Somatic mempunyai arti gerak atau biasa disebut dengan kinestetik. Menurut Shoimin (2014: 177), somatic (belajar dengan berbuat dan bergerak) bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik), yakni belajar dengan mengalami dan melakukan.
Pembelajar somatis lebih dapat belajar dan memahami dengan gerakan tubuh. Pikiran merekan akan lebih terstimulasi dengan melakukan suatu kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Meier (2002: 94) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa :
Temuan neurologis menunjukkan bahwa pikiran terbesar di seluruh tubuh. Intinya tubuh adalah pikiran, pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem elektris-kimiawi-biologis yang benar-benar terpadu. Jadi, dengan menghalangi pembelajar somatis menggunakan tubuh mereka sepenuhnnya dalam belajar, kita menghalangi fungsi pikiran mereka sepenuhnya.
Menurut Rose dan Nicholl, (2006: 131), belajar kinestetik merupakan belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung, seperti bergerak, menyentuh, dan merasakan/mengalami sendiri.
Prashnig (2007: 157) berpendapat bahwa, belajar kinestetik merupakan belajar melalui kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh, misalnya bermain, mengadakan perjalanan, membangun sesuatu, membuat, dsb.
Individuals that are kenaesthatic learn best with and active
“hands –on” approach. These learners favour interaction with the physical world (Gilakjani, 2012: 106). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik (gerak) belajar dengan baik melalui pendekatan yang aktif yaitu dengan interaksi aktivitas fisiknya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar Somatic adalah belajar yang melibatkan aktivitas fisik/tubuh, seperti bergerak, melakukan permainan, menyentuh, dan lain-lain.
Belajar Somatic menggunakan bagian tubuh untuk melakukan proses belajar dan pembelajaran. Belajar dengan gerak inilah akan membuat siswa merasa bosan, karena siswa terlibat aktif melalui gerakan tubuhnya. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran, perlu dirancang suatu kegiatan yang dapat melibatkan fisik anak. Hal ini bukan untuk membuat anak terus-terus berjalan-jalan ketika pembelajaran tetapi dikondisikan agar aktivitas fisik tersebut dapat seimbang dan sesuai dengan materi ataupun dalam proses pembelajaran.
b) Auditory
Auditory berarti mendengar. Indra pendengaran berperan penting dalam unsur ini. Menurut Shoimin (2014: 177), auditory (belajar dengan berbicara dan mendengar) bermakna bahwa belajar haruslah melalui mendengar, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.
Belajar auditory merupakan belajar dari suara, dari dialog, dari membaca keras-keras, dari menceritakan kepada orang lain apa yang baru saja mereka alami, dengar, atau pelajari, dari berbicara dengan diri sendiri, dari mengingat bunyi dan irama, dari
mendengarkan kaset, dan dari mengulang suara dalam hati (Meier, 2002: 96).
Rose dan Nicholl (2006: 130) menyatakan belajar auditori merupakan belajar melalui mendengar sesuatu, seperti mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah, diskusi, debat dan instruksi (perintah) verbal.
Menurut Prashnig (2007: 153-154), belajar auditori merupakan belajar melalui kegiatan dengan mendengarkan, berbicara/berdiskusi atau berdialog.
Gilakjani berpendapat (2012: 106) bahwa these individuals discover information throuh listening and interpreting informating by the means of pitch, emphasis and speed. Maksudnya bahawa siswa dengan gaya belajar auditory mendapatkan informasi dengan mendengarkan dan menafsirkan dari nada, penekanan suaram dan kecepatan suara. Untuk itu suara dan cara berbicara berpengaruh terhadap belajar auditory.
Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar Auditory merupakan belajar yang berhubungan dengan suara, pendengaran, dan pengucapan untuk menerima informasi auditori.
Belajar auditori berkaitan dengan pendengaran. Ketika setiap saat terjadi interaksi atau belajat telinga terus-menerus menangkap dan menyimpan informasi auditori, bahkan tanpa disadari. Ketika bersuara sendiri dengan berbicara, beberapa area penting di otak menjadi aktif. Belajar auditori bisa dilakukan seperti, mendengarkan kaset, mendengarkan orang lain berbicara, menceritakan kembali dan lain-lain.
c) Visualization
Visualization (belajar dengan mengamati dan menggambarkan) bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan,
membaca, menggunakan media dan alat peraga (Shoimin, 2014:
177-178).
Meier (2002: 97) menyatakan bahwa ketajaman visual, meskipun lebih menonjol pada sebagian orang, sangat kuat dalam diri seseorang. Alasanya adalah bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada indra lain.
Belajar visual terkait dengan indra penglihatan. Belajar dengan melihat sesuatu akan lebih mengesankan dan menarik bagi pembelajar visual. Menurut Rose dan Nicholl (2006: 130), belajar visual, yaitu belajar melalui melihat sesuatu seperti gambar, diagram, pertunjukkan, peragaan atau menyaksikan video. Hal serupa juga sesuai dengan pendapat Campbell (2006: 124) yang menyatakan bahwa, visualisasi adalah kemampuan untuk membuat atau mengingat gambaran visual secara imajiner.
Belajar visual merupakan belajar yang memungkinkan mereka menyerap informasi dengan cara mengamati dan melihat apa yang berlangsung di sekeliling mereka (Prashnig, 2007: 153-154).
Visual learners think in pictures and learn best in visual images. They depend in the instructor’s or facilitator’s non-verbal cues such as body language to help with understanding (Gilakjani, 2012: 105). Pendapat ini menjelaskan bahwa siswa dengan belajar visual berpikir melalui gambar dan sesuatu yang dapat dilihat.
Mereka bergantung pada gaya mengajar guru yang nonverbal seperti bahasa tubuh untuk dapat memahami yang disampaikan guru.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar Visuallization merupakan belajar yang melibatkan visual/penglihatan. Belajar visual berkaitan dengan benda-benda yang real, konkrit, dan nyata. Sehingga belajar visual biasa dengan melihat diagram, menggambarkan sesuatu dan lain-lain.
d) Intellectualy
Intellectualy (belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir) bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on). Belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkannya.
(Shoimin, 2014: 178).
Keterampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat memperbedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah (Aisyah, 2007: Unit 3-4).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Intelektual adalah bagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna.
Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran; sarana yang digunakan manusia untuk “berpikir”, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan saraf baru, dan belajar. Belajar intelektual merupakan belajar yang menggunkan kecerdasan otak, melalui berpikir dan memecahkan masalah untuk memaknai dan menciptakan sesuatu dari suatu pengalaman dan latihan. Intelektual ini sangat berhubungan dengan otak, kemampuan penalaran, menganalisis permasalahan sehinggan dapat memecahkan masalah dengan pikirannnya.
Dari uraian di atas, Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri kependekan dari; Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands on, aktivitas fisik) dimana cara belajar dengan mengalami dan melakukan;
Auditory yang bermakna belajar haruslah dengan melalui
mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indera mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan menggunakan kemampuan berfikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengindentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.