10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran Kimia
Menurut Winataputra (2008) pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi, memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Pembelajaran didefinisikan sebagai proses komunikasi dua arah, dimana guru bertindak sebagai pendidik yang menyampaikan materi pelajaran dan siswa sebagai penerima pelajaran (Sagala, 2010: 61). Pembelajaran merupakan salah satu proses yang menentukan keberhasilan pendidikan dengan berdasar pada asas dan teori belajar.
Pembelajaran kimia merupakan proses belajar mengajar yang mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energi zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran. Dalam pembelajaran kimia, terdapat dua hal yang saling terkait yaitu kimia sebagai produk dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah) (Asna, Sugiharto & Susanti, 2014). Oleh karena itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia tersebut sebagai proses dan produk. Kimia sebagai produk merupakan kimia yang di dalamnya memuat pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori hasil temuan para ilmuwan. Sedangkan kimia sebagai proses menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kimia terdapat proses-proses yang harus dijalani seperti kerja ilmiah. Pembelajaran kimia sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari tetapi memiliki konsep materi yang bersifat abstrak.Sehingga pada pembelajaran kimia perlu adanya pemahaman secara mendalam, penalaran ilmiah, dan penalaran tinggi terhadap substansi materinya (Merdekawati, Saputro & Sugiharto, 2014).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kimia merupakan pembelajaran untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang membutuhkan kemampuan penalaran dan berpikir ilmiah agar dapat menghubungkan antara pengetahuan yang diperoleh dengan kehidupan sehari-hari serta memanfaatkannya dalam kehidupan.
2. Teori Belajar
Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010). Pengertian ini memfokuskan pada interaksi antara individu dengan lingkungan untuk mencapai tujuan berupa perubahan tingkah laku dengan cara atau usaha pencapaian yang berbeda (Hamalik, 2011:28). Menurut Drischoll (Uno, 2011) terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam belajar antara lain : a. Belajar adalah suatu perubahan yang menetap dalam kinerja seseorang.
b. Hasil belajar yang muncul dalam diri siswa merupakan akibat atau hasil dari interaksi siswa dengan lingkungan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan pengertian belajar adalah proses yang dilakukan secara sadar oleh individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang dapat berupa kecakapan, keterampilan, maupun perubahan sifat baik diperoleh melalui pelatihan atau pengalaman.
Teori belajar artinya teori yang mendeskripsikan terjadinya proses belajar bagaimana seseorang harus belajar (Suyono & Hariyanto, 2011). Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel yang menentukan hasil belajar.Pada penelitian ini digunakan teori belajar kognitivisme, konstruktivisme, dan humanisme.
a. Teori Belajar Kognitivisme
Salah satu aliran dalam teori kognitivisme adalah Gesalt.TeoriGesalt menyatakan bahwayang paling penting dalam proses belajar dari seseorang adalah memahami apa yang akan dipelajari oleh individu tersebut. Teori belajar Gesalt dikenal dengan teori insight atau pemahaman.Teori ini lebih menekankan pada persepsi individu. Menurut Gesalt, belajar tidak telepas dari
proses individu menangkap/menerima stimulus atau pengetahuan yang didapat dari lingkungan, tetapi belajar merupakan proses yang menghasilkan persepsi baru di mana individu mampu membentuk konsep yang benar dalam pikiran mereka (Baharuddin & Wahyuni, 2015: 126-129).
Teori ini digunakan sebagai dasar penelitian karena berhubungan dengan objek yang akan diteliti yaitu persepsi. Hal ini dikarenakan, saat siswa berinteraksi dengan lingkungan (belajar), siswa tidak hanya merespons, tetapi juga memandang/menilai suatu objek berdasarkan subjektivitas masing- masing yang kemudian membentuk suatu konsep pemikiran baru terhadap objek tersebut secara keseluruhan.
b. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Menurut Hanafiah dan Suhana (2010: 62) teori konstruktivisme diprakarsai oleh Piaget dan Vygotsky.Piaget dan Vygotsky sama-sama beranggapan bahwa dalam kegiatan pembelajaran, keaktifan siswa merupakan hal penting.Teori konstruktivismememberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan dengan bahasa sendiri sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (Uyoh, 2010).Siswa membangun pengetahuan dengan menguji ide-ide dan pendekatan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada, mengaplikasikannya kepada situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang diperoleh.
Teori belajar konstruktivisme sejalan dengan pembelajaran berbasis STEM yang mana siswa dituntut aktif dalam mengkonstruksi dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatifuntuk memecahkan suatu permasalahan dengan mengintegrasikan sains, teknologi, teknik, dan matematika.
c. Teori Belajar Humanisme
Konsep teori humanistik menyatakan bahwa siswa harus mempunyai kemampuan yang mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar, apa yang akan dipelajari, dan sampai pada tingkatan mana, kapan, serta bagaimana mereka akan belajar mengarahkan diri sendiri sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar. Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan hanya sekedar pengembangan proses kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada (Baharuddin & Wahyuni, 2015: 196).
Teori ini digunakan sebagai dasar penelitian karena berhubungan dengan objek yang akan diteliti yaitu self-efficacy. Self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimiliki dalam mengerjakan tugas atau menyelesaikan suatu masalah. Individu yang memiliki self- efficacyakan bersikap optimis dalam menghadapi tugas yang sulit dan termotivasi untuk berusaha lebih keras dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini sesuai dengan teori humanistik di mana siswa harus mampu mengarahkan perilakunya sendiri dalam belajar.
3. Pembelajaran Kimia Berbasis STEM
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kimia merupakan materi yang abstrak dan membutuhkan penalaran ilmiah yang mendalam dengan menghubungkan antara pengetahuan yang diperoleh dengan kehidupan sehari- hari, maka salah satu pendekatan yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran kimia adalah pendekatan STEM.
STEM merupakan pendekatan yang mengikuti tren atau perkembangan zaman di era global, terdiri dari empat bidang yang saling berkaitan yaitu Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Tsupros, Kohler, dan Hallinen (2009) menyatakan bahwa STEM adalah pendekatan interdisiplin pada pembelajaran yang menggunakan sains, teknologi, teknik, dan matematika dalam konteks nyata yang menghubungkan antara sekolah, dunia kerja, dan dunia global
sehingga menghasilkan siswa yang mampu bersaing dalam era ekonomi baru. Hal ini sejalan dengan Firman (2015) yang menyatakan bahwa pendidikan STEM adalah gerakan global dalam praktik pendidikan yang mengintegrasikan empat disiplin ilmu untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan tuntutan keterampilan abad 21. Pendekatan STEM dalam pembelajaran dapat menghasilkan pembelajaran yang bermakna bagi siswa melalui integrasi pengetahuan, konsep, keterampilan secara sistematis dan membuat siswa mampu memecahkan masalah di mana siswa akan memiliki cara berpikir yang berbeda dengan membentuk dan mengembangkan logika berpikir yang kritis dan logis, sehingga bisa diaplikasikan dalam berbagai keadaan sehingga siswa akan terbiasa memecahkan masalah dengan baik (Afriana, Permanasari & Fitriani 2016).
Morrison (2006) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis STEM menjadikan siswa mampu memecahkan masalah dengan baik, sebagai inovator, inventors, mandiri, berpikir logis dan melek teknologi.Lam, P., et al. (2008) menyatakan dengan adanya pembelajaran berbasis STEM, siswa dilibatkan pada pembelajaran yang kontekstual dan aktivitas belajar hands-on sehingga meningkatkan motivasi dalam belajar dan memperoleh pengetahuan baru.Beers (2011) menyatakan bahwa pendekatan STEM dapat melatih kemampuan berpikir kreatif.Hal ini telah dibuktikan oleh Suwarma, Astuti, dan Endah (2015) yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA berbasis STEM dengan menggunakan media ballon-powered car mampu meningkatkan motivasi, kreativitas, dan meningkatkan pemahaman siswa di mana siswa dapat mengembangkan ide atau gagasan dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dengan mendesain suatu produk.
Pembelajaran kimia berbasis STEM berpusat pada siswa menekankan aplikasi pengetahuan sains, kreativitas dan pemecahan masalah (Firman, 2015).Pembelajaran kimia berbasis STEM perlu dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) atau pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), di mana siswa ditantang secara kritis,
kreatif, dan inovatif untuk memecahkan masalah nyata yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan kegiatan kelompok secara kolaboratif.Pembelajaran kimia berbasis STEM diharapkan dapat mengembangkan pemahaman siswa terhadap konten kimia dan aplikasinya, kemampuan merekayasa untuk inovasi dan pemecahan masalah, serta soft skills.
Dampak lebih lanjut dari pembelajaran kimia berbasis STEM adalah meningkatnya minat dan motivasi siswa untuk melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang profesi sains dan teknologi, sebagaimana dibutuhkan negara saat ini dan di masa yang akandatang. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran kimia berbasis STEM dapat berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia.
Selain itu beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pembelajaran berbasis STEM dapat meningkatkan hasil belajar siswa (Beier & Ashley, 2008 ; Ceylan &
Ozdilek, 2015 ; Mayasari, T., Kadorahman, A., & Rusdiana, D., 2014).
4. Hasil Belajar
Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi belajar mengajar yang ditunjukkan dengan nilai.Dimyati dan Mudjiono (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah keberhasilan yang dicapai seorang siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran yang ditandai dengan bentuk angka, huruf, atau simbol tertentu yang disepakati oleh pihak penyelenggara pendidikan.
Sedangkan menurut Sudjana (2009:3) hasil belajar siswa adalah hasil dari perubahan tingkah laku siswa yang mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik. (keterampilan)Berdasarkan kedua uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku setelah melalui kegiatan belajar yang mencakup aspekpengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Menurut Bloom, aspek kognitif (pengetahuan) berkaitan dengan proses bernalar dan berpikir. Tingkatan aspek kognitif terdiri dari pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), sintesis (C5), dan evaluasi (C6) (Dimyati & Mudjiono, 2006). Aspek afektif (sikap) berkaitan dengan aspek-aspek
emosional, seperti sikap, nilai-nilai, apresiasi, dan minat. Aspek ini berdasarkan taksonomi Kratwohl dalam Winkel (1997:247) yang mempunyai lima tingkatan dari yang sederhana sampaiyang kompleks antara lain penerimaan, penanggapan, penilaian, organisasi, dan karakteristik nilai. Sedangkan aspek psikomotor berkaitan dengan keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu (Sudjana, 2009).
Menurut Slameto (2010) hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.Faktor internal berkaitan dengan segala sesuatu yang berasal dari dalam siswa itu sendiri, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar diri siswa tersebut.
a. Faktor internal siswa, meliputi :
1) Faktor fisiologis, seperti kondisi kesehatan dan kebugaran fisik, serta kondisi panca indera.
2) Faktor psikologis, seperti intelegensi, minat, bakat, motivasi, kemampuan persepsi, ingatan, dan berpikir.
b. Faktor eksternal siswa, meliputi :
1) Keluarga, seperti cara mendidik, suasana rumah, dan hubungan antara anggota keluarga.
2) Sekolah, seperti interaksi guru dengan siswa, metode mengajar guru, dan hubungan siswa dengan siswa.
3) Masyarakat, seperti interaksi siswa dalam masyarakat dan lingkup teman bergaul.
Berdasarkan penjelasan di atas, hasil belajar merupakan hasil dari proses pembelajaran yang mencakup aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan yang mengakibatkan adanya perubahan tingkah laku. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah persepsi.Siswa yang memiliki persepsi positif terhadap pembelajaran, cenderung lebih bersemangat dan memiliki motivasi selama mengikuti kegiatan pembelajaran sehingga akan meningkatkan hasil belajarnya. Selain itu, ada faktor lain yang diyakini dapat mempengaruhi hasil
belajar yaitu self-efficacy. Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki agar berhasil mencapai tujuan.Keyakinan tersebut memotivasi siswa untuk memperoleh hasil yang memuaskan.
5. Self-Efficacy
Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah psikologi siswa, khususnya self-efficacy (Ghufron & Risnawita, 2014).Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk dapat meningkatkan kinerjanya dan menghasilkan suatu penyelesaian masalah yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka (Bandura, 1997).Self-efficacy berkaitan dengan bagaimana keyakinan seseorang agar dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan atau memotivasi dirinya agar berpikir bahwa ia bisa melakukannya. Keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing individu berbeda- beda walaupun individu tersebut memiliki tingkat intelegensi yang sama, namun memungkinkan mendapatkan hasil yang berbeda karena sesuai dengan level self- efficacy yang dimilikinya.Jadi dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam belajar sehingga mampu mendapatkan hasil belajar yang diinginkan.
Secara garis besar self-efficacydiklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu self-efficacy tinggi dan self-efficacy rendah.Bandura (1997) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek untuk mengukur tinggi rendahnya self-efficacy yang dimiliki masing-masing individu.Adapun aspek-aspek tersebutmeliputi :
a. Tingkat kesulitan (level)
Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas.Siswaakan melakukan kegiatan yang dirasa mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diperkirakan di luar batas kemampuan yang dimiliki.
b. Tingkat kekuatan (strength)
Kekuatan ini meliputi gigih dalam belajar, gigih dalam menyelesaikan tugas, serta konsistensi dalam mencapai tujuan.Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi akan berusaha berjuang untuk mencapai tujuan yang dicapai.
c. Generalisasi
Aspek generalisasi dalam hal ini berkaitan dengan penguasaan tugas, penguasaan materi pelajaran, serta cara memanajemen waktu. Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung menguasai tugas dari berbagai bidang yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan diri seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengerjakan tugas tertentu sehingga mampu mendapatkan hasil yang maksimal.Self-efficacy berpengaruh kuat terhadap hasil belajar siswa. Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi terhadap pembelajaran akan bersikap optimis, gigih dan tekun, serta memiliki komitmen dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan guru. Hal ini dikarenakan, siswa yakin akan kemampuan yang dimilikinya sehingga menganggap tugas-tugas yang diberikan oleh guru sebagai suatu tantangan yang harus dapat diatasi. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi menjadi lebih termotivasi dan bersemangat terhadap kegiatan pembelajaran serta berusaha maksimal mungkin dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, sehingga memperoleh hasil belajar yang maksimal.
6. Persepsi
Persepsi merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar siswa (Wahyuningsih, 2011).Persepsi adalahproses penerjemahan informasi sensorik oleh otak (Wade, 2007). Menurut Slameto (2010) persepsi berarti pandangan, tanggapan, anggapan langsung dari dalam diri seseorang terhadap suatu objek tertentu melalui pengenalan panca indramanusia. Milliam James dalam Isbandi Rukminto Adi (1994:105) menyatakan bahwa persepsi terbentuk daripenyerapan data-data oleh panca indera yang diperoleh dari lingkungan,serta diperoleh dari pengolahan memori yang diolah kembali berdasarkan pengalaman. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi ialah suatu proses interpretasi terhadap suatu objek yang diperoleh dari lingkungan dan diolah berdasarkan pengalaman. Proses terjadinya persepsi yaitu berlangsung saat
seseorang menerima stimulus yang ditangkap oleh panca indera kemudian diteruskan ke otak. Selanjutnya akan terjadi proses berpikir yang pada akhirnya menjadi sebuah penilaian/pemahaman terhadap suatu objek tersebut (Sarwono, 2010).
Persepsi mempunyai sifat yang subyektif di mana setiap individu akan mengartikan atau menggambarkan suatu objek dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan keadaan masing-masing individu sehingga sangat dimungkinkan suatu objek atau peristiwa yang sama akan ditafsirkan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Menurut Irwanto, dkk. (1989:96-97), faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut :
a. Perhatian yang selektif, artinya individu cenderung hanya memusatkan perhatian pada rangsangan tertentu.
b. Karakteristikstimulus artinya intensitas stimulus (rangsang) yang paling kuat atau lebih menarik.
c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu, artinya antara individu yang satu dengan yang lain tidak tergantung pada nilai kebutuhan.
d. Pengalaman sangat mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan lingkungannya, di mana setiap individu cenderungmemandang suatu objek dengan cara yang berbeda-beda, sehingga mengartikan stimulus juga dengan cara yang berbeda.
Mar’at (1991) mengungkapkan bahwa persepsi terdiri dari tiga komponen, antara lain sebagai berikut :
a. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana seseorang mempersepsikan suatu objek. Dari komponen kognitif tersebut kemudian akan terbentuk keyakinan terhadap suatu objek.
b. Komponen afektif
Komponen ini berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap suatu objek.
c. Komponen konatif
Komponen ini berhubungan dengan kecenderungan dalam bertindak terhadap suatu objek.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu objek, bisa positif bisa juga negatif.Persepsi yang positif perlu dimiliki oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dikarenakan, persepsi yang positif akan membangkitkan semangat dan motivasi siswa dalam kegiatan pembelajaran di mana siswa akan menganggap pembelajaran lebih menarik dan mudah dipahami, sehingga akan meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran tersebut. Sebaliknya, apabila siswa memiliki persepsi yang negatif terhadap pembelajaran tersebut, maka siswa akan cenderung tidak tertarik, mudah bosan, dan merasa materi yang diajarkan tidak bermanfaat. Hal ini akan berdampak pada penurunan motivasi yang akan mengakibatkan penurunan hasil belajarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu pandangan atau penilaian seseorang dalam menginterpretasikan suatu objek melalui panca indera.Siswa yang memiliki persepsi positif terhadap pembelajaran cenderung memiliki hasil belajar yang baik.Hal ini dikarenakan, siswa meyakini bahwa pembelajaran tersebut penting, bermanfaat, serta berdampak baik bagi kehidupan, sehingga siswa cenderung ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai pembelajaran tersebut yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.
7. Asam Basa
a. Konsep asam-basa
Berikut ini akan diuraikan beberapa konsep asam-basa menurut para ahli seperti Svante Arrhenius, Johannes Bronsted, Thomas Lowry, dan Gilbert Newton Lewis.
1) Konsep Asam-Basa Arrhenius
Asam arrhenius ialah zat yang dilarutkan dalam air membebaskan ion H+, sedangkan basa Arrhenius ialah zat yang dilarutkan dalam air membebaskan ion OH- (Keenan, Kleinfelter & Wood, 1986).
Sebagai contoh HCl(aq) + H2O (aq) → H3O+(aq) + Cl- (aq)
Teori Arrhenius memiliki kelemahan, yaitu hanya terbatas pada larutan dengan pelarut air, sehingga tidak dapat menjelaskan sifat asam-basa apabila pelarutnya bukan air.
2) Konsep Asam-Basa Bronsted-Lowry
Konsep asam basa Bronsted-Lowry didasarkan pada serah terima proton (H+).Asam adalah spesi yang memberi proton (donor proton), sedangkan basa adalah spesi yang menerima proton (akseptor proton).Dalam persamaan reaksi asam-basa berdasarkan teori Bronsted-Lowry terdapat istilah asam basa konjugasi.Basa konjugasi adalah ion atau molekul yang terbentuk setelah asam kehilangan proton, sedangkan asam konjugasi adalah ion atau molekul yang terbentuk setelah basa menerima proton.
Sebagai contoh, perhatikan reaksi antara NH3 dan H2O berikut : NH3 (aq) + H2O (l) ↔ OH- (aq) + NH4+(aq)
basa asam konjugasi basa konjugasi asam
Kelemahan konsep asam-basa Bronsted-Lowry adalah tidak dapat menjelaskan reaksi-raksi yang melibatkan senyawa tanpa proton (H+) serta beberapa reaksi yang melibatkan senyawa kompleks.
3) Konsep Asam-Basa Lewis
Asam menurut Lewis adalah akseptorpasangan elektron, sedangkan basa Lewis adalah donor pasangan elektron.Teori asam basa Lewis lebih luas dibandingkan Arrhenius dan Bronsted-Lowry. Hal ini dikarenakan teori Lewis dapat menjelaskan reaksi asam-basa yang berlangsung dalam pelarut air, pelarut bukan air dan tanpa pelarut sama sekali. Teori Lewis dapat menjelaskan reaksi asam basa yang tidak melibatkan transfer proton (H+), seperti reaksi antara BF3 dan NH3.Pada reaksi antara BF3 dan NH3, BF3 bertindak sebagai asam, sedangkan NH3 bertindak sebagai basa.
b. Kekuatan asam-basa
Asam dan basa ada yang bersifat kuat dan lemah.Pada asam dan basa kuat,seluruh molekulnya terurai menjadi ion-ionnya dalamair, sedangkan asam dan basa lemah hanya sebagian kecil molekulnya terurai menjadi ion- ionnya.Berdasarkan banyaknya asam atau basa yang terionisasi didapat harga derajat ionisasi asam atau basa.
Derajat ionisasi (ɑ) adalah harga perbandingan antara jumlah molekul zat yang terionisasi dengan jumlah molekul zat mula-mula.Nilai derajat ionisasi (ɑ) dapat ditentukan dengan persamaan berikut.
Derajat ionisasi (ɑ) =Jumlah mol asam atau basa terionisasi Jumlah mol asam atau basa mula -mula
Nilai derajat ionisasi memiliki rentang antara 0% – 100% atau bernilai antara 0 hingga 1. Asam kuat dan basa kuat terionisasi sempurna dalam larutannya sehingga mempunyai derajat ionisasi, ɑ = 1. Asam lemah dan basa lemah hanya terionisasi sebagian kecil dalam larutannya sehingga mempunyai derajat ionisasi 0 < ɑ < 1.
Contoh soal
1) Berapa konsentrasi H+, HCOO–, dan HCOOH dalam larutan asam formiat 0,1 M, jika derajat ionisasinya 1,5%.
Penyelesaian:
Reaksi ionisasi HCOOH(aq) → H+(aq) + HCOO–(aq)
Konsentrasi awal 0,1 M – – Terionisasi 1,5% x 0,1 – –
1,5 x 10–3
Konsentrasi akhir (10–1– 1,5.10–3) 1,5.10–3 1,5.10–3 0,0985 M 0,0015 M 0,0015 M
Jadi [H+] = 0,0015 M, [HCOO–] = 0,0015 M, dan [HCOOH] = 0,0985 M Penguraian asam lemah atau basa lemah menjadi ion-ionnya membentuk reaksi kesetimbangan dan memiliki suatu konstanta ionisasi asam dan basa atau Ka dan Kb. Asam lemah [HA] akan terionisasi dengan reaksi kesetimbangan sebagai berikut.
HA(aq) ↔ H+(aq) + A-(aq)
Ka =[H
+]. [A−] [HA ]
Sehingga dapat diperoleh [H+] = Ka x [Ha]
Untuk menentukan konsentrasi OH–sama dengan cara menentukan konsentrasi H+. Perhatikan reaksi kesetimbangan berikut.
LOH (aq) ↔ L+(aq) + OH-(aq)
Kb =[L
+]. [OH−] [LOH ]
Sehingga dapat diperoleh [OH-] = Kb x [LOH]
Contoh soal
1) Tentukan konsentrasi ion H+ yang terdapat dalam 250 mL larutan HCN 0,15 M jika harga Ka HCN = 4,9 x 10–10.
Penyelesaian:
HCN(aq) → H+(aq) + CN–(aq) 0,15 M
[H+] = Ka x [HCN]
[H+] = 4,9 𝑥 10−10𝑥 15 𝑥 10−2
=8,6 x 10-6M
Jadi, konsentrasi ion H+ dalam larutan HCN adalah 8,6 x 10–6 M.
c. Derajat keasaman (pH) dan derajat kebasaan (pOH) larutan 1) Pengertian pH dan pOH
Harga pH menyatakan derajat keasaman suatu larutan, sedangkan pOH menyatakan derajat kebasaan dalam larutan.
Secara matematika dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut.
pH = -log [H+]
Adapun untuk pOH dinyatakan dengan persamaan berikut ini.
pOH =-log [OH-]
Jika pH = 7,0, maka larutan bersifat netral Jika pH < 7,0, maka larutan bersifat asam Jika pH > 7,0, maka larutan bersifat basa 2) Hubungan pH dan pOH
Hubungan pH dengan pOH diturunkan dari persamaan tetapan kesetimbangan air (Kw). Kw = [H+] [OH-]
Jika kedua ruas diambil harga logaritma negatifnya, maka:
- log Kw = - log ([H+] [OH-])
- log Kw = (- log ([H+]) + (-log [OH-]) Dengan p = - log, sehingga diperoleh pKw = pH + pOH atau pH + pOH = pKw
Pada kesetimbangan, konsentrasi H+ dalam air murni sama dengan konsentrasi ion OH- yaitu 10-7 M sehingga pada kesetimbangan berlaku persamaan berikut : pH + pOH = 14
Contoh soal
100 mL larutan HBr 0,1 M diencerkan dengan air 100 mL.
Tentukan : a. pH mula-mula,
b. pH setelah diencerkan.
Penyelesaian:
a. pH mula-mula:
[H+] = [HBr] = 0,1 M = 10–1 pH = – log [H+]
pH = – log 10–1 = 1 b. pH setelah diencerkan:
Mol HBr mula-mula = 100.0,1 = 10 mmol = 0,010 mol Volume total larutan = 100 ml + 100 ml = 200 ml = 0,2 L Konsentrasi HBr setelah diencerkan:
[HBr] = 0,010 mol
0,2 L = 0,05 M [H+] = [HBr] = 0,05 M pH = – log [H+]
= – log 5.10–2 = 2 – log 5
Jadi, pH mula-mula = 1 dan pH setelah diencerkan = 2 – log 5.
3) Mengukur pH larutan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur pH larutan, yakni dengan menggunakan indikator asam-basa dan pH meter.
a) Indikator asam-basa
Indikator asam-basa dapat memberikan warna yang berbeda pada suasan asam maupun basa.Salah satu contoh indikator adalah kertas lakmus.Suatu senyawa bersifat asam apabila mengubah warna kertas
lakmus menjadi merah dan suatu senyawa bersifat basa apabila mengubah warna kertas lakmus menjadi biru.
Indikator universal adalah gabungan dari beberapa jenis indikator.
Setiap komponen indikator universal akan memberikan warna tertentu yang terkait dengan nilai pH tertentu. pH suatu larutan juga dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa indikator, kemudian diamati warna indikator dengan larutan tersebut, setelah itu baru diperkirakan harga pHnya. Batasan pH dimana terjadi perubahan warna indikator disebut trayek perubahan warna.
b) pH meter
pH meter adalah suatu sel elektrokimia yang memberikan nilai pH dengan ketelitian tinggi. pH meter memiliki suatu elektroda yang sensitif terhadap konsentrasi ion H+ dalam larutan. Sebelum digunakan, elektroda tersebut harus dikalibrasi dengan cara dicelupkan ke dalam larutan standar yang pH-nya sudah diketahui.
Contoh soal
Suatu larutan diuji dengan indikator metil jingga dan bromtimol biru berwarna kuning, dengan lakmus biru dan merah berwarna merah. Perkirakan trayek pH larutan tersebut!
Penyelesaian:
Lakmus merah warnanya merah maka pH < 7 Lakmus biru warnanya merah maka pH < 7 Metil jingga warnanya kuning trayek pH > 4,4 Bromtimol biru warnanya kuning trayek pH < 6
Maka trayek pH larutan tersebut adalah 4,4 – 6
B. Kerangka Berpikir
STEM merupakan pendekatan multidisiplin yang mengintegrasikan sains, teknologi, teknik, dan matematika dalam satu kesatuan. Dengan pendekatan STEM,diharapkan siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, semakin kreatif dan inovatif, mandiri serta dapat menguasai keterampilan dan mampu mengembangkannya dengan tepat.Pendekatan STEM merupakan suatu hal yang baru dan masih jarang diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia.Oleh karena itu, perlu perhatian khusus dalam rangka menyukseskan penerapan pembelajaran STEM tersebut.Keberhasilan penerapan pembelajaran berbasis STEM dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah self-efficacy dan persepsi siswa.Self-efficacy berkaitan dengan keyakinan seseorang terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat menyelesaikan/memecahkan masalah tertentu.Siswa yang memiliki self-efficacy tinggi, cenderung bersikap optimis dalam mengerjakan tugas sesulit apapun dan berusaha menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan tugas tersebut. Karena yakin akan kemampuan yang dimiliki, maka siswa akan mampu memotivasi dirinya sendiri agar memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Selain self-efficacy, persepsi juga sangat diperlukan dalam pembelajaran berbasis STEM. Persepsi berkaitan dengan pandangan, tanggapan, atau penilaian seseorang terhadap suatu objek. Siswa yang memiliki persepsi positif merasa bahwa pembelajaran tersebut akan bermanfaat bagi dirinya, sehingga siswa akan lebih bersemangat dan berperan aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa akan merasa pembelajaranmenjadi lebih menarik, tidak membosankan, dan mudah dipahami sehingga meningkatkan hasil belajar yang diperoleh. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy dan persepsi siswa sangat penting dalam menyukseskan penerapan pembelajaran berbasis STEM.
Hubungan antara self-efficacy dan persepsi siswa dalam pembelajaran kimia berbasis STEM (variabel bebas) terhadap hasil belajar (variabel terikat) dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
X1
Y X2
(Sugiyono, 2010:232)
Keterangan :
X1 : Self-efficacy (Variabel bebas) X2 : Persepsi siswa (Variabel bebas) Y : Hasil belajar (Variabel terikat)
C. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :
1. Ada hubungan positif antara self-efficacy dalam pembelajaran kimia berbasis STEM terhadap hasil belajar pada materi pokok asam basa untuk siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 3 Surakarta.
2. Ada hubungan positif antara persepsi siswa dalam pembelajaran kimia berbasis STEM terhadap hasil belajar pada materi pokok asam basa untuk siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 3 Surakarta.
3. Ada hubungan positif antara self-efficacy dan persepsi siswa dalam pembelajaran kimia berbasis STEM terhadap hasil belajar pada materi pokok asam basa untuk siswa kelas XI MIPA SMA Negeri 3 Surakarta.