• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Dan Nilai Pendidikan) Kasido S841108013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Dan Nilai Pendidikan) Kasido S841108013"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL

GADIS KRETEK

KARYA RATIH KUMALA

(Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Kasido

S841108013

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Pendidikan merupakan perlengkapan

paling baik untuk hari tua.

Jadikanlah ilmu berguna bagi diri sendiri

dan orang lain.

Jadikanlah kekecewaan masa lalu menjadi

senjata kesuksesan di masa depan.

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

1. Istriku tercinta, Ponijah dan Anak gadisku satu-satunya Meji Aprianingtyas.

2. Bapak dan Ibuku (Mintorjo dan Kaminah (alm)).

(7)

KATA PENGANTAR

Penulisan tesis ini adalah salah satu syarat guna mencapai derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Penulis bersyukur karena penelitian

Perjua ngan Keseta ra an Gender Tokoh Wa nita da n Nila i Pendidikan

Novel Ga dis Kretek Kar ya Ra tih Kumala

kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam proses

penulisan tesis ini. Penulis mendoakan semoga semua pihak yang telah membantu

diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Secara khusus, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih kepada yang terhormati:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah memberikan izin penulis untuk melaksanakan penelitian.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin

penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Ketua Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa

Indonesia, sekaligus pembimbing II tesis yang telah memberi pengarahan,

masukan, saran dan perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Pembimbing I tesis ini yang sudah memberi

pengarahan, bimbingan dan motivasi tiada henti dengan sangat sabar. Kesabaran

itulah yang akhirnya meyakinkan penulis bahwa penulis mampu untuk

menyelesaikan penelitian ini.

5. Secara pribadi, terima kasih, penghargaan dan penghormatan tiada henti

(8)

menikmati perjalanan dari Kebumen ke sota Surakarta saban Minggu untuk

konsultasi hasil penelitian ini kepada dewan pembimbing.

Akhirnya, penulis hanya dapat mendokan semua yang telah disebutkan di

atas, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada

semua pihak tersebut di atas, dan mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi

pembaca.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PENGESAHAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS ... iii

PERNYATAAN ... v

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I ... PEN DAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II ... TINJ AUAN PUSTAKA ... 10

A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori ... 10

(10)

2. Landasan Teori ... 14

a. Hakikat Novel ... 14

1) Pengertian Novel ... 14

2) Unsur yang Membangun Novel ... 17

a) Unsur Intrinsik ... 18

b) Unsur Ekstrinsik ... 31

3) Hakikat Sosiologi Sastra... 32

4) Pengkajian Sosiologi Karya Sastra ... 43

5) Hakikat Feminisme ... 44

6) Pendekatan Feminisme dalam Pengkajian Novel ... 57

7) Feminisme dan Analisis Gender ... 60

8) Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ... 70

B. Kerangka Berpikir ... 85

BAB III METODE PENELITIAN... 87

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 87

1. Tempat Penelitian ... 87

2. Waktu Penelitian ... 87

B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ... 88

C. Data dan Sumber Data ... 89

D. Teknik Pengumpulan Data ... 90

E. Validitas Data ... 91

F. Teknik Analisis Data ... 92

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 94

A. Hasil Penelitian ... 94

(11)

2. Perjuangan Kesetaraan Gender dalam novel

Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 102

3. Keadaan Sosial Masyarakat dalam Novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 109

4. Nilai-nilai Pendidikan dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala ... 112

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 116

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Implikasi ... 126

C. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 129

(12)

Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidikan Novel Gadis Kretek Karya Ratih Kumala (Tinjauan Pendekatan F eminisme dan . TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., II: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) profil tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala, (2) perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ratih Kuma la, (3) keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la , dan (4) nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek ka rya Ratih Kuma la.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata. Data penelitian ini adalah novel Ga dis Kretek. Penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme untuk mendeskripsikan profil tokoh wanita, perjuangan kesetaraan gender, dan pendekatan sosiologi sastra untuk mengetahui keadaan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik noninteraktif dengan membaca novel dan analisis dokumen. Validasi data menggunakan trianggulasi data. Teknik analisis data menggunakan konten analisis dengan tiga unsur kegiatan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Profil tokoh wanita yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala digambarkan penulis lewat kepribadian tokoh wanita di dalamnya. Tokoh wanita dalam novel ini tegar, mandiri, berwibawa, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat. (2) Perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala melawan bentuk ketidakadilan gender yang berupa streotip, marginalisasi perempuan, subordinasi pekerjaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. (3) Kondisi sosial masyarakat yang digambarkan novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala terbagi dalam tiga zaman, yakni (a) kondisi sosial masyarakat tahun 2000-an, (b) kondisi sosial masyarakat tahun 1965-an dan (c) kondisi sosial masyarakat tahun 1945-an. (4) Nilai-nilai pendidikan novel Ga dis Kretek karya Rtih Kumala meliputi: (a) nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, (b) nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia, dan (c) nilai pendidikan budaya/ adat yang berhubungan dengan tradisi, kebiasaan masyarakat.

(13)

Gender Equality Fighting of Woman Role and Education Value From the novel Gadis Kretek authored by Ratih Kumala (Feminism . THESIS. First CounselorI: Prof. Dr. Herman J Waluyo, M.Pd., Second Counselor: Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Indonesian Language Education Study Program of Postgraduate Program, Surakarta Sebelas Maret University.

ABSTRACT

The aims of this research to describle and explain: (1) the women role profile in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala, (2) the fight for gender equality of women role in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, (3) social condition in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, and (4) education values in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala.

This is a qualitative research. Qualitative research is a research procedure that results in description data in form of words. The data of this research is novel entitled Ga dis Kretek. This research used feminism and literary sociology approach to know about the social life of the society reflected in Ga dis Kretek a novel by Ratih Kumala. Technique to the collecting data which is used by reading novel and analyzing document. The validation data applies trianggulation data. The technique of analyzing data is used interactive analysis.

The result of the analysis are: (1) the women role profile in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala described by writer with women role personality on it. Women role personality in this novel described with strong, independent, dignified, and responsible to her self, families, and people around her. (2) gender equality fighting of women role in novel Ga dis Kr etek authored by Ratih Kumala is a fight againts all forms of gender injustice such as streotype, women marginalization, jobs subordination, and houshold violence. (3) social condition that described in novel Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala devided on to three period of time, (a)

Ga dis Kretek authored by Ratih Kumala, such as: (a) religious education value which focused on god-human relationship, (b) moral education value which related to good and bad human behave, (c) culture value whichrelated to tradition, and social habit.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perempuan adalah bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari

masyarakat, setiap aktivitas kehidupan perempuan akan selalu terkait dengan

manusia lain yang ada di sekitarnya. Perempuan dengan segala dinamikanya

seakan menjadi sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis. Di mana pun

keberadaan perempuan ternyata menarik untuk dibicarakan. Begitupun di dalam

karya sastra.

Perbincangan tentang kehidupan perempuan di dalam masyarakat sangat

menarik untuk dibicarakan. Perempuan sebagai manusia makhluk ciptaan Tuhan

merupakan sosok yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi, perempuan adalah

keindahan. Segala pesona yang dimilikinya dapat membuat laki-laki tergila-gila

hingga berkenan melakukan apa pun demi seorang perempuan. Di sisi lain,

perempuan merupakan sosok yang lemah. Sebagian laki-laki terkadang

memanfaatkan kondisi tersebut. Dengan kelemahan yang dimiliki perempuan,

tidak jarang para laki-laki mengeksploitasi keindahannya.

Kebudayaan yang hidup di negara Indonesia ini, secara umum masih

memperlihatkan secara jelas keberpihakannya kepada kaum laki-laki.

Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang menempatkan

perempuan sebagai yang kedua. Hal tersebut tercermin dalam

(15)

suwarga nunut nera ka ka tut yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan

isteri hanya tergantung pada suami merupakan contoh ketiadaan peran

perempuan dalam keluarga. Akibatnya, seorang isteri akan mengikuti pangkat

kedudukan suami. Contohnya, Pak Lurah; maka isterinya mendapat panggilan

dalam masyarakat Bu Lurah. Nama si isteri yang sesungguhnya pun melesap

mengikuti nama dan kedudukan/pangkat suami.

Salah satu gambaran ketertindasan perempuan Indonesia dituturkan

se

pribumi bernama Sanikem. Ayah Sanikem yang bernama Sastrotomo adalah

seorang juru tulis desa, yang bercita-cita menjadi juru bayar pabrik gula yakni

suatu jabatan paling tinggi bagi seorang pribumi di desa pada waktu ini.

Akhirnya dengan segala cara dilakukannya untuk mendapatkan jabatan tersebut,

termasuk menjua l anaknya, Sanikem, kepada administrator pabrik gula seharga

25 gulden. Sejak saat itu Sanikem menjadi seorang Nya i Ontosoroh, yakni

seorang perempuan yang menjadi istri yang tidak sah, bergantung dan tidak

berdaya di bawah laki-laki Belanda yang berkuasa secara ekonomi dan politik

(Riant Nugroho, 2008: 43). Tokoh perempuan dalam novel tersebut dapat

dikatakan sebagai simbol perempuan yang mengalami marginalisasi dalam

bentuk tidak dipunyainya hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Berdasarkan ilustrasi tentang keadaan perempuan yang disebutkan dalam

paragraf di atas, tidak mengherankan bila pembicaraan mengenai wacana

(16)

baik sosial, politik, ekonomi, agama, maupun budaya, posisi perempuan selalu

dan masih saja dimarjinalkan dibawah dominasi superioritas kaum laki-laki.

Kondisi yang telah mapan inilah yang hendak diubah oleh para aktivis

perempuan yang merasa peduli dengan nasib sesamanya yang pada akhirnya

memunculkan gerakan feminisme.

Pemikiran tentang gerakan feminisme (pembebasan) perempuan ini turut

pula berimbas pada berbagai ranah kehidupan sosial, budaya, dan termasuk karya

sastra yang notabene merupakan salah satu wujud kebudayaan. Hal ini dapat

dimaklumi karena sebuah karya sastra bisa dikatakan wadah untuk menanggapi

berbagai peristiwa yang berkecamuk dalam kehidupan nyata yang sekaligus

sebagai kritik sosial dari sang pengarang. Seperti yang dikemukakan oleh Wellek

sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru

Karya sastra di Indonesia sejak masa kelahirannya di awal tahun 1920-an

atau yang dikenal dengan angkatan Balai Pustaka, para pengarang yang

didominasi oleh laki-laki banyak menciptakan karya-karya yang umumnya

menceritakan kehidupan tokoh perempuan. Para tokoh perempuan ini selalu

mengalami penderitaan yang sebagian besar dikarenakan ketidakberdayaan

mereka terhadap aturan-aturan trdisi yang telah melekat erat pada sebagian besar

masyarakat di Indonesia. Kelemahan ini bahkan tidak jarang berujung pada

kematian. Meskipun ada beberapa karya sastra yng mulai menunjukkan

(17)

1930-an yaitu pada novel La ya r Terkemba ng yang mulai membangkitkan semangat

dengan menyadarkan para perempuan yang selama ini mengalami ketertindasan.

Memasuki dekade 1970-an higga saat ini, pengarang perempuan mulai

menjelajahi ranah sastra. Kebanyakan dari mereka mulai menulis novel. Hal ini

ditandai dengan lahirnya novel-novel yang menghadirkan tokoh-tokoh

perempuan yang tidak lagi digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan pasrah

pada keadaan. Para tokoh perempuan dituliskan menjadi pribadi yang kuat,

memilki pendirian, bahkan berani menyuarakan sikapnya meskipun terdapat juga

penggambaran perempuan yang bersifat lemah menghadapi berbagai

permasalahan. Kemunculan para pengarang perempuan di tahun 1970-an yang

mengusung novel-novel populer tentu dipengaruhi oleh budaya populer yang

berkembang pada waktu itu. Di antara karya-karya pengarang perempuan yang

sangat dikenal pada tahun 1970-an hingga saat ini (2000-an), seperti Kar mila

yang diusung Marga T, Pa da Sebua h Ka pal karya Nh. Dini, Kabut Sutr a Ungu

yang ditulis Ike Soepomo, Selembut Bunga ciptaan Aryanti, La rung karya Ayu

Utami, Perempuan Berka lung Sorba n karya Abidah El Khaliqie, Ga dis Kretek

karya Ratih Kumala dan Menyusu Aya h karya Djenar Maesa Ayu.

Dalam kehidupan nyata, emansipasi perempuan Indonesia dipelopori oleh

RA Kartini. Emansipasi perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini telah

membawa perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh

pendidikan sampai tingkat tertinggi. Dalam diri perempuan itu muncul keinginan

untuk berprestasi dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan

(18)

menginginkan untuk berkiprah di ranah publik dalam rangka

meng-aktualisasikan diri. Kartini berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan salah satu

pilar utama untuk membebaskan perempuan dari berbagai bentuk

keterbelakangannya. Meskipun Kartini belum berhasil membebaskan dirinya dari

kungkungan patriarki karena menerima untuk dinikahkan pada usia yang sangat

muda untuk laki-laki bukan pilihannya, tetapi gagasan-gagasannya merupakan

pembaharuan untuk kemajuan perempuan.

Secara umum, semua novel yang dihasilkan pengarang-pengarang

perempuan yang telah disebutkan di atas adalah sebuah upaya untuk memberi

peranan lebih kaum perempuan. Begitu juga cerita yang tergambar dalam novel

Ga dis Kretek karya ratih Kumala. Melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan, novel

Ga dis Kretek mengangkat kehidupan tokoh perempuan dalam kaitannya dengan

pilihan hidupnya untuk menentukan takdirnya sendiri, mandiri, serta tidak

tergantung kepada siapapun untuk dapat meraih dan mewujudkan mimpinya.

Pemilihan novel Ga dis Kretek sebagai objek penelitian didasarkan pada

beberapa hal, di antaranya Ga dis Kretek merupakan novel terbaru Ratih Kumala

yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dikaji dengan pendekatan

feminisme yang melihat perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita di dalamnya.

Persoalan yang dibicarakan adalah jatuh bangunnya usaha pabrik rokok yang

dibungkus dengan romantika cinta dan isu tentang perempuan yang masih aktual

dan memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini, serta dipandang bermanfaat

untuk menata kehidupan masa depan yang lebih baik, khususnya bagi

(19)

pengarang terhadap kehidupan perempuan karena karya-karyanya yang

dihasilkan oleh seorang pengarang tidak lepas dari pengalaman hidup dan

keberadaan pengarang sebagai anggota masyarakat, termasuk pandangan

pengarang terhadap perempuan dalam hal ini adalah pandangan seorang

pengarang perempuan terhadap tokoh perempuan dalam karya-karyanya.

Ga dis Kretek adalah novel terbaru karya Ratih Kumala yang diterbitkan

PT Gramedia pada 25 Februari 2012. Ga dis Kretek mengambil setting Indonesia

tahun 1965-an, di mana para tokohnya saling terlibat interaksi di tengah kondisi

sosial, politik dan budaya Indonesia pada masa itu.

Meninjau novel Ga dis Kr etek berdasarkan sudut pandang feminisme

dalam penelitian ini akan mengangkat profil tokoh perempuan, perjuangan

kesetaraan gender, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel tersebut.

Sehubungan dengan keinginan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya

tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran perempuan di

tengah lingkungan buudaya patriarki yang ada dalam karya sastra berdasarkan

perspektif feminism kesetaraan gender. Gambaran tersebut meliputi

pilihan-pilihan perempuan, serta perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai

bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya

Ratih Kumala.

Dari uraian yang disebutkan pada subbab kajian latar belakang di atas,

maka penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana kehidupan perempuan di dalam

(20)

judul Perjua nga n Kesetar aa n Gender Tokoh Wanita dan Nilai Pendidika n Novel

Ga dis Kretek kar ya Ra tih Kuma la .

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah kepribadian tokoh wanita dalam novel Ga dis Kretek karya

Ratih Kumala?

2. Bagaimana perjuangan kesetaraan gender tokoh wanita dalam novel Ga dis

Kretek karya Ratih Kumala?

3. Bagaimana deskripsi keadaan sosial masyarakat dalam novel novel Gadis

Kretek karya Ratih Kumala?

4. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Gadis Kretek karya

Ratih Kumala?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan kepribadian tokoh wanita dalam novel

Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.

2. Mendeskripsikan dan menjelaskan perjuangan kesetaraan gender tokoh

wanita dalam novel Ga dis Kretek ka rya Ra tih Kuma la.

3. Mendeskripsikan keadaan sosial masyarakat dalam novel Ga dis Kr etek ka rya

(21)

4. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang ada dalam

novel Gadis Kretek ka rya Ra tih Kumala.

D. Manfaat Penelitin

1. Manfaat Teoretis

a. Memberi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian

sastra.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu contoh penerapan

pendekatan feminisme dalam penelitian di bidang sastra.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

keilmuan dalam mengapresiasi novel dan memberikan semangat kepada

penikmat sastra secara mendalam.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan

guru bahasa dan sastra Indonesia dalam pembelajaran apresiasi sastra

khususnya novel yang beraliran feminisme.

b. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi peneliti sastra sebagai bahan bacaan

untuk menambah wawasan tentang kajian feminism dalam novel Ga dis

Kretek kar ya Ra tih Kuma la.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran

apresiasi sastra, dalam hal ini siswa dapat menganalisis karya sastra

(22)

d. Hasil penelitian ini dapat mengefektifkan proses pembelajaran sastra

dalam hal ini adalah novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala yang

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka dan Landasan Teori

1. Kajian Pustaka

Dalam bagian ini akan dikemukakan kajian kepustakaan tentang hasil

penelitian yang relevan yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini antara lain:

a. Yuni Purwanti. 2009. Novel Sama n da n La rung Karya Ayu Utami dalam

Perspektif Gender. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah menunjukkan persamaan dan

perbedaan novel Sama n dan La rung ditinjau dari segi struktur. Selain itu juga

membahas perspektif gender yang meliputi perbedaan antara laki-laki dan

perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan diciptakan oleh

manusia melalui proses sosial. Penelitian ini juga membahas nilai-nilai

pendidikan yang terdapat di dalam kedua novel tersebut.

Adapun persamaan dan perbedaan antara penelitian Yuni Purwanti dalam

Sama n dan La rung: P erspektif Gender adalah sama-sama membahas topik

perempuan daalam perspektif gender. Perbedaan terletak pada sumber data

penelitian. Dalam penelitian juga akan dibahas kondisi sosial masyarakat yang

terdapat dalam novel Ga dis Kretek karya Ratih Kumala.

b. Eti Suryani. 2008. Novel Tabula ra sa Karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme

(24)

Kesimpulan penelitian ini menyebutkan bahwasanya kepribadian

perempuan meliputi kepribadian superior dan kepribadian inferior. Hubungan

tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki sebagai sepasang kekasih, antara anak

dan orang tua yang tidak memiliki kedekatan, sahabat, dan hubungan sosial

kekasih di masa lalu yang berakhir dengan kematian. Citra perempuan

trradisional, modern, transisi. Pokok-pokok feminisme terdiri dari kekerasan

fisik, nonfisik, kekerasan psikis, kemandirian, tokoh profeminisme dan tokoh

kontra feminisme. Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala

meliputi: 1) Nilai pendidikan agama yang menekankan antara manusia dengan

Tuhan, 2) Nilai pendidikan moral yang berhubungan dengan nilai baik buruknya

tingkah laku manusia, 3) Nilai pendidikan budaya yang berhubungan dengan

tradisi, kebiasaan, dan 4) Nilai pendidikan sosial yang menekankan hubungan

antara manusia dengan sesama.

Adapun persamaan dan perbedaan penelitian Eti Suryani dalam Novel

Ta bula ra sa (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) adalah

menganalisis tokoh perempuan dalam novel. Novel Ta bula ra sa dan Ga dis Kretek

adalah novel yang ditulis oleh pengarang yang sama. Perbedaannya terletak pada

sumber data yang berbeda.

c. Suprapto S.841008032. 2011. Tinjauan Feminisme dan Nilai Pendidikan dalam

Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto Broto. Tesis.

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini menyimpulkan (1) peran tokoh perempuan: (a) perempuan

(25)

memperjuangkan pemikiran tentang perlakuan yang sama terhadap semua orang

tanpa melihat status atau kedukan; (2) nilai feminisme: (a) perjuangan kesetaraan

antara laki-laki dengan perempuan, (b) peran publik dan produktif, dan (c)

pandangan hidup; (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah (a) nilai

kemanusiaan yaitu mengajak agar pembaca suka menolong, (b) nilai pendidikan

yaitu mengajak pembaca untuk suka belajar, dan (c) nilai moral yaitu mengajak

pembaca untuk tidak memiliki sifat balas dendam dan tidak suka menuduh tanpa

bukti.

Adapun persamaan penelitian Suprapto dalam Tinjauan Feminisme dan

Nilai Pendidikan dalam Novel Romane Pawesteri Tanpa Idhentiti Karya Suparto

Broto adalah menganalisis tokoh perempuan dalam novel sedangkan

perbedaannya terletak pada sumber data yang berbeda yakni novel yang menjadi

sumber bahan dalam pengkajian.

d. Primasari Wahyuni, S840809109. 2010. Novel Menebus Impian Karya Abidah

El Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan. Tesis. Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Penelitian ini menyimpulkan (1) eksistensi perempuan dalam novel

Menebus Impian adalah pilihan-pilihan yang berupa kebebasan memilih

pasangan hidup, memilih pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan

nasibnya sendiri; dan perjuangan perempuan atas ketidakadilan gender yang

dilakukan oleh tokoh Sekar dan Nur Kemalajati; (2) pokok-pokok pikiran

eminism liberal, meliputi: (a) kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan

(26)

profeminis dan kontra feminis; (d) analisis eminism liberal dalam novel; (3)

keadaan emini masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai

pendidikan dalam novel menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral,

nilai emini, dan nilai budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian

secara femini yang dilanjutkan dengan feminisme yang dapat digunakan sebagai

salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi.

Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai langkah awal untuk meneliti

lebih lanjut tentang feminisme yang tidak hanya terfokus pada karya sastra tetapi

juga digunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Para peneliti sastra dapat

mengembangkan penelitian sejenis ini dengan sampel yang lebih banyak, analisis

yang lebih mendalam, serta dapat menerapkannya dalam realitas kehidupan.

Penelitian Primasari Wahyuni di atas mempunyai persamaan dengan

penelitian ini dalam penggunaan pendekatan feminisme dalam pengkajian novel

dan mengambil manfaat nilai pendidikan dari novel tersebut. Adapun

perbedaannya terdapat pada objek penelitian, yaitu judul novel yang dikaji

masing-masing.

e. Ninawaty Syahrul. 2011. Profil Tokoh Wanita dalam Kaba Cindua Mato karya

Syamsuddin Sutan Radjo Endah. Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa profil tokoh wanita

yang digambarkan dalam Kaba Cindua Ma to mempunyai rasa tanggung jawab

diri dalam masyarakat. Rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, pada akhirnya

berkembang menjadi rasa tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat,

(27)

Kesamaan penelitian Ninawaty Syahrul dengan penelitian ini terletak

pada temuan penelitiannya yang termasuk jawaban permasalahan nomor satu

pada penelitian ini. Perbedaannya pada objek penelitian, yakni novel Kaba

Cindua Mato dengan Ga dis Kretek.

2. Landasan Teori

a. Hakikat Novel

1) Pengertian Novel

Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata -

mata sebuah imitasi (Luxemburg, 1986: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan

hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang

mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang

permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.

Karya sastra pada dasarnya terbagi atas tiga jenis yaitu prosa, puisi dan

drama. Karya sastra jenis prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau

cerita rekaan. Istilah fiksi sering dijumpai hanya untuk menyebut sastra jenis

prosa saja. Sebenarnya hal ini kurang tepat., karena pemyataan demikian

memberi kesan bahwa sastra jenis puisi maupun drama, bukan fiksi. Padahal

ketiganya merupakan fiksi yang hanya memiliki batasan (pengertian)

masing-masing yang agak berbeda.

Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang kian berkernbang dan

(28)

disuguhkai) berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama

dan lingkungan. Fiksi dapat membuat pembaca menghabiskan waktu untuk

ikut berinteraksi dengan berbagai persoalan kehidupan.

Abrams (1981: 610) menyebutkan istilah prosa dalam kesusastraan juga

dengan istilah fiksi (fiction), teks naratif (na ra tive texs), atau wacana naratif

(na ra tive discourse). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan

atau cerita khayalan. Hal irii disebabkan fiksi merapakan karya naratif yang

isinya tidak menyaraii pada kebenaran sejarah.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136-137) "Cerita rekaan/fiksi

dibangun oleh dua unsur pokok, yakni: a pa yang dicerita ka n dan teknik

(metode) pencerita an. Isi atau materi yang diceritakan tidak dapat dipisahkan

dengan cara penceritaan, Bahasa yang digunakan untuk bercerita disesuaikan

denganisi, sifat, perasaan, dan tujuan apa cerita itu. Cerita rekaan adalah

wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun

suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur.

Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang untuk

mendukung maksud secara keseluruhan, dan makrianya ditentukan oleh

keseluruhan cerita itu".

Suminto A. Sayuti menyandingkan cerita rekaan/fiksi dan novel pada

deretan kata yang memiliki makna yang sama. Dia menjelaskan "Novel

(cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Ditinjau dari panjangnya,

novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan

(29)

menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca

sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita

rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjatig lebar tentang tempat

atau ruang (1997: 5-7)".

Bila dibandingkan dengan roman, novel memiliki beberapa perbedaan.

Pengertian tentang keduanya sering dipertentangkan. Sebutan roman dan

novel di Indonesia diartikan berbeda (Jakob Sumardjo, 1984: 65). Roman

diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang panjang, banyak tokoh dan

banyak penjelajahan tentang kehidupan yang meliputi waktu sepanjang hidup

tokohnya.

Kehidupan tokohnya diceritakan sejak kecil ssmpai kematiannya. Novel

diartikan sebagai cerita tentang sebagian kehidupan tokohnya saja, seperti

masa menjelang perkawinannya setelah mengalami masa percinfcian atau

bagian kehidupan seorang tokoh mengalami krisis dalam jiwanya.

Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan bahwa novel mempunyai

ciri: (1) ada perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode

dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai

meninggal. Dan dalam novel tidak dituntut kesatuan gagasan, impresi, emosi,

dan setting seperti dalam cerita pendek.

Brooks dalam Henry Guntur Tarigan (1998: 165) menyimpulkan bahwa

novel bergantung pada tokohnya, menyajikan lebih dari satu impresi,

(30)

Berpijak dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel

atau cerita rekaan adalah satu genre sastra yang dibangun oleh unsur-unsur

pembangun sebagai sebuah struktur yang secara fungsional memiliki

keterjalinan di antaranya; untuk membangun totalitas makna dengan media

bahasa sebagai penyampai/gagasan pengarang tentang hidup dan seluk beluk

kehidupan manusia. Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra.

Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam

berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si

pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca

kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung

dalam novel tersebut.

2)Unsur yang Membangun Novel

Novel dibangun oleh dua unsur yakni, unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Yang dimaksud unsur - unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra

adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam

teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik novel adalah

unsur-unsur yang berada di luar karya sastra (novel), tetapi secara tidak langsung

mempengaruhi sistem organisme karya sastra.

a) Unsur Instrinsik

Herman J. Waluyo (2012: 6) menjelaskan unsur pembangun fiksi/

novel meliputi: tema cerita, plot, atau kerangka cerita, penokohan dan

perwatakan, setting atau tempat kejadian cerita atau disebut juga latar,

(31)

ground, dialog atau percakapan, gaya bahasa/ gaya bercerita, waktu

pernceritaan, dan amanat.

(1) Tema

Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya

sastra disebut tema. Atau gampangnya, tema adalah sesuatu yang

menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang

menjadi pokok masalah dalam cerita. Secara etimologis kata tema

berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu

yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata

significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias,

umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui

penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat

gagasan atau ide kepengarangan.

Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema

merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu

karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra

bisa dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:

sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang

ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika

permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh

(32)

Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit

ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral

diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir.

Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan

seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992:

57-58).

Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Tema dalam

peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai

unsur intrinsik yang lain. Herman J Waluyo (2012: 8)

mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang

bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi

pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan)

(2) Tokoh

Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan

pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam

berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia,

namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.

Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam

cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan

(33)

2. Tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan

perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau

menyampaikan nilai-nilai negatif.

(3) Penokohan atau perwatakan

Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana

tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh-tokoh-tokoh tersebut, ini berarti

ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik

penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau

kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).

Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan

sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk

pada kualitas peribadi seorang tokoh (Burhan Nurgiyantoro, 2000:

165).

Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan

merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan

pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah

penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23). Hal

senada diungkapkan oleh Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa

penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para

tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita

tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh

(34)

a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tinda-kannya,

ter-utama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.

b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.

c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh,

wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah

pendis-kripsian penulis tentang tokoh cerita.

d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan

tindakannya.

e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh

ceri-tanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang

mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut

jalan pikirannya (Jakob Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 65-66).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh,

tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (centra l

cha ra cter, ma in cha ra cter)dan tokoh tambahan (Burhan

Nurgiyantoro, 2000: 176-178).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan

terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita.

Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu

berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan

(35)

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan

sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi,

keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan

tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.

Karena tokoh berkepribadian dan berwatak, maka dia

memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga

dimensi, yaitu;

1. Dimensi fisiologis, adalah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat

kede-wasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan

lain sebagainya.

2. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat,

missal-nya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat

pendidikan, dan sebagainya.

3. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya

menta-litas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam

bidang tertentu (Satoto, 1993: 44-45).

(4) Alur

Adalah jalinan cerita yang dibuat oleh pengarang dalam

menjalin kejadian secara beruntun atau rangkaian/jalinan antar

peristiwa/ lakuan dalam cerita. Atar Semi(1993: 43) mengatakan

bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam

cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus

(36)

Lebih lanjut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2000: 113)

mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara

sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

peristiwa yang lain.

Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat

atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg

memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun

pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai

konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan

peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan

kronologis, serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh

para tokoh.

Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai

awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau

struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari

tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan

tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan

cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk

melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.

2. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan

(37)

menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini

konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.

3. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu

internal, eksternal ataupun kedua-duanya.

4. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami

atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak

klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan

penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap

penentuan nasip tokoh.

5. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan diken-dorkan

diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri

(2000: 150).

Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26)

merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut

ini:

a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran

dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan

hingga penyelesaian.

b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik

penga-luran dan menetapkan peristiwa dimulai dari

penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan

(38)

c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana

jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap

tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat

mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam

cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.

(5) Konflik

Konflik cerita, yaitu pokok permasalahan yang terjadi dan

sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan atau perselisihan

antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi

dan aksi balasan. Dalam kehidupan nyata konflik merupakan

sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun dalam sebuah cerita

berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan

yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya merupakan

peristiwa.

Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan konflik

atau bahkan sebaliknya. Bentuk konflik sebagai bentuk kajadian

dapat dibedakan ke dalam dua kategori: konflik fisik dan koflik

batin.

1. Konflik fisik (eksternal) adalah konflik yang terjadi antara

(39)

tokoh lain atau dengan alam. Misalnya, konflik (permasalahan)

yang dialami seseorang tokoh akibat adanya banjir besar,

gunung meletus, kemarau panjang dan sebagainya. Konflik

sosial, sebaliknya adalah konflik yang disebabkan oleh adanya

kontak sosial antar manusia, atau masalah-masalah yang muncul

akibat hubungan antar manusia. Konflik sosial berupa masalah

peperangan, perburuhan atau kasus-kasus hubungan sosial

lainnya.

2. Konflik batin (internal) adalah konflik yang terjadi di dalam

hati, jiwa seseorang tokoh atau tokoh-tokoh cerita. Jadi ia

merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya

sendiri, ia merupakan permasalahan intern seorang manusia.

Misalnya, hal itu terjadi akibat pertentangan antara dua

keinginan, keyakinan pilihan yang berbeda, harapan-harapan,

atau maslah-masalah lainnya. Dapat disimpulkan bahwa

beberapa konflik di atas saling berkaitan, saling menyebabkan

terjadinya satu dengan yang lain, dan dapat terjadi secara

bersamaan.

(6) Setting/Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang

berkaitan dengan waktu, ruang, dan situasi terjadinya peristiwa

dalam cerita. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah

(40)

waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M.

(1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk

tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari

suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan

lain sebagianya.

Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat,

hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial

yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di

tempat yang bersangkutan.

(a) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat

berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata

ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas

tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat

tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat

umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan

sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi

berbagai lokasi.

(b) Latar waktu

Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya

(41)

waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah.

Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat

diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.

(c) Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat

yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola

pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari

penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

(7) Suasana

Suasana adalah salah satu unsur intrinsik yang berkaitan

dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya

bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik

karena berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana

gembira, sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan

sebagainya. Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama

pelukisan tokoh utama. Pembaca mengikuti kejadian demi

kejadian yang dialami tokoh utama dan bersama dia pembaca

(42)

(8) Sudut Pandang

Adalah posisi pengarang dalam membawakan ceritanya.

Bisa jadi ia menjadi tokoh dalam cerita tersebut (pengarang

berada di dalam cerita). Namun, bisa juga dia hanya menjadi

pencerita saja (pengarang berada di luar cerita). Sudut Pandang

dibagi menjadi dua yaitu:

1. Sudut pandang orang pertama

Pada sudut pandang orang pertama, posisi pengarang

berada di dalam cerita. Ia terlibat dalam cerita dan menjadi salah

satu tokoh dalam cerita (bisa tokoh utama atau tokoh pembantu).

Salah satu ciri sudut pandang orang pertama adalah penggunaan

erita. Oleh karena itu, sudut pandang

orang pertama sering disebut juga sudut pandang akuan. Sudut

pandang orang pertama terbagi lagi menjadi dua yaitu :

menjadi to-koh utama dalam cerita).

b)

hanya berperan sebagai tokoh pendamping/pembantu saja).

c) Sudut pandang orang ketiga. Pada sudut pandang orang ketiga,

pengarang berada di luar cerita. Artinya dia tidak terlibat dalam

cerita. Pengarang berposisi tak ubahnya seperti dalang atau

(43)

Ciri utama sudut pandang orang ketiga adalah

-itu, sudut pandang ini disebut pula sudut pandang diaan.

(9) Gaya Bahasa

Adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui

bahasa yang digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya

masing-masing. Ahmad Tohari, misalnya, dia banyak menggunakan

kalimat-kalimat yang indah dan kuat untuk mendeskripsikan latar

dalam ceritanya,

Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang

untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita

secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini

mendeskripsikan benda benda mati dengan cara memberikan

sifat sifat seperti manusia. simile (perumpamaan), gaya bahasa

ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola,

gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan

dengan maksud memberikan efek berlebihan.

(10) Amanat

Adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada

pembaca. Amanat dalam cerita bisa berupa nasihat, anjuran, atau

(44)

b) Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra,

tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme

karya sastra. Unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang memengaruhi

bangunan sebuah cerita. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik

itu pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), unsur

ekstrinsik adalah:

1) Keadaan subjektivitas individu pengarang misalnya: keyakinan, dan

pan-dangan hidup.

2) Keadaan psikologis, pengarang, pembaca, atau penerapan prinsip

psi-kologis dalam karya.

3) Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.

4) Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan

sebagai-nya.

3) Hakikat Sosiologi Sastra

Istilah sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para

kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara

pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi

dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang

bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi

(45)

Sapardi Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang

mengembangkan pendekatan sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra

tidak jatuh begitu saja dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan,

sastra, dan masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap karya sastra pun

harus selalu menempatkannya dalam bingkai yang tak terpisahkan dengan

berbagai variable tersebut: pengarang sebagai anggota masyarakat, kondisi sosial

budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan dalam melahirkan karya sastra, serta

pembaca yang akan membaca, menikmati, serta memanfaatkan karya sastra

tersebut.

Soemarjan dan Soemardi (dalam Soekanto, 1987:16) sosiologi sastra atau

ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk

perubahan sosial. Sosiologi memusatkan perhatian pada masyarakat yang

merupakan wadah kehidupan bersama yang mencakup berbagai aspek. Proses

sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai kehidupan bersama.

Lebih lanjut, Wellek dan Werren 1989:111) juga mengemukakan konsep

tentang sosiologi sastra sebagai berikut,

a) Sosiologi pengarang

Sosiologi pengarang mempermasalahkan latar belakang sosial, status

sosial, ideologi sosial, dan berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

b) Sosiologi karya sastra

Sosiologi karya sastra mempermasalahkan isi karya sastra, tujuan,

serta hal-hal lain yang menjadi pokok perhatiannya, seperti pada hal-hal yang

(46)

c) Sosiologi sastra

Sosiologi sastra mempermasalahkan tentang pembaca dan dampak

sosial karya sastra, seperti seberapa jauh karya sastra ditentukan oleh latar

sosial, perubahan sosial dan perkembangan sosial.

Dari beberapa uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwasanya sosiologi sastra memandang sebuah karya sastra sebagai bagiian

dari kenyataan, dan membandingkan unsur-unsur dalam karya sastra tersebut

dengan realitas sosial. Karya sastra tidak hanya dilihat secara keseluruhan,

tapi lebih tterfokus pada unsur sosial budaya yang terkandung di dalamnya.

Ditinjau dari segi sejarahnya, konsep sosiologi sastra didasarkan pada

dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang

merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam

kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk

oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam

masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra

memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan

masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra

dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan

Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan

antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.

Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali

(47)

(428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi

teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).

Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide

asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi,

maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan

atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati

dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya

menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan

dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh

karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman

menjiplak-jiplakan, membuat copy dari copy.

Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni

menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak

semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang

haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam

memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy

(kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai

"universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau,

penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat

kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal

yang berlaku pada segala jaman.

Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu

(48)

nasionalisme Roma ntik. Humanisme Rena issa nce sudah berupaya

mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno

dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu

merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam

jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam

zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan

menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu

perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan

kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.

Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra

terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan

kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi

sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan

sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan

metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya

History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya

sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan

lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan

momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang

melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor

inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya

diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia

(49)

periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial.

Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai

yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.

Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah

Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap

membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis

kaku (strukrura lisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine

ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di

masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia

mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang

berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor

yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak

diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari

keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari

golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang

dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal

misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan

tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun

telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari

dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.

a) Teori Sastra Marxis

Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra

(50)

pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan

Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan

evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan

mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan

perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman

selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik.

Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni

dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan

'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau

merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya

(Abrams, 1981:178).

Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang

terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu

tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh

hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang

saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya

dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru

perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap

masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.

Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya

mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan

(51)

hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan

tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh

yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan

seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam

perjuangan proletariat melawan kapitalisme.

b. Aliran Frankfurt

Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis

oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori

ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori

sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika

Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik"

(dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis

kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran

Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max

Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden,

1993:32-37).

Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori

sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi

totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa

sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung

dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan

kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang

(52)

bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak

mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh

sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah

totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama

(masyarakat satu dimensi).

Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya

individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti

(strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada.

Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan

klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd,

penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu

menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam

drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern

sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.

c. Teori-Teori Neomarxisme

Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran

Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin

menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak

mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma

politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan

ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber

inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema &

(53)

dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh

pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien

Goldman, dan Th. Adorno.

Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka

menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka

sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan

pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat

gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch,

1977:134-135).

1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai

totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan

pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini

merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari

konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni)

tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai

subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks

historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena

serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek

kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu

merupakan totalitas dalam dialektika kata.

2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi

sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya

(54)

terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh

intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah.

Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek

teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih

jauh.

3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum

kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya

fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara

empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran

esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu

subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi

dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah)

tergantung pada konteks yang berbeda-beda.

4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek

bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan

nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari

posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua

konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara

proses berpikir dan realitasnya.

Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson

mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari

penelitian tentang latar belakang historisnya. Jadi hasil kritik dialektikal

Gambar

Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir Penelitian
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian   Bentuk dan Pendekatan Penelitian
Gambar 2. Teknik Content Analysis
gambar sampulnya. Sampul yang memajang gambar perempuan berkebaya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) struktur teks novel Pasung Jiwa, (2) Fenomenologi feminisme para tokoh, (3) dimensi feminisme

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan struktur yang membangun novel CCE, (2) mendeskripsikan perspektif gender pada tokoh wanita dalam novel CCE dengan tinjauan

Masyarakat Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Tinjauan Sosiologi

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk ketidakadilan gender, kekerasan seksual dan perjuangan tokoh utama bernama Dewi Ayu untuk melawan

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan: (1) struktur teks novel Pasung Jiwa, (2) Fenomenologi feminisme para tokoh, (3) dimensi feminisme

Pada intinya penelitian yang dilakukan oleh Kasido memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu pada pembongkaran unsur-unsur yang

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran apresiasi sastra, khususnya dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan kesetaraan gender.

Sebagaimana yang telah dijelaskan penelitian ini hanya membahasa mengenai bentuk mimikri yang dilakukan oleh bangsa terjajah kepada bangsa penjajah dari segi peralatan pelengkapan