• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Kemampuan Membaca Permulaan a. Definisi Membaca

Kegiatan membaca merupakan suatu kesatuan kegiatan yang terpadu yang mencakup beberapa kegiatan seperti mengenali huruf dan kata-kata, menghubungkannya dengan bunyi, maknanya serta menarik kesimpulan mengenai maksud bacaan (Dhieni, dkk., 2011). Anak-anak yang memasuki jenjang sekolah dasar dengan kosakata yang terbatas, beresiko mengembangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan membaca (Santrock, 2007).

Gleason (Santrock, 2007) mengemukakan bahwa sebelum belajar membaca, anak-anak belajar menggunakan bahasa untuk membicarakan hal-hal yang tidak ada; mereka belajar apakah ‘kata’ itu; mereka belajar bagaimana mengorganisasikan dan mengucapkan bunyi. Mereka juga mempelajari prinsip-prinsip alphabet – yakni huruf-huruf yang mempresentasikannya bunyi-bunyi dalam bahasa.

Membaca permulaan menurut Tarigan (2008) adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis. Sedangkan Jamaris (2014) menyatakan “Membaca merupakan suatu kegiatan yang bersifat kompleks, karena kegiatan ini melibatkan kemampuan dalam mengingat simbol-simbol grafis yang berbentuk huruf, mengingat bunyi dari simbol-simbol tersebut…”.

Membaca permulaan adalah faktor penting dan kuat anak sebelum memasuki sekolah dan anak taman kanak-kanak serta menjadi faktor yang kuat bagi kemampuan keaksaraan di tingkat lanjut dan prestasinya di sekolah (Wang, Yin, & McBride, 2015). Hal ini sejalan dengan Slamet (2015) yang menyatakan bahwa kemampuan membaca yang diperoleh

(2)

pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan selanjutnya. Dalman (2013) menyebutkan ada beberapa aspek membaca permulaan, yaitu: (1) melafalkan huruf sesuai dengan bunyinya; (2) merangkai huruf-huruf menjadi suku kata; (3) merangkai suku kata menjadi kata; (4) merangkai kata menjadi kalimat pendek.

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca permulaan adalah suatu proses yang digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, merupakan faktor penting dan kuat bagi anak sebelum memasuki sekolah, serta berpengaruh terhadap kemampuan membaca selanjutnya. Kemampuan membaca permulaan anak disampaikan melalui pengenalan huruf, menghubungkan dengan bunyinya, merangkai huruf menjadi suku kata, merangkai suku kata menjadi kata serta mengetahui maknanya.

b. Pentingnya Kemampuan Membaca untuk Anak Usia Dini

Aktivitas membaca sangat penting bagi perkembangan kecerdasan anak-anak, hal ini sejalan dengan kata pertama yang diturunkan Alloh dalam Al-Qur’an yaitu Iqro’ yang berarti bacalah. Tom dan Sobol (Dhieni dkk, 2011) menyatakan bahwa “Anak yang sudah memiliki kesiapan membaca di TK akan lebih percaya diri dan penuh kegembiraan”. Usia dini adalah usia anak masuk sekolah, dan belajar membaca adalah faktor penting di prestasi membaca selanjutnya (Suggate, et al., 2013).

National Institute of Child Health and Human Development (NHICD, 2000) dan Whitehurst & Lonigan (2001) menyatakan bahwa membaca permulaan dan kemampuan menulis bagi anak usia dini dan anak TK merupakan sesuatu hal yang penting dan menjadi awal yang kuat untuk kemampuan keaksaraan dan prestasi di sekolah (Wang, et.al., 2015). Sejalan dengan hal tersebut National Reading Panel (NRP, 2000) menyelidiki hubungan antara keterampilan keaksaraan muncul di periode prasekolah dan kemampuan membaca pada usia sekolah mengidentifikasi

(3)

keterampilan abjad sebagai predictor yang kuat terhadap perkembangan membaca pada anak.

McGeown, et al (2012) menyatakan bahwa instruksi membaca awal, akan mempengaruhi strategi yang mereka gunakan untuk mengenali kata-kata. Steinberg juga menyatakan dalam eksperimennnya tentang mengajar membaca dini untuk anak-anak berusia antara 1-4 tahun. Dia juga menemukan bahwa anak-anak yang telah mendapat pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah (Dhieni, dkk., 2011).

Berdasarkan pemaparan teori diatas, dapat disimpulkan pentingnya membaca bagi anak usia dini yaitu menumbuhkan percaya diri dan kegembiraan pada anak, menjadi kemampuan awal yang kuat perkembangan membaca pada anak dan merupakan faktor penting dalam tahapan membaca selanjutnya, anak mampu mengenali kata, selain itu kemampuan membaca pada usia sekolah mengidentifikasi keterampilan abjad sebagai predictor yang kuat, serta anak-anak yang telah mendapat pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah. Keuntungan tersebut dapat disimpulkan dalam gambar 2.1. dibawah ini:

Gambar 2. 1 Pentingnya Kemampuan Membaca Permulaan

Pentingnya

Kemampuan

Membaca

Permulaan

menumbuhkan percaya diri dan

kegembiraan pada anak faktor penting dalam tahapan membaca selanjutnya anak mampu mengenali kata keterampilan abjad sebagai predictor yang kuat perkembangan membaca pada anak

menjadi awal yang kuat dalam

keaksaraan dan prestasi

lebih maju di sekolah

(4)

c. Tahap Perkembangan Membaca Anak Usia Dini

Dhieni, dkk (2011) mengungkapkan bahwa perkembangan membaca awal merupakan proses interaktif di mana anak adalah peserta aktif. Chall (Santrock, 2007) mengemukakan beberapa model tahapan-tahapan perkembangan membaca pada tabel 2.1. berikut.

Tabel 2.1. Tahapan Perkembangan Membaca Rentang Usia/

Tingkat Kelas

Deskripsi

0 Mulai lahir s.d tingkat satu

Anak-anak menguasai prasyarat-prasyarat untuk membaca. Banyak anak mempelajari gerak membaca kiri-kanan dan tatanan membaca, bagaimana mengidentifikasi huruf-huruf dan alphabet, serta bagaimana menulis nama mereka. Banyak anak belajar membaca kata-kata yang muncul d rambu-rambu jalan. Sebagai akibat dari acara TV seperti Sesame street dan program-program prasekolah dan TK, banyak anak belia telah memiliki kemampuan membaca pada usia lebih awal daripada anak-anak di masa lampau.

1 Tingkat 1 dan 2 Pada tingkat ini, anak mulai belajar membaca. Dengan melakukannya, mereka juga memperoleh kemampuan membunyikan kata-kata (menerjemahkan huruf-huruf menjadi bunyi dan mencampur bunyi menjadi kata-kata). Mereka juga melengkapi pembelajaran mereka dengan nama-nama dan bunyi-bunyi huruf.

2 Tingkat 2 dan 3 Anak menjadi lebih lancar dalam mengulang tiap-tiap kata dan keahlian membaca yang lain. Akan tetapi, pada tahap ini, membaca belum digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Tuntutan membaca akan menguras stamina anak-anak pada tahapan ini sehingga mereka umumnya kelelahan sebelum mampu menyerap intisari bacaan.

3 Tingkat 4 hingga 8

Pada tingkat ini, anak menjadi lebih mampu memperoleh informasi dari media cetak. Dengan kata lain, mereka membaca untuk belajar. Mereka masih mengalami kesulitan memahami informasi yang ditampilkan dari berbagai sudut pandang dalam satu cerita.

(5)

Dari tahapan model perkembangan membaca di atas, anak TK sampai ke tahapan dua yaitu anak sudah mampu membaca bunyi huruf, membunyikan huruf dan mencampurnya menjadi sebuah kata. Hal ini sejalan dengan pendapat McGeown, et al (2012) yang menyatakan bahwa anak-anak diajarkan secara berurutan mencampurkan bunyi-huruf untuk membaca kata asing dan mengandalkan lebih pada memori jangka pendek mereka untuk mempertahankan serangkaian fonem harus dicampur secara bersama-sama.

Sedangkan Dhieni, dkk (2011) mengemukakan ada beberapa tahapan dalam perkembangan membaca. Tahap pertama adalah tahap fantasi (magical stage), pada tahap ini anak mulai belajar menggunakan buku, melihat dan membalik lembaran buku ataupun membawa buku kesukaannya. Tahapan kedua adalah tahap pembentukan konsep diri (self concept stage), pada tahap ini anak mulai memandang dirinya sebagai “pembaca” dimana terlihat keterlibatan anak dalam kegiatan membaca, berpura-pura membaca buku, memaknai gambar berdasarkan pengalaman yang diperoleh sebelumnya, dan menggunakan bahasa baku yang tidak sesuai dengan tulisan.

Tahap ketiga yaitu tahap membaca gambar (bridging reading stage), anak mulai tumbuh kesadaran akan tulisan dalam buku dan menemukan kata yang pernah ditemui sebelumnya, dapat mengungkapkan kata-kata yang bermakna dan berhubungan dengan dirinya, sudah mengenal tulisan kata-kata puisi, lagu, dan sudah mengenal abjad. Tahap keempat yaitu Ketika anak tidak belajar membaca, anak cenderung mengalami kesulitan serius dalam berbagai mata pelajaran.

4 Sekolah

menengah atas

Banyak siswa menjadi pembaca-pembaca yang sangat kompeten. Mereka mengembangkan kemampuan untuk memahami materi yang ditampilkan dari berbagai sudut pandang. Hal ini memampukan mereka mendiskusikan literatur, sejarah, ekonomi, dan politik; kadang bak seorang ahli.

(6)

tahap pengenalan bacaan (take off reader stage), anak mulai menggunakan tiga sistem syarat (graphoponik, semantik, dan sintaksis). Anak mulai tertarik pada bacaan, dapat mengingat tulisan dalam konteks tertentu, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan, serta membaca berbagai tanda seperti pada papan iklan, kotak susu, pasta gigi dan lainnya. Tahapan kelima yaitu tahap membaca lancar (independent reader stage) yaitu anak dapat membaca berbagai jenis buku.

Permendiknas No. 58 tahun 2009 tentang Standar PAUD menyatakan tentang keaksaraan anak usia 5-6 tahun antara lain: 1) Menyebutkan simbol huruf yg dikenal; 2) Mengenal suara huruf awal dari nama benda di sekitarnya; 3) Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi/huruf awal yg sama; 4) Memahami hubungan bunyi dan bentuk huruf; 5) Membaca nama sendiri; 6) Menulis nama sendiri.

Berdasarkan beberapa tahapan perkembangan di atas dapat disimpulkan bahwa tahapan perkembangan membaca anak taman kanak-kanak sudah mampu membaca bunyi huruf, membunyikan huruf dan mencampurnya menjadi sebuah kata, menyebutkan simbol huruf, menyebutkan kelompok gambar yang mempunyai huruf awal yang sama, mengenal suara huruf awal dari nama benda di sekitarnya, mampu membaca nama sendiri, serta mulai tertarik pada bacaan yang ada di sekitarnya.

d. Metode Membaca

Santrock (2002) mengemukakan bahwa ada tiga pendekatan teknik belajar membaca yang mendominasi, antara lain: 1) Metode ABC (ABC Method) yaitu suatu teknik belajar membaca yang menekankan pada ingatan akan nama-nama dan huruf-huruf alfabet; 2) Metode Keseluruhan Kata (Whole laguange) yaitu suatu teknik belajar membaca yang menekankan pada pembelajaran asosiasi langsung antara keseluruhan kata dan maknanya; 3) Metode Bunyi (Phonics Method) yaitu suatu teknik belajar membaca yang menekankan pada bunyi (lafal pengucapan) yang

(7)

dihasilkan oleh huruf-huruf yang terdapat di dalam kata (bunyi semacam itu dapat berbeda dari nama-nama huruf ini, seperti dalam bahasa Inggris ketika bunyi huruf c [si] tidak sesuai dengan pengucapan kata [cat].

Namun, baru-baru ini kontroversi berfokus pada pendekatan bahasa menyeluruh dan pendekatan keahlian dasar dan fonik (Santrock, 2007). Santrock (2007) menyatakan bahwa:

Pendekatan bahasa secara menyeluruh (whole language approach) menekankan bahwa pelajaran membaca seharusnya parallel dengan pembelajaran bahasa alami anak. Materi-materi membaca sebaiknya utuh dan bermakna. Artinya, anak-anak sebaiknya diberikan materi dalam bentuk lengkap, seperti cerita-cerita dan puisi, sehingga mereka dapat belajar memahami fungsi komunikatif bahasa. Membaca sharusnya dihubungkan dengan keahlian menulis dan mendengarkan.

Dalam program-program semacam ini, pembaca pemula diajarkan untuk mengenali kata-kata (atau bahkan seluruh kalimat) secara menyeluruh dan diajarkan juga untuk menggunakan konteks bacaan dalam menerka kata-kata yang masih asing. (hlm. 364)

Santrock (2007) mengutip pendapat Cunningham, Lane, & Pullen bahwa:

Pendekatan keahlian dasar dan fonik (basic skills and phonics approach) menekankan bahwa pelajaran membaca seharusnya mengajarkan fonik dan aturan-aturan dasarnya dalam menerjemahkan simbol-simbol ke dalam bunyi. Menurut pendekatan ini, anak seharusnya mendapat materi-materi bacaan yang rumit (seperti buku dan puisi) hanya setelah mereka memahami aturan-aturan korespondensi yang menghubungkan fonem-fonem lisan dengan huruf-huruf alphabet yang mewakili fonem tersebut. Santrock (2007) menambahkan bahwasannya anak-anak dapat mengambil manfaat dari kedua pendekatan tersebut. Para peneliti menemukan bukti yang kuat bahwa pendekatan keahlian dasar dan fonik sebaiknya digunakan dalam mengajar anak membaca, meskipun siswa juga mengambil manfaat dari pendekatan bahasa secara menyeluruh. Tinjauan penelitian tersebut merupakan kesimpulan dari National Reading Panel Amerika (NRP, 2000) yang melakukan tinjauan komprehensif terhadap riset-riset mengenai membaca.

(8)

Berdasarkan beberapa pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa metode membaca yang mendominasi ada 3 macam, yaitu metode ABC atau metode abjad, metode bunyi dan metode keseluruhan kata.

Beberapa metode yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan pada gambar 2.2 sebagai berikut.

Gambar 2. 2 Macam-macam Metode Membaca

2. Phonics Method

a. Definisi Phonics Method

Santrock (2007) mengutip pendapat Menn & Gammon bahwa:

Fonologi setiap bahasa dibentuk dari suara-suara dasar. Fonologi adalah sistem suara dari suatu bahasa, termasuk suara-suara yang digunakan dan bagaimana suara-suara tersebut dikombinasikan Contohnya bahasa inggris memiliki bunyi “sp”, “ba”, dan “ar”, tetapi rangkaian bunyi “zx” dan “qp” tidak ada. Sebuah fonem adalah unit dasar dari suara dalam suatu bahasa; fonem adalah unit terkecil dari suara yang mempengaruhi makan. Contoh yang baik dari fonem dalam bahasa Inggris adalah /k/, yakni suara yang direpresentasikan oleh huruf “k” di dalam kata “ski” dan huruf “c” dalam kata “cat”. Bunyi /k/ hanya berbeda sedikit dalam kedua kata tersebut, dan dalam beberapa bahasa seperti bahasa Arab, dua bunyi tersebut merupakan fonem-fonem yang berbeda. Akan tetapi, variasi ini tidak dibedakan dalam bahasa Inggris, dan bunyi /k/ adalah sebuah fonem tunggal.

Stahl (Santrock, 2007) mengungkapkan bahwa para peneliti menemukan bahwa pelatihan terbaik untuk kesadaran fonologi memiliki

Metode

membaca

Metode ABC Metode Bunyi Keseluruhan Kata

(9)

tiga karakteristik (1) diintegrasikan dengan membaca dan menulis (2) bersifat sederhana (3) dilaksanakan dalam kelompok-kelompok kecil. Suatu penelitian jangka panjang mendukung pandangan bahwa kesadaran fonemik dan latihan fonetik sejak dini adalah kunci bagi tiap anak untuk dapat mahir membaca (Papalia, 2014).

Bald (Phajane, 2014) mengatakan phonics adalah jalan menghubungkan simbol huruf dan bunyi huruf. Pendekatan ini mengajarkan membaca pada anak dengan memecah kode kata oleh suara individu (phoneme), lebih baik daripada mengenali keseluruhan kata.

Metode fonik (phonics method) merupakan salah satu metode membaca dimana “Para guru mengajarkan anak-anak bagaimana bunyi-bunyi huruf itu maupun mencampur bunyi-bunyi secara bersama-sama untuk membentuk kata” (Seefeldt & Wasik, 2008). Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Santrock (2002) yang mengemukakan bahwa “Metode bunyi (phonics method) merupakan suatu teknik belajar membaca yang menekankan pada bunyi (lafal pengucapan) yang dihasilkan oleh huruf-huruf yang terdapat di dalam kata (bunyi semacam itu dapat berbeda dari nama-nama huruf ini, seperti dalam bahasa Inggris ketika bunyi huruf c [si] tidak sesuai dengan pengucapan kata [cat]” .

Penerapan metode fonik atau phonics method yaitu dengan mengajarkan anak-anak belajar huruf-huruf abjad dan kelompok-kelompok huruf kemudian diterapkan pada bunyi-bunyi dalam kata (Seefeldt & Wasik, 2008). Hal ini diperkuat oleh Diaz (Yusuf & Enesi, 2012) menyatakan bahwa metode phonics melibatkan dengan memeriksa setiap kata secara individual sebagai suara individu dan kemudian mencampurkan suara secara bersama-sama.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa metode fonik (phonics method) merupakan metode yang menekankan pada bunyi (lafal pengucapan), metode ini mengajarkan bunyi-bunyi huruf secara individual yang kemudian dicampurkan bersama-sama yang diterapkan dalam sebuah kata.

(10)

b. Langkah Pelaksanaan Phonics Method

Menurut Othman dan Eliani (Othman Y, Daud, Othman A, Mohiddin & Sulaiman, 2012), terdapat beberapa langkah dalam mengajar bunyi huruf. Pertama, murid boleh menyebut bunyi dan mengenal pasti huruf yang berkaitan. Bagi yang sudah mencapai pembelajaran pertama, beberapa aktivitas wajib telah dicadangkan untuk dilaksanakan, antara lain: 1) Perkenalkan bunyi huruf yang akan diajar. Sebut bunyi dengan jelas beberapa kali; 2) Tanyakan murid bunyi yang didengar dan minta murid menyebut bunyi dengan betul. Ulang sebut bunyi sehingga mantap; 3) Perkenalkan simbol/huruf yang diajar sambil menyebut: “Ini bunyi…”. Jangan guna perkataan ‘huruf’; 4) Ulang sebut bunyi sambil menunjukkan simbol beberapa kali; 5) Anak diminta membunyikan; 6) bunyi huruf satu persatu.

Hasnah & Habibah (Othman et al., 2012) menyatakan bahwa pada dasarnya, kaedah ini adalah untuk mengajar murid-murid melihat hubungan antara simbol (huruf) dan bunyi supaya mereka dapat membaca (membunyikan) perkataan-perkataan baru yang mereka hadapi; kemudian murid diperkenalkan dengan bunyi huruf dan bukan nama huruf, kemudian lambang huruf dikaitkan dengan bunyinya. Misalnya ‘a’ dibunyikan ‘aa...’, ‘t’ - ‘teh’, ‘s’ - ‘ss’. ‘u’ - ‘uu...’, ‘z’ - ‘zz...’ dan sebagainya. Murid-murid akan dilatih membunyikan huruf satu per satu dan kemudiannya menggabungkan dengan bunyi-bunyi huruf yang lain membentuk suku kata dan kata;

Kemudian, apabila mereka sudah mengetahui hubungan tiap-tiap huruf dengan bunyinya, anak diajarkan tentang suku kata. Misalnya, ‘ba’, ‘da’, ‘tu’, ‘ka’, ‘lu’, ‘mi’ dan sebagainya. Contoh lain seperti huruf “a” tidak dieja tetapi terus dibunyikan sebagai [a], dan begitulah bagi huruf-huruf dan suku kata yang lain. Sebagai contoh, ba + ta terus disebut sebagai [ba] + [ta] dan seterusnya disebut sebagai [bata]; Setelah itu baru digabung suku-suku kata ini menjadi perkataan-perkataan - ‘dada’, ‘batu’, ‘kata’, ‘lalu’ dan sebagainya.

(11)

Sedangkan menurut Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (1991) menyatakan bahwa penerapan metode bunyi (phonics method) sama dengan metode abjad. Bedanya terletak pada cara pelafalan hurufnya. Metode abjad melafalkan huruf sebagaimana abjadnya, sedangkan metode bunyi melafalkan huruf sebagaimana bunyinya, contohnya: /b/ dilafalkan /beh/ atau /eb/, d dilafalkan /ed/ atau /deh/. Langkah-langkah pengajarannya adalah sebagai berikut: 1) Mengenalkan/ membaca beberapa huruf, misalnya: b, u, d, i; 2) Merangkai huruf menjadi suku kata, misalnya: b.u (dilafalkan beh.u – bu); 3) Menggabungkan suku kata menjadi kata yang sudah dihafal, misalnya bu – di (dilafalkan beh.u, deh.i – bu-di).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan phonics method diajarkan ketika anak sudah mengenal simbol huruf, kemudian langkah-langkahnya: 1) murid diperkenalkan bunyi huruf; 2) murid diminta untuk membunyikan bunyi huruf secara berulang-ulang; 3) murid diminta untuk menggabungkan dan mengaitkan bunyi-bunyi huruf dan membentuk suku kata; 4) setelah itu suku kata yang sudah terbentuk dikaitkan dan digabung lagi menjadi sebuah kata.

Pelaksanaan pengajaran phonics method dapat digambarkan seperti gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2. 3 Langkah Pelaksanaan Phonics Method diperkenalkan bunyi huruf membunyikan bunyi huruf menggabungkan bunyi-bunyi huruf menjadi suku kata menggabungkan suku kata menjadi kata

(12)

c. Macam-macam Phonics Method

Stahl (Phajane, 2004) mengemukakan ada 2 macam phonics method , yaitu analytic phonics dan synthetic phonics.

1) Analytic Phonics

Metode phonics ini merupakan metode dimana bunyi huruf diajarkan setelah anak siap untuk mulai membaca, anak-anak dapat belajar membaca dengan menginisialisasi beberapa kata yang kelu atau sulit. Di akhir tahun pertama di sekolah anak-anak dalam penelitian ini diajarkan untuk suara dan campuran kata CVC, misalnya / C / / a / / t /? Kucing (Johnson & Watson, 2005).

Stahl (Phajane, 2014) menyatakan pendekatan analitik dimulai dengan anak menganalisis suara dalam kata-kata yaitu mereka mulai dengan kata dan mengambilnya terpisah misalnya, kata cinta yang diajarkan pertama kali kemudian mengatakan empat suara c / i / n / t / a. Kemudian setelah itu anak mengatakan setiap suara, mereka berbaur dengan tiga suara bersama-sama. (Phajane, 2014).

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Phajane (2014) yang mengutip pendapat Bald menyatakan pendekatan analitik adalah di mana pelajar harus memisah kata-kata menjadi bunyi huruf [misalnya sekolo kemudian s-e-k-o-l-o (sekolah), dari seluruh ke bagian] dan pendekatan berbasis ejaan adalah di mana pelajar harus mengurutkankata dengan pola ejaan.

2) Synthetic Phonics

Dalam pendekatan ini, sebelum anak mulai mengenal buku, mereka mengetahui bunyi huruf terlebih dahulu. Sesuai pendapat Feitelson (Johnston & Waston, 2005), setelah beberapa huruf dan bunyi huruf diajarkan, mereka menunjukkan bagaimana bunyi dapat dicampur bersama membentuk sebuah kata. Misalnya, ketika mengajarkan surat suara / t / / p / / a / dan / s / anak-anak dapat membangun kata-kata 'tap', 'pat', 'pats', 'taps', 'a tap' dll.

(13)

Pendekatan sintetik dimulai dengan mempelajari hubungan suara huruf dan mencampurkan huruf-huruf tadi untuk membentuk kata-kata, sebagai contoh r / a / t / a kemudian ra-ta (Phajane, 2014). Hal ini sejalan dengan pernyataan Bald (Phajane, 2014) yang mengemukakan bahwa pendekatan fonik sintetis dimulai di mana pelajar mengeluarkan suara dan mencampurkan huruf untuk membentuk kata-kata. Beberapa contoh s-e-k-o-l-o kemudian sekolo (sekolah), dari bagian ke seluruh. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa phonics method terdiri dari dua macam, yaitu analytic phonics dan shynthetic phonics. Setelah melakukan meta-analisis dari 38 studi dengan 66 perlakuan yang berbeda diterbitkan dalam jurnal peer-review sejak tahun 1970, disimpulkan bahwa instruksi systematic phonics, apakah itu shynthetic phonics atau analytic phonics, adalah bermanfaat dalam awal instruksi membaca (Nishanimut, Johnston, Joshi, Thomas, & Padakannaya, 2013).

Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan shynthetic phonics. Pendekatan tersebut dipilih karena dianggap paling cocok untuk digunakan dalam pengenalan membaca pada anak. Hal ini diperkuat oleh Phajane (2014) yang menyatakan bahwa pada anak usia dini, pembelajarannya memfokuskan pada synthetic phonics, yaitu kata dipisah menjadi bagian terkecil dari unit yaitu suara (fonem). Anak-anak diajari huruf (graphemes) dan merepresentasikan ke dalam fonem dan juga belajar mencampurnya kedalam kata.

Hal ini sesuai dengan serangkaian percobaan yang dilakukan oleh Johnston dan rekan-rekannya sejak publikasi laporan oleh NRP & NICHD (2000), telah menunjukkan bahwa synthetic phonics lebih baik dari analytic phonics dalam mengembangkan kesadaran fonemik, kata membaca, mengeja dan pemahaman bacaan (Nishanimut, et al., 2013).

(14)

Macam-macam phonics method dapat disimpulkan melalui gambar 2.4 dibawah ini:

Gambar 2. 4 Macam-macam Phonics Method

d. Kelebihan Phonics Method

Seefeldt & Wasik (2008) mengungkapkan bahwa phonics method ini menolong anak-anak mengembangkan strategi-strategi sehingga anak bisa mengartikan kata-kata yang jarang mereka jumpai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak-anak mampu mengetahui masing-masing bunyi dalam kata, mampu mengartikan kata dan memahami maknanya. Metode ini mengajarkan kata-kata yang kelu (sight words) atau kata-kata yang sulit diucapkan karena metode ini tidak mengikuti aturan bunyi.

Dhieni, dkk (2011) merupakan salah satu metode untuk anak yang lebih besar (sudah mengenal huruf) yang merasakan sukar membaca. Selain itu, kelebihan metode ini adalah memudahkan anak membuat hubungan otomatis antara kata & bunyi, anak dapat membunyikan dan membacanya sendiri (Morrison, 2012). Pembelajaran Bahasa Inggris menggunakan instruksi phonics lebih efektif daripada belajar membaca tanpa instruksi phonics (Nishanimut, et al., 2013).

phonics

method

analytic phonics synthetic phonics

(15)

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kelebihan phonics method adalah cara efektif untuk belajar membaca bagi anak, mampu mengetahui masing-masing bunyi di dalam kata, memudahkan anak untuk membuat antara bunyi dan simbol huruf sehingga mampu membentuk sebuah kata.

e. Kelemahan Phonics Method

Dhieni, dkk (2011) menyatakan bahwa metode ini ada beberapa kelemahan, yaitu: 1) kurang tepat apabila digunakan sebagai pendekatan pertama untuk membaca; 2) anak harus benar-benar memusatkan pikiran dan pembunyian kata-kata; 3) pembelajaran metode ini membutuhkan waktu yang lama, apabila siswa belum mengenal pelajaran alfabet sebelumnya.

NRP (2000) menyatakan bahwa pembelajaran dengan phonics tidak bisa dilakukan sendirian, harus ada metode lain atau strategi lain untuk menjamin keberhasilan membaca. Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi metode, daripada metode pengajaran tunggal, mengarah ke pembelajaran terbaik.

Berdasarkan kedua pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa phonics method memiliki kelemahan, antara lain 1) kurang tepat apabila digunakan sebagai pendekatan pertama untuk membaca; 2) anak harus benar-benar memusatkan pikiran dan pembunyian kata-kata; 3) pembelajaran metode ini membutuhkan waktu yang lama, apabila siswa belum mengenal pelajaran alfabet sebelumnya.; 4) Metode ini harus dikombinasikan dengan metode lain untuk menjamin keberhasilan membaca.

3. Phonics Method untuk Kemampuan Membaca Permulaan

Di tahun 2000, USA’s National Reading Panel mengungkapkan bahwa instuksi phonics merupakan bagian dari program seimbang untuk belajar membaca (Wyse & Goswami, 2008). Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah

(16)

Australia (Department of Education Science and Training, 2005) mengemukakan bahwa sistem secara teratur, langsung, dan eksplisit instruksi phonics merupakan bagian penting dari kesatuan belajar membaca. (Wyse & Goswami, 2008).

Otto (2015) menyatakan bahwa “Anak taman kanak-kanak dapat menunjukkan bukti pengetahuan fonetik dalam usahanya untuk membaca ketika mereka mulai fokus terhadap hubungan huruf-bunyi”. Lloyd (Faustina & Syukri, 2014) mengemukakan ada dua predictor dalam membaca sukses yaitu: 1) mengetahui huruf adalah predictor paling baik dalam belajar membaca; dan 2) mencampurkan kedua keterampilan dan kesadaran fonemik merupakan predictor kuat dalam membaca sukses.

Crosland & Dunlap (Nopprapun & Holloway, 2014) mengemukakan bahwa phonics telah diidentifikasi sebagai sebuah blok bangunan fundamental lebih canggih dari perilaku pembaca; fasih pengetahuan huruf-bunyi, bersama dengan kesadaran fonemik, diperlukan untuk pelajar untuk secara efisien mendeteksi kata-kata dalam Novel. Menurut Dickinson, McCabe, Anastasopoulos, Peisner-Feinberg, & Poe (Nopprapun & Holloway, 2014) adanya hubungan yang kuat antara ini kemampuan fonologi awal dan pengembangan kata membaca.

Nopprapun & Holloway (2014) menyatakan bahwa sejumlah penelitian longitudinal telah dilakukan yang menggambarkan pentingnya phonics dalam pengembangan kemampuan membaca. McBride-Chang (Nopprapun & Holloway, 2014) menemukan bahwa nama huruf dan bunyi huruf keduanya diprediksi mempunyai keterampilan yang berhubungan dengan membaca, pengetahuan bunyi-huruf adalah prediktor paling kuat.

Dari beberapa teori hubungan antara phonics method dan membaca pada anak usia dini dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kemampuan fonologi awal dan pengembangan kata membaca, instruksi phonics merupakan program seimbang untuk belajar membaca, serta instruksi phonics merupakan salah satu predictor kuat dalam membaca sukses dikarenakan phonics method merupakan metode untuk anak supaya lebih

(17)

mudah mengenal bunyi huruf yang diajarkan sehingga akan memudahkan anak dalam belajar membaca.

4. Langkah dan Penilaian Penerapan Phonics Method untuk Kemampuan Membaca Permulaan Anak

Pelaksanaan phonics method diajarkan ketika anak sudah mengenal simbol huruf, kemudian langkah-langkahnya yaitu: 1) murid diperkenalkan bunyi huruf, contohnya: huruf /b/ dibaca /beh/; 2) murid diminta untuk membunyikan bunyi huruf secara berulang-ulang; 3) murid diminta untuk menggabungkan dan mengaitkan bunyi-bunyi huruf dan membentuk suku kata; 4) suku kata yang sudah terbentuk dikaitkan dan digabung lagi menjadi sebuah kata. Peneliti juga melakukan penilaian phonics method untuk kemampuan membaca permulaan anak yang diadaptasi dari Permendiknas No. 58 Tahun 2009, Early Grade Reading Assesment (EGRA, 2014) dan Dalman (2013), yaitu: 1) Menyebutkan simbol-simbol huruf yang dikenal; 2) Menyebutkan gambar yang memiliki bunyi/huruf awal yang sama; 3) Membaca suku kata; 4) Membaca kata.

B. Kerangka Berpikir

Membaca merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan berbahasa anak. NRP (McGeown, et al., 2012) menyatakan bahwa salah satu keterampilan paling penting anak belajar ketika mereka mulai sekolah adalah bagaimana caranya membaca. Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan sebuah metode yang menarik dalam mengajarkan membaca kepada anak usia dini, yaitu dengan menggunakan phonics method.

Phonics method merupakan metode anak-anak membedakan kemiripan pada bunyi awal dan akhir. Sehingga anak-anak diajarkan bagaimana huruf-huruf abjad dan kelompok-kelompok huruf-huruf diterapkan pada bunyi-bunyi dalam kata (Seefeldt & Wasik, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh phonics method terhadap kemampuan membaca anak melalui pola ejaan bahasa Indonesia.

(18)

Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut.

Gambar 2.5 Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, dapat diajukan hipotesis bahwa penggunaan phonics method berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan anak kelompok B TK Aisyiyah Bustanul Athfal Kertonatan.

Membaca awal pada anak memiliki peranan penting untuk prestasi membaca lanjutan

Membaca permulaan adalah hal yang penting dan menjadi awal yang kuat untuk kemampuan keaksaraan

Pemberian perlakuan phonics method

Terdapat pengaruh positif terhadap kemampuan membaca permulaan anak

Gambar

Gambar 2. 1 Pentingnya Kemampuan Membaca Permulaan
Gambar 2. 2 Macam-macam Metode Membaca
Gambar 2. 3 Langkah Pelaksanaan Phonics Method diperkenalkan bunyi hurufmembunyikan bunyi hurufmenggabungkan bunyi-bunyi huruf menjadi suku kata menggabungkan suku kata menjadi kata
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Putra merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengungkapkan bahwa melalui penerapan media foto dapat meningkatkan kemampuan membaca kata berakasara

Kemampuan adalah sesuatu yang dimiliki individu berkenaan dengan potensi untuk menguasai suatu keterampilan yang berkembang melalui latihan-latihan dan pengalaman. Operasi

Poster adalah pengumuman atau iklan bisa berbentuk gambar maupun tulisan, atau keduanya yang ditempelkan di dinding, tembok, atau tempat-tempat umum yang mudah dijangkau dan

Soft Skill merupakan keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dirinya sendiri). Keterampilan yang termasuk kedalam Soft Skill yaitu Positive

Anitah (2009 : 103), menyatakan bahwa “kerja kelompok merupakan metode pembelajaran yang memandang peserta didik dalam suatu kelas sebagai satu kelompok atau

a) Air untuk pengadukan (air yang ditimbang atau diukur dibatching plant), es, air yang ditambahkan oleh operator truk, air bebas pada agregat-agregat, dan air yang masuk dalam

Jika rencana penyelesaian masalah telah dibuat, baik secara tertulis maupun tidak, selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang dianggap

Secara lebih rinci Shoimin (2014: 184-185) menyebutkan kelebihan lain dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yaitu: 1) materi yang disampaikan