• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Terhadap Struktur Musik Dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawujaya Di Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Terhadap Struktur Musik Dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawujaya Di Binjai"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP STRUKTUR MUSIK DAN

PERTUNJUKAN JARAN KEPANG KELOMPOK

BRAWUJAYA DI BINJAI

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan O

l e h

NAMA: AGUS FREDDY SIMAMORA NIM : 050707014

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(2)

KAJIAN TERHADAP STRUKTUR MUSIK DAN

PERTUNJUKAN JARAN KEPANG KELOMPOK

BRAWUJAYA DI BINJAI

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA: AGYS FREDDY SIMAMORA NIM : 050707014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Muhammad Takari, M.Hum. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032010 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Medan, 10 Juni 2010

Departemen Etnomusikologi

Ketua,

Dra. Frida Deliana, M.Si.

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia ujian Fakutas Satra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi

salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada

Fakultas Sastra USU Medan.

Pada tanggal :

Hari

:

Fakultas Sastra USU

Dekan,

Prof.Syaifuddin, M.A, Ph.D.

NIP 196509091994031004

Panitia Ujian :

No. Nama

Tanda Tangan

1. Dra. Frida Deliana, M.Si.

( )

2.

Dra.

Heristina

Dewi,

M.Pd.

( )

3.

Dr.

Muhammad

Takari,

M.Hum.

( )

4.

.

(

)

(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena

Kasih dan Karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga saya dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Kemudian saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya

yang telah memberikan kasih sayangnya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan

skripsi dan juga kuliah saya dan juga kepada kedua abang saya yaitu : Simon Erikson dan

Ferryanto yang juga telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya selama saya

kuliah.

Kepada Dekan Fakultas Sastra, dosen-dosen, staf pengajar serta pegawai di

lingkungan Departemen Etnomusikologi USU Fakultas Sastra saya mengucapkan terima

kasih karena telah memberikan ilmu-ilmu kepada saya di dalam perkuliahan, juga

mebantu saya dalam menyelesaikan urusan administrasi. Juga kepada dosen pembimbing

saya Bapak Takari dan Ibu Heristina yang telah memberikan bimbingan kepada saya

untuk dapat menulis skripsi.

Juga kepada teman-teman kuliah saya di Etnomusikologi yang telah menjadi

teman diskusi, yang juga telah banyak membantu saya di dalam menyelesaikan kuliah

serta skripsi saya. Juga kepada teman-teman saya pada saat sekolah dulu yang juga telah

banyak memberikan semangat dan dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi

ini.

Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para informan saya di grup

kuda kepang Brawijaya yang telah membantu saya menyelesaikan tulisan ini, yang tidak

lelah menjawab pertanyaan saya mengenai kuda kepang, tidak bosan melihat saya

(6)

berkunjung ke rumah, tidak lelah berulang-ulang untuk merekam musik untuk saya

transkripsi. Juga telah banyak memberikan nasehat-nasehat kepada saya.Kepada Pak

Trisno, Pak Wage, Bang Tongat, Ade serta pemain kuda kepang di grup Brawijaya yang

lain.

Demikianlah ucapan terima kasih saya kepada semua pihak yang telah membantu

saya untuk menyelesaikan skripsi ini, mungkin tidak semua saya sebutkan semua tetapi

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang. 1

1.2. Pokok permasalahan. 15

1.3. Tujuan penelitian. 16

1.4. Manfaat Penelitian. 16

1.5. Konsep dan Teori yang Digunakan 17

1.5.1 Konsep. 17

1.5.2 Teori. 20

1.6. Metode Penelitian. 24

1.7.1 Pemilihan Lokasi Penelitian. 24

1.7.2 Pemilihan Informan. 25

1.7.3. Kerja Lapangan. 26

1.7.4. Studi Kepustakaan. 26

1.7.5. Kerja Laboratorium. 29

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DALAM WILAYAH BINJAI YANG MENDUKUNG KEBERADAAN JARAN KEPANG

2.1. Daerah Kebudayaan Jawa 30

2.2. Sistem Kekerabatan 35

2.3. Upacara-upacara 37

(8)

2.4.2. Upacara Perkawinan Adat Jawa 39

2.5. Kesenian 41

2.5.1. Reog Ponorogo 41

2.5.2. Teater Ludruk 42

2.5.3. Teater Ketoprak 44

2.5.4. Tari Gambyong 46

2.5.5. Tari Bedhoyo Ketawan 48

2.5.6. Wayang Wong 54

2.5.7. Wayang Kulit 60

2.5.8. Musik atau Karawitan 62

2.6. Gambaran Umum Kesenian Jawa di Sumatera Utara 63

2.6.1. Sumatera Utara 63

2.7. Kota Binjai 74

2.7.1. Lokasi Penelitian Kota Binjai 74

2.7.2. Sejarah Kota Binjai 74

2.7.3. Batas-batas wilayah administratif Kota Binjai. 78

2.7.4. Iklim 78

2.7.5. Keadaan Penduduk 79

2.7.6. Tenaga kerja 80

2.7.7. Fasilitas Untuk Masyarakat 80

2.7.8. Kesenian 81

BAB III JARAN KEPANG DALAM KEBUDAYAAN JAWA DAN GAMBARAN KELOMPOK JARAN KEPANG BRAWIJAYA BINJAI

3.1 Jaran Kepang dalam Kebudayaan Jawa 82

3.2. Sejarah 82

3.3. Variasi Jaran Kepang di Beberapa Daerah 84

(9)

3.5. Persebaran jaran Kepang 87

3.6. Jaran Kepang sebagai Seni Pertunjukan 94

3.7. Unsur Seni dalam Pertunjukan Jaran Kepang. 95

3.8. Unsur Religi dalam Pertunjukan Jaran Kepang. 98

3.9. Kesurupan (Trance) 100

3.10. Selamatan. 101

3.11. Simbolisme dan Makna 102

3.12. Perubahan Kebudayaan. 103

3.13. Awal Terbentuknya Kelompok Jaran Kepang Brawijaya 107

3.14. Manajemen Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 110

3.15. Struktur Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 111

3.16. Seleksi Penerimaan Anggota. 112

3.17. Penentuan Jadwal Latihan. 113

3.18. Pembagian Honor 114

3.19. Proses Kesepakatan Mengundang Kelompok

Jaran Kepang Brawijaya 115

BAB IV ANALISIS SENI PERTUNJUKAN KELOMPOK JARAN KEPANG BRAWIJAYA.

4.1. Jaran Kepang. 115

4.2. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan. 116

4.2.1. Tempat Pertunjukan. 116

4.2.2. Waktu Pelaksanaan Pertunjukan. 116

4.3. Pendukung Pertunjukan. 117

4.3.1. Penari. 117

4.3.2. Pemain Musik. 117

4.3.3. Pawang. 119

(10)

4.3.4.a. Penonton Biasa. 119

4.3.4.b. Penonton Dari Kelompok Jaran Kepang yang Lain. 120

4.3.5. Pengeras Suara. 120

4.4. Perlengkapan Pertunjukan. 121

4.4.1. Panggung. 121

4.4.2. Kostum. 121

4.4.3. Tata Rias. 122

4.4.4. Jaran Kepang. 122

4.4.5. Barongan. 122

4.4.6. Pecut. 123

4.4.7. Pentul atau Topeng. 123

4.4.8. Tungku Membakar Kemeyan. 124

4.5. Bahan Pertunjukan. 124

4.5.1. Macam-macam Bunga. 124

4.5.2. Kemeyan. 124

4.5.3. Minyak Wangi. 125

4.5.4. Arang. 125

4.6. Alat Musik yang Dimiliki Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 125

4.6.1. Saron. 125

4.6.2. Demung. 126

4.6.3. Gong. 126

4.6.4. Kendang. 127

4.6.5. Slenthem. 128

4.7. Deskripsi pertunjukan. 128

4.8. Analisis Pertunjukan Jaran Kepang Grup Brawijaya. 132

BAB V ANALISIS STRUKTUR MUSIK

(11)

5.1 Lagu-lagu yang Digunakan 143

5.3 Struktur Melodi Lagu Jatilan 144

5.4 Struktur Melodi Lagu Es Lilin 155

5.5. Struktur Melodi Lagu Ijo-ijo 165

5.6. Struktur Melodi Lagu Reog Ponoragan. 174

5.7. Struktur Melodi Lagu Waru Doyong. 183

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan 193

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi dari 33 provinsi yang terdapat di Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara historis, Sumatera Utara merupakan daerah

tempat tujuan berbagai kelompok etnik merantau atau bermigrasi. Misalnya orang

Minangkabau, Aceh, Banjar, dan Jawa.

Sumatera Utara sejak zaman Belanda, tepatnya di abad ke-19 adalah sebuah

kawasan yang terkenal akan perkebunan, terutama tembakau yang dikenal sebagai

tembakau Deli. Perkebunan ini dibuka oleh seorang pengusaha (maskapiij) Belanda yang

bernama Yakobus Nienhuys. Perkebunan-perkebunan milik Belanda ini melibatkan

masyarakat setempat seperti Melayu, Karo, dan Simalungun. Namun karena kurang

cepatnya perkembangan perkebunan, maka Belanda mendatangkan tenaga kerja (koeli

kontrak) terutama dari Pulau Jawa. Begitu pula mereka mengambil tenaga kerja yaitu

orang-orang Tionghoa maupun keturunan India baik dari Pulau Pinang Malaya, maupun

dari Pulau Jawa sendiri (lihat Karl J. Pelzer 1978).

Sejak dibukanya perkebunan ini di abad ke-19 maka perkembangan Sumatera

Utara sebagai pusat ekonomi di Nusantara begitu pesat. Banyak perantau yang datang ke

kawasan ini. Akhirnya sejak saat itu, Sumatera Utara dihuni oleh tiga kategori kelompok

etnik, yaitu etnik setempat, etnik pendatang Nusantara, dan etnik pendatang dunia. Yang

pertama, etnik setempat terdiri dari: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak

Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir (Tapanuli Tengah dan Sibolga), dan Nias.

Kadang-kadang dimasukkan pula etnik Lubu dan Siladang di Tapanuli bahagian Selatan. Yang

(13)

Jawa, Ambon, dan lain-lain. Yang ketiga, adalah etnik-etnik pendatang dunia seperti

Hokkian, Khek, Kwong Fu, Hakka, yang lazim disebut keturunan China. Begitu juga

dengan Tamil, Benggali, Hindustani, dan lainnya yang lazim disebut keturunan India,

serta Arab dan beberapa etnik Eropa. Dengan komposisi yang demikian, Sumatera Utara

merupakan tempat bertemunya berbagai budaya setempat, Nusantara, dan Dunia, dalam

bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa sekarang ini, etnik yang jumlahnya mayoritas di Sumatera Utara

adalah etnik Jawa, yang berkisar lebih dari 30% dari sekitar 13 juta jiwa. Jumlah

etnik-etnik lain adalah di bawah jumlah tersebut. Namun demikian, etnik-etnik Jawa di Sumatera

Utara ini dapat diterima oleh etnik lainnya, karena faktor mudahnya orang jawa

beradaptasi dengan lingkungan sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.

Orang Jawa sangat menjunjung harmoni sosial, dan cenderung menghindari

konflik terbuka. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi

yang harus merasa dihormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan

Jawa, untuk menjaga harmoni sosial di mana pun mereka berada. Mereka sebahagian

besar adalah golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi

menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan santri

(golongan alim ulama), priyayi (bangsawan), dan abangan (rakyat biasa).

Di Sumatera Utara, akhirnya orang-orang Jawa ini menerapkan strategi budaya

adaptasi. Orang Jawa di Sumatera Utara, menyebut dan disebut sebagai Pujakesuma,

yaitu Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Mereka tetap memelihara kebudayaan yang dibawa

dari Jawa, termasuk kesenian. Di antara kesenian Jawa di Sumatera Utara yang terus

hidup dan berkembang hingga sekarang ini adalah: ketoprak, ronggeng Jawa atau tayub,

ludruk, ketoprak dor, reyog Ponorogo, terbangan, kasidah, dan yang paling terkenal

(14)

Menurut penjelasan informan Pak Slamet (wawancara Juli 2009) dalam sejarah

kebudayaan Jawa, jaran kepang atau yang lazim juga disebut dengan kuda kepang, kuda

lumping, jathilan, atau ebeg, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan masyarakat

Jawa. Asal-usulnya, menurut cerita rakyat Jawa, kesenian jaran kepang merupakan

bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran

Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda, dalam Perang Diponegoro tahun

1825-1830. Versi cerita yang lain menyebutkan, bahwa kesenian jaran kepang

menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga,

melawan penjajah Belanda. Cerita lain menyebutkan bahwa, kesenian jaran kepang ini

mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku

Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Ketiga versi cerita rakyat itu berkaitan erat dengan perang rakyat Jawa menentang

penjajah Belanda di masa Mataram Islam. Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya,

jaran kepang merefleksikan semangat kepahlawanan dan aspek kemiliteran sebuah

pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmik, dinamis, dan

agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di

tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan jaran kepang, juga menampilkan atraksi yang

mempertontonkan kekuatan supranatural yang bersuasana magis, seperti atraksi

mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas

pecahan kaca, dan lain-lain.Atraksi seni ini mengekspresikan kekuatan supranatural yang

pada zaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa, dan merupakan

aspek bukan militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Selain itu, dalam rangka hubungan antara bangsawan dan rakyat kebanyakan,

(15)

antara golongan kaum kraton atau kelas atas yang mempunyai kebudayaan adi luhung

(super culture, high culture) yang berkembang di kerajaan, dengan golongan kaum

bawah yang mempunyai kebudayaan rakyat (folk culture) yang umumnya berkembang di

desa-desa. Akibat kesenjangan ini, timbullah perselisihan antara dua golongan tersebut,

yang tentu saja golongan kelas bawah yang banyak mendapat kerugian. Kemudian

timbullah perasaan tertekan yang semakin lama semakin mendalam, yang akhirnya

timbul keputusasaan dan pasrah karena tidak dapat berbuat apa-apa sehingga

menimbulkan kompensasi dan timbul ketegangan-ketegangan. Untuk melepaskan atau

sekedar melupakan perasaan tertekan tersebut, walaupun hanya sesaat, maka rakyat

kebanyakan menciptakan seni sebagai wujud ketertekanan sosial yang dilakukan pihak

bangsawan, yaitu melalui seni jaran kepang.

Lahirnya jaran kepang mendapat pertentangan dari golongan kaum yang lain.

Salah satunya adalah kaum santri yang mengatakan bahwa kesenian ini bertentangan

dengan nilai-nilai religius karena adanya pengendalian syaitan (roh halus) . Pertentangan

tidak hanya didapat dari kaum santri saja, kaum priayi juga menganggap kesenian ini

kasar dan cabul (Syarbaini 1996:34).

Di zaman perjuangan kemerdekaan, awal abad ke-20 sampai tahun 1940-an, jaran

kepang berubah menjadi alat perjuangan oleh para pejuang kemerdekaan. Pada saat

pertunjukan jaran kepang dilakukan yang ditonton oleh masyarakat sekitar, maka tempat

pertunjukannya sengaja dibuat di dekat benteng penjajah. Sehingga pada saat pertunjukan

berlangsung, salah satu anggota jaran kepang memasuki benteng tersebut tanpa dicurigai

untuk mengetahui kekuatan musuh. Setelah itu mereka menyampaikannya kepada para

pejuang kemerdekaan. Mereka juga menyebarkan semangat juang dengan bahasa daerah

(16)

menggunakan bahasa daerah sehingga kaum penjajah tidak mengetahui maksud dan

artinya (Syarbaini 1996:35).

Di dalam masyarakat Jawa sendiri, menurut penjelasan informan di Binjai yaitu

Pak Slamet, Pak Ponomin, Pak Ngatino, Pak Ngoweh, Pak Trisno, Bang Adi dan Bang

Tongat, jaran kepang juga dikenal dengan nama yang lain salah satunya adalah

Banyumasan. Dikatakan demikian karena jaran kepang dulunya sangat terkenal dari

daerah Banyumas sehingga banyak mengidentikkan bentuk kesenian ini dengan daerah

tersebut (hasil wawancara dengan para informan yaitu Pak Ngoweh, Pak Trisno, Pak

Slamet, Pak Ngatino, Pak Adi, Juli 2008). Selain dari keterangan itu ada penyebutan

yang lain dari jaran kepang yaitu jathilan. Disebut demikian karena ada salah satu

penyebutan irama sekaligus nama repertoar yang selalu dimainkan setiap pertunjukan

jaran kepang, jadi boleh dikatakan tanpa ada reperoar Jatilan maka jaran kepang kurang

rasanya penampilan mereka. Para informan mengatakan tanpa Jatilan akan sulit

memasukkan endang yaitu roh dalam sistem kosmologi Jawa, ke dalam tubuh anak

wayang atau penari dalam jaran kepang. Memang menurut keterangan Pak Trisno dan

Pak Wage dahulu bukan lagu jathilan yang digunakan untuk mengiringi anak wayang

untuk menari (penari) melainkan lagu waru doyong namun dikarenakan lagu ini bersifat

lambat dan halus sehingga tarian yang tercipta dari lagu ini sangat lamban dan halus

bertolak belakng sekali dengan jaran kepang yang menggambarkan kasar , keras dan

cepat. Menurut Pak Trisno dan Pak Wage karena sebab itulah lagu waru doyong tidak

lagi digunakan untuk mengiringi tarian dan lagu jathilan dipilih mejadi lagu untuk

menngiringi tarian kuda kepang.

Berikutnya ada penyebutan lain yaitu ebeg, yaitu penyebutan jaran kepang dari

daerah Jawa Tengah (hasil wawancara dengan Wahyu, Paklek Dut, Pak Ngoweh, Pak

(17)

sama dengan kuda kepang. Menurut Paklek Dut yang merupakan seorang pemain

kendhang kuda kepang di grup yang lain, mengatakan bahwa kata ebeg merupakan

pengucapan halus terhadap kuda kepang. Menurut Paklek Dut karena asal oarang jawa

adalah di Pulau Jawa dan bermigrasi ke daerah Sumatera Utara memang banyak

membawa kebudayaan jawa, tetapi dalam hal bahasa banyak yang mereka lupakan, sebab

menurutnya jika mengikuti tutur kata jawa yang halus sangat sulit, jadi kami

menggunakan bahasa jawa yang kami bisa pahami atau yang biasa kami sebut dengan

bahasa jawa kasar. Memang bahasa jawa kasar masih sering digunakan leh masyarakat

jawa tetapi sejauh ini selama melakuka penelitian hampir seluruh informan mengatakan

kalau bahasa jawa halus sudahsangat jarang digunakan karena banyak kosakata yang

sudah dilupakan.

Penyebaran jaran kepang ke luar daerah terjadi ketika zaman yang disebut

dengan koeli koentrak. Pada saat itu beberapa masyarakat Jawa ada yang berharap ingin

merubah kehidupannya. Harapan tersebut tercapai ketika kolonial Belanda beserta para

pengusaha-pengusaha Belanda datang ke Indonesia dan membuka lahan perkebunan di

Pulau Sumatera. Karena tergiur dengan angan-angan muluk akan janji kehidupan yang

lebih baik yang nantinya dapat mewujudkan kehidupan yang lebih mapan daripada

kondisi mereka di pulau Jawa maka dengan sukarela mereka mengikuti arus imigrasi ke

daerah Nusantara termasuk Sumatera dalam jumlah yang besar.

Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan

mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan

dari daerah asal sampai di tempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah

lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah

(18)

Jaran kepang menggabungkan unsur musik, tari, dan ilmu gaib (supranatural).

Hal ini terlihat pada saat pertunjukan berlangsung. Unsur musik pada jaran kepang

diwakili oleh keberadaan alat-alat musik seperti saron, demung, kendang, dan gong serta

di beberapa grup ada yang menggunakan penyanyi atau sering disebut sindhen.

Musik yang dihasilkan, digunakan untuk mengiringi tarian yang dilakukan

beberapa penari yang disebut anak wayang. Jumlah mereka selalu ganjil, dengan pakaian

menari seperti celana pendek sepanjang lutut, yang menggunakan rompi. Di kepala

mereka ada hiasan yang terikat disebut ira-ira. Pada saat menari, anak wayang

menyelipkan di bagian selangkangan mereka kuda-kudaan yang terbuat dari bambu atau

plastik. Dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang selendang

yang terikat di pinggang yang digerak-gerakkan sedemikian rupa mengikuti irama musik.

Namun berbeda halnya dengan pemimpin anak wayang yang disebut dengan pemayung.

Di tangan kanannya dia memegang cambuk atau sering disebut pecut. Pecut adalah

sejenis tali yang terbuat dari plastik atau bahan lainnya yang digunakan untuk

memancing anak wayang trance atau mabok atau jeplak. Masyarakat Jawa di daerah

penelitian lebih sering menyebutnya dengan cambuk. Warna kuda yang digunakannya

berbeda dari penari yang lain , biasanya warna kudanya putih.

Dalam beberapa grup ada penambahan penari yang tidak memegang kuda-kudaan

tetapi memakai topeng yang berkarakter wajah manusia. Jumlah mereka tergantung dari

keseluruhan jumlah anggota dalam grup jaran kepang. Juga ada penambahan penari

yang membawa benda yang berbentuk wajah singa yang di bagian belakangnya ada

lembaran kain, panjangnya kira-kira dua sampai tiga meter. Benda ini biasanya

dibawakan oleh dua atau tiga orang. Benda tersebut adalah barongan. Namun ada

(19)

kepada nama roh halus atau yang biasa disebut oleh mereka endang. Jadi singo barong

adalah nama roh halus yang ada di barongan.

Ilmu gaib digunakan pada saat klimaks dari pertunjukan jaran kepang. Anak

wayang menari tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri, tetapi ada kekuatan yang berasal

dari dalam dirinya yang menggerakkan tubuhnya untuk menari dan bertingkah laku yang

tidak sesuai dengan keadaan sehari-harinya. Hal ini terjadi karena tubuh mereka telah

dimasuki roh halus yang disebut endang. Proses ini terjadi dengan bantuan seseorang

yang mempunyai pengetahuan khusus dan berpengalaman tentang roh halus yang disebut

pawang atau gambuh. Pada masa sekarang, kepercayaan tentang makhluk halus ini juga

terdapat dalam aliran kepercayaan Kejawen.

Bentuk pertunjukan jaran kepang dimulai dengan tarian persembahan, Para

penari menari diiringi musik yang di selangkangan mereka membawa kuda-kudaan yang

dipegang tangan kiri. Tujuan dari tari persembahan ini adalah meminta izin dari

penguasa (alam gaib) yang ada di bawah dan di atas bumi--di tempat mereka melakukan

pertunjukan. Sekaligus memberitahu tujuan mereka di tempat tersebut adalah untuk

menghibur, bukan untuk mengganggu (wawancara dengan Pak Trisno Mei 2008).

Setelah itu, dilanjutkan dengan pembakaran kemenyan oleh pengendali

pertunjukan atau yang disebut dengan pawang. Tujuannya adalah untuk memanggil

arwah-arwah yang akan memasuki tubuh penari. Setelah berganti kostum, para penari

mulai menari yang tujuannya untuk memasukkan arwah atau disebut endang ke dalam

tubuh mereka. Pergantian kostum ini terjadi tergantung dari keadaan masing-masing

kelompok jaran kepang. Jika mempunyai uang yang cukup, maka pengadaan dua buah

kostum sangat mungkin untuk dilakukan, tetapi jika tidak mempunyai dana yang cukup

maka kostum yang digunakan pada saat melakukan tarian persembahan dengan pada saat

(20)

mereka melakukan tarian berputar-putar. Ketika arwah tersebut memasuki tubuh mereka

maka mereka tidak sadarkan diri. Gerakan putaran yang mereka lakukan itu disebut

dengan kiteran yang diambil dari bahasa Jawa yang berarti berputar-putar. Pada saat

inilah klimaks dari pertunjukan jaran kepang.

Kemudian ketika dirasa cukup, maka pawang menyuruh pulang para arwah ke

alamnya. Hal ini pun dilakukan dengan iringan musik. Proses ini terjadi dengan berbagai

macam bentuk. Ada penari yang harus dibopong ke atas oleh beberapa orang dan di

atasnya diletakkan anak kecil dan dibawa berputar-putar. Ada yang menyembah

kendhang . Ada yang harus menaiki kendang . Yang paling sering, pawang hanya

menyentuh kepala maka pulanglah arwah tersebut ke alamnya.

Jaran kepang dipertunjukkan pada saat khitanan, pernikahan, ulang tahun,

perayaan kemerdekaan, penyambutan tamu, dan lain-lain. Mereka biasanya diundang

secara khusus oleh yang melaksanakan hajatan untuk pertunjukan. Proses ini terjadi

ketika ada kesepakatan antara pemimpin jaran kepang dengan yang ingin menanggap .

Menanggap adalah suatu istilah dalam jaran kepang yang maksudnya adalah permintaan

pertunjukan atau penampilan grup jaran kepang oleh beberapa orang atau satu orang saja

untuk alasan tertentu biasanya saat hajatan, khitanan, serta perayaan kemerdekaan.

Penontonnya tergantung dimana tempat pertunjukan tersebut berlangsung.

Misalnya pada saat khitanan, maka otomatis penontonnya adalah masyarakat di sekitar

tempat tersebut. Jika jaran kepang diminta tampil untuk menyambut tamu, maka

penontonnya juga orang tertentu dan tempat mereka menontonnya di bawah tenda yang

mereka sediakan. Tidak seperti saat khitanan, masyarakat menonoton tanpa ada yang

(21)

Pada awalnya, alat musik yang dipergunakan pada jaran kepang hanya saron,

demung, kendhang yang semuanya berjumlah satu buah dan gong yang berjumlah dua

buah. Sedangkan pada saat ini, khususnya pada grup Brawijaya mereka menggunakan

saron, demung, slenthem, bonang sebanyak satu buah, kendang sebanyak tiga buah dan

gong sebanyak enam buah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Pak Trisno yang

merupakan pemimpin grup Brawijaya, adalah agar orang yang melihatnya terasa lebih

mewah. Mengingat masyarakat menganggap kesenian ini adalah kesenian kelas bawah.

Selain itu, menjadi daya tarik bagi masyarakat. Dengan besarnya ensambel, maka

semakin banyak masyarakat dalam hajatannya mengundang grup jaran kepang. Perlu

juga diketahui istilah dalam pemanggilan atau mengundang grup jaran kepang tersebut

biasanya disebut dengan menganggap, selain alasan tersebut Pak Trisno juga

mengatakan alasan lainnya yaitu agar suara yang dihasilkan lebih rame (banyak).

Pandangan seperti ini memang ada dalam pelaku jaran kepang. Ketika penulis

menjumpai grup jaran kepang yang lainnya, hal yang sama juga mereka katakan.

Contohnya grup Langen Setio Budoyo Utomo, jumlah alat musik yang mereka miliki tak

kalah jumlahnya dengan grup Brawijaya. Menurut Pak Slamet yang merupakan

pemimpin grup Langen Setio Budoyo Utomo banyaknya jumlah alat musik yang mereka

miliki agar kelihatan mewah ketika sedang mengadakan penampilan.

Perlu diketahui juga penambahan alat musik dalam pertunjukan jaran kepang

akibat berkurangnya minat masyarakat terhadap bentuk kesenian ini sehingga

mengakibatkan jumlah penontonnya berkurang. Hal ini dikatakan juga oleh pak Ngoweh:

“Pada waktu Bapak masih umur belasan tahun, Bapak sudah bisa menari dan punya endang di dalam tubuh Bapak. Sudah ikut grup jaran

kepang pimpinan bapak saya. Pada waktu itu, kami sering melakukan

(22)

tergantung keikhlasan, yang kami dapatkan sangat banyak. Karena itu juga kami sering melakukan pertunjukan keliling, karena jumlah uang yang dikeluarkan dengan uang yang didapatkan dari saweran jumlah uang saweran yang lebih banyak.” (Transkripsi wawancara penulis dengan Pak Ngoweh Agustus 2009).

Walaupun demikian tidak semua grup jaran kepang yang saya temui mengatakan

hal yang sama. Seperti grup Wahyu Satrio Putro, alat musik yang mereka pergunakan

hanya saron, demung, kendhang sebanyak satu buah serta gong sebanyak dua buah.

Alasan yang dikemukakan oleh Pak Ngoweh adalah jumlah dana yang mereka miliki

sangat terbatas. Ditambah lagi kebanyakan pemain musik yang mereka miliki yang

biasanya disebut dengan panjak atau gamel atau wiyogo, adalah pemain musik dari grup

lainnya, sehingga boleh dikatakan jumlah pemain yang juga terbatas. Akibatnya

menghambat mereka untuk mengadakan alat musik yang banyak seperti yang dimiliki

oleh grup Brawijaya.

Selain hal tersebut, ditambah lagi dengan pembagian honor yang tidak merata,

bisa menyebabkan rasa sakit hati sehingga menimbulkan perpecahan di antara mereka.

Hal itulah yang dikhawatirkan oleh Pak Ngoweh sebagai pemimpin grup tersebut yang

juga sekaligus pawang. Ditambah lagi perpecahan sering terjadi di grup ini sehingga jika

ada seseatu yang ingin dilakukan di dalam grup ini maka akan sulit sekali untuk

merealisasikannya. Walaupun demikian grup ini banyak mempunyai prestasi juga karena

setiap festival jaran kepang atau kompetisi jaran kepang yang dilakukan di Kota Binjai.

Mereka sering menjadi juara. Mulai dari tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009.

Sehingga jika pemerintahan Kota Binjai melakukan kegiatan dan membutuhkan hiburan,

maka grup mereka yang sering dipanggil (ditanggap).

Selain itu, hal yang menarik yang diperoleh dari penelitian di lapangan, penulis

(23)

bukan didatangkan dari Pulau Jawa, tetapi adalah buatan penduduk setempat. Dari hasil

penelusuran yang dilakukan oleh penulis, kesemua grup yang dijumpai khususnya yang

ada di Kota Binjai, mengatakan bahwa alat musik yang mereka miliki ternyata adalah

buatan Bapak Ponomin. Beliau dikenal sebagai dalang wayang sekaligus orang yang

pandai membuat gamelan juga sering dipanggil orang lain. untuk melaras gamelan yang

dimilikinya. Contohnya saja grup Wahyu Satrio Putro, gamelan yang mereka miliki

bukan barang baru namun barang bekas pakai yang mereka beli dari grup jaran kepang

yang lain. Ketika dibeli gamelan tersebut tuningannya sudah tidak bagus lagi, sehingga

mereka memanggil Pak Ponimin untuk melaras gamelan tersebut.

Sebahagian besar grup jaran kepang kota Binjai yang penulis jumpai

mengatakan kalau alat musik/gamelan yang mereka miliki adalah buatan Pak Ponimin.

Atau paling tidak jika mereka membeli alat gamelan itu sebagai barang bekas, tetapi

sudah pernah dilaras oleh Pak Ponimin.

Penulis juga sempat mewawancarai Pak Ponimin dan datang ke rumahnya untuk

langsung bertemu dan bertanya bagaimana dia membuat gamelan. Untuk membuat

gamelan ia menggunakan logam yang biasanya ia mengatakannya dengan besi plat. Besi

plat merupakan benda logam yang biasanya digunakan untuk alas kaki kendaraan

bermotor roda empat. Kemahiran ini didapatkannya dari ayahnya. Ditambah lagi dia

hidup di lingkungan para pemain musik tradisi Jawa.

Selain penambahan alat musik, dalam pertunjukan jaran kepang grup Brawijaya

mereka juga menambahkan salah satu bentuk atau genre kesenian lainnya yaitu Sintren.

Sintren merupakan bentuk kesenian masyarakat Jawa yang masih menggunakan roh

halus serta ilmu gaib. Cara pertunjukannya adalah penari yang mabok (dimasuki roh

halus-roh halus mereka sebut dengan endang) dimasukkan ke dalam keranjang bambu

(24)

beberapa saat kemudian, anak wayang tersebut dapat berganti bajunya, tetapi ia masih

dalam keadaan terikat. Kemudian ditutup lagi, dan beberapa saat dibuka akhirnya ia

berdandan lengkap dengan pakaian dan tidak terikat. Kemudian ia menari-nari dalam

keadaan trance.

Alasan penambahan kesenian ini dalam jaran kepang menurut Pak Trisno juga

untuk membuat grupnya lebih menarik ketika sedang melakukan pertunjukan. Menurut

beliau, sangat jarang grup jaran kepang yang menggabungkan hal tersebut (Wawancara

Juli 2008). Ini juga salah satu faktor menarik bagi penulis untuk meneliti dan mengkaji

keberadaan kelompok jaran kepang ini.

Perlu diketahui sejauh penulis melaukan penelitian keseluruhan anggota grup

jaran kepang yang penulis jumpai berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Namun demikian, mereka sudah memikirkan bagaimana cara untuk mempertahankan

kelangsungan jaran kepang tanpa didukung pengetahuan yang tinggi karena keseluruhan

anggota jaran kepang tidak ada yang sampai mengecap pendidikan tinggi bahkan ada

yang tidak pernah bersekolah.

Seperti terurai di atas, jaran kepang sangatlah kompleks permasalahannya untuk

diteliti melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Untuk itu, supaya penelitiaan ini

mengarah kepada penelitian etnomusikologis, maka penulis akan mengkaji hal-hal yang

berdimensi etnomusikologi.

Untuk menempatkan penelitian jaran kepang kelompok Brawijaya ini sebagai

penelitian etnomusikologis, maka penulis meletakkan dasar keilmuan, yaitu penelitian ini

adalah kajian musik (dan pertunjukan) dalam konteks kebudayaan masyarakat Jawa dan

etnik lainnya di Binjai, Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan memfokuskan kajian

(25)

bentuk melodi lagu, pola ritme, durasi, aksentuasi, dan seterusnya dengan menggunakan

teori dalam etnomusikologi.

Karena pertunjukan jaran kepang ini sangat luas wilayahnya, maka penulis

melihat arahan Merriam tentang wilayah kajian etnomusikologi. Merriam

mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat enam wilayah kajian etnomusikologi,

seperti yang diuraikannya sebagai berikut.

Diantara wilayah kajian itu salah satunya adalah kebudayaan material musik.

Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan

klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon.1

Selain itu, setiap alat musik diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau

difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan

teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah-masalah

teoretis perlu pula dicatat.

Penelitian ini akan mendeskripsikan musik dan pertunjukan jaran kepang

kelompok Brawijaya di Binjai, maka akan dilakukan kajian alat-alat musik yang

digunakan dalam ensambel musik jaran kepang. Adapun kajian ini mencakup deskripsi

alat-alat musik menurut sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel. Selain itu, alat-alat

musik gamelan dalam pertunjukan jaran kepang juga mencerminkan perubahan musik

dari asalnya di Jawa sampai ke Sumatera Utara. Seperti alat musik ini diproduksi sendiri

oleh pengrajin alat musik, yang terutama dibuat oleh Bapak Ponimin. Alat musik yang

lazim digunakan dan berubah adalah gong yang biasanya digantung di sini menjadi gong

       1

(26)

pelat yang digantung dengan tali di sebuah kotak resonator yang menurut Pak Ponimin

disebut dengan gong duduk. Demikian juga bahan yang digunakan membuat alat-alat

musik gamelan terbuat dari besi pelat mobil, bukan campuran tembaga (gangsa) seperti

di Jawa.

Kajian tentang aktivitas kreatif ini dalam rangka penelitian ini adalah mencakup

hal-hal seperti berikut. Pertama, para pemusik Jawa di kawasan ini membuat alat

musiknya sendiri, sebahagian mengacu pada alat-alat musik tradisional Jawa,

sebahagiannya dimodifikasi sendiri. Mereka juga melakukan akulturasi dengan berbagai

lagu etnik di kawasan Sumatera Utara, untuk mengiringi pertunjukan jaran kepang.

Kratifitas lainnya kelompok Brawijaya memasukkan satu genre tarian sintren, yang juga

melibatkan hipnotis dan alam gaib. Jadi para seniman musik dan tari jaran kepang

Brawijaya dan kelompok lain di kawasan ini melakukan kreativitas-kreativitas seni:

musik, tari, dan pertunjukan lain, disesuaikan dengan konteks dan penerimaan

masyarakat pendukungnya.

Dilatarbelakangi oleh pertunjukan jaran kepang Brawijaya seperti uraian di atas

cukup menarik, maka penulis menentukan judul penelitian ini sebagai berikut: Kajian

terhadap Struktuir Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang seperti di atas, untuk mefokukan kajian dan

perhatian penelitian dan penulisan skripsi, maka penulis menentukan pokok permasalah

atau pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut.

(1) Bagaimana proses pertunjukan kelompok jaran kepang Brawijaya?

(27)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan penentuan dua pokok permasalahan di atas, maka tujuan

dilakukannya penelitian ini adalah dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui proses pertunjukan kelompok jaran kepang Brawijaya ?

2. Untuk mengetahui struktur musik yang digunakan kelompok jaran kepang

Brawijaya ?

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya penelitian ini adalah

mencakup aspek-aspek berikut ini.

1. Sebagai bahan referensi peneliti atau pihak-pihak tertentu atau masyarakat

yang ingin mengetahui keberadaan jaran kepang.

2. Sebagai bahan dokumentasi kesenian jaran kepang untuk masa yang akan

datang jikalau kesenian ini sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi.

3. Mengetahui perilaku seniman jaran kepang yang melakukan berbagai cara

untuk bertahan yang mungkin bisa ditiru oleh para seniman tradisional

lainnya.

4. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan teori dan metode dalam

disiplin etnomusikologi, yaitu bagaimana strategi adaptasi kaum pendatang di

tengah-tengah masyarakat setempat.

5. Penelitian ini bermanfaat untuk membantu pihak-pihak terkait dalam

membuat kebijakan di dalam rangka integrasi sosial masyarakat Indonesia

(28)

6. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai contoh meredakan konflik-konflik

sosial oleh masyarakat sendiri, yang dipicu oleh perbedaan-perbedaan etnik,

agama, atau golongan.

7. Penelitian ini bermanfaat untuk tujuan ilmu sejarah, yakni bagaimana

datangnya orang Jawa ke Sumatera Utara, dan bagaimana proses

perkembangan kesenian jaran kepang yang turut bersama-sama mereka

pertahankan, seperti halnya mempertahankan kehidupan dan keberlangsungan

generasi mereka di kawasan barunya.

1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan 1.5.1 Konsep yang Digunakan

Konsep yang akan diuraikan pada subbab ini adalah yang terkait dengan judul

penelitian, yaitu: Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai

Tulisan ini pada dasarnya diuraikan secara deskriptif dan analisis. Maka perlu

dikemukakan pengertian deskripsi, kajian atau analisis . Lebih jauh tulisan ini akan

didukung oleh konsep: struktur musik, dan pertunjukan. Khusus tentang konsep jaran

kepang dan Brawijaya akan dibahas secara khusus pada Bab III.

Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala

(Mely Tan dalam Koentjaraningrat 1991:21). Konsep ini dalam rangka penelitian

etnomusikologi boleh diambil dari kamus, para ahli di bidangnya maupun dari

masyarakat yang kita teliti. Dalam konteks tulisan ini, konsep yang digunakan mencakup

yang dikemukakan oleh para ahli maupun menurut para informan kunci dalam penelitian

ini.

Yang dimaksud dengan deskripsi adalah unsur serapan dari bahasa Inggris

(29)

atau lukisan. Misalnya kata-kata beyond description artinya tak terlukiskan. Kemudian

kata-kata to answer to description artinya sesuai dengan yang digambarkan (Echols dan

Hasan Shadily 1978:175). Kata deskripsi ini ditujukan untuk menggambarkan

kebudayaan suku Jawa, sejarah masuknya mereka ke Sumatera Timur, dan juga deskripsi

keberadaan jaran kepang kelompok Brawijaya dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:496) kata analisis diartikan sebagai

penyelidikan atau penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang

sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan

sebenarnya.

Kata yang sepadan dengan analisis, yang memang berasal dari bahasa Indonesia,

dan bukan unsur serapan, adalah kajian. Kata ini menjadi pilihan untuk tajuk skripsi

penulis. Yang dimaksud dengan kajian adalah pemeriksaan atau penguraian yang teliti

(Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991:24).

Jadi analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu proses pengamatan

untuk mengetahui struktur musik dan pertunjukan jaran kepang Brawijaya dengan cara

melihat langsung pertunjukan mereka, ketika grup tersebut sedang ditanggap ataupun

melalui wawancara dengan para pemain jaran kepang, atau dengan penonoton dan

dengan orang-orang lain yang mempunyai pemahaman tentang jaran kepang. Kemudian

menguraikannya secara mendalam berdasarkan fakta-fakta yang ada serta menarik

kesimpulaan dari kajian atau analisis dimaksud.

Stuktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian suatu komposisi musik

yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesis

1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi

(30)

nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm

1997).

Menurut Murgianto, seni pertunjukan atau pertunjukan budaya merupakan

tontonan bernilai seni drama, tari, dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan

penonton (Murgianto 1996:156). Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku

dalam waktu, dengan maksud peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan

seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan

keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya

rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan

teknis sebagai bahan. Ada beberapa pembagian seni pertunjukan yaitu:

1. Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada

pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton.

2. Seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana

antara penyaji dan penonton saling berhubungan (Sedyawaty 1981:58-60).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1990 ; 459-460 ) kata Jaran berarti

kuda. Sedangkan kata Kepang berarti jalinan ( ayaman ) , tali ( rambut ) ( hal 546 ).

Dalam tulisan ini kata jaran kepang bisa mengartikan dua hal yaitu : salah satu bentuk

kesenian jawa yang menggunakan musik dan ilmu gaib dalam pertunjukannya dan yang

berikutnya adalah kuda-kudaan atau benda yang bentuknya menyerupai kuda dibentuk

sedemikian rupa dari bahan bambu atau plastik dan dipergunakan dalam pertunjukan

jaran kepang.

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kajian Struktur

Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai, adalah suatu

(31)

pertunjukan menambah alat musik serta bentuk kesenian yang lain, yang merupakan

gagasan kreatif dari para pelaku jaran kepang. Berdasar stratifikasi sosial mereka berada

pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Walau tingkat pendidikan yang tidak tinggi.

mereka bisa mempunyai gagasan agar jaran kepang tetap bertahan dan tentunya tetap

diminati oleh masyarakat.

1.5.2 Teori yang Digunakan

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam

membahas permasalahan. Penulis menggunakan dua teori utama untuk mengkaji dua

pokok permasalahan. Untuk mengkaji pertunjukan jaran kepang, dari mulai proses

persiapan, sampai pertunjukan, dan akhir pertunjukan, penulis menggunakan teori

semiotika pertunjukan. Untuk mengkaji struktur musik (khususnya melodi dan ritme)

yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan jaran kepang digunakan teori weighted

scale (bobot tangga nada). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi

atau alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi

Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan

digunakan metode dekripsi pertunjukan oleh Milton Singer.

Teori semiotika pertunjukan. Pendekatan seni salah satunya mengambil teori

semiotika dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan

dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua

tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss

dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat

(32)

(sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa

mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya,

Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan.

Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan

langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah:

(1) kata-kata,

(2) nada bicara,

(3) mimik,

(4) gestur,

(5) gerak,

(6) make-up,

(7) gaya rambut,

(8) kostum,

(9) properti,

(10) setting,

(11) lighting,

(12) musik, dan

(13) efek suara.

Ketiga belas unsur pertunjukan ini akan penulis gunakan untuk menganalisis

pertunjukan jaran kepang Brawijaya di kawasan Binjai dalam berbagai kegunaan dan

fungsi sosialnya. Khusus untuk unsur kedua belas, yaitu musik, akan dianalisis

strukturnya secara rinci dan mendalam pada Bab V, dengan menggunakan teori weighted

(33)

Teori weighted scale. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji

keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh

William P. Malm (1977:15). Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah:

(1) tangga nada;

(2) nada pusat atau nada dasar;

(3) wilayah nada [ambitus];

(4) jumlah nada;

(5) penggunaan interval;

(6) pola kadensa;

(7) formula melodi; dan

(8) kontur.

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan dalam

pertunjukan jaran kepang Brawijaya, tentunya dengan melihat beberapa kali pertunjukan

jaran kepang Brawijaya kemudian mencatat lagu-lagu yang sering dimainkan dalam

pertunjukan , mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut dimainkan, kemudian merekam

lagu-lagu yang sering dimainkan.

Kedua teori di atas akan dibantu oleh beberapa cara atau kaidah dalam

menganalisis pertunjukan budaya. Milton Siger pernah mengeluarkan pendapatnya yang

bisa dipergunakan untuk menganalisis seni pertunjukan. Bahwa seni pertunjukan

memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. waktu pertunjukan yang terbatas,

(34)

3. acara kegiatan yang terorganisir,

4. sekelompok pemain,

5. sekelompok penonton,

6. tempat pertunjukan, dan

7. kesempatan untuk mempertunjukkan. ( dalam Sal Murgiyanto 1996:164-165)

Ditambah lagi dengan pendapat Edi Setiawati yang mengatakan analisis

pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan di mana seni

pertunjukan tersebut dilaksanakan atau di dukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran

yang terdapat di dalam pertunjukan dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap

orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variable-vriabel wilayah

yang berbeda (1981: 48-66).

Qureshi juga pernah mengeluarkan pendapatnya tentang menganalisis

pertunjukan yang mana dalam proses pertunjukan aspek yang mendasar terdiri dari

ketegasan perilaku dari semua partisipan, musisi dan penonton, yang semua

bersama-sama berinteraksi dalam pertunjukan (1988:135-136).

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis,

setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua

desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu

pulalah dengan pertunjukan jaran kepang yang menambahkan alat musik serta bentuk

kesenian yang lainnya karena penyesuaian dengan zaman.

Teori dan kaidah seperti terurai di atas digunakan dalam penelitian ini, dalam

rangka mendapat jawaban pokok permasalahan yang telah ditentukan pada bagian pokok

(35)

1.7 Metode Penelitian

Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam

proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu

pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan

sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24).

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif.

Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau

proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah

dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya

Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap,

yaitu: tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan

penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat

kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang

bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau

penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah grup jaran kepang yang

bernama Brawijaya. Alasannya karena grup ini yang banyak membuat perubahan dalam

pertunjukan Jaran Kepang seperti yang penulis kemukakan sebelumnya. Disamping itu

(36)

baik sehingga memudahkan dalam berinteraksi dengan mereka untuk mencari data-data

yang perlu.

Agar nantinya data-data yang ditulis banyak untuk sebagai perbandingan maka

penulis mengambil data dari grup jaran kepang yang lain seperti yang semua berada di

Kota Binjai karena jumlah keseluruhan grup jaran kepang yang ada di kota Binjai

termasuk Brawijaya sebanyak dua belas grup.

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di kota Binjai . Kota Binjai

dipilih karena penulis adalah penduduk di kota Binjai sehingga memudahkan dalam

melakukan kerja lapangan. Walaupun masyarakat Kota Binjai tidak mayoritas suku Jawa

sebab masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Binjai beragam sukunya. Walaupun

demikian pertunjukan Jaran Kepang masih tetap ada dan ini ditunjukkan bahwa di kota

Binjai menurut hasil kerja lapangan penulis ada dua belas grup yang tersebar di kota

Binjai.

1.9 Pemilihan Informan

Dalam pemilihan informan penulis pertama-tama mencari tahu keberadaan jaran

kepang di Kota Binjai. Hal ini dilakukan dengan mengunjungi beberapa daerah di Kota

Binjai dan bertanya kepada masyarakat yang ada di daerah tersebut. Dan biasanya setelah

bertemu dengan pemimpin jaran kepang merekalah yang kemudian memberitahu siapa

yang lebih banyak mengetahui tentang jaran kepang dalam grup Brawijaya kebetulan

yang menjadi pemimpin Jaran Kepang yaitu pak Trisno juga yang paling banyak

mengetahui tentang Jaran Kepang dibandingkan anggota lainnya. Walaupun demikian

penulis banyak menggunakan data-data yang di dapat dari informan yang lainnya dengan

(37)

1.10 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan

informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu

penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan wawancara,

yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam

untuk merekam wawacara penulis dengan informan.

Selain itu penulis juga mengikuti dan menyaksikan ketika grup Brawijaya

melakukan pertunjukan serta merekam, memfoto serta mengambil data-data yang

diperlukan dalam penelitian.

1.11 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja

lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi,

buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk

memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan

dalam tulisan ini.

Dalam studi kepustakaan ini, penulis mencari dan membaca buku-buku yang

berkaitan dengan topik penelitian ini. Di antara bidang ilmu yang dikandungi buku-buku

yang penulis baca adalah bidang etnomusikologi, antropologi, kajian seni pertunjukan,

budaya Jawa dan Nusantara secara umum, sosiologi seni, mengenai trance, tema-tema

adaptasi dan migrasi, perkebunan, koeli kontrak, dan lain-lain. Isi buku-buku yang

(38)

Untuk memperjelas arah penelitian, dan mengeksplorasi hal-hal yang perlu dikaji,

maka di bawah ini akan diuraikan secara ringkas alangkah baiknya di sini diuraikan

secara ringkas penelitian yang dituang dalam bentuk tulisan-tulisan yang telah dilakukan

oleh peneliti terdahulu. Di antaranya adalah seperti diuraikan berikut ini.

Seorang peneliti yang berlatarbelakang etnomusikologi, yaitu Margareth J.

Kartomi dari Australia, menulis sebuah buku mengenai jaran kepang yang bertajuk

Music and Trance in Central Java (1973). Dalam tulisannya ini beliau mengemukakan

tentang hubungan musik dan trance yang terjadi dalam praktik pertunjukan jaran

kepang. Salah satu deskripsi tulisannya adalah mengenai ebeg (jaran kepang) di daerah

Banyumas. Ia menjelaskan bahwa musik gamelan dapat menjadi dasar terciptanya

kesurupan pada pertunjukan jaran kepang di daerah penelitiannya tersebut. Melalui

tulisannya itu, Margareth Kartomi juga. Mendeskripsikan keberadaan alat-alat musik

yang dipergunakan dalam pertunjukan jaran kepang, yaitu gong, saron (peking), (saron)

demung, dan kendhang. Secara dasar, tulisan ini mendeskripsikan aspek kesurupan yang

terjadi karena komunikasi antara dunia manusia dengan alam gaib, yang dibantu oleh

bunyi-bunyian dari alat musik gamalen Jawa. Musik berperan penting dalam trance.

Masih tentang jaran kepang di daerah Jawa, seorang penulis setempat yang

bernama Soekarno (1983) menulis sebuah buku yang bertajuk Pertunjukan Kuda

Lumping di Jawa Tengah. Dari hasil pengamatan dan penelitiannya ia menjelaskan

bahwa pertunjukan jaran kepang digunakan untuk upacara bersih desa, untuk menghalau.

roh-roh jahat yang menyebabkan penyakit dan malapetaka lainnya. Upacara semacam ini

sangat umum dilakukan di kawasan budaya Jawa. Bahkan setiap keluarga di Jawa juga

dapat mengadakan upacara menolak bala yang disebut dengan ruwaran.

Di kawasan Nusantara lainnya, tepatnya di Negara Malaysia, seorang penulisnya

(39)

perantauan Jawa, yaitu Johor dan Shah Alam. Nasuruddin juga mengkaitkannya dengan

jaran kepang di Pulau Jawa sebagai daerah asal-usulmya pertunjukan jaran kepang di

Semenanjung Malaysia. Ia juga menjelaskan bahwa jaran lepang dibuat di Jawa sebagai

bentuk penyembahan ritual yang terjadi pada masa animisme. Islam juga turut

mengembangkan ajarannya melalui seni-seni pertunjukan seperti halnya jaran kepang

ini. Di dalam pertunjukannya biasa menggunakan makna-makna metaforik.

Untuk kajian mengenai jaran kepang di Sumatera Utara, seorang penulis insider,

yaitu Heristina Dewi (1992) dalam rangka menyelesaikan studi sarjana seninya di

Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, meneliti

keberadaan jaran kepang di salah satu desa di Sumatera Utara, dengan tajuk Jaran

Kepang pada Masyarakat Desa Cengkeh Turi, Binjai, Sumatera Utara: Suatu Studi

Kasus Musik Dan Trance Dalam Konteks Sosio-Budaya. Dalam skripsi ini, Heristina

Dewi mendeskripsikan pertunjukan jaran kepang di daerah pedesaan dan sekaligus

perkebunan, sebagai kawasan umum orang-orang Jawa di Sumatera Utara. Selanjutnya

beliau menganalisis hubungan musik dengan peristiwa kesurupan (trance). Tulisan ini

menjadi acuan utama penulis dalam melakukan penelitian ini. Adapun alasannya adalah

kawasan yang diteliti adalah relatif sama, yaitu masyarakat Jawa di Binjai, Sumatera

Utara, dan fenomenanya juga hampir sama. Yang membedakannya dengan penelitian

yang penulis lakukan adalah kelompok jaran kepangnya dan selain itu adalah fenomena

seperti masuknya sintren dalam kelompok yang penulis teliti. Selain itu karena rentang

waktu antara Heristina Dewi melakukan penelitian dan kajian yaitu tahun 1992 dengan

penulis tahun 2010, yaitu 18 tahun, maka tentu saja sudah banyak perkembangan-

perkembangan baru dalam pertunjukan jaran kepang ini. Untuk itulah dilakukan

(40)

Tulisan berikutnya yang ada di sumatera utara adalah Syarbaini. Tulisan yang

dibuatnyadalam rangka meraih gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi, dengan judul “ Fungsi Humor Sebagai Rite Dalam

Kuda Kepang “. Di dalam tulisan tersebut Syarbaini lebih menitikberatkan kajiannya

pada humor yang ada dalam pertunjukan Jaran kepang.

1.12 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,

diproses didalam kerja laboratorium. Proses analisa data penelitian di mulai dengan

menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisa data dilakukan mulai awal penelitian

dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian. Keterangan yang

didapat dari informan dicocokkan dengan kejadian yang ada di lapangan dengan

mengikuti pertunjukan grup Brawijaya. Selain itu penulis juga berkunjung ke salah satu

anggota grup brawijaya tujuannya agar mencari keterangan yang lebih banyak lagi serta

(41)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DALAM WILAYAH BINJAI

YANG MENDUKUNG KEBERADAAN JARAN KEPANG

2.1 Daerah Kebudayaan Jawa

Masyarakat Jawa adalah suku yang terbesar jumlahnya di Indonesia. Hampir

setengah dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan suku Jawa. Wilayah

kebudayaan mereka adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun pada masa sekarang

ini, orang-orang Jawa menetap di berbagai kawasan di seluruh pulau di Indonesia,

bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga penyebarannya sampai ke Afrika Selatan,

Suriname, dan Madagaskar.

Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke berbagai

kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui transmigrasi yang dilakukan

sejak zaman belanda sampai sekarang. Di antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat

tinggal baru suku Jawa adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi lampung, Provinsi

Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Propinsi Kalimantan

Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua Barat,

Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan lain-lainnya. Di antara provinsi yang suku

Jawanya berjumlah menonjol adalah Provinsi Sumatera Utara.

Seperti sudah dijelaskan pada Bab I, bahwa Sumatera Utara (dahulu Sumatera

Timur) adalah sebuah provinsi yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa sebagai suku

pendatang. Mereka selain bermigrasi atau transmigrasi juga membawa

kesenian-keseniannya. Di antara kesenian itu yang paling menonjol adalah eksistensi jaran

(42)

mayoritas dihuni oleh suku Jawa di Sumatera Utara. Termasuk suku Jawa yang ada di

kota Binjai. Seperti di desa yang menjadi tempat penelitian penulis ini. Kesemua faktor

tersebut di atas menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kesenian jaran kepang di

wilayah ini. Untuk itu perlu dideskripsikan tentang gambaran umum masyarakat Jawa

dalam konteks wilayah Sumatera Utara, khususnya Binjai yang mendukung keberadaan

seni jaran kepang ini.

Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian

tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian, ada daerah-daerah yang secara

kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah

seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta, Surakarta,

Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar tersebut dinamakan daerah pesisir dan

ujung timur.

Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya

Perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa

juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat

variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan,

seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya.

Namun kalau diteliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem

dalam satu kebudayaan Jawa.

Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian

agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang

secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang Islam

Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita naik haji, tetapi

mereka mengakui ajaran-ajaran agama Islam pada umumnya. Orang Jawa mempunyai

(43)

pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian arwah atau roh leluhur dan

mahluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan lain sebagainya.

Mahluk-mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut

kepercayaan masing-masing mahluk-mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan,

ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran,

kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup tanpa

menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alam semesta dengan

berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu,

berselamatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat

Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Selama

masa penelitian kedua cara ini pernah penulis sendiri saksikan. Cara pertama yaitu

berselamatan atau selamatan. Dalam cara ini banyak yang mengundang jaran kepang

untuk memeriahkan dan lebih memantapkan keinginan mereka agar tercapai. Peristiwa

yang pernah penulis saksikan sendiri adalah ketikaada seorang kakek yang cucunya sakit

selama berbulan-bulan kemudian dia berjanji jika nanti cucunya sembuh maka akan

mengadakan selamatan dengan mengundang orang-orang di sekitar kampung untuk

makan dan mengundang grup jaran kepang. Peristiwa ini terjadi di desa selesai kabupaten

langkat. Selain peristiwa itu penulis juga pernah melihat ketika pertunjukan grup kuda

kepang yang lain sedang mengamen di tengah-tengah pertunjukannya ada seorang ibu

yang meminta anaknya disembuhkan karena sudah hampir seminggu badan anaknya

panas ketika itu ada seorang anak wayang yang sedang trance dan kemudian memanggil

ibu itu sambil mengendong bayinya, tentunya hal ini terjadi setelah ada komunikasi

antara pawang dengan anak wayang yang sedang trance tersebut. Setelah mendekat si

anak wayang tersebut memegang badan si anak kecil kemudian meminta segelas air putih

(44)

air di dalam gelas tersebut. Setelah itu maka selesailah acara pengobatan tersebut. Selain

itu ada juga acara selamatan ketika ada sebuah grup kuda kepang yang baru membentuk

grup yang baru. Ketika itu ada grup sebelumnya yang sudah bubar karena perselisihan

anggota kemudian ada salah satu pemimpin di kelompok itu masih berkeinginan untuk

membentuk grup kuda kepang yang baru, karena keterbatasan dana maka ia membeli

alat gamelan yang bekas dari grup kuda kepang yang lain. Pada saat membeli

alat-alat gamelan itu Pak Surat sudah diberitahu untuk melakukan beberapa hal agar endang

yang telah ada di gamelan itu tidak mengganggunya tetapi pak Surat tidak melakukan hal

tersebut dan akhirnya ia sakit sampai beberapa hari. Awalnya dia mengetahui penyebab

kenapa dia sakit sampai suatu malam ia bermimpi dan endang yang di gamelan itu

menemuinya dan mengatakan kalau dia tidak melakukan hal yang seharusnya

dilakukannya yaitu membuat sesaji kepada endang itu. Setelah mengetahui penyebab

sakitnya pak Surat memutuskan untuk melakukan selamatan agar endang dalam gamelan

itu tenang dan sekaligus persemian nama baru grup kuda kepang yang dibentuknya.

Dalam selamatan itu pak Surat mengatakan harus menyediakan nasi urap dan bubur

merah putih kalau tidak ada maka selamatan itu tidak baik menurut tradisi yang

dianutnya. Selamatan juga terjadi ketika akan mulai bulan puasa. Menurut keterangan

Pak Trisno sebelum memasuki bulan puasa grupnya akan melakukan pertujukan

penutupan. Artinya adalah agar endang yang ada di gamelan, jaran kepang , anak wayang

dan seluruh peralatan grup kuda kepang agar tenang selama bulan puasa, ditambah lagi

oleh pak Trisno kalau dalam selamatan itu harus ada nasi urap dan bubur merah putih dan

sebelum melakukan pertunjukan maka mereka harus makan bersama terlebih dahulu.

Cara kedua yaitu bersaji. Cara ini ketika tahun baru agama Islam. Pada waktu ini

biasanya para pemain kuda kepang akan melakukan upacara selamatan sekaligus bersaji

(45)

mara bahaya. Penulis pernah melihat salah satu pawang kuda kepang yag bernama pak

Legi melakukan upacara bersaji ketika tahun baru Islam. Pak legi melakukan

pembersihan barang-barang keramatnya dengan membakar kemenyan dan menyiapkan

sebaskom air yang sudah dicampur dengan air jeruk purut untuk mencuci alat-alat pusaka

yang dimilikinya. Menurut pak Legi sehari sebelum melakukan pembersihan alat pusaka

miliknya itu maka harus berpuasa terlebih dahulu agar doa-doa dan keinginannya

tercapai dan terhindar dari mara bahaya. Sedang kan bagi grup jaran kepang mereka akan

melakukan pertunjukan tanpa ada yang mengundang dengan tujuan pembersihan diri

serta ucapan syujur kepada tuhan karena sampai saat itu mereka tetap bermain kuda

kepang. Dalam acara ini biasaanya didahului dengan acara makan bersama dengan menu

nasi urap dan bubur merah putih setelah itu maka dilakukan pembersihan alat-alat kuda

kepang dengan mencucinya menggunakan air yang telah dicampur dengan minyak wangi

cap ikan duyung dan jeruk purut.

Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah

agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk

seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan

sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar

pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10).

Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah

raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang-orang Jawa atau

yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga

Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti di

Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota

Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan

(46)

(Anderson 1971:136). Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang

Jawa yang kini sudah turun-temurun dan menetap di situ.

Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok

dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai

tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang

Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910

kedatangan mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah

kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut

Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja

tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).

Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka

kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Transmigrasi ini dilakukan

karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa,

kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang

Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri

dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun

orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut Pujake

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2
Contoh Satu Kelompok Gambar 3.1 Jaran Kepang
Gambar 3.2 Atraksi Memakan Kaca dalam Pertunjukan Jaran Kepang (di Jawa)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berkembangnya diskotik dengan sajian pertunjukan musik dangdut di kota Semarang menarik perhatian penulis untuk mengetahui bentuk komposisi musik dangdut, bentuk

Batasan masalah tersebut adalah bagaimana penulis menyusun sebuah komposisi dengan judul Suita dalam tangga nada C Major Komposisi Musik untuk Trio Gitar, menggunakan

Nada yang dihasilkan biola terdengar dengan lebih jelas dari alat musik klasik lain, menjadikannya cocok untuk memainkan bagian melodi musik.. Jika dimainkan oleh orang yang ahli,

komposisi ini nantinya bisa menjadi musik orkestra pada sebuah soudtrack film sehingga penonton terbawa dengan suasana yang terdapat dalam komposisi karya musik

ANALISIS FUNGSI, STR UKTUR MUSIK, DAN LIRIK LAGU-LAGU YANG DIPERTUNJUKKAN OLEH KELOMPOK MUSIK PADANG PASIR NURUL HASANAH DI BINJAI, SUMATERA UTAR A.. SKRIPSI SARJANA

Di dalam sebuah partitur ada banyak kode dan symbol symbol yang merupakan suatu petunjuk bagi seorang pemain musik untuk memainkan musik tersebut sesuai dengan komposisi yang

Melalui pemaparan masing-masing bagian mulai dari introduksi, bagian A, bagian B, dan bagian C di atas dapat memberikan, bahwa tangga nada yang digunakan dalam komposisi musik Ulah Egar

Kosakata Musik Keterkaitan dengan Konsep Lain Keterangan Nada Nada berkaitan dengan emosi Emosi atau perasaan berada di dalam ranah Individu Nada berkaitan dengan