• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Unsur-unsur Puisi

Pada hakikatnya puisi merupakan sebuah karya sastra yang mengungkapkan perasaan penyair secara imajinatif. Menurut Aminuddin (2009: 134), puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah. Menurut Sayuti (2010: 3-4), puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi tersebut mampu membangkitkan pengalaman dalam diri pembaca. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa puisi adalah suatu karya imajinatif yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran pembaca akan pengalaman dan mengandung pesan kepada pembaca.

Menurut Aminuddin (2009: 134-136), dilihat dari bentuk maupun isinya, puisi dapat dibagi menjadi beberapa macam.

1. Puisi Epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan.

2. Puisi Naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa yang menjalin suatu cerita.

3. Puisi Lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya.

4. Puisi Dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu.

5. Puisi Didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya tertampil eksplisit.

6. Puisi Satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.

7. Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.

8. Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih seseorang.

9. Ode, yaitu puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan.

10.Himne, yaitu puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa ataupun tanah air.

Secara umum unsur-unsur puisi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fisik dan batin. Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengkait keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh. Menurut Waluyo (1987: 72-133), yang termasuk struktur fisik, yaitu diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan tata wajah (tipografi), sedangkan yang

termasuk dalam struktur batin, yaitu makna, tema, amanat, feeling, dan suasana. Berikut ini diuraikan masing-masing struktur fisik dan struktur batin puisi.

1. Struktur Fisik

Menurut Waluyo (1987: 72-100), struktur fisik mencakup adalah diksi, pengimajian, kata konkret, majas, versifikasi, dan tata wajah (tipografi). Berikut adalah enam macam unsur yang termasuk struktur fisik.

a. Diksi

Diksi atau pemilihan kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolute dan tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda (Waluyo, 1987: 73). Peranan diksi dalam puisi sangat penting karena kata adalah segala-galanya dalam puisi. Begitu pentingnya diksi dalam puisi, sehingga ada yang menyatakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan puisi.

Abrams (dalam Wiyatmi, 2008: 63), menyatakan bahwa diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan maksud yang diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi atau pilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. Untuk mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.

Berikut contoh puisi yang di dalamnya terdapat diksi berjudul “Karawang Bekasi” karya Chairil Anwar (dalam Waluyo, 1987: 75).

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi b. Pengimajian

Menurut Waluyo (1987: 78), pengimajian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pengimajian disebut juga pencitraan. Sejalan dengan pendapat Effendi (dalam Waluyo, 1987: 80-81), menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau

menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati dapat menyentuh kesejukkan dan keindahan benda dan warna.

Berikut contoh puisi yang di dalamnya terdapat imaji visual dan auditif berjudul “Malam dalam Lamunan” karya Amie ES (dalam Sarumpaet,2002: 143).

Di langit bintang bertebaran

di ujungnya bulan tampak segelintir membisikkan sekelumit resahku mengulir kataku dalam bisu mendera sebuah angan-angan

jengkerik menembang di balik rumput suara khas malam

sunyi di batas lamunan kucari lagi rindu terpisah tak pernah ada dalam lamunan

Pada kutipan puisi di atas, imaji penglihatan terdapat pada barispertama dan imaji pendengaran terdapat pada baris keenam dan kedelapan. Menurut Waluyo (1987: 79), ada tiga macam imaji yang ditimbulkan, yaitu imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita rasa).

c. Kata Konkret

Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Disini kata-kata konkrit dimaksudkan untuk menyaran kepada arti menyeluruh. Hubungannya dengan pengimajian, kata konkret merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian.

Waluyo (1987: 81), mengatakan bahwa dengan kata yang diperkonkret, dapat membuat seorang pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau

keadaan yang dilukiskan oleh penyair. Sebagai contoh dikemukakan oleh Waluyo (1987: 81) tentang bagaimana penyair melukiskan seorang gadis yang benar-benar pengemis gembel. Penyair mempergunakan kata-kata “gadis peminta-minta” contoh lainnya, untuk melukiskan dunia pengemis yang penuh kemayaan, penyair menulis:Hidup dari kehidupan angan-angan yang gembira dari kemayaan ruang. Untuk melukiskan kedukaannya, penyair menulis “bulan di atas tidak ada yang punya/kotaku hidupnya tak punya tanda”. Untuk mengkonkretkan gambaran jiwa yang penuh dosa digunakan; aku hilang bentuk/remuk. Berikut contoh puisi yang di dalamnya terdapat kata konkret berjudul “Doa” karya Amir Hamzah (dalam Waluyo, 1987: 82).

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku? Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya. Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu,

biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu d. Majas

Kehadiran majas dalam sebuah puisi menjadikan sajak-sajak dalam puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Menurut Waluyo (1987: 83), majas atau figurative languagemerupakan bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Bahasa figuratif terdiri atas pengiasan yang

menimbulkan makna kias dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Kiasan atau gaya bahasa memiliki beberapa jenis, di antaranya metafora, simile, personifikasi, hiperbola, sinekdoce, dan ironi, sedangkan yang termasuk pelambangan, yakni lambang warna, lambang benda, lambang bunyi, dan lambang suasana (Waluyo, 1987: 84-89).

1) Metafora

Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan tidak disebutkan jadi ungakpannya langsung berupa kiasan (Waluyo, 1987: 84). Kiasan ini dapat dilihat dari kutipan puisi berjudul “Padamu Jua” karya Amir Hamzah (dalam Sayuti, 2010: 198).

Habis kikis

Segala cintaku terbang hilang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu

Pada kutipan puisi di atas, upaya mengonkretkan Engkau Ilahiah dapat dicermati pada bait II. Di sana dimunculkan pembanding: kandil kemerlap, yaitu pelita yang menyala kelap-kelip. Perbandingan tersebut membuat sifat Tuhan Yang Maha Penerang menjadi lebih nyata dalam rongga imajinasi pembaca, sebab yang terlihat dan terasakan dalam diri pembaca adalahkandilyangkemerlap. 2) Simile

Kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata seperti, laksana, bagaikan, bagai, bak, seumpama (Waluyo, 1987: 84). Kiasan ini dapat

dilihat dari kutipan puisi yang berjudul “Kampung” karyaSubagio Sastrowardojo (dalam Sayuti, 2010: 196).

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik Karena hawa di sini sudah pengap oleh pikiran-pikiran beku

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung Di mana setiap orang ikin bikin peraturan mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan daftar diri di kemantren

Pemakaian kiasan simile dalam kutipan di atas, tampak pada unit sintaksis “hidup di negeri ini seperti di dalam kampung”, yang kemudian diikuti oleh unit-unit sintaksis yang terdapat pada bait-bait berikutnya sebagai penjelas pemakaian simile tersebut: “Di mana setiap orang ikin bikin peraturan / mengenai lalu lintas di gang, jaga malam / dan daftar diri di kemantren”. Pemanfaatan kiasan ini menjadi lebih jelas apa yang hendak diungkapkan dalam puisi tersebut, yakni tentang ketidakbetahan seseorang menghadapi lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun psikis.

3) Personifikasi

Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam yang dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia, benda mati dianggap sebagai manusia (Waluyo, 1987: 85). Kiasan ini dapat dilihat dari puisi berjudul “Surat Untuk Ayah” yang diunduh melaluihttp://www.duniapuisi.com.

Ayah, air mataku bermain-main di atas kertas Ditemani pena yang menari-nari

Meninggalkan jejak tinta di kertas berhelai Aku rindu padamu Ayah.

Mengapa waktu tak kunjung menyerah

Sehingga takdir memberikan keindahan pertemuan Bukankah tak semua harta membahagiakan

Ayah, jangan biarkan aku sendiri Karena memang aku tak sanggup sunyi Menerkam hampa

Di dalam jiwa tanpa sang Imam keluarga

Puisi di atas, personifikasinya berupa pemberian sifat-sifat manusia terdapat pada bait pertama. Pada baris pertamaAyah, air mataku bermain-main di atas kertas dan pada baris kedua Ditemani pena yang menari-nari. Ungkapan personifikatif tersebut berperan dalam membangun keseluruhan dan keutuhan ekspresi puitik.

4) Hiperbola

Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan, penyair merasa melebih-lebihkan hal yang dibandingkan agar mendapatkan perhatian dari pembaca (Waluyo, 1987: 85). Berikut contoh kutipan puisi yang menggunakan kiasan hiperbola berjudul Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar (dalam Pradopo, 2007: 97-98).

Baik-baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapijangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku. Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga. Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau dating Sembarang kau merebah.

Puisi di atas, kiasan hiperbola terdapat pada bait I baris ketiga dan keempat. Bait II dan III dikombinasi dengan penjumlahan, maksudnya untuk lebih

mengintensifkan pernyataan. Dengan demikian, lukisan tersebut menjadi sangat mengerikan dan menakutkan, perasaan dosa menjadi sangat terasa.

5) Sinekdoce

Sinekdoce merupakan kiasan yang menyebutkan sebagian untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian (Waluyo, 1987: 85). Sinekdoce dibagi menjadi dua jenis yaitutotem pro parte danpart pro toto. Disebut totem pro parte apabila menyebut keseluruhan untuk maksud sebagian. Sinekdoce part pro toto apabila menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.

6) Ironi

Ironi adalah pernyataan yang maknanya bertentangan dengan apa yang dinyatakan atau bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran (Waluyo, 1987: 86). Berikut contoh kutipan puisi berjudul Sajak Seonggok Jagung karya W.S. Rendra (dalam Waluyo, 1987: 85).

Apakah gunanya pendidikan

Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing Di tengah kenyataan persoalannya

Apakah gunanya pendidikan Bila hanya mendorong seseorang Menjadi laying-layang di ibu kota Kikuk pulang ke daerahnya?

Kutipan puisi di atas bermaksud penyair ingin menggambarkan kehidupan seorang guru dengan tujuan untuk menyindir guru-guru yang menyelewengkan wewenangnya demi memenuhi kebutuhannya dan melalaikan tugasnya sebagai pendidik generasi muda.

e. Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)

Menurut Waluyo (1987: 90), bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Digunakan kata rima untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya pada akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruha baris dan bait. Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi.

1) Rima

Rima adalah pengulangan bunyi puisi untuk membentuk musikalitas dan orkestrasi. Pengulangan bunyi bertujuan agar puisi menjadi merdu jika dibaca. Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata/ungkapan.Pertama, onomatope merupakan tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Menurut Sutradji (dalam Waluyo, 1987: 91), contoh penggunaan kata-kata onomatope pada puisi seperti: ngiau, huss, puss, wau, haha, dan lain sebagainya. Kedua, bentuk intern pola bunyi. Menurut Boulton (dalam Waluyo, 1987: 92), yang dimaksud bentuk internal ini adalah aliterasi, asonansi, persamaan awal, dan persamaan bunyi pada akhir baris (sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk). Alietrasi merupakan persamaan bunyi konsonan pada suku kata pertama. Asonansi merupakan ulangan bunyi vokal pada kata-kata tanpa selingan persamaan bunyi konsonan. Sajak berselang ialah persamaan bunyi dengan pola /ab, ab, cd, ef, ef/. Sajak berangkai ialah persamaan bunyi dengan pola /aa, bb, cc, dd/. Sajak berpeluk ialah persamaan bunyi dengan pola /abba, cddc, baab/. Ketiga, pengulangan kata/ungkapan. Menurut Boulton (dalam Waluyo, 1987: 93),

menyatakan bahwa pengulangan bunyi/kata/frasa memberikan efek intelektual dan efek magis yang murni.

2) Ritma

Ritma berhubungan dengan bunyi dan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Menurut Muljana (dalam Waluyo. 1987: 94), ritma merupakan pertentangan bunyi tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemas, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan. Ritma puisi berbeda dengan metrum (mantra). Berikut adalah contoh puisi yang di dalamnya terdapat perulangan bunyi berjudul “Salju” karya Wing Kardjo (dalam Aminuddin, 2009: 136-137).

Ke manakah pergi mencari matahari ketika salju turun pohon kehilangan daun Ke manakah jalan mencari lindungan ketika tubuh kuyup dan pintu tertutup Ke manakah lari mencari api ketika bara api padam tak berarti Ke manakah pergi selain mencuci diri

Pada contoh puisi di atas, terdapat perulangan bunyi asonansi atau bunyi vokal /e/ seperti pada baris pertama bait I ke manakah pergi. Perulangan bunyi aliterasi atau perulangan bunyi konsonan /n/ terdapat pada baris keempat bait I pohon kehilangan daun. Puisi tersebut juga terdapat perpaduan bunyi-bunyi antara

setiap akhir bait, sehingga menimbulkan pola persajakan (aa, bb, cc, dd) yang biasa disebut sajak berangkai.

f. Tata Wajah (Tipografi)

Menurut Waluyo (1987: 97), tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, yang biasa disebut sebagai ciri eksistensi sebuah puisi. Berikut adalah contoh tipografi yang terdapat pada puisi berjudul “Pergi!” karya Ayudya W. (dalam puisi terbaik

siswa SMPN 9 Semarang yang diunduh melalui

http://anitamisriyahmissy.blogspot.co.id). Aku ingin pergi

Pergi sejauh planet berputar Aku ingin pergi

Dari semua hal menyakitkan Aku ingin pergi

Walau hanya sekejap Aku ingin pergi

Walau masalah dating tiba-tiba Aku ingin pergi

Merasakan hawa sejuk kedamaian Aku ingin pergi

Untuk lebih bahagia

Menurut Wiyatmi (2008: 71), bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris (bait). Bait dalam puisi tidak terikat oleh aturan-aturan paragraf. Peranan bait adalah untuk menciptakan tipografi puisi dan penekanan gagasan serta loncatan gagasan.

2. Struktur Batin Puisi

Menurut Waluyo (2002: 17), struktur batin mencakup tema, perasaan penyair, nada dan suasana penyair, dan amanat. Keempat unsur tersebut menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.

a. Tema

Tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui puisinya (Waluyo, 2002: 17). Pembaca harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi. Berikut contoh puisi dari Gema Tanah Air (dalam Sarumpaet, 2002: 35).

Rumput kering kemuning terhampar luas.

Gemetar tampak hawa panas atas padang sunyi.

Ah, rumput, akarmu jangan turut Mengering

Puisi di atas bertemakan tumbuhan. Tema bersifat khusus (diacu dari penyair), objektif (semua pembaca harus menafsirkan sama), dan lugas (bukan makna kias yang diambil dari konotasinya). Tema yang banyak terdapat dalam puisi adalah tema ketuhanan (religius), tema kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, dan tema kesetiakawanan.

b. Nada dan Suasana Puisi

Selain tema, puisi juga mengungkapkan nada dan susasana kejiwaan. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca (Waluyo, 2002: 37). Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, belas kasih, takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor

(bergurau), mencemooh, karismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya. Nada patriotik misalnya terdapat dalam puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar.

Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti

Sudah itu mati. MAJU

Bagimu Negeri Menyediakan api.

Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai

Maju Serbu Serang Terjang c. Perasaan dalam Puisi

Puisi mengungkapkan perasaan penyair. Pembacaan puisi dengan suara keras akan lebih membantu kita menemukan perasaan penyair yang melatarbelakangi terciptanya puisi. Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, patah hati, tercekam, takut, dan menyesal (Waluyo, 2002: 40). Perasaan terharu terhadap suatu peristiwa terdapat dalam puisinya Hartoyo Andangjaya yang berjudul “Dari Seorang Guru kepada Muridnya”.

Adakah yang kupunya, anak-anakku selain buku-buku dan sedikit ilmu sumber pengabdianku kepadamu.

Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku aku takut, anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja horison yang selalu biru bagiku

karena kutahu, anak-anakku engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa untuk mengenal ini semua d. Amanat Puisi

Amanat, pesan, atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi (Waluyo, 2002: 40). Sikap dan pengalaman pembaca sangat berpengaruh kepada amanat puisi. Cara menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi puisi yang dikemukakan penyair.

Puisi Hartoyo Andangjaya yang berjudul “Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya” menampilkan kemiskinan hidup seorang guru. Keceriaan di kelas tidak tergambar di rumahnya yang miskin dengan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya, kursi-kursi tua, dan meja tulis sederhana yang tidak pernah diceritakan oleh guru itu di depan kelas. Tema puisi tersebut adalah kritik sosial terhadap pemerintah yang tidak memperhatikan nasib guru. Amanat dari puisi tersebut adalah perbaikilah nasib guru, muliakanlah guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, hormatilah guru yang hidupnya menderita namun tetap berbakti

Dokumen terkait