• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

B. Cerita

2. Unsur-unsur Cerita

Nurgiyantoro (2005:221) menjelaskan bahwa cerita fiksi terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada di dalam, menjadi bagian, dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar teks fiksi bersangkutan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap bangun cerita yang dikisahkan, misalnya pandangan hidup penulis.

Berikut Hardjana HP (2006:17) menguraikan unsur-unsur intrinsik cerita fiksi:

a. Tema

Tema yaitu pokok pikiran yang mendasari sebuah cerita. Adapula yang menyebut gagasan, ide dasar, atau pikiran utama yang melandasi sebuah cerita.

Tema dapat dibagi menjadi topik-topik atau persoalan yang lebih kecil yang secara eksplisit menunjukkan peristiwa yang terjadi. Contoh tema misalnya kebaikan mengalahkan kejahatan.

Dr.Abdul Aziz Abdul Majid (2013:11) membagi tema sebagai berikut: 1) Tema peristiwa yang dibatasi oleh lingkungan

Tema yang ditujukan bagi anak-anak berusia kira-kira 3-5 tahun, cerita-cerita yang sesuai untuk usia ini adalah cerita-cerita yang tokoh-tokohnya dikarang dari binatang, tumbuhan, ibu, ayah dan anak-anak seusianya. Pemberian sifat-sifat gerakan, pembicaraan, dan warna yang dikenal akan menjadi daya tarik yang membangkitkan rasa ingin tahu anak.

2) Tema imajinasi bebas

Ditujukan pada anak usia 5-8/9 tahun yang telah melewati masa pengenalan lingkungan sekitarnya yang terbatas pada rumah dan jalan-jalan. Anak mulai tahu bahwa anjing menggigit, lebah menyengat, kucing mencakar, api membakar, dan lain-lain. Maka anak-anak ingin membayangkan sesuatu yang tidak diketahuinya, yang tidak ada dalam lingkungan.

3) Tema petualangan dan kepahlawanan

Ditujukan pada anak usia 8-18/19 tahun atau lebih. Pada fase ini, orang muda cenderung menyukai hal-hal yang imajiner-romantik dengan tetap dibatasi oleh kenyataan sesungguhnya. Cerita yang disukai pada fase ini biasanya cerita-cerita yang penuh bahaya, petualangan, keberanian, kekerasan, dan melibatkan kepolisian.

Ditujukan pada anak usia 12-18 tahun lebih. Suatu masa peralihan menjadi gadis bagi anak-anak perempuan. Masa peralihan menuju masa yang penuh kebimbangan. Tema ini lekat dengan rasa sosial, patriotisme, konflik jiwa, pandangan filosofis tentang kehidupan.

5) Tema keteladanan

Ditujukan pada anak usia 18-19 tahun dan sesudahnya. Pada tema ini, orang memasuki masa kematangan berpikir dan bermasyarakat. Biasanya, dasar-dasar sosial, moral, dan politik, baik yang salah maupun yang benar telah terbentuk dalam dirinya. Pada fase ini, mereka terpengaruh oleh kebutuhan-kebutuhan individunya, sehingga agak sulit membatasi cerita yang memiliki kecenderungan semacam ini.

b. Tokoh/ Penokohan

Tokoh/penokohan adalah gambaran watak, kebiasaan dan sifat para tokoh dalam cerita. Pembaca sebuah cerita tentu ingin mengenali rupa, tampang, watak para tokoh cerita. Oleh karena itu, pengarang memberi gambaran atau pelukisan dari tokoh-tokoh dalam cerita.

Sudjiman (dalam Edy Sembodo, 2010:5) mengartikan tokoh sebagai individu rekaan yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam suatu cerita. Nurgiyantoro (2005:226) mengatakan bahwa dalam dunia anak-anak, tokoh lazimnya terdiri atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh yang menjadi sentral adalah tokoh protagonis dan biasanya menjadi lawan adalah tokoh antagonis. Tokoh protagonis dalam cerita biasanya

cenderung disukai oleh si pembaca, sedangkan tokoh antagonis biasanya dibenci karena karakternya yang terlihat jahat atau tidak baik.

c. Plot/ Alur

Plot atau alur yaitu unsur struktur yang terwujud dalam jalinan peristiwa, yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) yang diwujudkan oleh sebab akibat atau kausalitas. Di dalam cerita pendek, novelet maupun novel, plot atau alur sangat penting. Cerita pendek akan dapat menarik pembacanya kalau jalan cerita dan plotnya dibangun secara terpadu dan kuat. Hardjana HP (2006:21) juga menjelaskan bahwa suatu cerita fiksi haruslah bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui pertengahan (middle), menuju suatu akhir (ending).

Suardi dalam Hardjana HP (2006:22) menguraikan pola tradisional yang sering diikuti oleh pengarang-pengarang antara lain berikut:

1) Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

2) Generating Circumstances (peristiwa mulai bertaut dan bergerak) 3) Rising Action (keadaan/ suasana mulai memuncak, tegang) 4) Climax (peristiwa mencapai puncak ketegangan)

5) Denoument ( peristiwa mereda, pengarang memberikan solusi pemecahan semua peristiwa).

d. Latar/ Setting

Latar atau setting ialah waktu dan tempat terjadinya peristiwa di dalam sebuah cerita atau drama. Sebuah peristiwa atau kejadian tertentu tentu memiliki

tempat misalnya di kota, di desa, di zaman dahulu, dan sebagainya. Selain itu, peristiwa tersebut terjadi pada waktu tertentu, malam, siang, pagi atau tengah malam.

Latar merupakan lingkungan yang melingkupi tokoh-tokoh yang ada pada cerita. Lingkungan tersebut dapat mempengaruhi perasaan tokoh dan begitu pula sebaliknya. Latar dapat berupa waktu, tempat suasana, dan perasaan yang dirasakan oleh tokohnya (Edy Sembodo, 2010:7).

e. Gaya Bahasa

Gaya bahasa ialah cara yang khas dalam menggunakan bahasa untuk menyatakan pikiran dan perasaan baik dalam tulisan maupun lisan. Dalam dunia cerita, gaya memegang peranan yang penting. Abdul Aziz Abdul Majid (2013:22) mendefinisikan gaya bahasa sebagai susunan bahasa, baik denotatif maupun konotatif. Hardjana HP (2006:25) mengungkapkan bahwa anak-anak tidak terlalu tertarik dan mempermasalahkan gaya bahasa. Biasanya anak lebih tertarik pada isi cerita.

f. Moral

Selain kelima unsur yang dijelaskan oleh Hardjana HP (2006), Nurgiyantoro (2005: 264) menambahkan moral sebagai salah unsur instrinsik. Moral, amanat, atau messages dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sesuatu itu selalu berkaitan dengan berbagai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik.

Kehadiran moral dalam cerita fiksi dapat dipandang sebagai semacam saran terhadap perilaku moral tertentu yang bersifat praktis, tetapi bukan resep atau petunjuk bertingkah laku. Ia dikatakan praktis lebih disebabkan ajaran moral itu disampaikan lewat sikap dan perilaku konkret sebagaiman ditampilkan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh tersebut dipandang sebagai model untuk menunjuk dan mendialogkan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh penulis cerita.

Dokumen terkait