• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA

C. Unsur-Unsur Dalam Pemberian Wasiat

Para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya bahwa pemberi wasiat adalah setiap pemilik yang sah hak pemilikannya terhadap orang lain, adapun yang menjadi pembahasan tentang orang dalam wasiat yaitu:

Di kalangan ahli hukum mazhab Hanafi mensyaratkan orang yang berwasiat itu hendaknya orang yang mempunyai keahlian memberikan kepada orang lain. Keahian itu harus memenuhi syarat yaitu dewasa, berakal sehat, tidak mempunyai utang yang menghabiskan seluruh hartanya, tidak bergurau dan tidak dipaksa, ia tidak menjadi pewaris di waktu matinya meskipun pada waktu berwasiat ia sahabat pewaris, ia bukan budak dan orang yang berwasiat itu tidak tertekan mulutnya sebab kalau ia tidak berkata-kata tidak sah wasiatnya, kecuali bila penyakitnya berlangsung terus sehingga menyerahkan ia bisu dan terpaksa bicara secara isyarat, maka sah wasiatnya96.

Menurut Muhammad Jawaz Mughniyah bahwa semua ahli hukum Islam sepakat bahwa wasiat orang gila yang dibuat dalam kondisi sedang gila dan wasiat anak kecil yang belum mumayyiz adalah tidak sah. dikarenakan berselisih pendapat tentang wasiat anak kecil tetapi sudah mumayyiz. Para ahli hukum di kalangan mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi'i memperbolehkan asalkan anak tersebut sudah berumur sepuluh tahun penuh, sebab Khalifah Umar memperbolehkan wasiat jika anak berumur sepuluh tahun penuh97.

Pakar hukum Mazhab kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa wasiat yang demikian itu tidak boleh, kecuali jika wasiat itu menyangkut persiapan kegiatan dan pembuatannya, padahal seperti diketahui kedua hal ini tidak menentukan wasiat. Di kalangan mahzhab Imam syafi’i yang menganut prinsip bahwa wasiat anak kecil diperbolehkan (jaiz) dalam masalah kebaktian (al birr) dan perbuatan baik (ihsan) saja, dan tidak diperkenankan dalam masalah lainnya. Hal ini disandarkan kepada pendapat Imam Ash Shadiq yang memperbolehkannya dalam hal tersebut. Sayyid

96Ibid, hal.20 97Ibid

Sabid mengemukakan bahwa orang yang lemah akal (idiot), orang dungu, dan orang yang menderita akibat sakit ayan yang kadang-kadang sadar, wasiat mereka diperbolehkan sekiranya mereka mempunyai akal yang dapat mengetahui apa yang mereka wasiatkan. Sedangkan Muhammad Jawad Mughaniyah mengemukakan dikalangan mazhab imamiyah orang safih (idiot) tidak boleh berwasiat dalam soal hartanya. Tapi dalam soal yang lainnya diperbolehkan. Jika ia menunjuk seseorang berhubungan dengan anak-anaknya maka wasiat sah, tetapi jika ia berwasiat untuk memberikan sesuatu dari hartanya, maka wasiatnya tidak sah dan tidak batal. Demikian juga dengan orang mabuk kehilangan kesadaran, bermain-main dalam wasiat, maka wasiat tersebut tidak sah. Ketentuan terakhir ini juga dipegang oleh ahli para ahli hukum Islam kalangan mazhab maliki. Dan hambali dan hanafi. Sedangkan mazhab Safi' i mengatakan bahwa wasiat orang yang hilang kesadarannya adalah tidak sah, tetapi wasiat orang mabuk sah.

Kompilasi hukum Islam di Indonesia dalam hal tersebut di atas mirip dengan pendapat Hanafi dan syafi'i dalam satu pendapatnya. Dinyatakan dalam Pasal 194 bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagai harta bendanya kepada, orang lain atau suatu lembaga. Harta benda yang di wasiatkan itu harus merupakan hak dari pewasiat. Pemiliknya barang yang di wasiatkan itu baru dapat di laksanakan sesudah orang yang berwasiat itu meninggal dunia dikemukakan bahwa pula batasan minimal orang yang boleh berwasiat adalah orang yang benar- benar telah dewasa secara undang-undang, jadi berbeda dengan batasan baliq dalam

kitab – kitab fiqih tradisional. 2. Orang Yang Menerima Wasiat

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa orang-orang atau badan yang menerima wasiat adalah bukan ahli waris, dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda. Ketentuan ini adalah sejalan dengan rumusan Pasal 171 huruf f Pasal 194 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Ketentuan tersebut juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. Yang di riwayatkan oleh At.Tarmizi bahwa tidak sah wasiat kepada ahli waris. Menurut Abdurahman Al- Ziziry di kalangan mazhab Hanafi yang menerima wasiat.

Persoalannya adalah bagaimana sekiranya wasiat di berikan kepada kerabat. Yang telah meneriam warisan dan ahli warisnya itu menyetujui. Dalam kaitan ini Ibnu hazim dan fuqaha Malikiyah tidak memperbolehkannya seacara mutlak dengan dengan alasan bahwa Allah SWT sudah menghapus wasiat mulai melalui ayat mawaris. Para ahli hukum mazhab Safi’i Ja' Fariah menyatakan kepada ahli waris yang menerima ahli waris boleh dan dibenarkan dasarnya adalah Al- Qur'an Surat Al- Baqarah ayat 180. Sedangkan para ahli hukum di kalangan mazhab Safi'i, Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa wasiat kepada ahli waris dan ahli waris lainnya menyetujui adalah diperbolehkan dengan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Al–Darulqutni. Yang menyatakan bahwa tidak sah ahli waris kepada ahli waris kecuali ahli warisnya menyetujui. Ahli hukum dikalangan mazhab Imamiyah mengatakan bahwa wasiat bukan untuk ahli waris, dan tidak tergantung pada persetujuan para ahli warisnya. Dalam Pasal 195 Komplikasi hukum Islam di Indonesia dikemukakan bahwa wasiat

kepada ahli waris hanya berlaku jika disetujui oleh semua ahli waris, inipun dipergunakan hanya sepertiga dari seluruh harta warisan.

3. Barang yang Diwasiatkan

Barang yang diwasiatkan haruslah yang ada kegunaannya. Jadi tidak sah mewariskan barang, atau benda yang menurut kebiasaannya tidak bisa dimiliki secara syariat seperti minuman keras. Jadi tidak bisa dilakukan berarti tidak ada wasiat. Mengenai jenis barang yang diwasiatkan, parafuqahatelah sepakat tentang bolehnya mewasiatkan barang pokoknya mereka berselisih pendapat tentang wasiat manfaat. Sehubungan dengan hal tersebut atas para ahli hukum Islam di kalangan ansar bahwa pewasiatan manfaat boleh saja dilakukan.

Sedangkan lbnu Ahli Laila, Ibnu Syubruma, dan para ahli hukum Zhahiri berpendapat bahwa pewasiatan adalah batal, mereka beralasan bahwa manfaat itu adalah tidak sama dengan harta. Sementara itu para ahli hukum yang lain beralasan bahwa manfaat itu akan berpindah kepada hak milik ahli waris karena orang yang tidak mempunyai sesuatu.

4. Pelaksanaan Wasiat

Yang dimaksud dengan pelaksanaan wasiat adalah tata cara saat pemberian wasiat. Syarat-syarat pelaksanaan wasiatwajibahadalah sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dan perempuan daripada (cucu) ke bawah adalah layak untuk

menerima Wasiat Wajibah. .

2. Hendaklah kedua ibu atau bapa mereka meninggal dunia terlebih dahulu daripada kakek atau nenek atau ibu atau bapa meninggal dunia sama dengan kakek atau nenek dalam kejadian yang sama atau berlainan 3. Cucu lelaki dan perempuan bukan merupakan waris kepada harta pusaka kakekk. Sekiranya mereka merupakan waris ke atas harta pusaka secara fardu atau ta’sib maka mereka tidak layak untuk mendapat Wasiat Wajibah

walaupun bahagiannya sedikit berbanding Wasiat Wajibah. 4. Sekiranya anak lelaki atau anak perempuan berlainan agama dengan ibu atau bapa atau terlibat dengan pembunuhan ibu atau bapa, maka dia tidak berhak untuk mendapat Wasiat Wajibah daripada harta pusaka kakek. 5. Sekiranya kakek atau nenek telah memberikan harta kepada cucu melalui hibah, wakaf, wasiat dan sebagainya dengan bagian yang sepatutnya diterima oleh anak lelaki atau anak perempuan mereka sekiranya mereka masih hidup, cucu tidak lagi berhak untuk mendapat Wasiat Wajibah. Sekiranya pemberian tersebut adalah kurang daripada hak yang sepatutnya diterima oleh cucu daripada bahagian anak lelaki atau anak perempuan. Maka hendaklah

disempurnakan bahagian tersebut. .

6. Anak akan mengambil bahagian faraid bapa atau ibu yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada kakek atau nenek dan bagian tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 daripada nilai harta pusaka. Sekiranya bahagian tersebut adalah 1/3 atau kurang daripada 1/3, maka pembahagian tersebut hendaklah dilaksanakan pada kadar tersebut. Sekiranya bahagian tersebut melebihi 1/3 maka hendaklah dikurangkan pada kadar 1/3 melainkan setelah mendapat persetujuan ahli-ahli waris yang lain. . 7. Pembahagian Wasiat Wajibahboleh dilaksanakan setelah didahulukan urusan berkaitan mayat, wasiat ikhtiyariyyah dan hutang piutang. . 8. Pembahagian Wasiat Wajibah kepada cucu-cucu yang berhak adalah berdasarkan kepada prinsip faraid iaitu seorang lelaki menerima bahagian 2 orang perempuan.

Keterangan/Hujah:

1. Majoriti fuqaha’ berpendapat bahwa hukum wasiat adalah sunat dan umat Islam digalakkan untuk berwasiat kepada ahli-ahli keluarga yang tidak mendapat pembahagian pusaka dengan kadar tidak melebihi 1/3. 2. Ibn Hazm al-Zahiri berpendapat bahawa wajib berwasiat kepada kaum kerabat yang tidak mendapat bahagian harta pusaka. Menurut Ibn Hazm, penurunan

ayat pusaka yang menerangkan hak faraid bagi waris-waris tidak menasakhkan kewajipan berwasiat bahkan penurunan ayat wasiat tersebut dikhususkan bagi ahli-ahli waris yang tidak mendapat pusaka disebabkan oleh halangan-halangan tertentu. Dalam hal ini Ibn Hazm menegaskan bahawa kewajiban itu tidak akan gugur meskipun selepas kematian seorang muslim dan menjadi kewajiban kepada waris atau pentadbir harta untuk menyempurna kan tanggungjawab tersebut menurut kadar yang berpatutan tanpa menimbulkan kesusahan kepada waris-waris yang ditinggalkan. 3. Wasiat Wajibah perlu dilihat dari segi maksud dan hikmah serta bagaimana pelaksanaannya kerana wasiat wajibah dilihat dapat mengatasi isu kematian serentak yang berlaku terhadap datuk atau nenek bersama anak yang masih mempunyai anak-anak(cucu) yang masih hidup. . 4. Dalam sistem pembahagian pusaka Islam, cucu tidak berhak untuk mewarisi harta pusaka datuk atau nenek disebabkan mereka terdinding oleh bapa saudara dan ibu saudara. Keadaan ini telah menimbulkan persoalan tentang kebajikan dan masa depan cucu-cucu ini terutama sekali sekiranya mereka masih kecil. Lebih memburukkan lagi keadaan sekiranya ibu bapa mereka meninggal dunia pada usia muda dan tidak meninggalkan harta untuk diwarisi oleh anak-anak bagi meneruskan kehidupan. . 5. Dalam melaksanakan WasiatWajibah, harus mengambil pandangan Ibn Hazm az-Zahiri demi kepentingan keluarga terutamanya anak-anak yang menjadi yatim piatu.

6. WasiatWajibah boleh dianggap sebagaibadalatau ganti kepada faraid. Oleh itu, pelaksanaannya juga perlu didahulukan urusan berkaitan mayat, wasiat ikhtiyariyyah dan hutang piutang.98 Sebenarnya tidak ada redaksi khusus untuk wasiat ini, wasiat saling diucapkan dengan redaksi bagaimana yang bisa dianggap menyatakan pemberian hak pemilikan secara sukarela sesudah seseorang meninggl dunia, misalnya orang yang memberi wasiat itu, “akan aku wasiatkan barang si polan” maka ucapan itu sudah menyatakan adanya wasiat. kalau keadaan seperti ini tidak (diperlukan kabul sebab wasiat itu mempunyai dua arah yaitu pada saat kondisi ia mirip dengan hibah dan oleh karena itu perlu adanya ijab kabul.

98

Maka syariat lslam dalam pelaksanaan hukum kewarisan, hibah, dan wasiat sangat mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga tidak ada hak dikurangi dan dilebihkan tanpa memperhatikan kemaslahatan kepada semua pihak di dalam keluarga di dalam orang yang meninggal itu.Firman Allah:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash, 28:77)