• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Tinjauan Umum Dakwah

2. Unsur-unsur Dakwah

Dalam berdakwah, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi agar dakwah tersampaikan. Unsur-unsur tersebut adalah:

a. Subjek Dakwah

Pada dasarnya da’i (subjek dakwah) merupakan orang atau sekelompok orang yang melaksanakan atau menyiarkan dakwah.17 Seorang da’i harus memiliki bekal yang cukup dalam berdakwah dan harus mampu membimbing umat

16

Moh Ardani, Memahami Permasalahan Fikih Dakwah, (Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama, 2006), h.10.

17

Sayyid M. Nuh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, (Solo: Citra Islami Press, 1996), h. 20.

untuk memahami realitas, memaksimalkan potensi yang mereka miliki.

b. Objek Dakwah

Objek dakwah (mad’u) merupakan penerima pesan dakwah dari subjek dakwah (da’i). Dalam kegiatan dakwah unsur ini harus diperhatikan karena ini merupakan sasaran dakwah yang melaksanakan tujuan dakwah. Oleh sebab itu, dalam berdakwah seorang da’i harus memahami karakteristik objek dakwah agar dakwah yang disampaikan dapat diterima.

c. Metode Dakwah

Dalam segi bahasa metode berasal dari dua kata yaitu ”meta” (melalui) dan ”hodos” (jalan, cara).18

Dengan demikian dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica, artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata metodos artinya jalan yang dalam bahasa Arab disebut thariq.19

18

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. Ke-1, h. 61.

19

Landasan umum mengenai metode dakwah adalah Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 125 yang artinya:

”Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa bentuk metode dakwah ada tiga yaitu:

a) Metode Al-Hikmah (dengan hikmah)

Kata ”Hikmah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah ”hukman” yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.

Prof. DR. Toha Yahya Umar, M.A., menyatakan bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berfikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Tuhan.20

Kata hikmah sering diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa hingga pijak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik, maupun terasa tertekan. Dalam bahasa komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of reference, dan field of experience, yaitu suatu situasi total yang mempengaruhi sikap pihak komunikan (objek dakwah).21

Metode al-Hikmah mengandung pengertian yang luas. Kata al-Hikmah sendiri di dalam Al-Qur’an dalam berbagai bentuk derivasinya ditemukan sebanyak 280 kali. Secara harfiah kata tersebut mengandung makna kebijaksanaan.

20

Drs. H. Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. Ke-1, h. 35.

21

b) Metode Mau’idzah Hasanah (dengan pelajaran yang baik)

Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’idzah dan hasanah. Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya’idzu -wa’dzan-’idzatan yang berarti nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan22, sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.

Mau’idzah hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk kearah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan dihati, menyentuh perasaan, lurus di pikiran, menghindari sikap kasar, dan tidak mencari atau menyebut kesalahan audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas kesadarannya dapat menghikuti ajarannya yang disampaikan oleh pihak objek dawah. Jadi, dakwah bukan propaganda.

22

c) Metode Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan (bantahlah mereka dengan cara yang baik)

Dalam kegiatan dakwah, metode dakwah harus disesuaikan dengan kondisi mad’u (penerima dakwah) baik dari segi pendidikan, ekonomi, dan adat agar tercapainya keberhasilan dakwah.

d. Media Dakwah

Menurut Zaini Muhtaram, media yang dapat dijadikan sebagai media dakwah secara umum dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya adalah:23

a) Media lisan, media lisan adalah media yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan media lain karena karakteristiknya yang praktis dan ekonomis. Media lisan seperti diskusi, ceramah agama, simposium, ramah tamah dan sebagainya.

b) Media cetak, dikenal juga dengan sebutan media tulisan, ide-ide pemikiran dan ajaran Islam dituangkan dalam bentuk tulisan seperti pada surat kabar, buku, majalah, tabloid, bulletin dan sebagainya.

c) Media elektronik, ialah media yang lahir karena pemikiran manusia dalam bidang tekhnologi

23

Zaini Muhtaram, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), h.15.

modern. Pada media ini emosi dan ketegangan penonton atau pendengar akan terpancing melalui tingkah laku, kata-kata ataupun suara yang dihasilkan. Media elektronik antara lain televisi, radio, VCD, film, dan lain sebagainya.

d) Media organisasi, organisasi dakwah merupakan alat untuk pelaksanaan dakwah yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Maka melalui organisasi sosial maupun keagamaan, dakwah dapat selalu dilaksanakan dalam setiap kegiatan intern maupun ekstern.

e) Media seni dan budaya, media ini merupakan suatu media yang sangat diminati dan akan terus diwariskan pada generasi selanjutnya. Dakwah lewat seni dan budaya sudah dilakukan (digunakan) oleh para guru dan da’i terdahulu hingga sekarang.

Dokumen terkait