• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Kajian tentang Novel

4) Feminisme Sosialis

Aliran ini menurut Jaggar (dalam Mansour Fagih, 2007: 91) mengatakan bahwa:

“Feminisme merupakan paduan/sintesa antara metode histories materialis Marx dan Engels dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal. Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk di dalamnya adalah stereotipe-stereotipe yang diletakkan pada kaum perempuan “.

Lebih lanjut Mansour Fakih (2007: 90) menyampaikan tambahan pendapatnya tentang feminisme sosialis sebagai berikut:

”Penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahwa revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan.Atas dasar itu mereka menolak fisi Marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesdaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karen itu analisis patriarki perlu dikawnkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidak adilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi,dan marginalisasi atas kaum peremuan”.

Sejalan dengan pemikiran Mansour Fakih yang membagi aliran dalam empat macam yaitu Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme sosialis, dan feminisme Marxis, Herman J. Waluyo (Jurnal Wanodya, 2000: 1) menyampaikan konsepnya tentang aliran dalam pendekatan feminisme yaitu:

Feminisme Liberal memandang bahwa menurut kodratnya perempuan itu lemah dan kapasitasnya terbatas. Karena itu, perempuan disisihkan dari dunia publik (pendidikan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya), sehingga tidak dapat berkembang dan hak-haknya menjadi terbatas. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan pria.

Karena itu, feminisme liberal menganjurkan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan.

Feminisme Radikal memandang bahwa perbedaan biologis antara pria dan perempuan menjadi sumber apresi dan subordinasi perempuan yang membedakan dari pria. Karena itu, pembebasan perempuan harus diusahakan dengan revolusi biologis-teknologi. Perempuan tidak mengalami penderitaan berkepanjangan karena harus menderita dalam KB, kehamilan, pengasuhan anak, melayani suami, dan urusan” perempuan” yang sebenarnya adalah urusan bersama. Dominasi pria dalam sistem reproduksi perempuan harus dihindarkan karena semua hal tersebut berkaitan dengan perempuan. Institusi sosial budaya dan struktur legalitas politis harus ditumbangkan dari dominasi laki-laki. Perempuan harus bebas memutuskan kapan ia mau atau tidak mau menggunakan alat kontrasepsi, hamil, bayi tabung ataupun kontrak kehamilan. Bukan pria yang menentukan hal itu semua.

Feminisme psikoanalitik (Freud), memandang bahwa akar apresi perempuan adalah pada jiwa perempuan itu sendiri .anak-anak lelaki dibuat sangat tergantung pada ayahnya. Anak laki-laki kemudian mampu melepaskan dominasi ibu dan berintegrasi pada budaya ayah untuk menguasai alam dan perempuan, karena sama-sama memiliki ”penis”, sementara anak perempuan yang tidak memiliki selalu tergantung pada orang lain karena integrasinya tidak sempurna. Perempuan selalu berada

pada perbatasan budaya, tidak dapat menguasai tetapi selalu dikuasai, bahkan perempuan takut akan kekuatannya sendiri.

Feminisme sosialis memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas dan sosialisasi masa kanak-kanaknya. Kalau perempuan ingin memperoleh kebebasan, maka status dan fungsinya dalam struktur harus diubah. Sikap rendah diri perempuan harus diubah untuk memperoleh kepercayaan diri dalam melepaskan pemikirannya dari cara pandang patriarkal.

Feminisme eksistensialis memandang perempuan sebagai the other karena ia bukan perempuan. Perempuan tidak bebas menentukan makna eksistensinya dan hanya menjadi obyek yang eksistensinya ditentukan oleh pria. Karena itu, perempuan harus mendobrak definisi, label, dan esensi yang membatasi eksistensinya dan berusaha untuk dirinya sendiri.

Feminisme paska modern berpandangan bahwa pengalaman perempuan berbeda menurut kelas, ras, dan budayanya. Dogma patriakal harus ditentang melalui penolakan terhadap pemikiran-pemikiran yang tunggal dan simplitis.

Feminisme moderat memandang bahwa kodrat perempuan dan pria memang berbeda yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu, yang penting dalam hubungan pria dan perempuan adalah terciptanya hubungan kemitrasejajaran. Kemitrasejajaran ini adalah merupakan pandangan pokok dari jender.

Sesuai dengan prinsip yang ditawarkan femiisme radikal di atas, Gerarda Sunarsih (Jurnal Wanodya, 2000:1) menjelaskan perlunya pelaksanaan berbagai program untuk menjamin hak reproduksi didasarkan pada pengakuan terhadap hak-hak asasi semua pasangan dan perorangan untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab: jumlah, jarak dan saatnya melahirkan anak-anak mereka serta informasi dan cara-cara yang dibutuhkan untuk meleksanakannya; serta hak untuk mendapatkan derajat kesehatan reproduksi dan seksual yang paling tinggi. Termasuk hal dari semua untuk memutuskan tentang masalah reproduksi, bebas dari diskriminasi, paksaan, dan kekerasan.

Martha Shelly (dalam Mansour Fakih et all, 2000: 226) menyampaikan pendapatnya tentang feminisme radikal yang lebih ekstrim berorientasi bahwa menjadi lesbian adalah terbebas dari domonasi laki-laki, baik secara internal maupun eksternal. Selanjutnya Martha Shelly berkata bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri. Lebih jelasnya disampaikan dengan bahasa Inggris sebagai berikut:

”I have never met a lesbian who was feminist ... I have never met a lesbian who believed that she was innately less rational or capable that a man, … in a male-dominated society, lesbianism is a sign of metal health”.

Hal yang sama disampaikan bahwa Feminisme radikal muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.

Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Gerakan ini adalah gerakan yang sesuai namanya yang "radikal".

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The Personal is Political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan dan teori sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang di- anut suatu masyarakat, suatu kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya.

d. Pendekatan Feminisme dalam Kajian Sastra Novel

Dalam karya sastra baik novel maupun cerpen tokoh perempuan banyak dimarginalkan oleh kaum laki-laki. Perempuan yang dihadirkan dalam karya sastra tersebut perempuan yang kalah tanpa memperhatikan tokoh perempuan baik sebagai makhluk individu maupun sebagi makhluk sosial. Sugihastuti (2005: 77) mengemukakan “Penelitian sastra berprespektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan para perempuan seperti tercermin dalam karya sastra”.

Pertama, kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam karya satsra menunjukkan masih didominasi laki-laki. Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra secra sepintas terlihat bahwa tokoh perempuan dalam karya sastra tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial dan sebagai bagian integral dari susunan masyarakat. Ketiga, masih ada persepsi pembaca karya sastra yang menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan hubungan biologis dan sosial ekonomis semata-mata. Keempat, penelitian sastra khususnya di Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berprespektif feminis.

Menurut Nani Tuloli (2000: 89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan, baik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan feministik. Yang dikaji dalam hubungannya dengan tokoh perempuan adalah: (1) peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonist maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (2)

hubungan tokoh perempuan dengan tokoh-tokoh lainya yaitu tokoh laki-laki dan perempuan lain; (3) perwatakan tokoh perempuan, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan; (4) sikap penulis/pengarang perempuan dan pengarang laki-laki terhadap tokoh perempuan. Feminisme dalam sastra Indonesia masih belum tampak jelas, hanya dalam perkembangan pemikiran-pemikiran yang maju dan modern memang sudah tampak beberapa genre sastra seperti novel, cerpen. Hal itu dapat terlihat dari munculnya pengarang-pengarang perempuan dalam berbagai tulisan. Tulisan-tulisan mereka secara tidak langsung menunjukkan adanya pemikiran ke arah feminisme. Selain itu feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan merupakan upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 2005: 78).

Akan tetapi keinginan untuk memperjuangkan pemikiran ke arah feminisme tidak dapat mengeluarkan sastra dari struktur gender. Sastra menempatkan perempuan sebagai (hanya korban, makhluk yang hanya mempunyai perasaan, dan makhluk yang mempunyai kepekaan spiritual. Dengan kata lain, dibalik nada yang membela terhadap pemikiran feminisme ternyata secara tersembunyi struktur gender yang timpang yang berkuasa, menjadi kekuatan reproduksi gender. Keinginan yang tarik menarik antara karya sastra dapat menjadi penentang subordinasi perempuan dan kenyataan bahwa di dalam karya sastra tersembunyi kekuatan dominan. Beberapa ilmuwan sastra

menggabungkan kritik sastra dan feminisme hasilnya adalah kritik sastra feminisme (Sugihastuti dan Suharto, 2005: 67).

Feminisme dapat menelaah tokoh perempuan dalam kaitannya dengan perjuangan jender dan dapat juga menelaah perjuangan pengarang perempuan dalam prespektif jender. Waluyo dalam Jurnal Dwijawarta, No. 1 ” Feminisme Dalam Pengkajian Sastra ” menjelaskan bahwa telaah tentang tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia mungkin baru merupakan langkah perjuangan kearah feminisme (moderat), yaitu usaha untuk mewujudkan kemitrasejajaran antara pria dan perempuan..

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan feminisme adalah suatu pendekatan pada kritik sastra yang mengkaji tentang kesenjangan jender yang telah mengakibatkan kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang.

3. Kajian Tentang Nilai Pendidikan