Po Tay Jin atau Sam Po Thay Kam (tiga orang pendekar besar) yakni Laksmana Cheng Ho, Kung Wu Ping dan Wai Ping, tokoh penyebar agama Islam terkemuka di masa Dinasti Ming (1368-1644), dan pemberian nama tersebut terkait dengan penghormatan terhadap ketiga tokoh Muslim Tionghoa tersebut.

Beberapa hal yang menarik dari konstruksi Kelenteng Talang adalah tegel bata kuno berukuran 40 x 40 cm, paku kuno segi empat dan bata merah kuno berukuran 28 x 14 cm yang serupa dengan pembangunan Masjid Demak yang dibangun oleh para Sunan dari Wali Songo. Keistimewaan lainnya adalah bangunan arsitekturnya yang sangat tua, tiang penyangga kayu berupa ukiran “kuping-kuping” tersendiri yang tidak terdapat pada kelenteng atau vihara lainnya diseluruh Indonesia.

Jika dilihat dari bentuk luar, bangunan Kelenteng Talang ditata secara simetris dengan pembagian ruangan-ruangannya, yaitu pembagian antara ruangan tengah dengan ruangan bagian samping kiri dan ruangan pada bagian samping kanan. Selain itu, penataan struktur bangunan Kelenteng Talang juga didominasi oleh warna-warna merah menyala, kuning keemasan dan hijau. Sehingga memberi kesan ketenangan, keseriusan, kemegahan dan memberikan makna kuat tentang fungsi bangunan sebagai tempat peribadatan.

Penjaga Kelenteng Talang, Bapak Ependi mengakui bahwa kelenteng tersebut pada awalnya adalah sebuah bangunan masjid yang digunakan sebagai tempat peribadatan bagi para Muslim Tionghoa saat melaksanakan ibadah shalat oleh Tan Sam Cai alias Muhammad Syafi’i. Hal tersebut, dapat dibuktikan

(42)

dengan adanya pembagian ruangan yang digunakan sebagai ruangan peribadatan bagi para umat Islam dan terdapat nisan bertuliskan “陈三才” (Chen San Cai),

yang merupakan nama kecil dari Tan Sam Cai beserta ukiran-ukiran kaligrafi bertuliskan arab disekeliling bangunan. Sebelum dijadikan sebuah bangunan kelenteng, bangunan tersebut juga digunakan sebagai guest house (tempat persinggahan) bagi masyarakat China perantauan yang datang ke kota Cirebon untuk menghadap sultan atau menjalankan tugas penting di Keraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat.

Pada tahun 1853-1920, berdasarkan surat Gubernur Hindia Belanda Besluit pada tanggal 22 Juli 1898 No. 3, masjid Muslim Tionghoa tersebut dialih fungsikan sebagai tempat peribadatan umat Konghucu, yaitu kelenteng oleh seorang China kaya raya di kota Cirebon, bernama Mayor Tan Tjin Kie yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Keng Ju Kwan. Pada tahun 1960-an oleh Khi Sin Oan, seorang umat Konghucu di kota Cirebon, dibuat sebuah meja altar yang hingga saat ini masih terdapat pada bangunan Kelenteng Talang.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung penulis dan hasil wawancara dengan narasumber, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam proses pengalihfungsian bangunan masjid menjadi bangunan kelenteng tersebut, tidak menghilangkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam dan kebudayaan Tionghoa yang telah menjadi bagian dalam pendirian bangunan tempat peribadatan tersebut. Hal ini, dapat dibuktikan dengan adanya unsur kebudayaan Islam yang

(43)

kuat, walaupun bangunan tersebut sudah dialihfungsikan menjadi bangunan kelenteng.

3. 4. 2.Unsur Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Tionghoa Pada Kelenteng Talang

Bapak Ependi selaku narasumber penulis dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa indikasi bahwa pada awal berdirinya Kelenteng Talang adalah sebuah bangunan masjid, dapat dilihat pada:

A. Unsur Kebudayaan Islam a. Arah

Pada umumnya arah sebuah kelenteng dibangun menurut perhitungan Feng Shui (风水) atau prinsip keseimbangan dengan alam. Kelenteng

Talang yang sebelumnya merupakan bangunan sebuah Masjid yang digunakan para Muslim Tionghoa di kota Cirebon, dibangun menghadap ke arah Masjidil Haram (Mekkah) yang pada umumnya digunakan sebagai arah kiblat saat melaksanakan ibadah shalat.

b. Bentuk

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, bentuk bangunan pada rumah peribadatan umat Konghucu pada umumnya merupakan pengelilingan setengah lingkaran atau berbentuk seperti huruf U. Dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu ruangan bagian depan, ruangan bagian tengah dan pada

(44)

bagian akhir merupakan bagian meja altar yang dibuat lebih tinggi dari bangunan bagian depan. Menurut hasil wawancara dengan Bpk. Ependi selaku narasumber, bentuk bangunan pada Kelenteng Talang dibuat terpisah antara ruangan pada bagian tengah dengan ruangan samping kiri dan ruangan samping kanan. Hal tersebut, dikarenakan bahwa bentuk ruangan pada Kelenteng Talang sebelumnya merupakan sebuah bangunan masjid yang digunakan oleh para umat Islam.

c. Mimbar Khotbah

Karena pada awal pembangunannya merupakan sebuah bangunan masjid, Bapak Ependi mengemukakan bahwa pada saat pemugaran bangunan tersebut terdapat sebuah mimbar khotbah yaitu tempat berceramah bagi seorang penceramah di masjid. Selain ditemukan mimbar khotbah, juga terdapat tempat pengimaman yang menjorok ke dalam yaitu tempat seorang Imam saat memimpin shalat.

d. Sumur dan Padasan

Sumur dan padasan merupakan tempat berwudhu yang biasa dipakai oleh umat Islam di pedesaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber dan hasil pengamatan penulis ditempat yang diteliti, dapat dilihat bahwa karena pada saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi bangunan kelenteng, maka pada saat ini padasan sudah dihancurkan sedangkan sumur yang terdapat di kelenteng tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Ad).

(45)

B. Unsur Kebudayaan Tionghoa

Pada tahun 1853-1920, setelah bangunan masjid dialih fungsikan menjadi tempat peribadatan umat Konghucu, bangunan masjid tersebut berubah menjadi sebuah bangunan kelenteng yang pada umumnya dibangun dengan menggunakan unsur kebudayaan China, yang dapat dilihat pada: a. Gerbang Utama

Gerbang utama memasuki Kelenteng Talang didominasi oleh warna khas China, yaitu:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

kemewahan.

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan.

Pada bagian depan saat memasuki pintu gerbang kelenteng terdapat tulisan China bertuliskan “孔道教堂” (tempat berdo’a), yang didominasi

oleh warna merah dan kuning keemasan. Selain itu, penulis juga mengamati bahwa pada bagian atap gerbang kelenteng dibuat melengkung keatas seperti gerbang kelenteng pada umumnya. Pada bagian belakang pintu gerbang Kelenteng Talang, terdapat kunci kayu berbentuk balok empat arah. Bapak Ependi selaku narasumber,

(46)

mengungkapkan bahwa kunci kayu balok tersebut merupakan simbol dari keempat arah mata angin. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Ba).

b. Atap

Bagian atap pada bangunan Kelenteng Talang, memiliki ukiran khas China yang pada bagian ujung atap dibuat mencuat keatas, seperti rumah peribadatan khas China pada umumnya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bb).

c. Serambi atau Teras

Pada bagian depan bangunan Kelenteng Talang terdapat sebuah ruangan pendopo yang memiliki fungsi sebagai teras, yaitu sebagai tempat menjamu para tamu yang datang ke kelenteng. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, pendopo tersebut didominasi oleh warna merah serta warna kuning keemasan pada bagian langit-langitnya dan terdapat ukiran khas China berwarna emas dan lampion sebagai penghias pendopo tersebut. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bc).

d. Warna

Bangunan pada Kelenteng Talang didominasi oleh warna:

Merah (红 色 ), merupakan simbol kegembiraan, kesenangan dan

(47)

Kuning Keemasan (金色), merupakan simbol keagungan, kekayaan

dan kehormatan.

Hijau (绿色), merupakan simbol keberuntungan dan pembaharuan. Ketiga warna khas China yang mendominasi bangunan Kelenteng Talang tersebut, memiliki simbol kegembiraan, kesenangan, kemewahan dan keagungan serta sebuah kesakralan pada bangunan tempat peribadatan dalam menjalankan ibadah.

e. Jendela

Dari arah gerbang utama, saat memasuki pintu gerbang Kelenteng Talang dapat dilihat 4 buah jendela persegi empat berukuran besar, yang terletak 2 pada bagian kanan dan 2 pada bagian kiri pintu utama. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, keempat jendela tersebut memiliki warna khas China yaitu merah menyala dan berwarna kuning emas pada bagian pinggir jendelanya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Be).

f. Pilar

Bapak Ependi selaku narasumber penulis dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa pilar penyangga yang terdapat pada Kelenteng Talang serupa dengan pilar bangunan-bangunan kelenteng pada umumnya yaitu berukuran besar, berwarna dasar merah menyala serta kuning keemasan (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bf).

(48)

g. Langit-langit Bangunan

Bagian langit-langit pada Kelenteng Talang disesuaikan dengan bentuk atap dari luar bangunan kelenteng. Pada bagian atas langit-langit kelenteng, penulis dapat melihat berbagai macam ukiran khas China yang berfungsi untuk memperindah bentuk bangunan. Menurut Bpk. Ependi, selaku narasumber dari Kelenteng Talang mengemukakan bahwa lampion khas China tersebut, tidak memiliki kandungan makna simbolis. Lampion tersebut hanya digunakan sebagai penghias ruangan pada bagian langit-langitnya. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bg).

h. Meja Altar

Pada bagian meja altar terdapat berbagai macam ukiran khas China berwarna merah, kuning keemasan dan hijau. Bapak Ependi selaku narasumber, mengemukakan bahwa meja altar tersebut berfungsi sebagai tempat meletakkan koleksi-koleksi objek pemujaan, pada bagian kanan dan bagian kiri meja altar terdapat beberapa papan arwah bertuliskan “陈

三才” nama lain dari Tan Sam Cai berserta para keturunannya dan

beberapa para pengikutnya serta terdapat tempat pembakaran hio yang biasa digunakan umat Konghucu saat beribadah. Selain itu, terdapat berbagai macam peralatan pemujaan berupa meja sesaji (yang terdapat pada meja altar), yaitu bokor pedupaan dan berbagai macam lilin berwarna merah. Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa lilin tersebut digunakan sebagai tanda terima

(49)

kasih para penganut agama Konghucu kepada para dewa. (Lihat pada gambar 3. 4. 2. Bh).

i. Hio (香)

Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Ependi selaku narasumber, mengemukakan bahwa hio merupakan bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap berbau harum yang berfungsi sebagai menentramkan pikiran dan memudahkan konsentrasi serta mengusir hal-hal yang bersifat negatif.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, ruangan utama pada Kelenteng Talang terdapat asap hio yang terbakar dan asap tersebut mengelilingi seluruh ruangan Kelenteng Talang yang memberikan kesan kesakralan dan kekhusyukan umat Konghucu yang sedang memanjatkan doa.

j. Ukiran dan Patung Dewa-Dewi

Pada bagian dalam bangunan Kelenteng Talang terdapat berbagai macam bentuk ukiran-ukiran khas China yang didominasi oleh warna merah dan kuning keemasan, ukiran khas China tersebut berupa hiasan bermotifkan:

Naga ( 龙 ), yang mengandung makna simbolis tinggi berupa

kebesaran dan laki-laki.

Burung Hong (凤凰), yang mengandung makna kebajikan, keluwesan

(50)

Bunga Teratai (莲 花 ), merupakan simbol yang melambangkan pengayoman, keindahan dan keagungan.

Selain terdapat ukiran khas China, pada ruangan bagian dalam Kelenteng Talang juga terdapat relief aksara berukuran besar bertuliskan huruf China kuno yang merupakan barang sejarah peninggalan Tan Sam Cai (Lihat pada gambar 3. 4. 2.Bj). Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, mengemukakan bahwa relief aksara tersebut berisikan catatan-catatan sejarah nama para raja dari Dinasti Ming (1368-1644). Selain itu, juga terdapat berbagai macam patung yang merupakan patung dewa-dewi yang disembah oleh para penganut agama Konghucu berwarna kuning keemasan.

Berdasarkan hasil data-data tersebut diatas dan hasil wawancara langsung dengan Bapak Ependi selaku narasumber dari Kelenteng Talang, penulis dapat menganalisa bahwa terjadinya fenomena pengalihfungsian bangunan Kelenteng Talang tersebut adalah salah satu hal yang sangat wajar, karena hal tersebut merupakan salah satu proses perjalanan sejarah yang sangat lumrah. Bahwa pada saat pembangunan masjid Muslim Tionghoa tersebut, merupakan masa proses Islamisasi di kota Cirebon Jawa Barat, yaitu masa masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Pulau Jawa. Sehingga, terdapat adanya partisipasi para Muslim Tionghoa yang juga memiliki peran penting dalam misi pengembangan ajaran Islam (yaitu dengan didirikannya bangunan masjid oleh Tan Sam Cai atau Muhammad Syafi’i). Mengenai asal-usul Kelenteng Talang adalah sebuah masjid

(51)

dengan argumen pada bentuk bangunannya, dapat dikatakan bahwa tidak ada bentuk bangunan tempat peribadatan memiliki bentuk yang baku.

3. 5. Perpaduan Budaya Islam dan Budaya Tionghoa Pada Bangunan Kompleks Pemakaman Astana gunung Sembung

3. 5. 1. Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung

Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, terletak di sebuah bukit kecil sekitar 5 km dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dan wawancara langsung dengan Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengemukakan bahwa kompleks pemakaman kerajaan seluas 4 hektar tersebut, pada ketujuh terasnya menampung seluruh keturunan dari Syech Syarief Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati (杜亞 波), seorang Sunan dari perkumpulan Wali Songo dan penguasa pemerintahan

Kompleks Keraton Kasepuhan sebagai pusat pengembangan ajaran Islam di Jawa Barat. Menurut Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengemukakan bahwa kompleks pemakaman tersebut hanya dapat dimasuki oleh anggota keluarga kesultanan Cirebon sebagai keturunannya dan petugas harian yang merawat atau sebagai juru kunci dari kompleks pemakaman tersebut. (Lihat pada gambar denah Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung 3. 5. 1).

Bapak Yusuf Amir sebagai pengelola Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung, menyatakan bahwa pada bangunan kompleks pemakaman para raja tersebut terdapat 9 buah pintu yang melambangkan Wali Songo dan bagi para peziarah yang datang, hanya diperbolehkan masuk sampai pada pintu

(52)

ketiga. Hal tersebut, dikarenakan untuk menghindari kerusakan keramik-keramik atau porselen khas Tiongkok yang berada disepanjang dinding serta guci-guci yang dipajang sepanjang jalan menuju makam Sunan Gunung Jati yang harus dilestarikan. Sedangkan pada pintu keempat hanya dibuka satu tahun sekali, yaitu pada saat acara Grebeg Syawal, yaitu ziarah yang dilakukan oleh para keluarga keraton.

Pada bagian Barat makam Sunan Gunung Jati, terdapat makam Puteri China Tan Hong Tien Nio atau Puteri Ong Tien isteri dari Sunan Gunung Jati serta beberapa makam keluarga serta kerabat keraton yang berada dalam satu bangunan paling atas dan bermemolo Kendi Pertula. Tepat pada bagian belakang makam Puteri Ong Tien, terdapat sekitar 13 makam dengan 2 makam berukuran kecil (yang diduga makam anak-anak). Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan Bapak Yusuf Amir selaku narasumber, mengungkapkan bahwa seluruh makam yang berada dibelakang makam Puteri Ong Tien adalah makam orang-orang Muslim Tionghoa yang merupakan para pengikut Puteri Ong Tien. Sedangkan di lingkar berikutnya adalah makam para raja Cirebon beserta para kerabatnya, yang merupakan keturunan dari Syech Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung hingga saat ini masih menjadi tempat keramat dan sering didatangi penziarah umat Islam termasuk masyarakat Tionghoa. Sebagian dari mereka, datang ke Kompleks Pemakaman Astana Gunung Sembung sebagai tanda penghormatan bagi leluhurnya dan sebagian lagi dari mereka datang hanya untuk mencari berkah guna melariskan barang-barang dagangannya.

Referensi

Dokumen terkait

Nanokapsul kunyit sediaan serbuk (yang diekstrak dengan etanol) telah berhasil diaplikasikan pada ayam broiler, menghasilkan level 0,4% mampu secara signifikan memperbaiki

Hasil penelitian utama kosentrasi Tepung MOCAF 50% dan Tepung Beras Pecah Kulit 50% memliki daya terima paling disukai dengan penambahan sari kurma 25% hasil

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Secara serempak faktor kemandirian, modal, emosional dan pendidikan berpengaruh

b) Analisis siswa ; Langkah yang dilakukan pada tahap ini menelaah karakteristik siswa yang sesuai dengan materi yang dikembangkan. Pada tahap ini peneliti

Pendidikan Dokter Gigi S1 Sarjana Kedokteran Gigi (S.KG.) Bachelor of Dental Science Pendidikan Dokter Gigi Profesi Dokter Gigi (drg.) Doctor of Dental Surgery

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah Return On Asset, Debt to Equity Ratio dan Ukuran Perusahaan Terhadap Income Smoothing pada perusahaan Manufaktur

Perusahaan adalah tempat dimana berlangsungnya sebuah transaksi serta pendistribusian dari sebuah kegiatan usaha dan jasa yang memiliki tempat naungan yaitu kantor,

Sebagai proses setiap pembahasan konsep sistem informasi manajemen menghendaki proses manajemen data, yang meliputi proses pengolahan data baik itu menggunakan cara manual