• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Kajian tentang Novel

2. Kajian Tentang Feminisme Sastra

a. Pengertian Gender dan Feminisme

Feminisme terbentuk dari munculnya ketidakadilan gender, gender sendiri ada akibat adanya konstruksi sosial dan kultur sehingga munculah beberapa ciri-ciri biologis yang melekat yang selama ini dianggapnya sebagai ciri-ciri alamiah dan kodrat padahal ciri itu ada setelah mengalami perkembangan waktu dan budaya. Hal itu disampaikan oleh Achmad Muthali’in, (2001: 22) yaitu:

“Ciri biologis khusus yang dimiliki perempuan, yang pada umumnya untuk reproduksi, secara sosial maupun kultural direpresentasikan sebagai makhluk yang lemah lembut, emosional sekaligus keibuan, sementara laki-laki dengan ciri fisik yang dimiliki, dipandang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat dikonstruksi secara sosial dan kultural ini dapat dipertarukan. Maksudnya laki-laki dapat memiliki sifat lemah lembut, keibuan, dan emosional. Sebaliknya, perempuan bisa bersifat kuat, rasional, dan perkasa. Pertukaran sifat atau ciri tersebut tergantung zaman, latar budaya, maupun stratifikasi sosial yang mengintarinya. Pada latar budaya dan kelas sosial tertentu, perempuan dikonstruksi untuk mengurus anak dan suami di rumah, sedang laki-laki bekerja diluar rumah. Sebaliknya dalam latar budaya dan kelas budaya yang lain, perempuanlah yang bekerja diluar rumah, sedang laki-laki mengasuh anaknya dirumah. Semua hal yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan perkembangan waktu dan budaya tersebut yang disebut dengan konsep gender. Jadi, bukan ciri biologis yang melekat secara alamiah dan kodrati.

Feminisme lahir dari adanya ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh perbedaan gender. Nugraheni Eko Wardani, dalam Jurnal Bahasa Sastra, dan Pengajarannya, April 2007 menyampaikan bahwa:

“Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kurtural. Perbedaan ini tidak bersifat biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan ini diciptakan oleh manusia sendiri melalui sistem kebudayaan dan sosial yang panjang. Gender akan tampak melalui perbedaan yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan. Laki-laki memiliki stereotype kuat, perkasa, dan rasional, sehingga laki-laki tidak boleh melakukan kegiatan yang indektik dengan kehalusan dan kelembutan. Laki-laki yang ambil bagian dalam kegiatan yang secara budaya dan sosial indektik dengan kelembuatan dan kehalusan akan dianggap sebagai laki-laki yang keperempuan-perempuanan. Suatu stigma yang sebetulnya memandang rendah kepada perempuan.”

Perbedaan gender akhirnya dapat melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender memunculkan gerakan feminisme. Gerakan feminisme sebagai gerakan perempuan yang menutut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender yang berimbas pada posisi yang disandang oleh kaum perempuan. Menurut Fakih, (1997: 147), membagi ketidakadilan terhadap perempuan menjadi enam bagian. Pertama, perbedaan dan pembagian gender termanifestasikan ke dalam bentuk sub-ordinasi kaun perempuan di hadapan laki-laki, terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Kedua, perbedaan dan pembagian gender melahirkan proses marginalisasi perempuan secara ekonomis dan kultur, birokrasi, maupun program-program pembangunan. Ketiga, perbedaan dan pembagian gender membentuk stereotype (bentuk penindasan ideologi dan kultural, dengan lebel memojokkan kaum perempuan sehingga

berimbas pada posisi dan kondisi kaum perempuan) terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Keempat, perempuan menjadi bekerja lebih keras dalam lingkup domestik. Perempuan yang bekerja di luar rumah beban kerja semakin ganda dan berat (mengurus rumah tangga dan bekerja). Kelima, perbedaan gender juga menyebabkan timbulnya kekerasan dan penyiksan terhadap perempuan, baik secara fisik maupun secara mental.Keenam, perbedaan dan pembagian gender mengakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat,dan penerimaan nasib perempuan yang ada.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural bukan kodrat Tuhan.

Selden (dalam Herman J.Waluyo, 2006: 100) menyampaikan pengertian feminisme sebagai berikut:

”Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (women), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbadaan biologis, sebagai hakikat alamiah), masculine feminism (sebagai aspek perbedaan psikolog dan cultural). Dengan kalimat lain, male dan female mengacu pada seks, sedangkan masculine mengacu pada jenis kelamin dan gender, sebagai he dan she”.

Selden, menyampaikan pandanganya tentang gerakan kaum perempuan yang menolak segala sesuatu yang dimarginalkan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial pada umumnya. Lebih lanjut disampaikan oleh Goefe (dalam Sugihastuti Suharto, 2005: 18) menyatakan bahwa Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik,

ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Sugihastuti dan Suharto menyampaikan pemahamannya tentang feminisme yang memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai kegiatan. Menurut Rosalind Delmar, (dalam Irwan Abdullah, 2006: 282) feminismme merupakan suatu paham yang muncul lewat proses kesejarahannya sendiri, yaitu berawal dari fakta-fakta adanya eksploitasi antara kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kelompok berjenis kelamin laki-laki merasa lebih superior dari pada kelompok perempuan. Pemahaman seperti ini haruslah diperbaiki, hal ini disampaikan sebagai berikut,

”Feminisme merupakan faham yang memperhatikan isu-isu yang mempengaruhi perempuan dan memajukan kepentingan perempuan. Maka setiap orang yang mau berbagai perhatian terhadap nasib perempuan adalah feminist. Feminisme bisa juga didefinisikan sebagai active desire to change woman’s position in society atau merupakan paham yang mengatakan perempuan mengalami deskriminasi karena jenis kelaminnya, sehingga mereka memiliki kebutuhan spesifik, di mana untuk memperolehnya harus dengan perjuangan perubahan secara radikal (berakar), maka femisme merupakan par excelence. Seseorang yang memperhatikan isu perempuan tapi tidak mengaku sejarah munculnya pemikiran feminisme, belum dapat disebut feminist“.

Hal yang hampir sama disampaikan oleh Mansour Fakih, (2000: 202) yang memberikan pandangannya tentang feminisme sebagai alat analisis maupun gerakan yang selalu bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksederajatan.

Selanjutnya, Mansour Fakih (2007: 100) memberikan ilustrasi tentang hakikat Perjuangan feminisme untuk kesamaan derajat perempuan dengan laki-laki. Kesamaan derajat pada martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun luar rumah.

‘‘Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki(terutama kelas proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentranformasikan system dan struktur yang tidak adil, menuju system yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan atau hanya dalaam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotype, kekerasan, dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik”.

Murtada Mutahhari, (dalam Alef Theria Wassim http://icas-indonesia.org –ICAS) menyampaikan pemikiran tentang feminisme yang merupakan bentuk kesadaran laki-laki dan perempuan untuk menggubah keadaran akan ketidak asilan gender yang menimpa pada perempuan. Sejarah telah beranggapan bahwa konsep gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan dari hasil konstruksi social dan budaya dan melekat sejak lahir sehingga bersifat alami yaitu,

”Umumnya, feminisme mempunyai artian sebagai "suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik itu di tempat kerja ataupun dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut". Artinya feminisme sedemikian ini biasanya tidak pilah dari artian gender; yaitu "kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa para perempuan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dan tindakan sadar oleh perempuan ataupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut". Dalam perspektif feminisme, kata seks dan gender sering kali dari sisi bahasa dikenal sebagai "jenis kelamin", dan sisi konseptual sering dikenal sebagai bersifat alami, kodrati, dan tidak dapat diubah karena terbawa sejak lahir.

Kata seks dan gender dipandang suatu sifat yang melekat pada para perempuan dan laki-laki, sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah. Karena merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural, maka sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, menerima perubahan”.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa feminisme adalah faham/gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan serta menolak segala sesuatu yang menggangap perempuan sebagai konstruksi negatif, sebagai makhluk takluk, tersisih, dan memiliki kemampuan rendah sehingga dengan mudah dapat dikesampingkan dan tidak dihargai.

b. Citra Perempuan

Citra secara umum memiliki makna: (1) rupa, gambar, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan mental/bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam pembahasan karya prosa atau puisi.

Untuk merumuskan citra perempuan Indonesia, perlu adanya pemikiran yang matang. Bagaimana kodrat perempuan, bagaimana peran perempuan dalam keluarga, dalam masyarakat, dan negara aspek kultural, faham falsafahnya, serta bagaimana situasi dan perkembangan Negara.

A. Wahab Ali, (1989: 123) membagi citra perempuan sebagi tolak ukur dalam beberapa tipe yaitu: