• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur Religi dalam Pertunjukan Jaran Kepang.

DAN GAMBARAN KELOMPOK JARAN KEPANG BRAWIJAYA BINJA

3.8. Unsur Religi dalam Pertunjukan Jaran Kepang.

Religi adalah segala sistem tingkah -Iaku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuatan makhluk-makhluk halus seperti roh, dewa, dsb. yang menempati alam (Frazer dalam Koentjaraningrat, 1985:27).

Religi dalam suatu masyarakat mempunyai tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan, mengisi kebutuhan atau mencapai kebutuhan bersama, seperti kemakmuran, kebahagiaan dan rasa aman yang berhubungan dengan yang gaib.

Frazer (dalam Koentjaraningrat, 1985:28) menjelaskan mula-mula manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan persoalan hidup di luar batas kemampuannya dan banyak yang tidak ada hasilnya. Maka mulailah ia percaya bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya. Manusia lalu mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu, dengan demikian timbullah religi. Pertunjukan Jaran Kepang mengandung unsur religi, namun tidak sepenuhnya menyandarkan diri kepada makhluk-makhluk halus seperti yang dikemukakan oleh

Frazer. Namun, sangat berkaitan dengan religi orang Jawa dahulunya. Koentjaraningrat (1984:3 10), menjelaskan masalah religi bagi orang Jawa ada yang disebut Islam Santri dan Islam Kejawen. Islam santri, yaitu penganut agama Islam di Jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran- ajaran Islam. Agama Islam Kejawen yang disebut agarna Jawi adalah suatu kornpleks keyakinan dan konsep-konsep Hindhu Budha yang cenderung kearah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai varian dari agama Islam. Sejalan dengan ini, Neils Mulder (19973) menjelaskan sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan kejawen yang telah berusaha mencampuradukkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia, ini) dan alam adikodrati (alam gaib atau supernatural).

Selanjutnya, Koentjaraningrat (1982:340) menjelaskan kebanyakan orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yaitu kesakten (kekuatan sakti), arwah atau roh leluhur dan makhluk-makhluk halus, seperti: memedi, lelembut, serta jin lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan dan dapat pula menimbulkan gangguan. Hampir pada tiap peristiwa yang dianggap penting, baik yang bersifat keagamaan atau kepercayaan, maupun mengenai usaha seseorang dalam mencari penghidupan, pelaksanaannya selalu disertai upacara.

Sedyawati (1981:52) menjelaskan seni Pertunjukan terutama yang berupa tari-tarian dengan iringan bunyi-bunyian, sering merupakan pengembangan dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir. Beberapa fungsi seni pertunjukan di dalam lingkungan ethnik di Indonesia yaitu: (1) pemanggil kekuatan gaib; (2) penjemput roh-roh pelindung; (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; (4) peringatan pada nenek moyang; (5) pelengkap upacara; (6) pewujudan daripada dorongan untuk mengungkap keindahan semata.

Sehubungan dengan uraian yang dikemukakan di atas, seni pertunjukan Jaran

Kepang berfungsi untuk memanggil roh-roh gaib agar terhindar dari gangguan yang

terlihat pada saat kesurupan, mengungkapkan keindahan dan kegiatan yang terorganisir. Pada saat upacara itu berlangsung, kesenian selalu berperan. Pertunjukan Jaran Kepang dipandang masyarakat Jawa dapat menjauhkan dari ganguan makhluk halus. Kehadiran makhluk halus terlihat pada kesurupan penari di saat pertunjukan.

3.9. Kesurupan (Trance)

Kesurupan merupakan salah satu bagian yang menarik di dalam pertunjukan Jaran

Kepang, terjadi kesurupan dipercaya karena makhluk halus atau roh halus memasuki

tubuh penari. Hal itu menyebabkan hilangnya kesadaran penari.

Geertz (1989) mengemukakan "kepercayaan terhadap makhluk halus", bahwa menurut konsep orang Jawa, peristiwa kesurupan disebabkan oleh karena roh-roh halus memasuki tubuh seseorang, sehingga orang yang dimasukinya kesadaran dirinya hilang atau bisa menjadi sakit. Jenis-jenis kesurupan yang dikemukakannya, yaitu: kesurupan tanpa ada permainan musik dan upacara. Kesurupan yang dikemukakan Geertz adalah kesurupan yang terjadi tanpa direncanakan dan tidak diinginkan (diharapkan) agar roh itu merasuki seseorang, dan tidak diketahui kapan saatnya. Tetapi akan diketahui apabila seseorang itu telah menderita sakit atau terganggu dirinya.

Kesurupan yang terjadi pada penari Jaran Kepang, disebabkan endang (roh-roh halus) memasuki tubuh penari. Lebih lanjut, kejadian kesurupan dianggap karena bantuan pawang dan musik. Kesurupan pada para penari Jaran Kepang merupakan kesurupan

yang diinginkan atau diharapkan dan sengaja diciptakan. Remi Sylado (1983:16) menjelaskan orang-orang yang membuat pertunjukan itu percaya, dengan jalan lupa diri atau hilang kesadaran, mereka dapat bersatu dengan roh-roh nenek moyang dan dewa-dewa.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibedakan kesurupan yang dikemukakan Geertz dan kesurupan yang terjadi dalam pertunjukan Jaran kepang, tetapi antara kedua pendapat tersebut mempunyai konsep yang sama tentang terjadinya kesurupan disebabkan roh-roh halus memasuki tubuhnya.

Kesurupan menurut Rouget (1985), sifat-sifat kesurupan (trance budayawi) yang terlatih melalui proses budayawi, adalah sebagai berikut: (1) selalu berkaitan dengan gerakan fisik, (2) selalu berkaitan dengan suasana, (3) terjadi di dalam keramaian, (4) ada krisis, (5) selalu ada yang merangsang pendengaran, (6) berkaitan dengan kehilangan kesadaran, (7) kejadiannya timbul dari kondisi sadar. Sifat-sifat ini terdapat dalam pertunjukan Jaran Kepang.

Selanjutnya Kartomi (1973:166) menjelaskan, trance (kesurupan) yang bersifat pengalaman kelompok (trance rakyat) dibuat secara sengaja menurut keperluan masyarakat. Fungsinya untuk membuat rasa aman, melepaskan ketegangan emosional, dan memenuhi keinginan bertemu dengan leluhur dan roh-roh lain. Di dalam kondisi

trance (kesurupan), misalnya dapat memperlihatkan nafsu, masyarakat dapat

memperlihatkannya secara terbuka. Perilaku di dalmn trance dapat berfungsi sebagai katub pengaman psikologis dan dalam kondisi trance nafsu dianggap tidak perlu dikendalikan. Begitu juga dengan Jaran Kepang, walaupun ada Pawang yang mengendalikan, tetapi orang yang kesurupan tidak dianggap harus bertanggung jawab untuk perlakuan tubuhnya.

3.10. Selamatan.

Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah diberikan doa sebelumnya dan dibagi-bagikan (Koentjaraningrat, 1995:347). Upacara selamatan diadakan berkaitan erat dengan kepercayaan kepada kekuatan sakti dan makhluk-- makhluk halus. Diadakannya upacara ini ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun biasanya upacara ini dipimpin oleh scorang yang faham akan doa-doa dan bacaan AlQuran.

Selarnatan diadakan berkaitan dengan kegiatan hidup sehad-hari, yaitu: (1) dalam rangka lingkaran hidup seperti, kelahiran, sunat, perkawinan dan kematian, (2) bersih desa, panen padi, (3) berhubungan dengan bulan-bulan kalender Islam seperti pada saat tahun baru Islam (4) pada saat yang tidak- tertentu, seperti menempati rumah baru dan sembuh dari sakit. Melalui upacara selamatan biasanya diadakan pertunjukan kesenian, seperti: wayang dan Jaran Kepang. Upacara selamatan yang menggunakan Jaran

Kepang di Kelurahan Tanjung Sari menurut heristina dewi terjadi pada acara perkawinan,

sunatan dan panen. Pertunjukan kesenian seperti Jaran Kepang diadakan setelah acara makan bersama atau keesokan harinya. Di kota Binjai sendiri pertunjukan jaran kepang juga dilaksanakan pada acara selamatan seperti sunatan, pernikahan, janji setelah sembuh dari sakit dan pada saat tahun baru Islam.