• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novel Tabularasa karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) esti suryani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Novel Tabularasa karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) esti suryani"

Copied!
275
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL TABULARASA KARYA RATIH KUMALA

(

Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Esti Suryani

S 840208205

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

NOVEL TABULARASA KARYA RATIH KUMALA

(

Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan)

oleh Esti Suryani S 840208205

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing I Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. ... ...

NIP 19461208 198203 1 001

Pembimbing II Dr. Retno Winarni, M. Pd. ... ... NIP 19560121 198203 2 003

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

(3)

PENGESAHAN

Tesis ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis Program Pascasarjana Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Pendidikan.

Pada hari : Tanggal :

Tim Penguji Tesis:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. ... Sekretaris : Dr. Nugraheni Eko Wardani, M. Hum. ... Anggota I : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. ... Anggota II : Dr. Retno Winarni, M. Pd. ...

Disahkan oleh, Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana, Pendidikan Bahasa Indonesia

(4)

PERNYATAAN

Penulis menyatakan bahwa yang tertulis di dalam tesis ini benar-benar hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan penulis tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang penulis peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta,

(5)

ABSTRAK

Esti Suryani, S840208205. Novel Tabularasa karya Ratih Kumala (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan) Tesis, Surakarta: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Juli 2009.

Tinjauan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Tokoh dan Karakter tokoh perempuan Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (2) Kepribadian tokoh perempuan Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (3) Hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki Novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (4) Citra perempuan novel Tabularasa karya Ratih Kumala, (5) Pokok-pokok pikiran Feminisme novel Tabularasa karya Ratih Kumala, dan (6) Nilai-nilai pendidikan novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan feminisme sastra. Sumber data penelitian berasal dari sumber data primer, yaitu novel Tabularasa karya Ratih Kumala,dan sumber data sekunder yaitu, komentar-komentar pengarang lain tentang novel Tabularasa, biografi penulis, wawancara dengan murid, guru Bahasa Indonesia, kepala sekolah, serta sumber-sumber dari internet.Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah dengan teknik pencatatan Content analysis. Teknik validitas yang digunakan adalah triangulasi data/sumber.Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif dengan tiga komponen analisis,yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.

(6)

ABSTRACT

Esti Suryani. S840208205. Tabularasa Novel by Ratih Kumala (Literary Review of feminism and Value Education) Thesis, Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Juli 2009.

Review of this research is to describe: (1) Figures and Character of women in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (2) Personality of women's character in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (3) Relationships between women’s with men’ character in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (4) Image of woman in Tabularasa novel by Ratih Kumala, (5) Key thought feminism in Tabularasa novel by Ratih Kumala, and (6) Education values of Tabularasa novel by Ratih Kumala.

This is a qualitative descriptive research with a literary feminism approach. Data of the research consisted of primary and secondary data. The primary data were obtained from the novel entitled Tabularasa. The secondary data were obtained from books, the novel writer’s biography, comments by other writers on the novel entitled Tabularasa, interview with the student, Indonesia teacher and head master, and information obtained from internet about the novel entitled Tabularasa. The data of the research were gathered through a content analysis technique. They were validated through data/ source triangulation and were analysis, namely, data reduction, data display, and conclusion drawing.

(7)

MOTTO

“Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah “mulai”. Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat

(8)

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya penulis ini sebagai tanda rasa cinta penulis, kasih penulis, pengabdian penulis dan terima kasih penulis yang mendalam kepada orang-orang yang penulis penulisngi:

1. Suami(Sularto)yang senantiasa memberikan doa restu serta kasih penulisng yang tulus dan perhatian yang penuh kepada istri dan ketiga putra putrinya. 2. Ketiga anak-anakku tercinta, Raya Ilham syah

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan rida-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis penulis ini. Dalam menyelesaikan tesis ini penulis memperoleh bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus dan ikhlas berikut ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. K.J.(K), selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menempuh pendidikan pascasarjana, Prof. Drs. Suranto., M. Sc., Ph.D., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia yang telah banyak memberikan bantuan dan masukan, ide-ide serta gagasan-gagasan demi sempurnanya tesis penulis ini. Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd dan Dr. Retno Winarni, M.pd selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan penulisan tesis secara intensif dan berkesinambungan berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, ejaan, maupun konteks isi dalam tesis penulis ini sehingga tesis dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

(10)

rekan-rekan yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan keceriaan, kebahagiaan, dan saran-saran kepada penulis.

Akhirnya, penulis berharap dan berdoa semoga amal baik mereka mendapatkan imbalan yang sesuai dengan kebaikan mereka dan semoga semua bantuan yang telah mereka berikan itu menjadi amal baik serta mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amiin Yaa Robbal’alamiiin.

Surakarta, Penulis

(11)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR ... 12

A. Kajian Teori ... 12

1. Kajian Tentang novel a. Pengertian Sastra... 12

(12)

c. Jenis Novel ... 19

B. Bentuk/ Strategi Penelitian... 101

(13)

F. Teknik Analisis Data ... 104

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 106

A. Hasil Penelitian... 106

1. Tokoh dan Karakter Tokoh dalam Novel Tabularasa .. 106

2. Kepribadian Tokoh Perempuan ... 120

3. Hubungan Tokoh Perempuan Novel Tabularasa ... 129

4. Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tabularasa ... 140

5. Pokok-Pokok Pikiran Feminisme dalam Novel Tabularasa a. Kekerasan Terhadap Perempuan ... 149

b. Kemandirian Tokoh Perempuan ... 160

c. Tokoh Profeminisme dan Tokoh Kontrafeminisme.. 167

6. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 178

a. Nilai Pendidikan Agama ... 179

b.Nilai Pendidikan Moral ... 180

c. Nilai Pendidikan Sosial... 182

d.Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... 183

B. Pembahasan ... 186

1. Tokoh dan Karakter / Penokohan Tokoh ... 186

2. Kepribadian Tokoh Perempuan ... 188

3. Hubungan Tokoh Perempuan Novel Tabularasa ... 199

4. Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tabularasa ... 204

5. Pokok-Pokok Pikiran Feminisme Novel Tabularasa .. 206

a. Kekerasan Terhadap Perempuan ... 206

b. Kemandirian Tokoh Perempuan ... 213

c. Tokoh Profeminisme dan Tokoh Kontrafeminisme.217 6. Nilai Pendidikan dalam Novel ... 229

a. Nilai Pendidikan Agama... ... 230

b. Nilai Pendidikan Moral... 231

(14)

d. Nilai Pendidikan Adat/Budaya ... ..234

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI,DAN SARAN... 237

A. Simpulan ... 237

B. Implikasi... 246

C. Saran... 249

DAFTAR PUSTAKA ... 251

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir ... 99

Gambar 2: Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif... 105

Gambar 3: Struktur Kepribadian... 121

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Rincian Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 101

Tabel 2 : Kepribadian Tokoh ... 122

Tabel 3 : Hubungan Tokoh Perempuan dengan Tokoh Laki-laki ... 130

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. a. Sampul depan novel Tabularasa ... 255

b. Sampul belakang novel Tabularasa ... 256

c. Sampul depan dan belakang novel ... 257

Lampiran 2. Profil Ratih Kumala ... 258

Lampiran 3. Sinopsis Novel Tabularasa karya Ratih Kumala ... 260

Lampiran 4. Data struktur naratif novel Tabularasa ... 265

Lampiran 5. Tabel kualifikasi data dan pengkodeannya ... 312

Lampiran 6. Komentar a. Awal bagus mencapai kematangan ... 357

b. Pertanyaan-pertanyaan tentang cinta ... 361

c. Ratih Kumala’s Little Blog ... 364

d. Keyakinan tidak perlu bukti ... 372

e. Krisis identitas tokoh lesbian ... 378

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan suatu kesatuan yang utuh. Unsur-unsur pembangun dalam karya sastra harus saling melengkapi, berkaitan erat dan berhubungan erat sehingga terbentuk hubungan yang seimbang dan berkarakter. Unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut membentuk suatu kesatuan isi dan bentuk, sehingga terciptalah karya sastra yang mempunyai kohesi dan koherensi.

Sastra adalah karya fiksi yang merupakan kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang di dasarkan aspek kebahasaan maupun makna (Zainuddin Fahanie, 2000: 6). Hasil kreasi dari ungkapan emosi spontan pengarang berupa pengalaman batin yang dituangkan dalam bahasa dan imaji. Imaji yang dituangkan dapat berupa pengalaman kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan sama sekali dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran dari kedua bentuk penuangan imajinasi di atas.

(19)

merujuk pada bentuknya, tetapi juga keindahan isinya yang berkaitan dengan emosi, imajinasi, kreasi dan ide yang menarik.

Melalui bahasa pengarang menuangkan kreatifitasnya tidak lain untuk menyampaikan intuisi pengarang itu sendiri melalui makna yang disampaikan. Makna karya sastra berhubungan dengan hasil karya sastra itu sendiri dan dengan pembaca sastra. Karya sastra akan dipahami dan bermakna manakala pembaca sudah mengerti apa yang dimaksud dan apa yang tertuang dalam bentuk imajinasi yang berkembang didalam karya sastra. Pemahaman isi karya sastra yang ditulis pengarang bergantung pada kemajuan dan ketajaman interpretasi pembaca itu sendiri. Untuk dapat menginterpretasikan karya sastra dengan baik. Pembaca harus memahami dengan sungguh–sungguh dan bijaksana terhadap maksud pengarang dalam karya yang diciptakannya.

Karya sastra berdasarkan gendernya dibedakan menjadi dua yaitu prosa dan puisi, salah satu dari prosa adalah novel. Karya sastra berbentuk novel mempunyai daya tarik tersendiri karena berisi cerita tentang kehidupan manusia yang diidealkan oleh pengarang dan mengandung unsur estetik. Dikatakan ideal karena memuat cerita tentang kehidupan tokohnya yang beraneka ragam dan perwatakan secara mendalam sekaligus menyampaikan wawasan yang luas tentang pemecahan permasalahan yang disajikan kepada pembaca. Dengan demikian mampu memberikan suatu gambaran kehidupan manusia secara luas dan utuh melalui unsur-unsur yang membangunnya.

(20)

terbaru dalam ujud penampilan yang berbeda. Bidang media cetak baik berupa harian, tabloid, maupun bulanan banyak memuat cerita rekaan bersambung dari novel. Bidang perfilman banyak mengangkat cerita dari novel, baik berupa sinetron dengan tayangan sekali tayang, tayangan dengan seri pendek maupun dengan tayangan seri yang panjang. Bidang pendidikan sudah pasti masuk dalam standar kompetensi bidang pelajaran bahasa dan sastra indonesia di sekolah. Novel dijadikan salah satu materi pengajaran sastra. Hal tersebut membuktikan bahwa novel bukan sekedar bacaan hiburan para pembaca apalagi sekadar mengisi waktu melainkan merupakan salah satu hasil karya sastra yang dapat dikaji dan dikembangkan.

Struktur formal karya sastra adalah struktur yang terrefleksi dalam kesatuan teks karena meliputi unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Unsur-unsur tersebut antara lain meliputi: tema, penokohan, plot, setting, dan sudut pandang yang disebut unsur intrinsik. Sedangkan unsur ektrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra dapat berupa tradisi dan nilai-nilai kehidupan.

Kajian unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra searah dengan pendekatan telaah sastra dengan sasaran kajian feminisme karya sastra yang merupakan dua ilmu yang berbeda. Kedua ilmu tersebut dapat saling melengkapi. Dagun (dalam Nyoman Kutha Ratna, 1992: 187) mengatakan:

(21)

kaum laki-laki, perempuan lebih lemah, sebaliknya, lak-laki lebih kuat. Meskipun demikian, perbedaan biologis mestinya tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat”.

Perbedaan–perbedaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan feminisme dalam dunia sastra. Pandangan yang mempermasalahkan ketidakadilan yang dialami perempuan diakibatkan adanya paham patriarkhi di dalam dunia sastra.

Karya sastra terutama novel banyak sekali terdapat bias gender antara penulis laki-laki dan penulis wanita. Seorang penulis laki-laki pada umumnya menjadikan tokoh perempuan sebagai seorang yang tertindas di berbagai bidang, baik di dalam keluarga, masyarakat, agama maupun politik. Kesemuanya itu tidak lepas dari bagaimana seorang penulis melihat fenomena yang ada di sekitarnya. Akhirnya bermunculan penulis perempuan yang ingin mengubah keadaan yang disebabkan oleh persepsi bias genjer dalam masyarakat.

(22)

mahkluk yang tidak berbeda secara sosial dan psikologis dengan pria. Mereka berpandangan bahwa perempuan seharusnya disejajarkan dengan pria.

Siti Nurbaya adalah novel jenis feminis. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat berharga karena sebelumnya tidak pernah ada novel yang sefeminis Siti Nurbaya. Namun, feminisme di dalamnya tidak sama persis dengan femininisme pada masa sekarang. Feminisme Stti Nurbaya dan kawan-kawannya adalah feminisme vernacular, feminisme kedaerahan yang dipengaruhi oleh kondisi setempat pada masa itu.

Siti Nurbaya menamakannya ”feminisme permulaan”, yaitu feminisme

yang muncul secara sporadis, bersifat individual, dan menyuarakan emansipasi perempuan, menuntut persamaan antara perempuan-sejak dulu laki-laki sudah otonom-yaitu pemberian kebebasan kepada mereka untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Tuntutan persamaan itu tidak bersifat radikal karena mereka menyadari bahwa persamaan yang betul-betul dalam segala hal tidak mungkin terjadi. Yang jelas bahwa dalam fase ini para tokohnya menjadikan adat sebagai sasaran tembaknya karena adatlah yang menciptakan konstruksi gender dan subordinasi perempuan (Sugihastuti & Suharto, 2005: 337).

Menurut Mansour Fakih, (2007: 147) perbedaan gender ternyata telah mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang sebetulnya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial terkukuhkan menjadi kodrat cultural, dalam proses yang panjang telah mengakibatkan terkondisikannya

(23)

mengakibatkan, termanifestasi dalam, posisi subordinasi kaum perempuan di hadapan laki-laki. Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan; (2) Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan atau stereotype terhadap kaum perempuan yang berakibat penindasan; (3) Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dan memeras keringat lebih panjang; (4) Perbedaan gender juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara pisik maupun secara mental, dan (5) Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya di atas, mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat, dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

(24)

Dialog yang disampaikan dalam Tabularasa disampaikan penuh dengan kekayaan imajinasi, bahkan ada banyak kalimat-kalimat yang memiliki makna sangat vulgar terkemas dengan berbagai gaya bahasa sehingga terkesan tidak vulgar, tidak terkesan porno, dan tidak terkesan murahan dalam penyajiannya.

Novel Tabularsa karya Ratih Kumala merupakan novel serius yang bertemakan gejolak jiwa perempuan pada jaman neo kapitalis yang berlebel bagus. Di dalamnya mengungkapkan proses kreatif pengarang melalui pengalaman langsung dan tidak langsung dan permasalahan kehidupan manusia modern yang kompleks. Melalui dua tokoh utama dalam novel ini melakukan begitu banyak perjalanan untuk mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka tentang cinta. Galih mencintai Krasnaya, Raras mencintai Violet, namun cinta mereka yang tak pernah dipersatuakan karena dipisahkan oleh maut. Kisah cinta yang sebenarnya diungkapkan melalui tokoh-tokohnya tanpa mengungkapkan pengambaran adegan seks yang artifisial. Dengan demikian yang muncul adalah gagasan tentang makna perkawinan, tentang memilih pasangan hidup apapun jenis kelaminnya sehingga terangkatlah ideologi tentang seksual dalam makna yang sesungguhnya.

Pada umumnya novel-novel berkembang bersamaan dengan munculnya Tabularasa karya Ratih Kumala adalah novel-novel yang semata-mata hiburan

(25)

membacanya. Pembaca memuji fiksi serius karena telah diajarkan untuk berbuat demikian dan bukan karena mereka lebih menyukainya ketimbang fiksi populer. Cara penjelasan yang dipakai untuk menjelaskan yang ”bagus” dan yang enak dibaca seolah-olah mengisyaratkan bahwa ”bagus” bagi fiksi serius berarti tidak enak dibaca. Secara implisit maupun eksplisit mereka menyebutkan bahwa fiksi serius dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna untuk kita dan bukannya memberi kenikmatan (Robert Stanton, 2007: 4).

Adapun alasan memilih novel Tabularasa Karya Ratih Kumala ini adalah sebagai berikut. Pertama, karena selama ini belum ada yang meneliti novel Tabularasa dengan tinjauan mengenai feminisme sastra, meskipun ada tetapi kurang spesifik karena hanya sebuah ulasan karya sastra. Kedua, novel Tabularasa menampilkan hakekat cinta dengan latar belakang perkembangan

(26)

”Novel Tabularasa Karya Ratih Kumala” (Tinjauan Feminisme Sastra dan Nilai Pendidikan).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di depan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tokoh dan karakter tokoh serta hubungan tokoh perempuan dengan tokoh lainnya dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala? 2. Bagaimana kepribadian tokoh perempuan dengan tokoh lainnya dalam

novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

3. Bagaimana hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

4. Bagaimana citra perempuan yang disampaikan Ratih Kumala dalam novel Tabularasa?

5. Bagaimana pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

6. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat diungkapkan sebagai berikut:

(27)

2. Untuk menjelaskan bagaimana kepribadian tokoh perempuan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

3. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tokoh perempuan dengan tokoh laki-laki dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

4. Untuk menjelaskan bagaimana citra perempuan yang disampaikan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

5. Untuk menjelaskan bagaimana pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

6. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam novel Tabularasa karya Ratih Kumala.

D. Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoretis

a. Memberikan masukan dalam khasanah pengetahuan bidang sastra. b. Memperkaya perkembangan karya sastra apresiasi sastra Indonesia

dan sebagai bahan pijakan penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis

(28)

b. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang nilai pendidikan sehingga dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

(29)

BAB II

A. Teeuw (1988: 23) memberikan pengertian tentang sastra yaitu:

”Kata sastra dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta: akar kata ’sas- dalam kata kerja turunan berarti mengerahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran; misalnya silpasastra buku arsitek, kamasastra buku petunjuk mengenai seni cinta. Awalan su–berarti baik, indah sehingga sastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres. Kata susastra nampaknya tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa kuno ”.

Pendapat yang disampaikan oleh A.Teeuw menyampaikan pengertian bahwa sastra berbentuk alat atau sarana yang dapat dipakai untuk mengajar dan memberikan petunjuk pengajaran. Sarana tersebut merupakan hasil karya yang berisi tentang seni.

Seni sastra atau kesenian oleh Zuber Usman,B.A.(dalam Rachmat Joko Pradopo, 1997: 33 ) disampaikan sebagai berikut:

(30)

Nyoman Kutha Ratna (2003: 1) mendefinisikan pengertian sastra lebih mengarah kepada sarana yang dipakai untuk menyampaikan materi, untuk mengajar, atau untuk memberi petunjuk. Sarana yang akan disampaikan berupa hasil karya manusia yang indah berupa hasil karya seni bahasa. sebagai berikut,

”Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik”.

Zaennudin Fananie (2000: 6) mengatakan sebagai hasil kreasi cipta luapan emosi yang mengungkapkan kehidupan manusia dan memiliki makna dalam kehidupannya yaitu,

”Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yangg didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetik bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik. Atau poetic funcion (surface strukture) sedang estetika makna dapat terungkap melaui aspek deep structure ”

Pendapat karya sastra sebagai bentuk ungkapan emosi spontan sehingga mewujudkan aspek estetik dan kebahasaan tersebut sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Nyoman Kutha Ratna. Pendapatnya sebagai berikut:

”Karya sastra merupakan rekonstrusi yang harus dipahami dengan manfaatkan mediasi. Karya sastra membangun dunia melalui energi kata-kata. Melalui kualitas hubungan paradigmatik, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan, untuk kemudian disajikan dengan cara yang khas dan unik agar peristiwa yang sesungguhnya dipahami secara lebih bermakna. Lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas dan lebih mendalam (Ratna, 2005: 16).

(31)

Max Eastman (dalam Wellek &Waren, 1989: 30) menjelaskan bahwa Hakikat sastra adalah imajinasi dan kreativitas, sehingga sastra selalu dikaitkan dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks. Sastra menyajikan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia yang mungkin ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun, menurut Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada di dalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahui(Welleck & Warren, 1990: 30-31).http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasidosen/sastra %20 dan%20sastra%20feminis%20 dalam%20kebudayan.pdf

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra adalah pengungkapan fakta imajinatif kehidupan manusia melalui bahasa sebagai media yang berdampak positif / bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.

b. Pengertian Novel

Cerita fiksi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: roman, cerpen, dan novel. Dalam tulisan ini yang akan diuraikan hanya pengertian novel karena objek penelitian yang ditulis adalah novel.

(32)

”Novel (Inggris = novel) dan cerita pendek (disingkat cerpen=Inggris= short story) merupakan dua bentukkarya sastra yang sekaligus disebut sebagai fiksi. Bahkan dalam perkembangan kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel, sebutan novel dalam bahasa Inggris. Dan inilah yang kemudian masuk ke indonesia- berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman = novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah bab baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa”.

Jakob Sumarjo & Saini K. M. (1988: 29) menyampaikan pengertian novel dalam arti yang luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak,tema yang kompleks hanya satu saja, suasana cerita yang beragam, dan setting yang beragam pula. Namun ”ukuran luas”di sini juga tidak mutlak demikian,mungkin yang luas hanya salah satu unsur fiksinya saja, misalnya temanya, sedang karakter, setting, dan lain-lainnya. Pengertian novel juga di definisikan oleh Koesnosoebroto dan Sunaryo Basuki (1998: 10) sebagai berikut:

”Novel is a long work of fiction that contaiss more than 10000 words. It is more complex because it has more incidents, setting, character, and may take place in a long span of time. I may have more than one theme and more conflicts. Novel tends to expands and it is very complex in it’s structure. It does not finish to be read once a seat as a short story because it’s length develops the character’s problem”.

(33)

duduk seperti cerita pendek yang dapat dibaca dalam waktu yang relatif pendek hanya sekali duduk,karena memiliki perkembangan di berbagai permasalahan karakter yang panjang.

Melani Budiyanto(1982: 282) mengemukakan bahwa Novel adalah gambaran dari kehidupan manusia dan perilaku yang nyata, dan zaman sasta novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan dipindah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dari apa yang pernah terjadi.

Fiksi merupakan hasil karya sastra melalui penghayatan dan perenungan dalam bentuk kreativitas pengarang. Kreativitas berupa perenungan jiwa pengarang yang menghasilkan kemampuan pengarang menampilkan bentuk-bentuk pola kehidupan, cara pandang, sikap kehidupan tokoh yang ditampilkan berdasarkan pada tujuan, keingginan dan amanat pengarang itu sendiri. Fiksi sebagai hasil perenungan menyajikan berbagai permasalahan-permasalahan kehidupan manusia dimana manusia itu sendiri selalu mengalami intereaksi dengan penciptanya, Intereaksi terjadi apabila terjadi adanya dialog baik secara langsung maupun tidak langsung.

(34)

”Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia intereaksinya dengan lingkungan dan sesama intereaksinya dengan diri sendiri, serta intereaksi dengan tuhan, fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagi hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya fiksi. Fiksi menawarkan ”model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukan sosoknya sebagi karya seni yang berunsur astetik dominan”.

Novel menurut Burhan Nurgiantoro merupakan salah satu dari macam bentuk fiksi seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin. Pada dasarnya unsur-unsur yang dibangun dalam karya sastra fiksi berupa roman, novel, atau cerpen memiliki kesamaan, yang berbeda hanya pada panjang pendek isi cerita, kompleksitas isi cerita dan jumlah tokoh-tokohnya. Menelaah hasil salah satu karya sastra berupa roman juga dapat di terapkan pada penelaahan hasil karya sastra berupa novel dan cerpen. Aminuddin (2002: 66) sebagai berikut:

”Karya fiksi lebih lanjut dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang – pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita, serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang dikandung oleh setiap bentuk karya fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan. Oleh karena itulah hasil telaah suatu roman, misalnya pemahaman atau ketrampilan lewat telaah tertentu, dapat juga diterapkan baik dalam rangka menelaah novel maupun cerpen. Perkembangan dunia novel semakin berkembang pesat”

(35)

John Lock menyukai cabang kesenian sastra yang berdasarkan pada realitas dan masuk akal. Penggambaran kehidupan manusia dalam karya sastra diungkapkan sewajarnya dengan meyampaikan kebaikan, keindahan maupun kemewahan. Keburukan sebagaimana umumnya berupa kekurangan-kekurangan yang menyertai sifat-sifat manusia tergambarkan tanpa meninggalkan kewajaran. Meskipun demikian, realita kehidupan yang digambarkan sebatas realita yang dibuat oleh pengarang itu sendiri, seperti yang disampaikan Herman J. Waluyo (1994: 38) yang menjelaskan bahwa sesuatu yang digambarkan novel adalah sesuatu yang realistik dan masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan (untuk tokoh yang dikagumi), tetapi juga cacat dan kekurangan.

Pendapat yang tidak jauh berbeda disampaikan tentang isi novel yang terinspirasi dari kehidupan manusia sesuai realita. Virgina Wolf (dalam Henri Guntur Tarigan, 1993: 164) menyampaikan tentang novel bahwa roman atau novel adalah sebuah aksplorasi atau suatu kronik penghidupan, perenungan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan hasil. Kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia.

Novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan perempuan yang bersifat imajinatif, (Henry Guntur Tarigan, 1993: 164).

(36)

sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata, kebenaran yang dimaksud adalah sesuai dengan keyakinan pengarang.

c. Jenis Novel

Jakob Sumardjo dan Saini, (1986: 29) berpendapat bahwa novel dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni novel percintaan, novel petualangan, dan novel fantasi.

1) Novel percintaan merupakan novel yang didalamnya terdapat tokoh perempuan dan pria secara seimbang, bahkan peranan perempuan lebih dominan. Sebagai novel yang dibuat oleh pengarang termasuk jenis novel percintaan dan jenis novel ini hampir terdapat semua tema;

2) Novel petualangan melibatkan peranan perempuan lebih sedikit daripada pria. Perempuan dilibatkan dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan kurang berperan. Jenis novel petualangan merupakan bacaan yang banyak diminati kaum pria karena tokoh pria sangat dominan dan melibatkan banyak masalah dunia lelaki yang tidak ada hubungannya dengan perempuan. Jenis novel ini juga terdapat unsur percintaaan, namun hanya bersifat sampiran belaka; dan

(37)

fantastis artinya tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari atau menyalahi hukum empiris.

Adapun Zaiden Hendy, (1993: 225) membagi novel berdasarkan unsur fiksi dan corak isinya. Berdasarkan unsur fiksi novel dapat dibagi menjadi tiga, yaitu novel plot, novel watak, dan novel tematis.

1) Novel plot atau novel kejadian. Novel ini mementingkan struktur cerita atau perkembangan kejadian. Novel ini biasanya banyak melukiskan ketegangan karena banyak mengisahkan kejadian;

2) Novel watak atau novel karakter. Novel ini mementingkan pengisahan watak atau karakter para pelakunya misalnya penakut, pemalas, humor, pemarah, mudah putus asa, mudah kecil hati, dan sebagainya; dan

3) Novel tematis. Novel ini mementingkan tema atau pokok pesoalan yang sangat banyak, maka novel tematispun bermacam-macam pula. Dari sekian banyak itu digolongkan atau beberapa saja yaitu novel politik, novel agama, dan novel sosial.

Berdasarkan corak isinya, novel dibagi atas novel populer dan novel aktual. Novel populer adalah novel kebanyakan yang ditulis dengan pola tiru meniru karena itu, novel jenis ini sangat banyak dihasilkan. Tergolong dalam novel ini yaitu: novel detektif, novel kriminal, novel western, dan novel silat.

d. Struktur Novel

(38)

perlu dipelajari, jika ingin membandingkan novel dengan kehidupan, atau jika ingin menilai-secara etika atau sosial karya seorang novelis. Kenyataan yang disampaikan dalam karya sastra tidak dapat diukur dengan ketepatan sejumlah fakta tertentu atau dinilai berdasarkan ukuran moral. Realita yang ditampilkan adalah kenyataan keseluruhan dalam dunia fiksi itu sendiri. Dunia yang sebenarnya tidak akan sepadu dunia yang diciptakan dan ditampilkan oleh penulis novel.

Wellek dan Warren, (1993: 283) mengatakan bahwa pada umumnya kritikus yang membedakan novel dengan karya sastra lain akan membedakan tiga unsur pembentuk novel yaitu: alur, penokohan, dan latar.

Robert Stanton (Dalam Sugihastuti dan Rossi Abi Ali Irsyad, 2007: 90) menyinggung tenang struktur novel sebagai berikut;

(39)

permasalahan yang kompleks secara penuh dalam mengkreasikan sebuah dunia yang lengkap.

Stanton (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2001:56) mengatakan bahwa struktur karya sastra terdiri dari 3 unsur yakni tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar. Sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, dan suasana, simbol-simbol, imaji, dan juga cara-cara pemilihan judul. Fungsi karya sastra adalah menggabungkan dua unsur karya sastra yaitu fakta karya sastra dan tema karya sastra sehingga makna karya sastra yang sedang dipelajari dapaat dioahami dengan jelas.

Teeuw (1983: 38) menyebutkan bahwa sistem sastra ada tiga aspek dan sistem sastra oleh A Teeuw disejajarkan dengan pengertian struktur sastra. Tiga aspek sistem sastra itu ialah:

”(1) externe strukturrelation (dalam Plett, 1975: 122), sistem itu tidak otonom tetapi terikat pada sistem bahasa. Si penyair dalam menciptakannya paling tidak sebagian terikat pada sistem bahasa yang dipakainya, tidak hanya pada aspek bentuknya, tetapi pula pada sistem maknanya. Sejauh mana ada kelonggaran dan kebebasannya merupakan masalah yang menarik untuk diteliti, tetapi tidak mudah; (2) interne strukturralation (Plett, 1975: 122), sistem itu merupakan struktur intern, struktur dalam yang bagian dan lapisannya saling menentukan dan saling berkaitan. Sistem itu dapat disebut semacam tata sastra, ”a set of conventions fo reading poetry”...; (3) Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun-susun”.

(40)

Abrams berpendapat fiksi mengarah pada prosa naratif. Fiksi yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering diangkat bersinonim dengan novel. Fiksi atau novel meupakan hasil tiruan dunia nyata dilihat dari kacamata pengarang itu sendiri. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia,dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot (alur cerita), tokoh (penokohan), latar (tempat waktu) dan (peristiwa), sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja, juga bersifat imajinatif. Kesemuanya itu walau bersifat noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengan dunia nyata secara lengkap dengan runtutan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi/terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri. Kebenaran dalam fiksi, dengan demikian ,tidak harus sama dan berarti dan memang tidak perlu disamakan dan diartikan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Hal itu disebabkan dunia fiksi yang imajinatif dengan dunia nyata masing-masing memiliki sistem/hukumnya sendiri (Burhan Nurgiantoro, 2005: 4).

(41)

menyebutkan 21 unsur pembentuk struktur cerita rekaan, yaitu: (1) tema; (2) ketegangan dan pengembangan; (3) alur; (4) pelukisan tokoh; (5) konflik; (6) kesegaran dan atmosfer; (7) latar; (8) pusat; (9) kesatuan; (10) logika; (11) interpretasi (12) kepercayaan; (13) pengalaman keseluruhan; (14) gerakan; (15) pola dan perencanaan; (16) tokoh dan laku; (17) seleksi dan sugesti; (18) jarak; (19) skala; (20) gaya; dan (21) imajinasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan ,bahwa struktur novel merupakan sebuah totalitas yang terdiri dari kesatuan unsur-unsur pembentuknya. Baik unsur intrinsik maupun ektrinsik. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan dan saling menentukan. Tiap-tiap unsur pembangun struktur dapat bermakna jika memiliki keterkaitan dengan keseluruhan. Dengan kata lain dalam keadaan terpisah dari totalitasnya unsur-unsur tersebut tidak bermakna, tidak berfungsi, dan tidak ada artinya

e. Penokohan dalam Novel

Analisis perwatakan pada tokoh tertentu dalam karya sastra dimulai dari bagaimana pengarang novel memperkenalkan tokoh-tokohnya, peran, dan fungsi peran atau penokohannya tersebut. Tokoh yang yang ditampilkan akan dapat dianalisis melalui berbagai hal seperti dialog, perilaku, latar, maupun melalui analisa dari pengarang sendiri melalui tulisannya.

(42)

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan adalah gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Fungsi dan peran tokoh dalam cerita bukan hanya sekedar memainkan peran tetapi harus mampu menyampaikan ide cerita, tema yang terangkai dalam satu jalinan cerita. Jokop Sumarjo (dalam Zainuddin Fananie, 2000: 86) menjelaskan fungsi dan peran tokoh dalam cerita yaitu:

”Sebagian besar tokoh-tokoh karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan pula salah satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang”.

Hubungan antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat sekali dengan bagaimana penerimaan pembaca. Karena pembacalah yang dapat memberi makna yang sebenarnya. Pemaknaan pembaca dilihat dari bagaimana berdialog dengan kata-kata atau dengan sikap tingkah lakunya dilihat berdasarkan oleh kwalitas pribadi tokoh bukan hanya secara fisik saja.

Burhan Nurgiantoro, (1995: 165) menyampaikan pengertian yang berbeda antara penokohan dan tokoh. Pengertian penokohan lebih luas dibandingkan dengan pengertiannya tokoh. Tokoh berhubungan dengan pemeran sedangkan penokohan berhubugan dengan perwatakan pemeran sebagai berikut:

(43)

bagaimana perwatakan tokoh cerita, bagaimana penempatannya dalam cerita, dan pelukisan dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca”.

Wellek & Warren, (1989: 288) menyampaikan pendapatnya tentang adanya perubahan penokohan. Penokohan yang telah didukung oleh penampilan psikis dan fisik dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan keadaan karakterologi yang dijadikan acuan. Tokoh dalam novel dapat menunjukan adanya perubahan tersebut. Ada penokohan statis dan penokohan dinamis atau penokohan berkembang. Penokohan datar (flat characterization) menampilkan satu kecenderungan, yang dianggap dominan atau kecenderungan yang paling jelas secara sosial. Penokohan bulat (round characterization) seperti penokohan dinamik membutuhkan ruang dan penekanan. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi memilki peranan yang tidak sama.

Burhan Nurgiantoro, (2005: 176) memberikan kategori ke dalam beberapa jenis yaitu: (1) dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dibedakan menjadi tokoh utama cerita (central charakter, main charakter) dan tokoh tambahan (paripheral charakter); (2) dilihat dari fungsi penampilan tokoh dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis; (3) berdasarkan perwatakannya tokoh cerita dibedakan ke dalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (complex atau round character);

(44)

dapat dibedakan ke dalam tokoh topikal (typical character) dan tokoh netral (neutral character).

Hal yang sama disampaikan oleh Aminuddin, (2002: 82) bahwa ragam pelaku penokohan sebagai berikut:

”Selain terdapat pelaku utama, pelaku tambahan, pelaku protagonis, dan pelaku antagonis juga terdapat sejumlah ragam pelaku yang lain. Ragam pelaku lain selain ragam pelaku yang telah diungkapkan itu adalah (1) simple character, (2) complex character, (3) pelaku dinamis ,dan (4) pelaku statis”.

Simpel karakter adalah jika pelaku tidak banyak menunjukan adanya kompleksitas masalah. Komplek karakter pelaku yang pemunculannya menunjukan pelaku yang banyak dibebani permasalahan yang komplek. Pelaku dinamis adalah pelaku yang memiliki perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilan. Pelaku statis dalam hal ini adalah pelaku yang tidak menunjukan adanya perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai cerita berakhir.

Sementara itu, Panuti Sudjiman (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005: 53) menyampaikan kedudukan tokoh protagonis dalam cerita yaitu:

”Penentuan tokoh protagonis didasarkan pada kriteria sebagai berikut.. Pertama tokoh yang paling tinggi intensitas keterlibatannya dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Waktu yang digunakan untuk menceritakan pengalaman tokoh protagonis lebih banyak dibandingkan dengan waktu yangdigunakan untuk mengisahkan tokoh-tokoh lain. Kedua tokoh protagonis berhubungan dengan semua tokoh yang ada di dalam cerita, sedangkan tokoh-tokoh lain tidak saling berhubungan. Ketiga, protagonis menjadi pusat sorotan di alam cerita”.

(45)

tokoh-tokoh yang ada yang mewakili karakter-karakter manusia yang dikehendaki tema dan amanat dalam batas kewajaran realita kehidupan manusia.

Zainuddin Fananie, (2000: 87) mengungkapkan model mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang dapat bermacam-macam yaitu: (1) analitik artinya tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang, dengan kata lain pengaranglah yang menganalisis watak tokoh-tokohnya; dan (2) dramatik artinya pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa,perjalanan karier, dan hubungan dengan tokoh-toko lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain.

Lebih lanjut Boulton, (dalam Aminuddin, 2002: 79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup di dalam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi, pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing, sepatu, dan lain-lainnya.

(46)

ceritanya. Secara garis besar ada dua macam cara pendeskripsian karakter tokoh dalam sastra novel seperti yang disampaikan oleh Mursal Esten, (1990: 27) sebagai berikut:

”Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan bagaimana watak tokoh-tokohnya. Kedua secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung menceritakan bagaimana watak-watak para tokohnya. Misalnya melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk-bentuk lahir (potongan tubuh dan sebagainya), melalui percakapan (dialog), dan melalui perbuatan tokoh”.

Lebih rinci dan luas lagi Muchtar lubis dalam Henry Guntur Tarigan (1993: 132-133) menyampaikan tentang cara penggambaran penokohan bukan hanya dari unsur-unsur yang mendukung saja tetapi juga tanggapan dan komentar dari lawan main dan bagaimana tokoh dapat bereaksi terhadap suatu kejadian sebagai berikut: (1) physical deskription (melukiskan bentuk lahir tokoh); secara Portryal of thought stream or of concious thought (melukiskan jalan pikiran tokoh atau siapa saja yang melintas dalam pikirannya); (2) reaction to even (bagaimana reaksi tokoh itu terhadap kejadian); (3) direct outhor analysis (pengarang langsung menganalisis watak tokohnya.

(47)

terhadap tokoh utama, (2) dengan cara melukiskan keadaan sekitar tempat tokoh itu tinggal, (3) dengan cara melukiskan jalam pikiran dan perasaan tokoh-tokoh dalam cerita tersebut, dan (4) dengan cara melukiskan perbuatan tokoh-tokoh tersebut.

Pembaca novel yang berpengalaman sebelum memberi simpulan terhadap karakter tokoh, ia akan cenderung menunda pendapatnya tentang satu karakter tertentu, terbuka menerima petunjuk baru untuk memperkuat penilaian terhadap karakter tersebut. Petunjuk tersebut dapat berupa nama tokoh, deskripsi eksplisit, dan komentar pengarang sendiri terhadap karakter tokoh (Robert Stanton, 2007: 34) mengatakan:

”Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan dari nama karakter tertentu dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu seperti nama (karakter-karakter Dickens) Scrooge yang mensugestikan sifat kikir, pickwick yang humoris, atau Murdstone yang jahat. Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar pengarang tentang karakter bersangkutan. Deskripsi semacam itu selalu membantu kita dalam menvisualisasikan sekaligus memahami karakter tersebut”.

Pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya yaitu: (1) metode analisis atau deskriptif atau langsung; (2) metode tidak langsung atau peragaan atau dramatisasi, ditambah dengan (3) metode kontekstual.

Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga metode tersebut di atas:

(48)

fisiknya), psikis (wataknya), dapat juga keadaan sosialnya (kedudukan dan pangkat) akan tetapi lazimnya adalah ketiga-tiganya.

(2) metode tidak langsung atau metode dramatik. Pengarang tidak memaparkan kehidupan tokoh cerita tetapi pembaca yang menafsirkan karena pengarang ingin memberikan fakta. Pengarang dalam mengambarkan tokohnya ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik,hubungan dengan orang lain,cara hidup sehari-hari, dan sebagainya.

(3) metode kontekstual adalah metode yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan (Herman J. Waluyo, 2002: 167).

Wellek dan Warren, (1989: 287) menjelaskan cara-cara yang paling sederhana dalam pendeskripsian perwatakan adalah dengan pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian dan penghidupan. Character atau tokoh adalah bahan yang paling aktif yang menjadi penggerak jalan cerita. Karakter ini berpribadi, berwatak, dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang tiga dimensional. Tiga dimensi yang di maksud adalah:

(1) Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badani, seperti: (a) usia, tingkat kedewasaan, (b) jenis kelamin , (c) keadaan tubuhnya, (d) ciri-ciri muka.

(49)

(3) Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, meliputi: (a) mentalitas, ukuran moral/membedakan antara yang baik dan tidak baik, (b) temperamen, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan, (c) I.Q. (Intelegen Quotient) tingkat kecerdasan, kecakapan, keahlian khusus dalam

bidang-bidang tertentu (Harymawan, 1988: 25).

(50)

melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya; (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya; (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya. (Aminuddin, 2002: 80).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara atau proses pengarang melukiskan atau menggambarkan watak dari tokoh yang ditampilkan melalui kemampuan jiwanya dan sesuai dengan perwatakan pemeran tokoh dalam cerita.

2. Kajian Tentang Feminisme Sastra

a. Pengertian Gender dan Feminisme

Feminisme terbentuk dari munculnya ketidakadilan gender, gender sendiri ada akibat adanya konstruksi sosial dan kultur sehingga munculah beberapa ciri-ciri biologis yang melekat yang selama ini dianggapnya sebagai ciri-ciri alamiah dan kodrat padahal ciri itu ada setelah mengalami perkembangan waktu dan budaya. Hal itu disampaikan oleh Achmad Muthali’in, (2001: 22) yaitu:

(51)

Feminisme lahir dari adanya ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh perbedaan gender. Nugraheni Eko Wardani, dalam Jurnal Bahasa Sastra, dan Pengajarannya, April 2007 menyampaikan bahwa:

“Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kurtural. Perbedaan ini tidak bersifat biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan ini diciptakan oleh manusia sendiri melalui sistem kebudayaan dan sosial yang panjang. Gender akan tampak melalui perbedaan yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki stereotype kuat, perkasa, dan rasional, sehingga laki-laki tidak boleh melakukan kegiatan yang indektik dengan kehalusan dan kelembutan. Laki-laki yang ambil bagian dalam kegiatan yang secara budaya dan sosial indektik dengan kelembuatan dan kehalusan akan dianggap sebagai laki-laki yang keperempuan-perempuanan. Suatu stigma yang sebetulnya memandang rendah kepada perempuan.”

Perbedaan gender akhirnya dapat melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender memunculkan gerakan feminisme. Gerakan feminisme sebagai gerakan perempuan yang menutut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.

(52)

berimbas pada posisi dan kondisi kaum perempuan) terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Keempat, perempuan menjadi bekerja lebih keras dalam lingkup domestik. Perempuan yang bekerja di luar rumah beban kerja semakin ganda dan berat (mengurus rumah tangga dan bekerja). Kelima, perbedaan gender juga menyebabkan timbulnya kekerasan dan penyiksan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.Keenam, perbedaan dan pembagian gender mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat,dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural bukan kodrat Tuhan.

Selden (dalam Herman J.Waluyo, 2006: 100) menyampaikan pengertian feminisme sebagai berikut:

”Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbadaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine feminism (sebagai aspek perbedaan psikolog dan cultural). Dengan kalimat lain, male dan female mengacu pada seks, sedangkan masculine mengacu pada jenis kelamin dan gender, sebagai he dan she”.

(53)

ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Sugihastuti dan Suharto menyampaikan pemahamannya tentang feminisme yang memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai kegiatan. Menurut Rosalind Delmar, (dalam Irwan Abdullah, 2006: 282) feminismme merupakan suatu paham yang muncul lewat proses kesejarahannya sendiri, yaitu berawal dari fakta-fakta adanya eksploitasi antara kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kelompok berjenis kelamin laki-laki merasa lebih superior dari pada kelompok perempuan. Pemahaman seperti ini haruslah diperbaiki, hal ini disampaikan sebagai berikut,

”Feminisme merupakan faham yang memperhatikan isu-isu yang mempengaruhi perempuan dan memajukan kepentingan perempuan. Maka setiap orang yang mau berbagai perhatian terhadap nasib perempuan adalah feminist. Feminisme bisa juga didefinisikan sebagai active desire to change woman’s position in society atau merupakan paham yang mengatakan perempuan mengalami deskriminasi karena jenis kelaminnya, sehingga mereka memiliki kebutuhan spesifik, di mana untuk memperolehnya harus dengan perjuangan perubahan secara radikal (berakar), maka femisme merupakan par excelence. Seseorang yang memperhatikan isu perempuan tapi tidak mengaku sejarah munculnya pemikiran feminisme, belum dapat disebut feminist“.

(54)

Selanjutnya, Mansour Fakih (2007: 100) memberikan ilustrasi tentang hakikat Perjuangan feminisme untuk kesamaan derajat perempuan dengan laki-laki. Kesamaan derajat pada martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun luar rumah.

‘‘Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki(terutama kelas proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentranformasikan system dan struktur yang tidak adil, menuju system yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan atau hanya dalaam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotype, kekerasan, dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik”.

Murtada Mutahhari, (dalam Alef Theria Wassim http://icas-indonesia.org –ICAS) menyampaikan pemikiran tentang feminisme yang merupakan bentuk kesadaran laki-laki dan perempuan untuk menggubah keadaran akan ketidak asilan gender yang menimpa pada perempuan. Sejarah telah beranggapan bahwa konsep gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan dari hasil konstruksi social dan budaya dan melekat sejak lahir sehingga bersifat alami yaitu,

(55)

Kata seks dan gender dipandang suatu sifat yang melekat pada para perempuan dan laki-laki, sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah. Karena merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural, maka sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, menerima perubahan”.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa feminisme adalah faham/gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan serta menolak segala sesuatu yang menggangap perempuan sebagai konstruksi negatif, sebagai makhluk takluk, tersisih, dan memiliki kemampuan rendah sehingga dengan mudah dapat dikesampingkan dan tidak dihargai.

b. Citra Perempuan

Citra secara umum memiliki makna: (1) rupa, gambar, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan mental/bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam pembahasan karya prosa atau puisi.

Untuk merumuskan citra perempuan Indonesia, perlu adanya pemikiran yang matang. Bagaimana kodrat perempuan, bagaimana peran perempuan dalam keluarga, dalam masyarakat, dan negara aspek kultural, faham falsafahnya, serta bagaimana situasi dan perkembangan Negara.

(56)

1) Citra Perempuan Tradisional

Ciri-ciri perempuan bercitra tradisional antar lain: (1) tidak berpendidikan, (2) kurang rasional, (3) terlalu tergantung pada lelaki, (4) tidak bebas dan terikat adengan keluarga, adat, dan nilai keagamaan secara dogma. 2) Citra Perempuan Modern

Ciri-ciri perempuan modern adalah perempuan yang sudah diresapi oleh pengaruh budaya barat, yang mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) berpendidikan, (2) rasional, (3) tidak statis dan inggin maju, 4) tidak mengantungkan kehidupan kepada laki-laki, (5) lebih mementingkan keadaan, (6) bebas dari ikatan keluarga, adat,dan bersifat individual, (7) ada yang menyeleweng dari ajaran agama.

3) Citra Perempuan Transisi

Ciri-ciri perempuan yang dimiliki oleh perempuan tradisional dan perempuan moder. Perempuan memiliki ciiri-ciri sebagai perempuan kriteria tradisional juga memiliki ciri-ciri pada perempuan tradisional.

(57)

perempuan dan pria menjadi khas dan prinsip perbedaan ini tidak dapat dielakkan lagi. Dalam tingkah lakunya, ciri dasar fisik terekspresi ke dalam berbagai wujud. Perbedaan genotipe dan fenotipe ini kemudian akan memberikan persepsi tersendiri bagi jenis kelamin yang dimiliki sesuai dengan norma genetikal, kultural, dan sosiologis. Secara umum, persepsi kultural terhadap perempuan adalah bahwa perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialiasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan, tapi juga mempengaruhi perkembangan fisis dan biologis selanjutnya. Sementara itu persepsi kultural tentang lelaki adalah secara fisik harus lebih kuat dan lebih besar (Fakih, 2001: 10). Persepsi ini memang lebih menguntungkan sehingga menjadikan lelaki dapat tampil dengan pengaruh yang lebih.

Konsep citra diri dimaknai sebagai gambaran yang dimiliki banyak orang tentang pribadi. Dalam sastra, citra diri diartikan sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat yang merupakan unsur dasar yang khas dalam karya puisi atau prosa (TPBK P3B, 1989: 169). Konsep citra diri dalam sastra ini diantaranya pernah dibicarakan oleh Pradopo (1990), Sugihastuti (1991), dan Soenardjati Djajanegara (1995). http://mwalidin.blogspot.com/2007/12/persepsi-tentang-citra-diri.html

(58)

1) Perempuan dalam Tinjauan secara Biologis dan Psikologis a) Perempuan dalam Tinjauan secara Biologis

Untuk mengetahui citra perempuan perlu diketahui bagaimana perkembangan perempuan secara biologis, baik karakter maupun sikapnya, sedangkan eksisitensi manusia itu sendiri meliputi keberadaan jasmani dan rohani, termasuk cara menghayati dan menyadari hakikat dirinya dengan dunia lingkungannya dengan segala isinya, dan dengan sesama manusia. Kartini & Kartono, (2006: 56) menyampaikan bahwa hakikat manusia hanya bisa berkembang dengan kontak aku-nya dengan yang lain. Jadi manusia itu sebagai pribadi sosial, yaitu pribadi psikologis yang memerlukan antar relasi jasmani dan psikis dengan manusia lain. Perempuan itu ingin dicintai, inggin dihargai, diakui, dan dapat mendapatkan kedudukan dalam kelompoknya. Berdasarkan pendapat di atas maka di dalam kehidupan sosial perempuan merasa menjadi perempuan yang dewasa dan matang apabila telah dapat dimanusiakan oleh orang lain. Dengan kata lain bahwa perempuan akan merasakan kesempurnaan dan kelengkapannya apabila dapat bersama dengan orang lain.

(59)

pamrih dan disertai rasa pengorbanan yang teramat sangat dan penyerahan diri dari seorang perempuan kepada laki-laki.

Tahapan perkembangan fisik perempuan disesuikan dengan fase-fase biologis, diawali dari kelahiran sampai kematian menurut Kartini & Kartono, (2006:49)sebagai berikut:

Keterangan:

0 sampai 25 : periode progresif / ekspansif 25 sampai 50 : periode stationer / statis 50 sampai 70 : periode regresif

Sejak usia 0 tahun sampai kira-kira usia 25 tahun, badan mansia itu terus tumbuh disebut periode pertumbuhan yang progesif/ekspansif, karena bertambahnya substansi. Badan yang besar serta matangnya fungsi tubuh berkembang dengan pesat. Kurang lebih sejak usia 25 sampai 50 tahun. Pertumbuhan berlangsung secara statis, maka pada masa ini disebut periode

0 10 20 30 40 50 60 70

(60)

stationer, tidak adanya pertambahan substansi. Pada masa ini yang ada hanya pengantian substansi secara bologis. Fase usia 50 sampai 70 tahun disebut sebagai periode regresi, dengan kata lain pada usia ini substansi yang digunakan untuk mempertahankan hiidup mulai berkurang. Pada usia-usia tersebut yang ada adalah proses kerusakan daripada kehidupan. Walaupun begitu periode ini bias berlangsung lebih cepat atau lambat dari yang ditujukan dalam kurva di atas. Umpamanya terjadi pada orang yang sakit.

Bertolak pada uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa biologis seorang perempuan dapat ditinjau melalui sifat atau tingkah lakunya dalam kehidupannya.Kesempurnaan dan kelengkapannya akan terlihat apabila bersama dengan subyek lain.

b) Perempuan dalam Tinjauan Secara Psikologis

Tinjauan secara psikologis merupakan usaha untuk memahami bentuk tingkah laku manusia dalam arti yang sebenarnya dari ujud kehidupan manusia. Kartini & Kartono, (2006: 50) berpendapat bahwa tinjauan psikologis bertujuan untuk mengetahui manusia dalam bentuk kemanusiaannya, mempelajari manusia sebagai subjek yang aktif dan mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat tertentu. Untuk mengatahui kemanusiaan diperlukan teknik pengenalan terhadap objek dengan cara bergaul, berdialog, berpartisipasi, serta mengikuti secara teliti perkembangan indiviidu-individu dan kelompok-kelompok sosial tertentu.

(61)

hidup manusia, yaitu: 1) tingkah laku atau semua kegiatan yang dapat diamati; 2) pengalaman; dan 3) kerja atau prestasi dari usahanya. Fase-fase itu terbagi atas: a) masa anak gadis, b) masa perempuan dewasa, c) masa tua.

(1) Masa Anak Gadis

(a) Fase Pra-Pubertas atau Masa Pueral

Adalah masa perempuan yang berusia antara 10 sampai 12 tahun. Pada fase ini ditandai dengan pertumbuhan tubuh yang sangat pesat, perkembangan intelektual yang intensif sehingga minat anak gadis sangat besar terhadap perkembangan ada di sekitarnya.

Munculnya kesadaran yang semakin besar akan kejutan badan sendiri, daya tubuhnya berlangsung secara maksimal. Orang akan

menandai periode ini dengan pertumbuhan yang mempunyai vitalitas besar. Jadi, pada masa ini membutuhkan energi yang sangat besar. Selain itu pada masa ini lebih suka menonjolkan kemampuan tanpa rasa segan. Misalnya kegiatan yang disenangi antara lain: olah raga, bernyanyi, dan bartamasya.

(62)

berkelompok dengan teman-temannya yang sebaya. Mereka merasa lebih sesuai dengan jalan pikirannya.

(b) Fase Pubertas Awal

Adalah umur antara 14-17 tahun. Walaupun pada kenyataan masa pubertas awal seseorang tidak dapat dipastikan kapan mulai dan berakhirnya, tetapi beberapa sarjana menyatakan masa ini terjadi kurang lebih pada usia 14 tahun sampai 19 tahun, muncul bersamaan dengan datangnya haid atau menstruasi. Menstrulasi sebagai satu pengalaman psikis, keluarnya haid merupakan periode si gadis benar-benar siap secara biologis menjalani fungsi keperempuanannya. Yang penting pada masa ini adalah adanya kematangan seksual, walaupun bersifat biologis, namun menentukan sekali sikap anak terhadap diri sendiri dan konstitusi tubuhnya. Ia mencoba berhias, meniru perempuan dewasa, dan adanya perhatian cukup besar terhadap lawan jenisnya. Ia merasa memiliki kemungkinan yang kuat untuk melepaskan diri dari kewibawaan orang tua, mulai mencari nilai-nilai kehudupan yang luhur.

(c) Fase Adolesensi

Gambar

Gambar  1: Alur Kerangka Berpikir
Tabel 1. Rincian Waktu dan Jadwa Kegiatan Penelitian
Gambar 3.  Struktur Kepribadian Menurut Gewald

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan pengaruh pemberian biomaterial selulosa bakteri ( Acetobacter xylinum ) dari limbah ketela pohon ( Manihot

Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya ritual makan dan ritual tari- tarian di dalam tradisi pesta adat mata-rumah Soa Pari, maka masyarakat diaspora tidak akan

This thesis entitles “A Study of Psychopathic Personality through The Leading Character in Thomas Harris’ Novel Hannibal Rising ”. This thesis discusses about the characteristics

Improvement of the accountability of the education organization: Organizing education in collaboration with an international education institution will improve. accountability,

Telah dilakukan penelitian terhadap kombinasi Tween 80 dan Span 80 sebagai emulgator dalam emulgel yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh Tween 80, Span 80,

Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang kesehatan gigi dan mulut dengan kejadian karies gigi pada anak SDN V jateng karanganyar.. Cara Menyikat Gigi Yang

Bahan baku dan tahap-tahap tersebut menjadi titik kritis karena adanya bahaya yang signifikan pada bahan atau tahap tersebut dan tidak ada proses selanjutnya yang dapat

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, penulis dalam penelitian ini akan membatasi ruang lingkup permasalahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi