• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Hakikat Novel

3. Unsur Novel

Sebuah karya sastra yang jadi, diibaratkan seperti sebuah bangunan, cerita yang mempunyai struktur atau unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut.15 Struktur luar dan struktur dalam merupakan unsur atau bagian yang secara fungsional berhubungan satu sama lainnya. Apabila kedua unsur tersebut tidak mempunyai hubungan maka ia tidak dapat dinamakan struktur. Struktur karya sastra secara garis besarnya dibagi atas dua bagian, yaitu struktur luar (ektrinsik} dan struktur (intrinsik). Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mengkaji novel, serta karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bagunan sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bagunan cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ini tetap dipandang sebagai suatu yang penting juga.

Ada beberapa unsur ekstrinsik di luar dari karya itu sendiri. Unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang dapat mendukung kehadiran karya sastra. ini berarti menunjukan bahwa karya sastra lahir tanpa adanya kekosongan budaya.

15

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun suatu sebuah karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra imajinasi seorang pengarang. Unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita kepaduan antar-berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.16

Adapun unsur yang termasuk dalam karya ini adalah tema, tokoh dan penokohan, alur (plot), sudut pandang, latar (setting), gaya bahasa, serta amanat. Unsur ini akan dijumpai dalam novel saat kita membacanya.

1) Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.17 Ketika seorang membaca sebuah novel tidak hanya bertujuan semata-mata mencari dan menikmati kehebatan dari cerita tersebut, maka akan tersirat suatu pernyataan yang sederhana. Apa sebenarnya yang ingin diungkapkan pengarang lewat cerita ini?. Menanyakan makna sebuah karya, sebenarnya, juga mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema. Namun isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukan. Ia harus dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data (unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan.

Unsur tokoh (dan penokohan), plot, latar, ini merupakan menjadi padu dan bermakna jika diikat oleh sebuah tema. Tema merupakan bersifat memberi koherensi dan makna terhadap keempat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Dengan

16

Ibid, hlm. 23.

17 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah Unipersity Perss

demikian, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel yang bertugas untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang.

Kata tema sering kali disamakan dengan pengertian topik; padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Topik berarti pokok pembicaraan sedangkan tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam fiksi. Tema sering juga disebut ide atau gagasan yang menduduki tempat utama dalam pikiran pengarang dan sekaligus menduduki tempat utama cerita. Serangkaian pernyataan di atas bahwa tema merupakan sesuatu ide atau gagasan yang telah diuraikan pada tempatnya oleh seorang pengarang.

Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok.18 Jadi dengan demikian tema merupakan suatu pikiran yang akan

diungkapkan oleh seorang pengarang yang akan ditemui oleh setiap pembaca. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan penghianatan manusia terhadap diri sendiri, atau bahkan usia tua.19 Dengan demikian, menentukan sebuah tema haruslah membaca secara cermat dan detail dan menelusuri seluruh cerita, sehingga bisa mengetahui yang menjadi terbangunnya sebuah cerita.Terlepas dari masalah di atas, penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah.

Walaupun penulisan sebuah novel berdasarkan tema atau ide tertentu. Namun, tema itu sendiri pada umumnya tidak di kemukakan dengan secara eksplisit. Maka dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel kita harus memulai dengan cara memahami cerita, mencari kejelasan ide-ide perwatakan,

18

Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Aangkasa, 2008), hlm. 167.

19

peristiwa konflik, dan latar. Di samping menemukan tema, dengan cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha menemukan konflik sentral yang ada dalam cerita, dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Tema dalam sebuah novel dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

a) Tema Utama atau Tema Mayor

Tema pada hakikatnya merupakan makna yang terkandung dalam sebuah cerita atau secara singkat di sebut makna cerita. Makna cerita pada sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu, hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor. Artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu).20

Dalam menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya ,antara sejumlah makna yang kita tafsirkan ada dan tersimpan di dalam karya yang bersangkutan.

b)Tema Tambahan atau Tema Minor

Tema minor atau tema tambahan merupakan makna yang terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makana itu haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol, di samping mempunyai bukti-bukti konkret yang terdapat pada karya itu yang dapat dijadikan dasar untuk penunjukan dan penafsiran sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur.

Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok yang bersangkutan berhubungan sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus,

20

makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu. Sebaliknya, makna-makna tambahan itu bersifat mendukung dan mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.21 Dengan demikian, makna utama keseluruhan cerita mempunyai hubungan yang sangat erat dengan makna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita. jadi makna tambahan atau tema minor bersifat mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor.

Adanya penafsiran tema pokok dan tema-tema tambahan dalam sebuah karya pembacalah sebenarnya yang lebih banyak menentukan berdasarkan persepsi, dan pemahaman.

2) Tokoh dan Penokohan

Berbicara tentang masalah tokoh dan penokohan ini merupakan salah satu hal yang penting kehadirannya dalam sebuah karya sastra dan bahkan sangat menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya sastra tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerakyang akhirnya membentuk alur cerita. tokoh dan penokohan bisa juga dikatakan sebagai tulang punggung dari suatu cerita sebuah karya sastra. prilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk ucapan kebiasaan dan sebagainya. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasan tokoh pemeran suatu cerita.22

Sedangkan tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi)dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan.23 Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa, tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan,

21

Ibid, hlm. 83

22 Zaidan, dkk.,Op. Cit, hlm. 206. 23

keduanya menjadi pembahasan dalam unsur intrinsik pada sebuah karya sastra yang berbentuk prosa. Tokoh dan penokohan merupakan bagian unsur intrtinsik yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk totalitas. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi-novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan.

a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Ketika kita membaca sebuah novel, pasti kita akan dihadapkan sejumlah tokoh yang hadir di dalamnya. Namun, dalam kaitan keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh berbeda. Dilihat dari peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang berperan penting dan ditampilkan terus menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya ada tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.24 Dengan demikian tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh lain, maka ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

Munculnya tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung.

b)Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Jika dilihat dari peran tokoh dalam pengembangan alur cerita atau plot dapat dibedakan tokoh utama dan tokoh tambahan,

24

dan jika dilihat dari pungsi penampilan tokoh dapat dibedakan yaitu: tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan nilai yang ideal bagi kita.25 Serangkaian pernyataan di atas tokoh protagonis merupakan menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan kita, sebagai pembaca.Maka, kita harus mengenalinya sebagai memiliki kesamaan dengan kita, permasalahan yang dihadapinya seolah-olah juga sebagai permasalahan kita.

Sebuah fiksi-novel harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh antagonis yang menjadi penyebab terjadinya konflik.

c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Pengkatagorian seorang tokoh ke dalam sederhana atau bulat haruslah didahului dengan analisis perwatakan.Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja.26 Dengan demikian, sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupan Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton hanya mencerminkan satu watak tertentu.

Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.

25

Altenbernd dan Lewis, dalam Nurgiantoro, Teori Pengkajain Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Perss, 1995), hlm. 178.

26

Dengan demikian, seorang pembaca dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana.

Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin bertentangan dan suit diduga.27 Ada juga yang mengatakan bahwa tokoh bulat adalah tokoh cerita yang sifatnya mempunyai lebih dari satu dimensi.28 Dengan demikian, tokoh bulat tokoh yang sulit dipahami dan kurang akrap serta kurang dikenal kadang-kadang tingkah lakunya sering tak terduga memberikan efek kejutan kepada pembaca.

3) Alur (Plot)

Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.29 Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga menjadi kerangka utama. Dalam pengertian ini, alur merupakan rangkaian-rangkaian cerita yang menjadi tempat lewatnya rentetan suatu peristiwa. Alur merupakan kerangka dasar yang penting dan alur juga bisa dikatakan sebagai tulang punggung cerita.

Kejadian peristiwa dalam cerita dipengaruhi dan dibentuk beberapa hal karakter tokoh, pikiran atau suasana hati sang tokoh, latar, waktu dan suasana lingkungan. Unsur alur yang penting yaitu, konflik dan klimaks. Di dalam novel terdiri dari konflik internal, yaitu pertentangan dua keinginan dalam diri seorang tokoh. Dan konflik eksternal yaitu konflik antara satu tokoh dengan tokoh yang

27

Ibid, hlm. 183.

28Zaidan, dkk., Op. Cit, 206. 29

lain. Ada yang mendeskripsikan bahwa plot atau alur, kadang-kadang disebut juga jalan cerita, ialah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun secara logis. Plot atau alur dibangun oleh beberapa peristiwa yang biasa disebut alur. Unsur-unsur alur meliputi perkenalan, pertikaian, perumitan, klimaks, peleraian, akhir.Unsur-unsur alur tidak selalu berurutan, tetapi ada yang dari tengah dulu, lalu ke peristiwa awal, kemudian berakhir. Ada pula yang dari akhir terus menuju ke tengah kemudian sampai ke awal.30

Dengan demikian, dari kedudukan unsur-unsur inilah, maka ada yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur maju mundur atau alur campuran.

4) Latar (Setting)

Sebuah karya fiksi-novel, pada hakikatnya kita berhadapan dengan dunia, yang sudah dilengkapi dengan tokoh dan permasalahan. Namun, tentu saja hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu. Setiap suatu peristiwa terjadi pasti ada tempat, waktu, hari, tahun, bahkan musim kejadian. Begitu juga dengan halnya latar atau setting sebagai unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra memerlukan ruang, tempat, waktu, dan sosial sebagaimana kehidupan manusia di dunia nyata. Kadang-kadang pembaca tidak terlalu memperhatikan latar, karena lebih terserap asik dan dengan asiknya jalan cerita.

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, seakan menciptakan suasana sungguh-sungguh ada dan terjadi.31

Pelukisan latar dapat dilakukan dengan cara sejalan dan dapat pula digambarkan secara kontras. Maksud penggambaran ini untuk

30

Widjojoko dan Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2006), hlm.46-47.

31

menunjang suasana cerita.latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah dan sungguh-sungguh ada dan terjadi, dengan demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Akan tetapi, tidak semua karya sastra menunjukan ketiga latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin bisa saja dalam sebuah cerita yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada juga yang paling dominan adalah latar sosial dan budaya.

a) Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, dan inisial tertentu. Penggunaan latar tempat dengan nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan pengarang harus menguasai situasi geografis lokasi yang bersangkutan. Namun, tidak semua latar tempat digarap secara teliti dalam berbagai fiksi, novel, cerpen.Latar hanya sekedar terjadinya peristuiwa, dan kurang mempengaruhi perkembangan alur dan tokoh. Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi, ia akan berpindah-pindah tempat sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh.

b)Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.32

Latar waktu dalam sebuah novel dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, suatu yang diceritakan itu harus sesuai dengan perkembangan sejarah, dan pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehinnga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Akhirnya, latar waktu juga dikaitkan dengan latar tempat karena pada kenyataannya memang saling berkaitan.

c) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.33 Dengan demikian latar sosial merupakan tata cara kehidupan masyarakat yang mencakup berbagai pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap di lingkungan masyarakat itu sendiri.

Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi latar sosial berada dalam kepadauan dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan waktu. Ketiga unsur tersebut dalam satu kepaduan jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan dari pada secara sendiri-sendiri.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang (point of view) adalah posisi fisik, tempat pesona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan-gagasan atau peristiwa; merupakan persepektif/ pemandangan fisik dalam ruang

32Ibid, hlm. 230 33

dan waktu yang dipilih oleh penulis bagi personanya, serta mencakup kualitas-kualitas emosional dan mental persona yang mengawasi sikap dan nada. Sudut pandang merupakan salah satu unsur karya sastra yang dikatagorikan sebagai sarana cerita, kehadiran sudut pandang harus diperhitungkan, sebab sudut pandang akan mempengaruhi terhadap penyajian cerita. Sudut pandang pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceriteranya untuk menampilkan pandangan hidup dan tapsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh.34 Maka dari sinilah pengarang akan memainkan peranan seorang tokoh untuk memaparkan dalam suatu cerita. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandng tokoh.

Ada beberapa sudut pandang, tetapi semuanya tergantung dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Di bawah ini jenis-jenis sudut pandang yang dipaparkan oleh Nurgiantoro.

a) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti.35 Hal ini untuk mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. Misalnya, Srintil, Kartareja, Sakarya, dan sakum dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Dalam adegan percakapan antartokoh banyak terdapat penyebutan “aku”, seperti juga “engkau”, sebab tokoh-tokoh

34

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.88

35

“dia” tersebut oleh narator sedang dibiarkan untuk mengungkapkan diri sendiri. Cerita yang dikisahkan secara berselang-seling antara showing dan telling, narasi dan dialog, menyebabkan cerita menjadi lancar, hidup, dan natural. Hal inilah antara lain yang merupakan kelebihan teknik sudut pandang “dia”.36

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterkaitan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terkait, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang di ceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.

Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa sudut pandang “dia” terletak pada seorang narator yang ada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti. Hal ini semuanya untuk mempermudah bagi pembaca.

1) “Dia Mahatahu”

Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersipat mahatahu.37 Dalam teknik mahatahu tersebut bahwa narator mampu menceritakan sesutau baik yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh.

36Ibid, hlm. 257 37

Serangkaian pernyataan di atas jelas menyiratkan bahwa sudut pandang mahatahu menunjukan betapa kuatnya teknik “dia” mahatahu untuk mengisahkan sebuah cerita. Ia merupakan teknik yang paling natural dari semua teknik yang ada, dan sekaligus dikenal sebagai teknik yang memiliki fleksibilitas yang tinggi.

Dokumen terkait