• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori

2) Unsur yang Membangun Novel

Novel dibangun oleh dua unsur yakni, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Yang dimaksud unsur - unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik novel adalah unsur- unsur yang berada di luar karya sastra (novel), tetapi secara tidak langsung mempengaruhi sistem organisme karya sastra.

a) Unsur Instrinsik

Herman J. Waluyo (2012: 6) menjelaskan unsur pembangun fiksi/ novel meliputi: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar, sudut pandangan pengarang atau point of view, latar belakang atau back

ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/ gaya bercerita, waktu pernceritaan, dan amanat.

(1) Tema

Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat

gagasan atau ide kepengarangan.

Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:

sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat.

Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).

Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema dalam

peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain. Herman J Waluyo (2012: 8) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan)

(2) Tokoh

Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.

2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.

(3) Penokohan atau perwatakan

Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh- tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).

Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 165).

Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal senada diungkapkan oleh Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara , yaitu:

a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tinda-kannya, ter-utama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.

b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendis- kripsian penulis tentang tokoh cerita.

d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.

e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceri-tanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 65-66).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (centra l cha ra cter, ma in cha ra cter)dan tokoh tambahan (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 176-178).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.

Karena tokoh berkepribadian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu;

1. Dimensi fisiologis, adalah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kede-wasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.

2. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, missal- nya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.

3. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya menta-litas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (Satoto, 1993: 44-45).

(4) Alur

Adalah jalinan cerita yang dibuat oleh pengarang dalam menjalin kejadian secara beruntun atau rangkaian/jalinan antar peristiwa/ lakuan dalam cerita. Atar Semi(1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi.

Lebih lanjut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.

Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh.

Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya. 2. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan

menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya. 3. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu

internal, eksternal ataupun kedua-duanya.

4. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.

5. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan diken-dorkan diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).

Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:

a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.

b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik penga-luran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.

c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.

(5) Konflik

Konflik cerita, yaitu pokok permasalahan yang terjadi dan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan atau perselisihan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dalam kehidupan nyata konflik merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun dalam sebuah cerita

berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan peristiwa.

Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik atau bahkan sebaliknya. Bentuk konflik sebagai bentuk kajadian dapat dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan koflik batin.

1. Konflik fisik (eksternal) adalah konflik yang terjadi antara seseorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, mungkin dengan

tokoh lain atau dengan alam. Misalnya, konflik (permasalahan) yang dialami seseorang tokoh akibat adanya banjir besar, gunung meletus, kemarau panjang dan sebagainya. Konflik sosial, sebaliknya adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat hubungan antar manusia. Konflik sosial berupa masalah peperangan, perburuhan atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.

2. Konflik batin (internal) adalah konflik yang terjadi di dalam hati, jiwa seseorang tokoh atau tokoh-tokoh cerita. Jadi ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya, hal itu terjadi akibat pertentangan antara dua keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau maslah-masalah lainnya. Dapat disimpulkan bahwa beberapa konflik di atas saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, dan dapat terjadi secara bersamaan.

(6) Setting/Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan

waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.

Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.

(a) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.

(b) Latar waktu

Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah

waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.

(c) Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh. (7) Suasana

Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira, sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya. Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama. Pembaca mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh utama dan bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.

(8) Sudut Pandang

Adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya. Bisa jadi ia menjadi tokoh dalam cerita tersebut (pengarang berada di dalam cerita). Namun, bisa juga dia hanya menjadi pencerita saja (pengarang berada di luar cerita). Sudut Pandang dibagi menjadi dua yaitu:

1. Sudut pandang orang pertama

Pada sudut pandang orang pertama, posisi pengarang berada di dalam cerita. Ia terlibat dalam cerita dan menjadi salah satu tokoh dalam cerita (bisa tokoh utama atau tokoh pembantu). Salah satu ciri sudut pandang orang pertama adalah penggunaan erita. Oleh karena itu, sudut pandang orang pertama sering disebut juga sudut pandang akuan. Sudut pandang orang pertama terbagi lagi menjadi dua yaitu :

menjadi to-koh utama dalam cerita). b)

hanya berperan sebagai tokoh pendamping/pembantu saja). c) Sudut pandang orang ketiga. Pada sudut pandang orang ketiga,

pengarang berada di luar cerita. Artinya dia tidak terlibat dalam cerita. Pengarang berposisi tak ubahnya seperti dalang atau pencerita saja.

Ciri utama sudut pandang orang ketiga adalah -

itu, sudut pandang ini disebut pula sudut pandang diaan. (9) Gaya Bahasa

Adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya masing- masing. Ahmad Tohari, misalnya, dia banyak menggunakan kalimat-kalimat yang indah dan kuat untuk mendeskripsikan latar dalam ceritanya,

Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini mendeskripsikan benda benda mati dengan cara memberikan sifat sifat seperti manusia. simile (perumpamaan), gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola, gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan.

(10) Amanat

Adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau larangan untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu.

b) Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi bangunan sebuah cerita. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik itu pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), unsur ekstrinsik adalah:

1) Keadaan subjektivitas individu pengarang misalnya: keyakinan, dan pan- dangan hidup.

2) Keadaan psikologis, pengarang, pembaca, atau penerapan prinsip psi- kologis dalam karya.

3) Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik. 4) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagai-

nya.

Dokumen terkait