• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Hakikat Kemampuan Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan a. Pengertian Kemampuan

Secara bahasa kemampuan dari kata dasar mampu yang artinya bisa atau dapat. Kemudian mendapat imbuhan ke-an menjadi kemampuan, artinya kekuatan, potensi untuk melakukan sesuatu. Kemampuan digunakan sebagai tolak ukur seseorang dalam mengatasi dan menghadapi suatu tindakan ataupun permasalahan.

Menurut Mulyasa (2008: 39), kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sedangkan menurut Desmita (2000: 257), kemampuan adalah suatu istilah umum yang berkenaan dengan potensi untuk menguasai suatu keterampilan. Sunarto dan Hartono, (2008: 120) berpendapat kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Kemampuan menunjukkan bahwa suatu tindakan dapat dilaksanakan sekarang.

Woodworth dan Marquis dalam Suryabrata (2012: 161) kemampuan mempunyai tiga arti, yaitu (1) Achievement yang merupakan actual ability.

(2) Capacity yang merupakan potential ability (3) Aptitude. Kemampuan dapat diukur langsung dengan alat atau tes tertentu. Kemampuan menurut pendapat tersebut adalah prestasi atau kemampuan yang sebenarnya, kekuatan atau kemapuan tenaga, dan kecerdasan atau bakat.

Jadi, Kemampuan adalah sesuatu yang dimiliki individu yang berkenaan dengan potensi untuk menguasai suatu keterampilan yang berkembang melalui latihan-latihan dan pengalaman. Kemampuan ini dapat dimiliki sejak lahir ataupun dapat berkembang melalui praktek/latihan.

Seseorang yang mampu berarti memiliki kecakapan atau kesanggupan melakukan suatu tindakan tertentu. Kemampuan dibutuhkan setiap orang

(2)

untuk melakukan sesuatu. Tanpa kemampuan, apa yang dilakukan tidak akan maksimal. Kemampuan ini dapat diukur dengan suatu alat atau tes tertentu untuk mengetahui tingkat penguasaaannya.

b. Pengertian Operasi Hitung

Operasi hitung merupakan suatu kegiatan menghitung dalam pembelajaran matematika. Kegiatan ini berhubungan dengan bilangan yang dapat dioperasikan, yang nantinya akan mendapat hasil dari perhitungan tersebut.

Sa’dijah (2001: 100) menyatakan bahwa operasi bilangan mempunyai daerah operasi yang merupakan himpunan bilangan tertentu dimana operasi itu didefinisikan. Operasi juga dikatakan sebagai istilah dalam matematika yang berarti “pengerjaan” atau penyelesaian persoalan matematika. Operasi ini dilakukan untuk pengerjaan pemecahan soal dalam penghitungan (kali, bagi, tambah, dan kurang) bilangan (Prasetyono, 2009: 219).

Menurut Negoro dan Harahap, (2014: 218), Operasi dalam matematika diartikan sebagai “pengerjaan”. Operasi yang dimaksud adalah operasi hitung atau pengerjaan hitung. Operasi hitung mencakup empat pengerjaan dasar, yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan, operasi hitung adalah suatu kegiatan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perhitungan seperti, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.

Operasi dalam matematika bisa diartikan sebagai pengerjaan yang melibatkan satu atau beberapa unsur matematika, yang menghasilkan suatu unsur tertentu, seperti bilangan atau himpunan. Dalam operasi hitung dasar bilangan yang mencakup penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian saling berkaitan dan mempunyai urutan. Seperti awalnya pengerjaan operasi penjumlahan yang berkaitan erat dengan perkalian. Dalam penelitian ini peneliti mengambil operasi hitung penjumlahan.

c. Operasi Hitung Penjumlahan

Operasi hitung penjumlahan berarti suatu kegiatan menghitung yang berkaitan dengan penjumlahan. Penjumlahan adalah operasi yang

(3)

dipergunakan untuk memperoleh jumlah dari dua bilangan (Negoro &

Harahap, 2014: 260). Menurut Prasetyono (2009: 261), Penjumlahan adalah operasi yang dipergunakan untuk memperoleh jumlah dari dua bilangan atau lebih. Mutijah dan Novikasari, (2009: 44) mengemukakan bahwa operasi penjumlahan merupakan suatu aturan yang mengkaitkan setiap pasang bilangan dengan bilangan yang lain. Jumlah dari bilangan tersebut dilambangkan “a+b” yang dibaca “a tambah b”.

Jadi, Operasi hitung penjumlahan adalah suatu pengerjaan perhitungan yang berkaitan dengan dua bilangan atau lebih untuk mendapatkan jumlahnya. Operasi hitung penjumlahan nantinya akan mendapatkan hasil dari kegiatan menjumlah bilangan. Dari empat operasi dasar yaitu, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, penjumlahaan merupakan operasi dasar yang pertama kali diajarkan. Operasi penjumlahan adalah dasar dari operasi hitung pada sistem bilangan.

d. Pengertian Pecahan

Pecahan merupakan suatu bilangan dalam matematika yang mewakili bagian dari keseluruhan. Artinya bahwa sesuatu yang dipecah atau dibagi akan mendapat bagian yang disebut pecahan. Dalam kehidupan sehari-hari pecahan ini sering kali digunakan namun tidak banyak yang tahu. Seperti dalam pembagian kue menjadi beberapa bagian, membandingkan suatu benda yang berbeda dan lain-lain. Untuk itu, pecahan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Kartono, dkk. (2009: 62) berpendapat bahwa pecahan merupakan suatu bilangan yang dapat ditulis melalui pasangan terurut dari bilangan bulat a dan b, dan dilambangkan dengan 𝑎𝑏, dengan b ≠ 0. Pada pecahan 𝑎𝑏, a disebut pembilang dan b disebut penyebut. Sedangkan Heruman (2008: 43).

menyatakan bahwa pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh.

Menurut Bruce, Chang dan Flynn dalam Literature Review Foundations to Learning and Teaching Fractions (2013: 9) mengemukakan:

(4)

A Fraction can represent a part-part relationship, in which case it is comparing the size of two measures. A fraction is also a quotient, or a division statement. For example, 26 is the same as 2÷6 or 2 partitioned into equal parts.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa pecahan menggambarkan bagian dari sebuah hubungan, yang membandingakan ukuran dari dua jumlah.

Artinya bahwa pecahan merupakan dua bagian dari jumlah tertentu atau membandingkan jumlah tertentu dengan jumlah yang utuh. Pecahan juga hasil bagi atau pernyataan pembagian, misalnya 2

6, sama dengan 2 dibagi 6 atau 2 dibagi ke dalam 6 bagian sama banyak.

Pecahan didefinisikan sebagai bentuk 𝑎𝑏 dengan a dan b bilangan cacah dan b ≠ 0. Dalam hal ini a disebut pembilang dan b disebut penyebut (Mutijah

& Novikasari, 2009: 96). Hal senada juga diungkapkan Prasetyono (2009:250) bahwa bilangan pecahan biasa ditulis dalam bentuk 𝑥

𝑦, x disebut pembilang dan y disebut penyebut.

Menurut Negoro dan Harahap (2014: 248),

Pecahan adalah bilangan yang menggambarkan bagian dari suatu keseluruhan, bagian dari suatu daerah, bagian dari suatu benda, atau bagian dari suatu himpunan apabila daerah lingkaran dibagi dalam 8 bagian yang sama, maka setiap bagian adalah seperdelapan dari seluruh daerah. Nama yang diberikan untuk bilangan seperdelapan adalah 18, Dapat juga kita katakan: bila kita membagi suatu bilangan cacah dengan suatu bilangan asli, maka pembagian itu disebut suatu pecahan.

Menurut berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan pecahan adalah suatu bilangan yang menggambarkan bagian dari keseluruhan dari suatu benda dan dilambangkan dengan 𝑎𝑏, dengan a adalah pembilang, b adalah penyebut, b ≠ 0. Dalam pecahan, pembilang merupakan bilangan terbagi dan penyebut merupakan bilangan pembagi. Dengan kata lain pembagian suatau bilangan cacah dengan suatu bilangan asli itulah pecahan. Pada bentuk bilangan ini, pembilang dibaca terlebih dahulu baru disusul dengan penyebut.

Ketika menyebutkan suatu bilangan pecahan, diantara pembilang dan

(5)

penyebut harus disisipkan kata "per". Misalnya untuk bilangan 3/5 maka kita dapat menyebutnya dengan "tiga per lima" begitu juga dengan bilangan 1/4 kalian bisa membacanya "satu per empat" atau "seperempat".

Prasetyono (2009: 251-251) mengemukakan pecahan memiliki berbagai macam, yaitu (1) Pecahan biasa, (2) Pecahan Campuran, (3) Pecahan desimal.

Jenis-jenis pecahan menurut besar nilai pembilang dan penyebut dibedakan menjadi 2 yaitu pecahan murni, dan Pecahan campuran. Jika ditinjau dari hubungan antara pembilang dan penyebut dibedakan menjadi, (1) pecahan sederhana, (2) pecahan Senama, (3) Pecahan Desimal. (Kartono, dkk., 2009: 62).

Menurut Negoro dan Harahap (2014: 248-249), Ada banyak nama dalam pecahan, yaitu (1) nama biasa, (2) nama campuran, dan (3) nama desimal (4) nama persen.

Dari uraian diatas, macam-macam pecahan terdiri dari : 1) Pecahan biasa

Yaitu pecahan yang terdiri dari bilangan pembilang dan penyebut dalam pecahan biasa nilai positif pembilang bisa lebih kecil ataupun bisa lebih besar daripada nilai positif penyebut. Contoh : 14 , 23, 75

2) Pecahan Campuran

Pecahan campuran bisa dibentuk dan membentuk pecahan biasa dengan pembilang lebih besar dari penyebut. Pecahan campuran ini pecahan yang nilai positif pembilang lebih besar dari nilai positif penyebut.

Contoh : 3 25 3) Pecahan Desimal

Pecahan yang penyebutnya berbentuk 10n. Contoh : 101 = 0,1, 1001` = 0,01 Dalam penelitian ini, pecahan yang digunakan termasuk dalam jenis pecahan biasa.

(6)

e. Pengertian Penjumlahan Pecahan

Menurut Kartono, dkk. (2009: 64), Jika diketahui 𝑎𝑏 dan 𝑑𝑐 bilangan- bilangan pecahan dengan b ≠ 0, d ≠ 0. Penjumlahan dari 𝑎𝑏 dan 𝑐𝑑, ditulis 𝑎𝑏 +

𝑐

𝑑, didefinisikan dengan: 𝑎𝑏 + 𝑐𝑑 = 𝑎𝑑 +𝑏𝑐𝑏𝑑 . Jika 𝑎𝑐 dan 𝑏𝑐 bilangan-bilangan pecahan dengan c ≠ 0, maka 𝑎𝑐 + 𝑏𝑐 = 𝑎+𝑏𝑐 .

Spiegel (1999: 4) menyatakan bahwa :

Menjumlahkan dua pecahan yang mempunyai penyebut yang sama adalah menjumlahkan pembilang-pembilang pecahan tersebut dan penyebutnya merupakan persekutuan penyebut. Penjumlahan atau pengurangan dua pecahan yang mempunyai penyebut yang berbeda diperoleh dengan menulis pecahan dengan sebuah persekutuan penyebut.

Menurut Negoro dan Harahap (2014: 229), Menjumlah pecahan yang penyebutnya sama dilakukan dengan menjumlah pembilang-pembilangnya saja.

Untuk menjumlahkan pecahan yang berlainan penyebutnya, harus mengganti nama pecahan itu sehingga penyebutnya yang baru merupakan kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya semula. (Negoro

& Harahap, 2014: 229).

Menurut Siebert dan Gaskin (Bruce dkk, 2013: 18) When we add fractions, we have to find a common denominator, but not when we multiply or divide. And once we get a common denominator, we add the numerators but not the denominators. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa ketika menjumlahkan pecahan, harus mencari persamaan penyebutnya terlebih dahulu, tapi bukan dengan mengalikan atau membagi. Setelah mendapat persamaan penyebut, dapat menjumlahkan pembilangnya bukan penyebutnya. Artinya bahwa menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak sama harus menyamakan penyebutnya dengan mencari bilangan yang dapat membagi kedua penyebutnya baru bisa dijumlahkan,

Jadi, Penjumlahan pecahan adalah operasi dengan menjumlahkan bilangan pecahan. Penjumlahan pecahan dengan penyebut sama hanya menjumlahkan pembilangnya saja, sedangan penjumlahan dengan penyebut

(7)

berbeda harus menyamakan penyebutnya terlebih dahulu dengan mencari persekutuan penyebut tersebut. Penjumlahan dari pecahan 𝑎𝑏 dan 𝑑𝑐, ditulis 𝑎𝑏 + 𝑑𝑐, dengan b ≠ 0 dan d ≠ 0. Dalam penelitian ini karena pada materi kelas IV masih mencakup penjumlahan pecahan berpenyebut sama, maka fokus penelitian ini pada pecahan biasa yaitu materi penjumlahan pecahan berpenyebut sama, dan penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda.

f. Sifat-Sifat Penjumlahan Pecahan

Operasi penjumlahan pecahan memiliki beberapa sifat-sifat yang dapat digunakan dalam melakukan perhitungan. Kartono, dkk. (2009: 64) mengemukakan sifat-sifat penjumlahan pada bilangan pecahan yaitu : (1) tertutup, (2) pertukaran (komutataif), (3) asosiatif (pengelompokkan), dan (4) mempunyai elemen identitas yaitu 0.

Negoro dan Harahap (2014: 230) menyatakan bahwa sifat-sifat yang berlaku pada penjumlahan bilangan cacah berlaku juga untuk penjumlahan pecahan, seperti (1) sifat komutatif, (2) asosiatif, (3) sifat penjumlahan pecahan dengan bilangan nol.

Jadi, sifat-sifat penjumlahan pecahan yaitu :

1) Pertukaran (Komutatif), yaitu jika x dan y bilangan-bilangan pecahan maka berlaku x+y = y+x.

2) Sifat Asosiatif (Pengelompokan), yaitu jika x,y dan z bilangan-bilangan pecahan maka (x+y) + z = x + ( y + z).

3) Mempunyai elemen identitas yaitu 0, dan berlaku x + 0 = 0 + x = x untuk bilangan pecahan x.

𝑎

𝑏

+ 0 = 0 +

𝑎

𝑏

=

𝑎

𝑏

𝑎𝑏

+

𝑐𝑏

=

𝑏𝑐

+

𝑎𝑏

𝑎

𝑏

+ (

𝑐𝑏

+

𝑑

𝑏

) = (

𝑎

𝑏

+

𝑐 𝑏

) +

𝑑

𝑏

(8)

g. Kemampuan Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan

Kemampuan adalah sesuatu yang dimiliki individu berkenaan dengan potensi untuk menguasai suatu keterampilan yang berkembang melalui latihan-latihan dan pengalaman.

Operasi hitung adalah suatu kegiatan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perhitungan seperti, penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Dalam penelitian ini mengambil materi pada operasi hitung penjumlahan. Operasi hitung penjumlahan adalah suatu pengerjaan perhitungan yang berkaitan dengan dua bilangan atau lebih untuk mendapatkan jumlahnya.

Penjumlahan pecahan adalah operasi dengan menjumlahkan bilangan pecahan. Penjumlahan pecahan terdiri dari penjumlahan pecahan berpenyebut sama dan tidak sama. Penjumlahan pecahan dengan penyebut sama hanya menjumlahkan pembilangnya saja, sedangkan penjumlahan dengan penyebut berbeda harus menyamakan penyebutnya terlebih dahulu dengan mencari persekutuan penyebut tersebut.

Operasi hitung penjumlahan pecahan adalah kegiatan perhitungan menjumlahkan dua atau lebih bilangan pecahan untuk mendapatkan hasil jumlahnya.

Jadi, menurut uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan adalah kemampuan yang berhubungan dengan menghitung penjumlahan pecahan. Artinya bahwa hasil dari objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah siswa mampu dan tahu tentang pecahan serta dapat menghitung penjumlahan pecahan dengan benar.

Pada penelitian ini, siswa dikatakan mampu menjumlahkan pecahan jika dapat memenuhi indikator sebagai berikut :

1) Indikator Pertemuan ke-1

a) Dapat menyebutkan bentuk pecahan sesuai gambar,

Jika disajikan gambar bentuk pecahan seperti pada gambar dibawah ini, maka siswa harus mencari nilai pecahan yang diarsir.

(9)

b) Dapat Menyebutkan pecahan senilai dari suatu pecahan,

Pecahan senilai adalah pecahan-pecahan yang nilainya sama.

Siswa harus bisa mencari pecahan yang mempunyai nilai sama dengan pecahan yang diketahui Seperti pada soal

,

1

5

=

10

=

3

c) Dapat Menjumlahkan pecahan berpenyebut sama,

Siswa harus mencari hasil dari penjumlahan pecahan yang berpenyebut sama. Jika disajikan soal, 59 + 29= 79

(

hanya

menjumlahkan pembilangnya saja)

d) Menunjukkan penjumlahan pecahan berpenyebut sama melalui gambar

Pada Indikator ini terdapat dua jenis soal yaitu soal isian dan uraian.

(1) Jika A = 69, 𝐵 = 29, maka A + B=

Pada soal ini, siswa menyimpulkan jawaban dari pernyataan sebelumnya.

(2) Pada gambar di bawah menunjukkan ....+ .... = ....

Pada soal diatas siswa menganalisis gambar untuk dijadikan pecahan dan dijumlahkan.

(3)

2

+ +

+ + + + +

1 5

(10)

Berapa hasil dari penjumlahan di atas?

Pada soal diatas siswa menganalisis gambar untuk dijadikan pecahan dan dijumlahkan. Perbedaannya dengan poin (2) bahwa pada soal tersebut merupakan soal uraian yang mana siswa menulis kalimat matematikanya sendiri.

e) Dapat membuat gambar visual nilai pecahan dan penjumlahan pecahan

Jika pada soal sebelumnya siswa mencari nilai pecahan dari gambar pecahan, pada indikator ini siswa harus bisa menggambar bentuk pecahan dari nilai suatu pecahan dan menggambar penjumlahan pecahan. Seperti pada contoh soal berikut ini :

(1) Gambarkan pecahan 25!

Pada soal ini diharapkan siswa dapat menggambar pecahan 25, yaitu

(2) Gambarkan dan tuliskan hasil penjumlahan pecahan 36 + 26?

Hasilnya adalah 56

f) Dapat menilai pernyataan tentang penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama

Pada soal benar salah siswa diberikan pernyatan, contoh :

7

8 + 38 = 7+38+8 = 1016

Siswa disuruh menilai pernyataan matematika tersebut benar atau salah.

+

+ =

+

(11)

2) Indikator Pertemuan ke-2

Pada pertemuan kedua ini berfokus pada penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dan penjumlahan pecahan desimal.

a) Menjumlahkan pecahan berpenyebut tidak sama.

Pada indikator ini siswa diharapkan bisa menjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama yaitu dengan menyamakan penyebutnya dengan mencari nilai KPK terlebih dahulu.

Contoh : 16 + 14 =

Siswa menyamakan penyebutnya terlebih dahulu dengan mencari KPK dari penyebutnya yaitu KPK dari 6 dan 4 adalah 12.

Jadi, 1

6 + 14 = 2+312 = 5

12

b) Menilai pernyataan tentang penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama

Pada Indikator ini terdapat jenis soal benar salah. Pada soal benar salah siswa diberikan pernyatan, contoh:

1

6 + 14 = 2+310 = 105

Siswa disuruh menilai pernyataan matematika tersebut benar atau salah. Pada contoh di atas jika siswa menjawab B maka siswa belum mampu menghitung penjumlahan pecahan, begitu juga sebaliknya.

h. Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran inti di sekolah, khususnya di Sekolah Dasar. Bukan hanya dalam kegiatan belajar mengajar, matematika juga biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu dalam pembelajaran matematika perlu dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari agar dapat diterapkan dan dipahami dengan baik oleh siswa. Pembelajaran matematika merupakan kegiatan belajar yang mempelajari materi dan pengetahuan tentang matematika. Menurut Susanto (2015: 186), pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang

(12)

dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa, serta meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasan yang baik terhadap materi matematika.

Hamzah dan Muhlisrarini, (2014: 154) menyatakan pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan memungkinkan seseorang melaksanakan kegiatan belajar matematika. Sejalan dengan pendapat Muhsetyo (2007:

1.26) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari.

Dalam pembelajaran matematikan pembentukan konsep sangat perlu.

Dengan pembentukan konsep inilah siswa nantinya akan lebih paham dan mampu dalam memecahkan masalah selanjutnya yang berkaitan dengan konsep dan perhitungan matematika. Untuk siswa sekolah dasar konsep dalam matematika dibentuk dengan melihat karakteristik anak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Setyono (2007: 15), pembentukan konsep dasar dalam pembelajaran matematika haruslah memerhatikan aspek-aspek fisiologis dan fungsional otak, kematangan emosional, gaya belajar, kepribadian, dan tahap-tahap perkembangan anak (Setyono, 2007: 15).

Dari beberapa uraian di atas, pembelajaran matematika adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar dengan serangkaian perencanaan kegiatan yang memungkinkan peserta didik memperoleh kompetensi tentang materi matematika dengan melibatkan partisipasi aktif peserta didik. Pembelajaran yang abstrak dan membutuhkan kemampuan berhitung harus memperhatikan situasi dan kondisi siswa seperti karakteristik, perkembangan, dan gaya belajar siswa.

Untuk mencapai proses pembelajaran khususnya mata pelajaran matematika yang efektif diperlukan suatu kegiatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Oleh karena itu, perlu adanya pemilihan model, strategi, pendekatan yang tepat dalam pembelajaran matematika.

(13)

i. Pembelajaran Matematika di SD

Di Sekolah Dasar, pembelajaran matematika diatur sedemikian rupa di dalam kurikulum terkait dengan pembagian materi, prosedural dalam pemberian jam pelajaran, tujuan yang hendak dicapai dan lain-lain.

Karakteristik dan tahap perkembangan siswa juga diperhatikan dalam menyampaikan materi dalam pembelajaran matematika. Heruman (2008: 2) menyatakan bahwa konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, kompetensi atau kemampuan umum pembelajaran matematika di sekolah dasar, sebagai berikut :

1) Memahami konsep bilangan bulat dan pecahan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari

2) Memahami bangun datar dan bangun ruang sederhana, unsur- unsur dan sifat-sifatnya, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

3) Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

4) Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

5) Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari

6) Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.

7) Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif

Menurut BSNP tentang Standar Isi (2006: 146), ruang Lingkup mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek

(14)

sebagai berikut : (1) Bilangan, (2) Geometri dan pengukuran, dan (3) Pengolahan data.

Jadi pembelajaran matematika di SD ditekankan pada konsep-konsep matematika yang terdiri dari :

1) Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran dengan penanaman suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Pada penananman konsep baru tersebut, konsep lama atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa sangat penting untuk mengonstruksi konsep yang baru. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kongitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir siswa.

2) Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Setelah suatu konsep matematika ditanam, maka konsep tersebut dipahami agar siswa menguasai konsep baru tersebut.

3) Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Pembinaan keterampilan ini bertujuan agar siswa terampil menggunakan konsep yang telah dipelajari atau yang dikuasai dalam menyelesaikan suatu persoalan atau masalah ataupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran matematika di SD sebaiknya membiasakan siswa untuk membangun pengetahuannya melalui konstruksi-konstruksi pemahamannya yang dapat diperoleh dari proses belajar atau pengalaman. Jika siswa mendapatkan sesuatu yang baru, maka persepsi dan konsep lama akan mengklarifikasi apakah hal baru itu dapat diterima sebagai konsep baru.

Pembelajaran matematika di SD yang meliputi, penanaman konsep,

(15)

pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan dengan berbagai materi pelajaran untuk mencapai kompetensi yang ada seperti salah satunya dalam operasi hitung penjumlahan pecahan. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil materi pecahan yang termasuk dalam ruang lingkup mata pelajaran matematika aspek bilangan.

j. Tujuan Pembelajaran Matematika di SD

Tujuan pembelajaran matematika di SD, selain dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam penguasaan konsep, dan melakukan perhitungan terkait materi dalam matematika, diharapkan juga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Heruman (2008: 2), tujuan akhir pembelajaran matematika di SD yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari

Menurut BSNP tentang Standar Isi (2006: 148), Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, meran-cang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah terampil menggunkan konsep matematika, mampu memecahkan masalah yang berhubungan dengan matematika dalam kehidupan sehari-hari, mampu mengomunikasikan gagasan dan simbol matematika, serta melatih cara berpikir secara sistematis, logis, kritis dan kosisten. Konsep matematika terus berkembang dan mempunyai hubungan

(16)

satu sama lain. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka tingkat kesulitan dala pembelajaran akan semakin tinggi pula. Hal ini menyebabkan, jika tidak memahami konsep dari awal maka semakin dewasa penguasaan dan pemahaman akan semakin sulit. Dalam kehidupan sehari-hari penerapan matematika juga sangat banyak digunakan. Untuk itulah pembelajaran matematikan diberikan sejak sekolah dasar dan menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.

k. Pembelajaran Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan 1) Pembelajaran Pecahan

Untuk memperkenalkan konsep pecahan kepada siswa SD/MI perlu diberikan peragaan dengan mengambil contoh pengalaman-pengalaman yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari (Kartono, dkk., 2009: 69).

Untuk itu perlu adanya sarana yang mampu menjembatani konsep- konsep pecahan tersebut dengan tahap berpikir siswa yang masih operasional konkret. Peragaan dalam pembelajaran konsep pecahan dan operasinya di antaranya : (1) benda konkret, (2) Luas daerah, dan (3) Garis bilangan.

Pembelajaran Pecahan didasarkan atas pembagian benda, misalnya pada daerah persegi panjang yang dibagi tiga bagian sama besar. Satu bagian daerah tersebut diarsir dari tiga bagian seluruhnya oleh karena itu daerah yang diarsir menyatakan pecahan 13.

2) Penjumlahan Pecahan dengan Penyebut Sama

Menurut Kartono, dkk. (2009: 73-75), pembelajaran penjumlahan operasi hitung pecahan berpenyebut sama sebagai berikut :

Contoh : 14 + 24 = ...

(17)

Diperoleh 14 + 24 = 34= 1+24

Menurut Heruman (2008: 55-57), Dalam penjumlahan pecahan berpenyebut sama, kemampuan prasyarat yang harus dikuasai siswa dalam operasi penjumlahan pecahan adalah penguasaan konsep nilai pecahan, pecahan senilai, dan penjumlahan bilangan bulat.

Penulisan dua penyebut menjadi satu penyebut harus dilakukan, agar terbentuk dalam pemikiran siswa bahwa bilangan penyebut harus sama dan tidak dijumlahkan (Mutijah & Novikasari, 2009: 99)

Jadi, Pembelajaran operasi hitung pecahan berpenyebut sama dapat dilakukan guru dengan berbagai variasi salah satunya dengan penggunaan media yang dapat membantu siswa memvisualisasi materi.

Pembelajaran operasi hitung pecahan dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu :

a) Penanaman Konsep

Dalam penanaman konsep ini, siswa diingatkan kembali tentang konsep pecahan yang berupa nilai pecahan, dan pecahan senilai.

Kemudian guru menyampaikan materi penjumlahan pecahan dengan berbagai media yang ada, seperti kartu pecahan dan teropong pecahan.

+ =

+ =

14 24 34

Kertas Pertama

Kertas Kedua

14 14

(18)

Ada hal yang harus diperhatikan dalam penulisan proses penjumlahan ini, terutama dalam penulisan penyebut, karena penyebut tidak dijumlahkan. Adapun penulisan dua penyebut menjadi satu penyebut harus dilakukan, agar terbentuk dalam pemikiran siswa bahwa bilangan penyebut harus sama dan tidak dijumlahkan.

b) Pemahaman Konsep

Pemahaman konsep materi penjumlahan pecahan bisa dengan memberikan contoh soal dengan jawaban yang benar dan salah untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan siswa tentang materi yang diberikan.

Benar atau salahkah pernyataan di bawah ini?

a) 1

4 + 14= 1+1

4 = 24 b) 15 + 15= 1+1

5 = 102

14 14 + 14= 1+1

4 =

2 4

Dipotong dan ditempelkan pada kertas yang satunya

Dua Penyebut digabung menjadi satu

(19)

Apabila siswa mengatakan “salah” pada contoh soal dengan jawaban salah, serta dapat memperbaikinya, maka siswa tersebut benar-benar paham.

c) Pembinaan Keterampilan

Pembinaan keterampilan dapat dilakukan dengan pemberian latihan soal, termasuk soal cerita. Bentuk soal dapat diberikan secara tulisan maupun lisan (mencongak), misalnya Fadly dan Imran masing-masing mempunyai 13 bagian kue. Berapa banyaknya kue Fadly dan Imran?

3) Penjumlahan Pecahan dengan Penyebut Berbeda

Untuk menjumlahkan pecahan yang penyebutnya berbeda, kita harus mencari pecahan-pecahan yang senilai dengan pecahan terjumlah maupun penjumlah sehingga diperoleh pecahan-pecahan yang penyebut sama (Kartono, dkk., 2009: 73-75).

Kartono, dkk. (2009: 73-75), memberikan contoh operasi hitung penjumlahan pecahan, sebagai berikut :

Contoh : 12 + 23 = ...

Cara I

+

12 23

+

1

2 = 36

1 2

1 2 = 4

6

(20)

Berdasarkan diagram terlihat bahwa daerah hasil penggabungan menempati 7 bagian dari 6 bagian keseluruhan. Oleh karena itu diperoleh:

1

2 + 23 = 36 + 46 = 3+46 = 76

Untuk menjumlahkan pecahan yang berlainan penyebutnya, harus mengganti nama pecahan itu sehingga penyebutnya yang baru merupakan kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya semula (Negoro & Harahap, 2014: 229)

Contoh : 56 + 157 = 5 𝑥 56 𝑥 5 + 15 𝑥 27 𝑥 2 = 2530 + 1430 = 3930

Bilangan 3930 dapat diganti namanya dengan nama yang sederhana, yaitu:

39 = 3 x 13 30 = 2 x 3 x 5

Dengan demikian diperoleh 3039= 3 𝑥 133 𝑥 10 = 1310

Menurut Heruman (2008: 61-64), kemampuan prasyarat yang harus dikuasai siswa harus disiapkan terlebih dahulu, yaitu penguasaan pecahan senilai dan penjumlahan pecahan berpenyebut sama.

Izsak, Tillema, dan Tung-Pekk dalam International Journal of Research in Mathematics Education (2008: 39) mengemukakan bahwa :

To measure a length that combined 12 and 13, students would need to find a new partition of the unit that simulataneously subdivided halves and thirds. Common partitions could then lead to equivalent fractions with common denominators.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa untuk mengukur panjang yang merupakan gabungan dari 12 dan 13, siswa membutuhkan sebuah pembagi baru yang dapat membagi lagi penyebut 2 dan 3. Pembagi tersebut dapat disebut dengan pecahan senilai dengan persekutuan

Faktorisasi Prima,

(21)

penyebut. Jadi untuk menjumlahkan pecahan dengan penyebut berbeda harus mencari lagi penyebut yang merupakan bilangan pembagi dari kedua penyebut tersebut.

Jadi, Pembelajaran Operasi hitung penjumlahan pecahan terdiri dari pengenalan konsep pecahan terlebih dahulu kemudian menghitung penjumlahan berpenyebut sama dan tidak sama. Untuk itu konsep dasar yang diletakkan harus kuat agar siswa dapat terus mengonstruksi pengetahuan pada konsep-konsep selanjutnya. Pada pembelajaran penjumlahan pecahan ini yang difokuskan adalah penjumlahan berpenyebut sama yang hanya menjumlahkan pembilangnya saja, dan penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama yang harus menyamakan penyebutnya terlebih dahulu. Penggunaan media dan penyampaian materi yang menarik juga berpengaruh terhadap ketertarikan siswa dapat pembelajaran matematika.

2. Hakikat Model Pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI)

a. Pengertian Model

Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 154) Model yaitu kerangka konseptual yang akan digunakan sebagai pedoman dan acuan untuk suatu kegiatan. Bila bentuknya kegitan belajar, maka berarti kerangka acuan untuk suatu kegiatan belajar.

Model adalah gambaran kecil atau miniatur dari sebuah konsep besar. (Suyadi, 2013: 15).

Mills (dalam Suprijono, 2014: 45), model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu.

Berdasarkan uraian di atas, model adalah suatu kerangka yang digunakan sebagi pedoman/acuan untuk melakukan sebuah konsep tertentu.

Model ini menjadi alat bantu untuk seseorang belajar atau melakukan suatu

(22)

kegiatan tertentu. Dengan model ini, seseorang akan terbantu dan dapat dijadikan acuan untuk menilai sebuah sistem tertentu.

b. Pengertian Model Pembelajaran

Dalam kegiatan pembelajaran, diperlukan suatu rencana yang digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan pembelajaran. Hal tersebut agar proses pembelajaran tersusun secara sistematis sesuai dengan kurikulum dan materi pelajaran. Dengan rencana tersebut juga bisa merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran dan sarana belajar yang dapat menarik perhatian siswa ketika pembelajaran. Rencana tersebut tertuang dalam suatu model pembelajaran. Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 153).

berpendapat bahwa model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi peserta didik, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya.

Menurut Suprijono (2014: 45), model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas.

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial (Trianto, 2007: 1).

Rahman dan Amri, (2013: 26-27) mengemukakan bahwa model pengajaran mengarah pada suautu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaknya, lingkungan, dan sistem pengelolaannya.

Dari beberapa pendapat di atas, model pembelajaran adalah suatu pola terencana dengan langkah-langkah yang terstruksur dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para peranjang pembelajaran dan para guru dalam merancang serta melaksanakan pembelajaran. Model pembelajaran ini merupakan bingkai dari kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan dalam pembelajaran. Jadi kegiatan belajar

(23)

mengajar yang dilaksanakan sangat ditentukan oleh pemilihan model pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran yang akan dilaksanakan.

Model pembelajaran yang menjadikan pembelajaran jadi produk yang penurut, kurang kritis, menghafal materi pelajaran akan berakibat muncul ketegangan dalam diri siswa, ketidaktertarikan terhadap pembelajaran, kurang percaya diri, minder, bosan, dan lain-lain. Gejala- gejala ini muncul sebagai akibat dari beberapa masalah yang bisa diamati dan dirasakan, yaitu kebanyakan siswa tidak tahu bagaimana cara terbaik mengikuti proses belajar, memantapkan pelajaran. Hal-hal tersebut di atas tidak dapat dikatakan sebagai kekurangan atau kelemahan sepenuhnya di kalangan siswa, karena memang sistem belajar atau metode proses pembelajaran saat itu sudah terbakukan. Proses pembelajaran harus sesuai dengan perkembangan siswa.

c. Macam-Macam Model Pembelajaran

Ada beberapa model pembelajaran menurut Shoimin (2014: 29) diantaranya yaitu; active debate, Somatic, Auditory, Visualiozation, Intellectualy, (SAVI), Auditory, Intellectualy, Repetition (AIR), Team Assisted Individually (TAI); Two stay-Two Stray (TS-TS) dan Visualization, Auditory, Kinestetic (VAK).

Rusman (2011: 372) menyatakan model pembelajalaran yang disesuaikan dengan tuntutan abad ke-21 yaitu model pembelajaran yang mampu menciptakan kemandirian yaitu model SAVI dan model MASTER.

Dari bermacam-macam model pembelajaran di atas, model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualiozation, Intellectualy, (SAVI) yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti memilih model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualiozation, Intellectualy, (SAVI) dalam penelitian ini karena model pembelaran Somatic, Auditory, Visualiozation, Intellectualy, (SAVI) ini memberikan kesempatan siswa menggunakan gaya belajar yang bermacam-macam seperti visual, auditori, ataupun gerak, karena pada dasarnya siswa dalam belajar memiliki gaya belajar yang berbeda-beda.

(24)

Dengan melibatkan semua panca indra, aktivitas fisik, dan digabungkan dengan kemampuan intelektual diharapkan pembelajaran akan lebih bermakna dan dengan model ini siswa lebih dapat menguasai materi pelajaran.

d. Model Pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI)

1) Pengertian Model Pembelajaran SAVI

Meier (2002: 25) mengungkapkan bahwa SAVI adalah bagian dari Accelerated Learning (AL) / belajar cepat.

Beberapa prinsip pokok AL menurut Meier (2002:25), yaitu a) Keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan

pembelajaran.

b) Belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan menciptakan pengetahuan secara pasif.

c ) Kerja sama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil belajar.

d ) Variasi Belajar berpusat aktivitas sering lebuh berhasil daripada belajar berpusat presentasi.

e) Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan presentasi.

Ganiron dalam International Journal of Education and Learning (2013: 34) berpendapat bahwa :

The adoption of the principles of Accelerated Learning benefited the students in that they learned more, faster, and faster, and better, were able to appy what they learned in class in working on their projects, and became better and more creative innovators.

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa prinsip dari accelerated learning (belajar cepat) menguntungkan siswa karena mereka belajar lebih cepat dan lebih baik sehingga dapat menerapkan yang mereka pelajari di kelas dalam menerapkan proyek dan menjadi inovator yang kreatif. Oleh karena itu, model pembelajaran SAVI yang merupakan bagian dari Accelerated Learning dapat membuat siswa belajar lebih cepat dan lebih baik.

(25)

Pembelajaran SAVI terletak pada penggunaan alat indra dan fisik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Shoimin (2014: 177-178) bahwa pembelajaran SAVI menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indra yang dimiliki siswa. Dave Meier (2002:

91) mengemukakan belajar SAVI merupakan pembelajaran yang menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra.

Rusman (2014: 373) “SAVI menyajikan suatu sistem lengkap untuk melibatkan kelima indera dan emosi dalam proses belajar yang merupakan cara belajar secara alami yang dikenal dengan model SAVI, yaitu Somatis, Auditory, Visualization, dan Intellectualy.”

Menurut Lestari dan Yudhanegara, (2015: 57), SAVI merupakan model pembelajaran yang melibatkan gerakan, seperti gerakan fisik anggota badan tertentu, berbicara, mendengarkan, melihat, mengamati, dan menggunakan kemampuan intelektual untuk berpikir, menggambarkan, menghubungkan, dan membuat kesimpulan.

Gilakjani dalam International Journal of Studies in Education (2012: 111) berpendapat bahwa “Accommodating teaching to learning styles improves students' overall learning results, increases both motivation and efficiency and enables a positive attitude towards the language being learned. The purpose of using learning stylesis to find the best ways for both students to learn effectively and teachers to teach efficiently.”

Artinya bahwa mengajar dengan memerhatikan gaya belajar siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara keseluruhan, meningkatkan motivasi dan efisiensi yang tinggi dan memungkinkan sikap yang positif terhadap bahaya yang dipelajari. Tujuan dari penggunaan gaya belajar untuk menemukan cara yang terbaik untuk siswa dapat belajat secara efektif dan guru dapat mengajar sevara efisien.

Berdasarkan uraian di atas, Model Pembelajaran SAVI adalah model pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan semua indra dan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual. Model pembelajaran

(26)

SAVI menekankan pada proses belajar yang aktif, pembelajar tidak hanya menerima informasi secara pasif. Pembelajar juga bisa menggunakan tubuh dan aktivitas fisik hingga keterlibatan dalam proses pembelajaran seperti melakukan kerjasama dalam rangka meningkatkan hasil belajar. Somatis artinya belajar dengan bergerak dan berbuat. Auditori, belajar dengan berbicara dan mendengar. Visual, artinya belajar dengan mengamati dan menggambarkan. Intelektual, artinya belajar dengan memecahkan masalah dan menerangkan. Belajar dengan menggabungkan semua unsur inilah yang nantinya akan menghasilkan pembelajaran yang efektif karena seluruh tubuh/pikiran terlibat dalam proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran.

2) Unsur-Unsur Model Pembelajaran SAVI a) Somatic

Somatic mempunyai arti gerak atau biasa disebut dengan kinestetik. Menurut Shoimin (2014: 177), somatic (belajar dengan berbuat dan bergerak) bermakna gerakan tubuh (hands-on, aktivitas fisik), yakni belajar dengan mengalami dan melakukan.

Pembelajar somatis lebih dapat belajar dan memahami dengan gerakan tubuh. Pikiran merekan akan lebih terstimulasi dengan melakukan suatu kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Meier (2002: 94) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa :

Temuan neurologis menunjukkan bahwa pikiran terbesar di seluruh tubuh. Intinya tubuh adalah pikiran, pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem elektris-kimiawi- biologis yang benar-benar terpadu. Jadi, dengan menghalangi pembelajar somatis menggunakan tubuh mereka sepenuhnnya dalam belajar, kita menghalangi fungsi pikiran mereka sepenuhnya.

Menurut Rose dan Nicholl, (2006: 131), belajar kinestetik merupakan belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung, seperti bergerak, menyentuh, dan merasakan/mengalami sendiri.

(27)

Prashnig (2007: 157) berpendapat bahwa, belajar kinestetik merupakan belajar melalui kegiatan yang melibatkan seluruh tubuh, misalnya bermain, mengadakan perjalanan, membangun sesuatu, membuat, dsb.

Individuals that are kenaesthatic learn best with and active

“hands –on” approach. These learners favour interaction with the physical world (Gilakjani, 2012: 106). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa siswa dengan gaya belajar kinestetik (gerak) belajar dengan baik melalui pendekatan yang aktif yaitu dengan interaksi aktivitas fisiknya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar Somatic adalah belajar yang melibatkan aktivitas fisik/tubuh, seperti bergerak, melakukan permainan, menyentuh, dan lain-lain.

Belajar Somatic menggunakan bagian tubuh untuk melakukan proses belajar dan pembelajaran. Belajar dengan gerak inilah akan membuat siswa merasa bosan, karena siswa terlibat aktif melalui gerakan tubuhnya. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran, perlu dirancang suatu kegiatan yang dapat melibatkan fisik anak. Hal ini bukan untuk membuat anak terus-terus berjalan-jalan ketika pembelajaran tetapi dikondisikan agar aktivitas fisik tersebut dapat seimbang dan sesuai dengan materi ataupun dalam proses pembelajaran.

b) Auditory

Auditory berarti mendengar. Indra pendengaran berperan penting dalam unsur ini. Menurut Shoimin (2014: 177), auditory (belajar dengan berbicara dan mendengar) bermakna bahwa belajar haruslah melalui mendengar, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.

Belajar auditory merupakan belajar dari suara, dari dialog, dari membaca keras-keras, dari menceritakan kepada orang lain apa yang baru saja mereka alami, dengar, atau pelajari, dari berbicara dengan diri sendiri, dari mengingat bunyi dan irama, dari

(28)

mendengarkan kaset, dan dari mengulang suara dalam hati (Meier, 2002: 96).

Rose dan Nicholl (2006: 130) menyatakan belajar auditori merupakan belajar melalui mendengar sesuatu, seperti mendengarkan kaset audio, ceramah-kuliah, diskusi, debat dan instruksi (perintah) verbal.

Menurut Prashnig (2007: 153-154), belajar auditori merupakan belajar melalui kegiatan dengan mendengarkan, berbicara/berdiskusi atau berdialog.

Gilakjani berpendapat (2012: 106) bahwa these individuals discover information throuh listening and interpreting informating by the means of pitch, emphasis and speed. Maksudnya bahawa siswa dengan gaya belajar auditory mendapatkan informasi dengan mendengarkan dan menafsirkan dari nada, penekanan suaram dan kecepatan suara. Untuk itu suara dan cara berbicara berpengaruh terhadap belajar auditory.

Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar Auditory merupakan belajar yang berhubungan dengan suara, pendengaran, dan pengucapan untuk menerima informasi auditori.

Belajar auditori berkaitan dengan pendengaran. Ketika setiap saat terjadi interaksi atau belajat telinga terus-menerus menangkap dan menyimpan informasi auditori, bahkan tanpa disadari. Ketika bersuara sendiri dengan berbicara, beberapa area penting di otak menjadi aktif. Belajar auditori bisa dilakukan seperti, mendengarkan kaset, mendengarkan orang lain berbicara, menceritakan kembali dan lain-lain.

c) Visualization

Visualization (belajar dengan mengamati dan menggambarkan) bermakna belajar haruslah menggunakan indra mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan,

(29)

membaca, menggunakan media dan alat peraga (Shoimin, 2014:

177-178).

Meier (2002: 97) menyatakan bahwa ketajaman visual, meskipun lebih menonjol pada sebagian orang, sangat kuat dalam diri seseorang. Alasanya adalah bahwa di dalam otak terdapat lebih banyak perangkat untuk memproses informasi visual daripada indra lain.

Belajar visual terkait dengan indra penglihatan. Belajar dengan melihat sesuatu akan lebih mengesankan dan menarik bagi pembelajar visual. Menurut Rose dan Nicholl (2006: 130), belajar visual, yaitu belajar melalui melihat sesuatu seperti gambar, diagram, pertunjukkan, peragaan atau menyaksikan video. Hal serupa juga sesuai dengan pendapat Campbell (2006: 124) yang menyatakan bahwa, visualisasi adalah kemampuan untuk membuat atau mengingat gambaran visual secara imajiner.

Belajar visual merupakan belajar yang memungkinkan mereka menyerap informasi dengan cara mengamati dan melihat apa yang berlangsung di sekeliling mereka (Prashnig, 2007: 153-154).

Visual learners think in pictures and learn best in visual images. They depend in the instructor’s or facilitator’s non-verbal cues such as body language to help with understanding (Gilakjani, 2012: 105). Pendapat ini menjelaskan bahwa siswa dengan belajar visual berpikir melalui gambar dan sesuatu yang dapat dilihat.

Mereka bergantung pada gaya mengajar guru yang nonverbal seperti bahasa tubuh untuk dapat memahami yang disampaikan guru.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar Visuallization merupakan belajar yang melibatkan visual/penglihatan. Belajar visual berkaitan dengan benda-benda yang real, konkrit, dan nyata. Sehingga belajar visual biasa dengan melihat diagram, menggambarkan sesuatu dan lain-lain.

d) Intellectualy

(30)

Intellectualy (belajar dengan memecahkan masalah dan berpikir) bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan berpikir (minds-on). Belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan, mencipta, mengonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkannya.

(Shoimin, 2014: 178).

Keterampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat memperbedakan, menguasai konsep, aturan, dan memecahkan masalah (Aisyah, 2007: Unit 3-4).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa intelektual menunjukkan apa yang dilakukan pembelajar dalam pikiran mereka secara internal ketika mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan suatu pengalaman dan menciptakan hubungan, makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut. Intelektual adalah bagian dari merenung, mencipta, memecahkan masalah, dan membangun makna.

Intelektual adalah pencipta makna dalam pikiran; sarana yang digunakan manusia untuk “berpikir”, menyatukan pengalaman, menciptakan jaringan saraf baru, dan belajar. Belajar intelektual merupakan belajar yang menggunkan kecerdasan otak, melalui berpikir dan memecahkan masalah untuk memaknai dan menciptakan sesuatu dari suatu pengalaman dan latihan. Intelektual ini sangat berhubungan dengan otak, kemampuan penalaran, menganalisis permasalahan sehinggan dapat memecahkan masalah dengan pikirannnya.

Dari uraian di atas, Pembelajaran SAVI adalah pembelajaran yang menekankan bahwa belajar haruslah memanfaatkan semua alat indera yang dimiliki siswa. Istilah SAVI sendiri kependekan dari; Somatic yang bermakna gerakan tubuh (hands on, aktivitas fisik) dimana cara belajar dengan mengalami dan melakukan;

Auditory yang bermakna belajar haruslah dengan melalui

(31)

mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menaggapi; Visualization yang bermakna belajar haruslah menggunakan indera mata melalui mengamati, menggambar, mendemonstrasikan, membaca, menggunakan media dan alat peraga; dan Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah dengan menggunakan kemampuan berfikir (minds-on), belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran berlatih menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengindentifikasi, menemukan, mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan.

3) Prinsip Dasar Pembelajaran SAVI

Cara belajar SAVI termasuk konsep pembelajaran dipercepat (Accelerated Learning/AL). Oleh karena itu, pembelajaran tersebut memiliki prinsip-prinsip pokok yang mendorong keberhasilan belajar yang dipercepat. Meier (2002: 54) mengemukakan prinsip pokok belajar sebagai berikut:

a) Belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh.

b) Belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi c) Kerja sama membantu proses belajar

d) Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan belajar bukan hanya menyerap.

e) Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik)

f) Emosi positif sangat membantu pembelajaran.

g) Otak citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

Jadi, untuk dapat mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran SAVI dalam kegiatan belajar mengajar, prinsip pokok dasar tersebut perlu diperhatikan secara saksama. Prinsip pokok dasar itu sebagai berikut :

1) Belajar tidak hanya menggunakan otak tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi indra, dan sarafmya.

melibatkan seluruh pikiran dan tubuh.

2) Belajar adalah berkreasi, bukan mengonsumsi.

(32)

Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Jadi belajar akan terus tersimpan di dalam long term memory, tidak mudah lupa karena yang dipelajari tercipta dan dikonstruksi sendiri oleh siswa.

3) Belajar dengan kerja sama.

Kerjasama merupakan suatu kegiatan yang yang dapat meningkatkan sikap sosial siswa. Kerja sama ini dapat membantu proses belajar siswa karena siswa dapat berinteraksi dengan kawan-kawan daripada yang kita pelajari dengan cara lain mana pun. Persaingan diantara siswa memperlambat pembelajaran.

Kerja sama di antara mereka mempercepatnya. Suatu komunitas belajar selalu lebih baik hasilnya daripada beberapa individu yang belajar sendiri-sendiri.

4) Pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan secara simultan belajar bukan hanya menyerap.

Belajar bukan hanya menyerap satu hal kecil pada satu waktu secara linier, melainkan menyerap banyak hal sekaligus.

Pembelajaran yang baik melibatkan orang pada banyak tingkatan secara simultan (sadar dan bawah sadar, mental dan fisik).

Semakin baik dan semakin banyak kita belajar, memasukkan apapun dalam otak, maka akan semakin berkembang dan cepat otak akan memproses menjadi suatu pengetahuan yang tersimpan dengan baik.

5) Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik).

Belajar paling baik adalah belajar dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari secara terpisah akan sulit diingat dan mudah menguap dan hilang. Pengalaman yang nyata dan konkret dapat menjadi

(33)

guru yang jauh lebih baik daripada sesuatu yang abstrak dengan adanya didalamnya terdapat peluamg untuk mendapatkan umpan balik/feedback, keterlibatan aktif, dan refleksi.

6) Emosi positif sangat membantu pembelajaran.

Perasaan menentukan kualitas dan kuantitas belajar seseorang.

Perasaan negatif menghalangi belajar. Seseorang yang belajar dengan perasaan yang baik dan positif maka akan memberikan pengaruh yang baik terhadap proses dan hasil belajar. Karena hati seseorang yang baik ketika belajar akan merasa semangat, senang menerima pelajaran sehingga disampaikan ke otak hingga kemampuan mendapat pengasaan pengetahuan akan menyelesaikan soal dari guru akan baik pula. Belajar yang penuh tekanan, meyakitkan, dan berusaha muram tidak dapat mengungguli hasil belajar yang menyenangkan, santai, dan menarik hati.

7) Belajar otak citra menyerap informasi secara langsung dan otomatis.

Sistem saraf manusia lebih merupakan prosesor citra daripada prosesor kata. Gambar konkret jauh lebih mudah ditangkap dan disimpan daripada abstraksi verbal. Menerjemahkan abstraksi verbal menjadi berbagai jensis gambar konkret akan membuat abstraksi verbal itu bisa lebih cepat dipelajari dan lebih mudah diingat.

4) Tahapan Pembelajaran SAVI

Aris Shoimin (2014: 178-181), mengemukakan langkah-langkah model SAVI, a) Tahap Persiapan (Kegiatan Pendahuluan), b) Tahap Penyampaian (Kegiatan Inti), c) Tahap Pelatihan (kegiatan inti), d) Tahap penampilan hasil (kegiatan penutup)

(34)

Rusman (2014: 373-374), Strategi pendekatan SAVI dilaksanakan dalam empat tahap siklus pembelajaran, (1) Pertama:

persiapan. (2) Kedua: penyampaian. (3) Ketiga, pelatihan, (4) Keempat, penampilan hasil.

Langkah-langkah model Somatic, Auditory, Visuallization, Intellectualy (SAVI) tersebut dapat disimpulkan menjadi 4 tahap, yaitu a) Tahap Persiapan

Tujuan tahap persiapan adalah menimbulkan minat para pembelajar, memberi mereka perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang, dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Dalam tahap ini guru membangkitkan motivasi dan minat siswa agar siap belajar. Dalam tahap persiapan ini, fisik dan mental siswa disiapkan untuk dapat meneriman pelajaran.

Pada tahap ini guru dapat melakukan kegiatan seperti : (1) memberikan sugesti positif, (2) memberikan pernyataan yang memberi manfaat kepada siswa, (3) memberikan tujuan yang jelas dan bermakna, (4) membangkitkan rasa ingin tahu, (5) menciptakan lingkungan, (6) mengajak pembelajar terlibat penuh sejak awal, (7) memberikan motivasi kepada siswa, (8) mengaitkan materi dalam kehidupan sehari-hari siswa.

b) Tahap penyampaian, yaitu tahap pengenalan materi pelajaran kepada siswa. Pada tahap ini materi tidak hanya disampaikan oleh guru, tetapi juga adanya keterlibatan aktif dari siswa. Tujuan tahap ini adalah membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan panca indera, dan cocok untuk semua gaya belajar.

Pada tahap ini guru dapat melakukan kegiatan seperti: (1) pengamatan fenomena dunia nyata, (2) pelibatan seluruh otak, seluruh tubuh, (3) presentasi interaktif, (4) proyek belajar berdasar kemitraan dan berdasar tim, (5) latihan menemukan (sendiri,

(35)

berpasangan, berkelompok), (6) pengalaman belajar di dunia nyata yang kontekstual, (7) pelatihan memecahkan masalah.

c) Tahap pelatihan, tahap ini merupakan tahap inti dari pembelajaran.

Pada tahap ini, guru mengajak siswa berpikir dan mendalami materi pelajaran. Siswa membangun pengetahuan baru, memecahkan masalah dan membina keterampilan. Tujuan tahap ini adalah membantu pembelajar mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara.

Pada tahap ini guru dapat melakukan kegiatan seperti : (1) Usaha aktif atau umpan balik atau renungan atau usaha kembali, (2) simulasi dunia-nyata, (3) permainan dalam belajar, (4) pelatihan aksi pembelajaran, (4) aktivitas pemecahan masalah, (5) dialog berpasangan atau berkelompok, (6) pengajaran dan tinjauan kolaboratif, (7) merangkum materi, (8) pengamatan dunia nyata, (9) diskusi, (10) permainan edukatif.

d) Tahap penampilan hasil, yaitu tahap merefleksi, mengemukakan kembali apa yang dipelajari siswa agar pembelajaran yang baru saja diterima teteap melekat. Pada tahap ini siswa juga bisa menciptakan sesuatu dari apa yang telah dipelajari. Tujuan tahap ini, membantu pembelajar menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan, sehingga hasil belajar akan melekat dan terus meningkat.

Pada tahap ini guru dapat melakukan kegiatan seperti : (1) penerapan dunia nyata, (2) aktivitas penguatan penerapan, (3) materi penguatan persepsi, (4) pelatihan terus menerus, (5) umpan balik dan evaluasi kinerja, (6) melakukan tes/ujian, (7) menguatkan pembelajaran.

5) Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran SAVI

Setelah mempelajari segala hal yang berkaitan model pembelajaran SAVI maka dapat ditulis beberapa kelebihan dan kelemahan diantaranya :

(36)

a) Kelebihan

(1) Membangkitkan kecerdasan terpadu siswa secara penuh melalui penggabungan gerak fisik dengan aktivitas intelektual

(2) Siswa tidak mudah lupa karena siswa membangun sendiri pengetahuannya.

(3) Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena siswa merasa diperhatikan sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.

(4) Memupuk kerjasama karena siswa yang lebih pandai diharapkan dapat membantu yang kurang pandai.

(5) Memunculkan suasana belajar yang lebih baik, menarik dan efektif

(6) Mampu membangkitkan kreatifitas dan meningkatkan kemampuan psikomotor siswa

(7) Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat dan berani menjelaskanjawabannya.

(8) Merupakan variasi yang cocok untuk semua gaya belajar.

b) Kelemahan

(1) Menuntut adanya guru yang sempurna sehingga dapat memadukan keempat komponen dalam SAVI secara utuh.

(2) Memerlukan biaya yang cukup besar untuk pengadaan media yang canggih dan menarik. Karena penerapan model pembelajaran ini membutuhkan kelengkapan sarana dan prasarana pembelajaran yang menyeluruh dan disesuaikan dengan kebutuhannya,

(3) Membutuhkan waktu yang lama terutama bila siswa yang lemah.

(4) Membutuhkan perubahan agar sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.

(5) Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi atau memberi nilai.

Gambar

Tabel 2.1. Komponen Pembelajaran Model SAVI
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir KONDISI AKHIR

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi merupakan pendorong yang berasal dari dalam diri atlet untuk melakukan sesuatu secara bersungguh- sungguh. Ketika atlet memiliki motivasi yang tinggi atlet akan

McBride-Chang (Nopprapun & Holloway, 2014) menemukan bahwa nama huruf dan bunyi huruf keduanya diprediksi mempunyai keterampilan yang berhubungan dengan membaca,

Pendapat tersebut menunjukan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk dapat menyelesaikan

Cara membuat analisis tugas menurut Astati (2010: 44) adalah menentukan tujuan dengan menentukan kemampuan yang diharapkan dicapai anak tunagrahita pada akhir

Komponen ini berhubungan dengan kecenderungan dalam bertindak terhadap suatu objek. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap individu memiliki persepsi yang

Sedangkan menurut Muhsetyo (2008: 1.26) pembelajaran matematika adalah proses pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga

Pada umumnya dalam mengidentifikasi tentang faktor-faktor bakat yang dilakukan adalah membuat urutan (rangking) mengenai faktor-faktor bakat pada setiap individu. Seseorang

Melihat dari pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa merawat diri merupakan keterampilan yang diberikan untuk anak tunagrahita sedang untuk