NOVEL
GADIS KRETEKKARYA RATIH KUMALA
(Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan)
TESIS
Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh
Kasido
S841108013
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
MOTTO
Pendidikan merupakan perlengkapan
paling baik untuk hari tua.
Jadikanlah ilmu berguna bagi diri sendiri
dan orang lain.
Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi
senjata kesuksesan di masa depan.
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada:
1. Istriku tercinta, Ponijah dan Anak gadisku satu-satunya Meji Aprianingtyas.
2. Bapak dan Ibuku (Mintorjo dan Kaminah (alm)).
KATA PENGANTAR
Penulisan tesis ini adalah salah satu syarat guna mencapai derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Penulis bersyukur karena penelitian
Perjua ngan Keseta ra an Gender Tokoh Wa nita da n Nila i Pendidikan
Novel Ga dis Kretek Kar ya Ra tih Kumala
kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penulisan tesis ini. Penulis mendoakan semoga semua pihak yang telah membantu
diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Secara khusus, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada yang terhormati:
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan izin penulis untuk melaksanakan penelitian.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin
penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa
Indonesia, sekaligus pembimbing II tesis yang telah memberi pengarahan,
masukan, saran dan perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Pembimbing I tesis ini yang sudah memberi
pengarahan, bimbingan dan motivasi tiada henti dengan sangat sabar. Kesabaran
itulah yang akhirnya meyakinkan penulis bahwa penulis mampu untuk
menyelesaikan penelitian ini.
5. Secara pribadi, terima kasih, penghargaan dan penghormatan tiada henti
menikmati perjalanan dari Kebumen ke sota Surakarta saban Minggu untuk
konsultasi hasil penelitian ini kepada dewan pembimbing.
Akhirnya, penulis hanya dapat mendokan semua yang telah disebutkan di
atas, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada
semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi
pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PENGESAHAN PEMBIMBING... ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii
PERNYATAAN ... v
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
BAB I ... PEN DAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II ... TINJ AUAN PUSTAKA ... 10
A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori ... 10
2. Landasan Teori ... 14
a. Hakikat Novel ... 14
1) Pengertian Novel ... 14
2) Unsur yang Membangun Novel ... 17
a) Unsur Intrinsik ... 18
b) Unsur Ekstrinsik ... 31
3) Hakikat Sosiologi Sastra... 32
4) Pengkajian Sosiologi Karya Sastra ... 43
5) Hakikat Feminisme ... 44
6) Pendekatan Feminisme dalam Pengkajian Novel ... 57
7) Feminisme dan Analisis Gender ... 60
8) Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 70
B. Kerangka Berpikir ... 85
BAB III METODE PENELITIAN... 87
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 87
1. Tempat Penelitian ... 87
2. Waktu Penelitian ... 87
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... 88
C. Data dan Sumber Data ... 89
D. Teknik Pengumpulan Data ... 90
E. Validitas Data ... 91
F. Teknik Analisis Data ... 92
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 94
A. Hasil Penelitian ... 94
2. Perjuangan Kesetaraan Gender dalam novel
Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 102
3. Keadaan Sosial Masyarakat dalam Novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 109
4. Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 112
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 116
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 125
A. Kesimpulan ... 125
B. Implikasi ... 126
C. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 129
Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidikan Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Pendekatan F eminisme dan . TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., II: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) profil tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala, (2) perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ratih Kuma la, (3) keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la , dan (4) nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek ka rya Ratih Kuma la.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Ga dis Kretek. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan profil tokoh wanita, perjuangan kesetaraan gender, dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten analisis dengan tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Profil tokoh wanita yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala digambarkan penulis lewat kepribadian tokoh wanita di dalamnya. Tokoh wanita dalam novel ini tegar, mandiri, berwibawa, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. (2) Perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala melawan bentuk ketidakadilan gender yang berupa streotip, marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. (3) Kondisi sosial masyarakat yang digambarkan novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala terbagi dalam tiga zaman, yakni (a) kondisi sosial masyarakat tahun 2000-an, (b) kondisi sosial masyarakat tahun 1965-an dan (c) kondisi sosial masyarakat tahun 1945-an. (4) Nilai-nilai pendidikan novel Ga dis Kretek karya Rtih Kumala meliputi: (a) nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, (b) nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia, dan (c) nilai pendidikan budaya/ adat yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan masyarakat.
Gender Equality Fighting of Woman Role and Education Value From the novel Gadis Kretek authored by Ratih Kumala (Feminism . THESIS. First CounselorI: Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., Second Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.
ABSTRACT
The aims of this research to describle and explain: (1) the women role profile in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala, (2) the fight for gender equality of women role in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, (3) social condition in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, and (4) education values in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala.
This is a qualitative research. Qualitative research is a research procedure that results in description data in form of words. The data of this research is novel entitled Ga dis Kretek. This research used feminism and literary sociology approach to know about the social life of the society reflected in Ga dis Kretek a novel by Ratih Kumala. Technique to the collecting data which is used by reading novel and analyzing document. The validation data applies trianggulation data. The technique of analyzing data is used interactive analysis.
The result of the analysis are: (1) the women role profile in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala described by writer with women role personality on it. Women role personality in this novel described with strong, independent, dignified, and responsible to her self, families, and people around her. (2) gender equality fighting of women role in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala is a fight againts all forms of gender injustice such as streotype, women marginalization, jobs subordination, and houshold violence. (3) social condition that described in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala devided on to three period of time, (a)
Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, such as: (a) religious education value which focused on god-human relationship, (b) moral education value which related to good and bad human behave, (c) culture value whichrelated to tradition, and social habit.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan adalah bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari
masyarakat, setiap aktivitas kehidupan perempuan akan selalu terkait dengan
manusia lain yang ada di sekitarnya. Perempuan dengan segala dinamikanya
seakan menjadi sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis. Di mana pun
keberadaan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Begitupun di dalam
karya sastra.
Perbincangan tentang kehidupan perempuan di dalam masyarakat sangat
menarik untuk dibicarakan. Perempuan sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan
merupakan sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, perempuan adalah
keindahan. Segala pesona yang dimilikinya dapat membuat laki-laki tergila-gila
hingga berkenan melakukan apa pun demi seorang perempuan. Di sisi lain,
perempuan merupakan sosok yang lemah. Sebagian laki-laki terkadang
memanfaatkan kondisi tersebut. Dengan kelemahan yang dimiliki perempuan,
tidak jarang para laki-laki mengeksploitasi keindahannya.
Kebudayaan yang hidup di negara Indonesia ini, secara umum masih
memperlihatkan secara jelas keberpihakannya kepada kaum laki-laki.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang menempatkan
perempuan sebagai yang kedua. Hal tersebut tercermin dalam
suwarga nunut nera ka ka tut yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan
isteri hanya tergantung pada suami merupakan contoh ketiadaan peran
perempuan dalam keluarga. Akibatnya, seorang isteri akan mengikuti pangkat
kedudukan suami. Contohnya, Pak Lurah; maka isterinya mendapat panggilan
dalam masyarakat Bu Lurah. Nama si isteri yang sesungguhnya pun melesap
mengikuti nama dan kedudukan/pangkat suami.
Salah satu gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dituturkan
se
pribumi bernama Sanikem. Ayah Sanikem yang bernama Sastrotomo adalah
seorang juru tulis desa, yang bercita-cita menjadi juru bayar pabrik gula yakni
suatu jabatan paling tinggi bagi seorang pribumi di desa pada waktu ini.
Akhirnya dengan segala cara dilakukannya untuk mendapatkan jabatan tersebut,
termasuk menjua l anaknya, Sanikem, kepada administrator pabrik gula seharga
25 gulden. Sejak saat itu Sanikem menjadi seorang Nya i Ontosoroh, yakni
seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak
berdaya di bawah laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi dan politik
(Riant Nugroho, 2008: 43). Tokoh perempuan dalam novel tersebut dapat
dikatakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam
bentuk tidak dipunyainya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Berdasarkan ilustrasi tentang keadaan perempuan yang disebutkan dalam
paragraf di atas, tidak mengherankan bila pembicaraan mengenai wacana
baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu
dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki.
Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis
perempuan yang merasa peduli dengan nasib sesamanya yang pada akhirnya
memunculkan gerakan feminisme.
Pemikiran tentang gerakan feminisme (pembebasan) perempuan ini turut
pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, dan termasuk karya
sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat
dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi
berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus
sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru
Karya sastra di Indonesia sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an
atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang
didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya
menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu
mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan
mereka terhadap aturan-aturan trdisi yang telah melekat erat pada sebagian besar
masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada
kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yng mulai menunjukkan
1930-an yaitu pada novel La ya r Terkemba ng yang mulai membangkitkan semangat
dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.
Memasuki dekade 1970-an higga saat ini, pengarang perempuan mulai
menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini
ditandai dengan lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh-tokoh
perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah
pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat,
memilki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun terdapat juga
penggambaran perempuan yang bersifat lemah menghadapi berbagai
permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang
mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang
berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang
sangat dikenal pada tahun 1970-an hingga saat ini (2000-an), seperti Kar mila
yang diusung Marga T, Pa da Sebua h Ka pal karya Nh. Dini, Kabut Sutr a Ungu
yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti, La rung karya Ayu
Utami, Perempuan Berka lung Sorba n karya Abidah El Khaliqie, Ga dis Kretek
karya Ratih Kumala dan Menyusu Aya h karya Djenar Maesa Ayu.
Dalam kehidupan nyata, emansipasi perempuan Indonesia dipelopori oleh
RA Kartini. Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah
membawa perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh
pendidikan sampai tingkat tertinggi. Dalam diri perempuan itu muncul keinginan
untuk berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan
menginginkan untuk berkiprah di ranah publik dalam rangka
meng-aktualisasikan diri. Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu
pilar utama untuk membebaskan perempuan dari berbagai bentuk
keterbelakangannya. Meskipun Kartini belum berhasil membebaskan dirinya dari
kungkungan patriarki karena menerima untuk dinikahkan pada usia yang sangat
muda untuk laki-laki bukan pilihannya, tetapi gagasan-gagasannya merupakan
pembaharuan untuk kemajuan perempuan.
Secara umum, semua novel yang dihasilkan pengarang-pengarang
perempuan yang telah disebutkan di atas adalah sebuah upaya untuk memberi
peranan lebih kaum perempuan. Begitu juga cerita yang tergambar dalam novel
Ga dis Kretek karya ratih Kumala. Melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan, novel
Ga dis Kretek mengangkat kehidupan tokoh perempuan dalam kaitannya dengan
pilihan hidupnya untuk menentukan takdirnya sendiri, mandiri, serta tidak
tergantung kepada siapapun untuk dapat meraih dan mewujudkan mimpinya.
Pemilihan novel Ga dis Kretek sebagai objek penelitian didasarkan pada
beberapa hal, di antaranya Ga dis Kretek merupakan novel terbaru Ratih Kumala
yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dikaji dengan pendekatan
feminisme yang melihat perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita di dalamnya.
Persoalan yang dibicarakan adalah jatuh bangunnya usaha pabrik rokok yang
dibungkus dengan romantika cinta dan isu tentang perempuan yang masih aktual
dan memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini, serta dipandang bermanfaat
untuk menata kehidupan masa depan yang lebih baik, khususnya bagi
pengarang terhadap kehidupan perempuan karena karya-karyanya yang
dihasilkan oleh seorang pengarang tidak lepas dari pengalaman hidup dan
keberadaan pengarang sebagai anggota masyarakat, termasuk pandangan
pengarang terhadap perempuan dalam hal ini adalah pandangan seorang
pengarang perempuan terhadap tokoh perempuan dalam karya-karyanya.
Ga dis Kretek adalah novel terbaru karya Ratih Kumala yang diterbitkan
PT Gramedia pada 25 Februari 2012. Ga dis Kretek mengambil setting Indonesia
tahun 1965-an, di mana para tokohnya saling terlibat interaksi di tengah kondisi
sosial, politik dan budaya Indonesia pada masa itu.
Meninjau novel Ga dis Kr etek berdasarkan sudut pandang feminisme
dalam penelitian ini akan mengangkat profil tokoh perempuan, perjuangan
kesetaraan gender, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut.
Sehubungan dengan keinginan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya
tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perempuan di
tengah lingkungan buudaya patriarki yang ada dalam karya sastra berdasarkan
perspektif feminism kesetaraan gender. Gambaran tersebut meliputi
pilihan-pilihan perempuan, serta perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai
bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya
Ratih Kumala.
Dari uraian yang disebutkan pada subbab kajian latar belakang di atas,
maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana kehidupan perempuan di dalam
judul Perjua nga n Kesetar aa n Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidika n Novel
Ga dis Kretek kar ya Ra tih Kuma la .
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah kepribadian tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya
Ratih Kumala?
2. Bagaimana perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis
Kretek karya Ratih Kumala?
3. Bagaimana deskripsi keadaan sosial masyarakat dalam novel novel Gadis
Kretek karya Ratih Kumala?
4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek karya
Ratih Kumala?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan kepribadian tokoh wanita dalam novel
Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan perjuangan kesetaraan gender tokoh
wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la.
3. Mendeskripsikan keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kr etek ka rya
4. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang ada dalam
novel Gadis Kretek ka rya Ra tih Kumala.
D. Manfaat Penelitin
1. Manfaat Teoretis
a. Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian
sastra.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh penerapan
pendekatan feminisme dalam penelitian di bidang sastra.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap
keilmuan dalam mengapresiasi novel dan memberikan semangat kepada
penikmat sastra secara mendalam.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan
guru bahasa dan sastra Indonesia dalam pembelajaran apresiasi sastra
khususnya novel yang beraliran feminisme.
b. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti sastra sebagai bahan bacaan
untuk menambah wawasan tentang kajian feminism dalam novel Ga dis
Kretek kar ya Ra tih Kuma la.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran
apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra
d. Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan proses pembelajaran sastra
dalam hal ini adalah novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori
1. Kajian Pustaka
Dalam bagian ini akan dikemukakan kajian kepustakaan tentang hasil
penelitian yang relevan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini antara lain:
a. Yuni Purwanti. 2009. Novel Sama n da n La rung Karya Ayu Utami dalam
Perspektif Gender. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah menunjukkan persamaan dan
perbedaan novel Sama n dan La rung ditinjau dari segi struktur. Selain itu juga
membahas perspektif gender yang meliputi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan diciptakan oleh
manusia melalui proses sosial. Penelitian ini juga membahas nilai-nilai
pendidikan yang terdapat di dalam kedua novel tersebut.
Adapun persamaan dan perbedaan antara penelitian Yuni Purwanti dalam
Sama n dan La rung: P erspektif Gender adalah sama-sama membahas topik
perempuan daalam perspektif gender. Perbedaan terletak pada sumber data
penelitian. Dalam penelitian juga akan dibahas kondisi sosial masyarakat yang
terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.
b. Eti Suryani. 2008. Novel Tabula ra sa Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme
Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwasanya kepribadian
perempuan meliputi kepribadian superior dan kepribadian inferior. Hubungan
tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki sebagai sepasang kekasih, antara anak
dan orang tua yang tidak memiliki kedekatan, sahabat, dan hubungan sosial
kekasih di masa lalu yang berakhir dengan kematian. Citra perempuan
trradisional, modern, transisi. Pokok-pokok feminisme terdiri dari kekerasan
fisik, nonfisik, kekerasan psikis, kemandirian, tokoh profeminisme dan tokoh
kontra feminisme. Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala
meliputi: 1) Nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan
Tuhan, 2) Nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan nilai baik buruknya
tingkah laku manusia, 3) Nilai pendidikan budaya yang berhubungan dengan
tradisi, kebiasaan, dan 4) Nilai pendidikan sosial yang menekankan hubungan
antara manusia dengan sesama.
Adapun persamaan dan perbedaan penelitian Eti Suryani dalam Novel
Ta bula ra sa (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) adalah
menganalisis tokoh perempuan dalam novel. Novel Ta bula ra sa dan Ga dis Kretek
adalah novel yang ditulis oleh pengarang yang sama. Perbedaannya terletak pada
sumber data yang berbeda.
c. Suprapto S.841008032. 2011. Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan dalam
Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto Broto. Tesis.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menyimpulkan (1) peran tokoh perempuan: (a) perempuan
memperjuangkan pemikiran tentang perlakuan yang sama terhadap semua orang
tanpa melihat status atau kedukan; (2) nilai feminisme: (a) perjuangan kesetaraan
antara laki-laki dengan perempuan, (b) peran publik dan produktif, dan (c)
pandangan hidup; (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah (a) nilai
kemanusiaan yaitu mengajak agar pembaca suka menolong, (b) nilai pendidikan
yaitu mengajak pembaca untuk suka belajar, dan (c) nilai moral yaitu mengajak
pembaca untuk tidak memiliki sifat balas dendam dan tidak suka menuduh tanpa
bukti.
Adapun persamaan penelitian Suprapto dalam Tinjauan Feminisme dan
Nilai Pendidikan dalam Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto
Broto adalah menganalisis tokoh perempuan dalam novel sedangkan
perbedaannya terletak pada sumber data yang berbeda yakni novel yang menjadi
sumber bahan dalam pengkajian.
d. Primasari Wahyuni, S840809109. 2010. Novel Menebus Impian Karya Abidah
El Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan. Tesis. Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penelitian ini menyimpulkan (1) eksistensi perempuan dalam novel
Menebus Impian adalah pilihan-pilihan yang berupa kebebasan memilih
pasangan hidup, memilih pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan
nasibnya sendiri; dan perjuangan perempuan atas ketidakadilan gender yang
dilakukan oleh tokoh Sekar dan Nur Kemalajati; (2) pokok-pokok pikiran
eminism liberal, meliputi: (a) kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan
profeminis dan kontra feminis; (d) analisis eminism liberal dalam novel; (3)
keadaan emini masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai
pendidikan dalam novel menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral,
nilai emini, dan nilai budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian
secara femini yang dilanjutkan dengan feminisme yang dapat digunakan sebagai
salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi.
Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti
lebih lanjut tentang feminisme yang tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi
juga digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Para peneliti sastra dapat
mengembangkan penelitian sejenis ini dengan sampel yang lebih banyak, analisis
yang lebih mendalam, serta dapat menerapkannya dalam realitas kehidupan.
Penelitian Primasari Wahyuni di atas mempunyai persamaan dengan
penelitian ini dalam penggunaan pendekatan feminisme dalam pengkajian novel
dan mengambil manfaat nilai pendidikan dari novel tersebut. Adapun
perbedaannya terdapat pada objek penelitian, yaitu judul novel yang dikaji
masing-masing.
e. Ninawaty Syahrul. 2011. Profil Tokoh Wanita dalam Kaba Cindua Mato karya
Syamsuddin Sutan Radjo Endah. Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa profil tokoh wanita
yang digambarkan dalam Kaba Cindua Ma to mempunyai rasa tanggung jawab
diri dalam masyarakat. Rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, pada akhirnya
berkembang menjadi rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat,
Kesamaan penelitian Ninawaty Syahrul dengan penelitian ini terletak
pada temuan penelitiannya yang termasuk jawaban permasalahan nomor satu
pada penelitian ini. Perbedaannya pada objek penelitian, yakni novel Kaba
Cindua Mato dengan Ga dis Kretek.
2. Landasan Teori
a. Hakikat Novel
1) Pengertian Novel
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata -
mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1986: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan
hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang
mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia.
Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang
permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.
Karya sastra pada dasarnya terbagi atas tiga jenis yaitu prosa, puisi dan
drama. Karya sastra jenis prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau
cerita rekaan. Istilah fiksi sering dijumpai hanya untuk menyebut sastra jenis
prosa saja. Sebenarnya hal ini kurang tepat., karena pemyataan demikian
memberi kesan bahwa sastra jenis puisi maupun drama, bukan fiksi. Padahal
ketiganya merupakan fiksi yang hanya memiliki batasan (pengertian)
masing-masing yang agak berbeda.
Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkernbang dan
disuguhkai) berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama
dan lingkungan. Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu untuk
ikut berinteraksi dengan berbagai persoalan kehidupan.
Abrams (1981: 610) menyebutkan istilah prosa dalam kesusastraan juga
dengan istilah fiksi (fiction), teks naratif (na ra tive texs), atau wacana naratif
(na ra tive discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan
atau cerita khayalan. Hal irii disebabkan fiksi merapakan karya naratif yang
isinya tidak menyaraii pada kebenaran sejarah.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136-137) "Cerita rekaan/fiksi
dibangun oleh dua unsur pokok, yakni: a pa yang dicerita ka n dan teknik
(metode) pencerita an. Isi atau materi yang diceritakan tidak dapat dipisahkan
dengan cara penceritaan, Bahasa yang digunakan untuk bercerita disesuaikan
denganisi, sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Cerita rekaan adalah
wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun
suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur.
Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk
mendukung maksud secara keseluruhan, dan makrianya ditentukan oleh
keseluruhan cerita itu".
Suminto A. Sayuti menyandingkan cerita rekaan/fiksi dan novel pada
deretan kata yang memiliki makna yang sama. Dia menjelaskan "Novel
(cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya,
novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan
menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca
sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita
rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjatig lebar tentang tempat
atau ruang (1997: 5-7)".
Bila dibandingkan dengan roman, novel memiliki beberapa perbedaan.
Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan
novel di Indonesia diartikan berbeda (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Roman
diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan
banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sepanjang hidup
tokohnya.
Kehidupan tokohnya diceritakan sejak kecil ssmpai kematiannya. Novel
diartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti
masa menjelang perkawinannya setelah mengalami masa percinfcian atau
bagian kehidupan seorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya.
Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai
ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode
dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai
meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi,
dan setting seperti dalam cerita pendek.
Brooks dalam Henry Guntur Tarigan (1998: 165) menyimpulkan bahwa
novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi,
Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel
atau cerita rekaan adalah satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur
pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki
keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media
bahasa sebagai penyampai/gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk
kehidupan manusia. Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra.
Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam
berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si
pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca
kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung
dalam novel tersebut.
2)Unsur yang Membangun Novel
Novel dibangun oleh dua unsur yakni, unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Yang dimaksud unsur - unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra
adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam
teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik novel adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra (novel), tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi sistem organisme karya sastra.
a) Unsur Instrinsik
Herman J. Waluyo (2012: 6) menjelaskan unsur pembangun fiksi/
novel meliputi: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan
perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar,
ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/ gaya bercerita, waktu
pernceritaan, dan amanat.
(1) Tema
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya
sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang
menjadi pokok masalah dalam cerita. Secara etimologis kata tema
berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu
yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata
significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias,
umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui
penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat
gagasan atau ide kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema
merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu
karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra
bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:
sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang
ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika
permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh
Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit
ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral
diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir.
Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan
seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992:
57-58).
Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema dalam
peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai
unsur intrinsik yang lain. Herman J Waluyo (2012: 8)
mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang
bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi
pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan)
(2) Tokoh
Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan
pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam
berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia,
namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam
cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan
2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan
perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau
menyampaikan nilai-nilai negatif.
(3) Penokohan atau perwatakan
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana
tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh-tokoh-tokoh tersebut, ini berarti
ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik
penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau
kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk
pada kualitas peribadi seorang tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 2000:
165).
Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan
merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan
pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal
senada diungkapkan oleh Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa
penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para
tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita
tidak akan terbentuk.
Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tinda-kannya,
ter-utama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh,
wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah
pendis-kripsian penulis tentang tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan
tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh
ceri-tanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang
mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut
jalan pikirannya (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh,
tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (centra l
cha ra cter, ma in cha ra cter)dan tokoh tambahan (Burhan
Nurgiyantoro, 2000: 176-178).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan
terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.
Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan
Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi,
keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan
tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribadian dan berwatak, maka dia
memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga
dimensi, yaitu;
1. Dimensi fisiologis, adalah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat
kede-wasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan
lain sebagainya.
2. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat,
missal-nya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat
pendidikan, dan sebagainya.
3. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya
menta-litas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam
bidang tertentu (Satoto, 1993: 44-45).
(4) Alur
Adalah jalinan cerita yang dibuat oleh pengarang dalam
menjalin kejadian secara beruntun atau rangkaian/jalinan antar
peristiwa/ lakuan dalam cerita. Atar Semi(1993: 43) mengatakan
bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam
cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus
Lebih lanjut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2000: 113)
mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lain.
Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat
atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg
memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun
pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai
konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan
peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan
kronologis, serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh
para tokoh.
Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai
awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau
struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan
tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan
cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk
melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.
2. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan
menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini
konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.
3. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu
internal, eksternal ataupun kedua-duanya.
4. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami
atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak
klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan
penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap
penentuan nasip tokoh.
5. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan diken-dorkan
diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri
(2000: 150).
Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26)
merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut
ini:
a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran
dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan
hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik
penga-luran dan menetapkan peristiwa dimulai dari
penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana
jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap
tertentu peristiwa ditarik ke belakang.
Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat
mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam
cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.
(5) Konflik
Konflik cerita, yaitu pokok permasalahan yang terjadi dan
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan atau perselisihan
antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi
dan aksi balasan. Dalam kehidupan nyata konflik merupakan
sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun dalam sebuah cerita
berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan
yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan
peristiwa.
Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik
atau bahkan sebaliknya. Bentuk konflik sebagai bentuk kajadian
dapat dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan koflik
batin.
1. Konflik fisik (eksternal) adalah konflik yang terjadi antara
tokoh lain atau dengan alam. Misalnya, konflik (permasalahan)
yang dialami seseorang tokoh akibat adanya banjir besar,
gunung meletus, kemarau panjang dan sebagainya. Konflik
sosial, sebaliknya adalah konflik yang disebabkan oleh adanya
kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul
akibat hubungan antar manusia. Konflik sosial berupa masalah
peperangan, perburuhan atau kasus-kasus hubungan sosial
lainnya.
2. Konflik batin (internal) adalah konflik yang terjadi di dalam
hati, jiwa seseorang tokoh atau tokoh-tokoh cerita. Jadi ia
merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya
sendiri, ia merupakan permasalahan intern seorang manusia.
Misalnya, hal itu terjadi akibat pertentangan antara dua
keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan,
atau maslah-masalah lainnya. Dapat disimpulkan bahwa
beberapa konflik di atas saling berkaitan, saling menyebabkan
terjadinya satu dengan yang lain, dan dapat terjadi secara
bersamaan.
(6) Setting/Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa
dalam cerita. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah
waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M.
(1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk
tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari
suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan
lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat,
hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial
yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di
tempat yang bersangkutan.
(a) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat
berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata
ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas
tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat
tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat
umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan
sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi
berbagai lokasi.
(b) Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya
waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah.
Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat
diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
(c) Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola
pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari
penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.
(7) Suasana
Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang berkaitan
dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya
bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik
karena berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana
gembira, sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan
sebagainya. Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama
pelukisan tokoh utama. Pembaca mengikuti kejadian demi
kejadian yang dialami tokoh utama dan bersama dia pembaca
(8) Sudut Pandang
Adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya.
Bisa jadi ia menjadi tokoh dalam cerita tersebut (pengarang
berada di dalam cerita). Namun, bisa juga dia hanya menjadi
pencerita saja (pengarang berada di luar cerita). Sudut Pandang
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Sudut pandang orang pertama
Pada sudut pandang orang pertama, posisi pengarang
berada di dalam cerita. Ia terlibat dalam cerita dan menjadi salah
satu tokoh dalam cerita (bisa tokoh utama atau tokoh pembantu).
Salah satu ciri sudut pandang orang pertama adalah penggunaan
erita. Oleh karena itu, sudut pandang
orang pertama sering disebut juga sudut pandang akuan. Sudut
pandang orang pertama terbagi lagi menjadi dua yaitu :
menjadi to-koh utama dalam cerita).
b)
hanya berperan sebagai tokoh pendamping/pembantu saja).
c) Sudut pandang orang ketiga. Pada sudut pandang orang ketiga,
pengarang berada di luar cerita. Artinya dia tidak terlibat dalam
cerita. Pengarang berposisi tak ubahnya seperti dalang atau
Ciri utama sudut pandang orang ketiga adalah
-itu, sudut pandang ini disebut pula sudut pandang diaan.
(9) Gaya Bahasa
Adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui
bahasa yang digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya
masing-masing. Ahmad Tohari, misalnya, dia banyak menggunakan
kalimat-kalimat yang indah dan kuat untuk mendeskripsikan latar
dalam ceritanya,
Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang
untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita
secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini
mendeskripsikan benda benda mati dengan cara memberikan
sifat sifat seperti manusia. simile (perumpamaan), gaya bahasa
ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola,
gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan
dengan maksud memberikan efek berlebihan.
(10) Amanat
Adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau
b) Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra,
tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme
karya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi
bangunan sebuah cerita. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik
itu pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), unsur
ekstrinsik adalah:
1) Keadaan subjektivitas individu pengarang misalnya: keyakinan, dan
pan-dangan hidup.
2) Keadaan psikologis, pengarang, pembaca, atau penerapan prinsip
psi-kologis dalam karya.
3) Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
4) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan
sebagai-nya.
3) Hakikat Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi
dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang
bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi
Sapardi Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang
mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra
tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan,
sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun
harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan
berbagai variable tersebut: pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial
budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta
pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra
tersebut.
Soemarjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 1987:16) sosiologi sastra atau
ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk
perubahan sosial. Sosiologi memusatkan perhatian pada masyarakat yang
merupakan wadah kehidupan bersama yang mencakup berbagai aspek. Proses
sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama.
Lebih lanjut, Wellek dan Werren 1989:111) juga mengemukakan konsep
tentang sosiologi sastra sebagai berikut,
a) Sosiologi pengarang
Sosiologi pengarang mempermasalahkan latar belakang sosial, status
sosial, ideologi sosial, dan berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.
b) Sosiologi karya sastra
Sosiologi karya sastra mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang menjadi pokok perhatiannya, seperti pada hal-hal yang
c) Sosiologi sastra
Sosiologi sastra mempermasalahkan tentang pembaca dan dampak
sosial karya sastra, seperti seberapa jauh karya sastra ditentukan oleh latar
sosial, perubahan sosial dan perkembangan sosial.
Dari beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwasanya sosiologi sastra memandang sebuah karya sastra sebagai bagiian
dari kenyataan, dan membandingkan unsur-unsur dalam karya sastra tersebut
dengan realitas sosial. Karya sastra tidak hanya dilihat secara keseluruhan,
tapi lebih tterfokus pada unsur sosial budaya yang terkandung di dalamnya.
Ditinjau dari segi sejarahnya, konsep sosiologi sastra didasarkan pada
dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang
merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam
kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk
oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra
memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra
dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan
Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan
antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali
(428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi
teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide
asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi,
maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan
atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati
dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya
menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan
dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh
karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman
menjiplak-jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni
menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang
haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam
memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy
(kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai
"universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau,
penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat
kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal
yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu
nasionalisme Roma ntik. Humanisme Rena issa nce sudah berupaya
mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno
dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu
merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam
jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan
menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu
perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan
kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra
terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan
kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi
sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan
sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan
metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya
History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya
sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan
lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan
momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang
melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor
inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya
diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia
periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial.
Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai
yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah
Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap
membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis
kaku (strukrura lisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine
ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di
masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia
mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang
berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor
yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak
diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari
keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari
golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang
dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal
misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan
tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun
telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari
dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
a) Teori Sastra Marxis
Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra
pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan
Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan
evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan
mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan
perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman
selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik.
Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni
dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan
'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau
merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya
(Abrams, 1981:178).
Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang
terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu
tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas.
Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh
hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang
saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya
dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru
perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap
masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya
mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan
hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan
tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh
yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan
seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam
perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
b. Aliran Frankfurt
Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis
oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori
ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori
sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika
Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik"
(dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis
kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran
Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max
Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden,
1993:32-37).
Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori
sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi
totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa
sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung
dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan
kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang
bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak
mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh
sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah
totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama
(masyarakat satu dimensi).
Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya
individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti
(strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada.
Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan
klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd,
penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu
menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam
drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern
sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
c. Teori-Teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran
Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin
menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak
mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma
politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan
ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber
inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema &
dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh
pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien
Goldman, dan Th. Adorno.
Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka
menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka
sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan
pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat
gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch,
1977:134-135).
1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai
totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan
pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini
merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari
konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni)
tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai
subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks
historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena
serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek
kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu
merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi
sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya
terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh
intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah.
Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek
teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih
jauh.
3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum
kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya
fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara
empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran
esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu
subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi
dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah)
tergantung pada konteks yang berbeda-beda.
4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek
bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan
nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari
posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua
konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara
proses berpikir dan realitasnya.
Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson
mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari
penelitian tentang latar belakang historisnya. Jadi hasil kritik dialektikal