• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Anak Tunalaras

a. Pengertian Tunalaras

Banyak orang yang belum mengetahui istilah anak tunalaras, bahkan sebagian besar pendidik pun belum mengetahui hal ini, kecuali mereka yang mempunyai sedikit pengetahuan dasar tentang pendidikan luar biasa. Somantri, (2006: 139) mengemukakan bahwa “anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain”.

Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Anderson (2012: 26) yang menyatakan bahwa “emotional and behavioural disorder means a disability that is characterized by behavioural or emotional responses in school programmes so different from the appropriate age, cultural, or ethnic norms that the responses adversely affect educational performance, including academic, social, vocational or personal skills”

Gangguan emosi dan perilaku berarti seseorang dengan kebutuhan khusus yang ditandai dengan perilaku emosional dalam pembelajaran disekolah yang berbeda dengan usia sepantarnya, budaya, atau norma-norma etnis sehingga mempengaruhi kinerja pendidikannya, termasuk keterampilan akademik, sosial, kejuruan atau kemampuan diri sendiri.

Sebagian besar masyarakat yang belum mengetahui tentang anak tunalaras sering memberikan label bahwa anak tunalaras adalah anak yang nakal dan susah diatur. Berbeda dengan kecacatan lainnya seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tunadaksa, anak tunalaras umumnya diasosiasikan dengan anak dan remaja yang sering menimbulkan keresahan dan keonaran baik di sekolah dan di masyarakat seperti mencuri,

(2)

mabuk, perkelahian, membolos saat sekolah, melanggar tata tertib dan lain sebagainya Sunardi (1995: 5).

Sedangkan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 dalam Efendi (2006: 143)

Anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.

Melihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi serta tingkah laku yang menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, baik di sekolah maupun di masyarakat.

b. Karakteristik Tunalaras

Anak tunalaras sering menunjukkan tingkah laku yang menyimpang di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan sekolah. Delphie (2009: 133) mengemukakan bahwa anak tunalaras memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Tidak mampu belajar, tetapi bukan karena faktor intelektual atau kesehatan

2) Tidak dapat berhubungan, baik dengan teman-teman maupun dengan guru-gurunya.

3) Bertingkah laku tidak pada tempatnya 4) Mengalami depresi

5) Merasa ketakutan dengan orang lain atau ada permasalahan di sekolah Wardani (2007: 30) mengemukakan bahwa, karakteristik anak tunalaras ada tiga yaitu:

1) Karakteristik akademik

Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk

(3)

tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

a) Pencapaian hasil belajar yang berada jauh di bawah rata-rata. b) Seringkali dikirim ke kepala sekolah untuk tindakan indisipliner. c) Seringkali tidak naik kelas atau bahkan dikeluarkan dari

sekolahnya.

d) Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan, dengan alasan sakit, perlu istirahat.

e) Seringkali membolos sekolah.

f) Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari petugas kesehatan atau bagian presensi.

g) Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi. h) Lebih sering menjalani masa percobaan dari pihak yang

berwenang.

i) Lebih sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran lalu lintas.

j) Lebih sering dikirim ke klini bimbingan. 2) Karakteristik sosial/ emosional

a) Karakteristik sosial

(1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri: perilaku tidak diterima masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga.

(2) Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, dan tidak dapat bekerjasama.

(3) Melakukan kejahatan remaja, seperti melanggar hukum. b) Karakteristik emosional

(1) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan rasa cemas.

(4)

(2) Adanya rasa gelisah seperti, rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitive atau perasa.

c) Karakteristik fisik/ kesehatan

Karakteristik kesehatan/ fisik anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan. Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik seperti, gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras memeiliki karakteristik gangguan emosi dan penyimpanngan tingkah laku dengan ditandai perilaku seperti mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, suka membolos, melanggar peraturan yang terdapat di sekolah dan masyarakat. Gangguan tersebut dapat mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut dapat mengakibatkan mengalami hambatan alam bidang akademik, salah satunya adalah hambatan dalam hal membaca permulaan.

c. Klasifikasi Tunalaras

“Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi” (Somantri, 2006: 141).

Dari hal diatas, William M. Cruickshank (1975: 567) dalam (Somantri 2006: 141) mengemukakan bahwa mereka yang mengalami hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori berikut ini :

1) The semi-socialized child

Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan

(5)

yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Di lingkungan sekolah, kerena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka sering kali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu merasakan ada masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.

2) Children arrested at a primitive level or socialization

Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkat yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.

3) Children with minimum socialization capacity

Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan karena kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini lebih banyak bersikap apatis dan egois.

Demikian pula anak yang mengalami gangguan emosi, mereka dapat diklasifikasikan menurut berat/ringannya masalah atau gangguan yang dialaminya. Adapun anak yang mengalami gangguan emosi diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Neurotic behavior (perilaku neurotik)

Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain, akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas dan agresif, serta rasa bersalah disamping juga kadang-kadang mereka melakukan tindakan lain seperti yang dilakukan oleh anak unsocialized (mencuri, bermusuhan). Anak pada kelompok ini dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotic ini biasanya disebabkan oleh keadaan atau sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.

(6)

2) Children with psychotic processes

Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya: minuman keras dan obat-obatan. Oleh karena itulah usaha penanggulangannya lebih sulit karena anak tidak dapat berkomunikasi, sehingga layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada setiap kesempatan yang memungkinkan.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan pengklasifikasian tunalaras dibedakan menjadi dua yaitu, berdasarkan pada mereka yang mengalami hambatan sosial serta mereka yang mengalami gangguan emosi.

Pendapat diatas diperkuat oleh Efendi (2006: 145) yang mengklasifikasikan anak tunalaras berdasarkan intensitas ringan beratnya ketunalarasan menjadi dua kategori, yaitu :

1) Anak kesulitan penyesuaian sosial, dibagi menjadi berikut : a) Anak agresif yang sukar bersosialisasi adalah anak-anak

yang benar-benar tidak dapat menyesuaikan diri, baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun teman sebaya. b) Anak agresif yang tidak mampu bersosialisasi adalah

anak yang tidak dapat menyesuaikan diri di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat, tetapi mereka masih memiliki bentuk penyesuaian diri yang khusus yaitu dengan teman sebayanya yang senasib.

c) Anak yang menutup diri berlebihan adalah anak yang tidak dapat menyesuaikan diri karena neurosis.

2) Anak kelainan emosi, ekspresi wujudnya ditampakkan dalam bentuk sebagai berikut :

a) Kecemasan mendalam tetapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang dituju (anxiety neurotic). Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui respresi.

b) Kelemahan seluruh jasmani maupun rohani yang disertai dengan berbagai keluhan sakit pada beberapa bagian badannya (astenica neurotic). Kondisi ini terjadi karena konflik batin atau tekanan emosi yang sukar diselesaikan.

c) Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan kasar (hysterica konversia). Kondisi

(7)

ini terjadi akibat perlakuan kasar yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai balas dendam untuk kepuasan dirinya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa klasifikasi tunalaras dibagi menjadi dua kategori yaitu, 1) anak kesulitan penyesuaian sosial yang dikarenakan hal-hal yang bersifat fungsional dan 2) anak kelainan emosi yang bentuk gangguannya antara lain anxiety neurotis, astenica neurotic, dan hysterica konversia. Kategori ini berdasarkan intensitas berat ringannya ketunalarasan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan anak tunalaras mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dan mengalami gangguan emosi yang menyebabkan mereka sukar untuk berinteraksi dengan lingkungan baik dirumah, sekolah, maupun masyarakat.

d. Penyebab Ketunalarasan

Banyak faktor yang menyebabkan ketunalarasan. Patton (1991) dalam Efendi (2006: 147) menjelaskan penyebab terjadinya ketunalarasan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Faktor penyebab bersifat internal, dan 2) faktor penyebab yang bersifat eksternal. Faktor penyebab internal adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan faktor penyebab eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu terutama lingkungan , baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Selain faktor penyebab yang dijelaskan patton, Somantri (2006: 143) memperkuat faktor-faktor penyebab ketunalarasan sebagai berikut :

1) Kondisi/keadaan fisik

Ada sementara ahli yang meyakini bahwa disfungsi kelenjar endoktrin dapat mempengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku, atau dengan kata lain kelenjar endoktrin berpengaruh terhadap respon emosional seseorang. Kelenjar endoktrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila secara terus menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya

(8)

perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh pada perkembangan wataknya. Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Masalah ini menjadi kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari lingkungannya, sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya, memperlihatkan tingkah laku agresif, atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk menarik belas kasihan lingkungannya.

2) Masalah Perkembangan

Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial atau masyarakatnya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala. Hal ini disebabkan karena anak sedang dalam proses menemukan jati diri mereka. Anak jadi merasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala. Mereka juga sering menentang dan melanggar peraturan baik dirumah maupun di sekolah. Jiwa anak yang masih labil pada masa ini banyak mengandung resiko berbahaya, jika kurang mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa maka anak akan mudah terjerumus pada tingkah laku menyimpang. 3) Lingkungan Keluarga

Sebagai lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan anak, keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman (emotional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Mengingat banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, maka dalam pembahasan berikut akan dikemukakan beberap aspek, diantaranya yaitu:

a) Kasih sayang dan perhatian

Kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua mengakibatkan anak mencarinya di luar rumah. Dia

(9)

bergabung dengan kawan-kawannya dan membentuk suatu kelompok anak yang merasa senasib. Selain untuk memperoleh rasa aman dalam kelompoknya, dapat juga anak dengan sengaja melakukan perbuatan tercela dan menentang norma lingkungan untuk memperoleh perhatian orang tuanya. Akan tetapi tidak jarang diantara orang tua justru memberikan kasih sayang, perhatian, dan bahkan perlindungan berlebihan (over protection). Sikap memanjakan menyebabkan ketergantungan pada anak sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mencoba sesuatu ia lekas menyerah dan merasa kecewa, sehingga pada akhirnya akan timbul rasa tidak percaya diri/rendah diri pada anak.

b) Keharmonisan Keluarga

Banyak tindakan kenakalan atau gangguan tingkah laku dilakukan oleh anak-anak berasal dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Kondisi keluarga yang pecah atau rumah tangga yang kacau menyebabkan anak kurang mendapatkan bimbingan yang semestinya. Orang tua yang sering berselisih faham dalam menerapkan peraturan atau disiplin dapat menimbulkan keraguan pada diri anak akan kebenaran suatu norma, sehingga anak mencari jalan sendiri dan hal ini dapat saja menjadi awal dari terjadinya gangguan tingkah laku. c) Kondisi Ekonomi

Lemahnya kondisi ekonomi keluarga dapat menjadi penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan anak. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut di dalam keluarga dapat mendorong anak mencari jalan sendiri yang kadang-kadang mengarah pada tindakan antisosial. 4) Lingkungan Sekolah

Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih memilih membolos dan keluyuran pada saat seharusnya ia berada di dalam kelas. Sebaliknya, sikap guru yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan berani melakukan tindakan-tindakan menentang peraturan. Selain guru, fasilitas pendidikan juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan tingkah laku. Sekolah yang kurang mempunyai fasilitas yang dibutuhkan anak didik untuk menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatkan anak menyalurkan aktivitasnya pada

(10)

hal-hal yang kurang baik. Misalnya: karena tidak ada tempat untuk bermain, anak berkeliaran di tempat-tempat umum sehingga kadang-kadang anak mengabaikan waktu belajarnya.

5) Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat juga dapat menjadi sumber yang memicu munculnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat yang negatif ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Di satu pihak remaja menganggap kebudayaan asing itu benar, sementara di pihak lain masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber pada adat istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat terjadi pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang dianut dirumah atau keluarga bertentangan dengan norma dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya ketunalarasan dapat disebabkan oleh faktor internal yang berkaitan dengan individu itu sendiri, faktor keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Serta dapat disebabkan juga dari faktor eksternal yang berasal dari luar individu itu sendiri baik dari lingkungan keluarga, lingkungahn sekolah, maupun lingkungan masyarakat dimana individu itu tinggal.

2. Kajian Tentang Membaca Permulaan a. Pengertian membaca

Tarigan (2008: 7) menjelaskan bahwa “membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis”. Sedangkan Abdurrahman (2003: 200) menjelaskan bahwa :

Membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait dengan membaca adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan. Aktivitas mental mencakup ingatan dan pemahaman. Orang yang membaca dengan baik jika mampu melihat huruf-huruf dengan jelas, mampu menggerakkan mata secara lincah, mengingat simbol-simbol bahasa dengan tepat, dan memiliki penalaran yang cukup untuk memahami bacaan.

(11)

Jika Tarigan dan Abdurrahman menjelaskan bahwa membaca adalah proses untuk memperoleh pesan dari penulis kepada pembaca serta dalam membaca mencakup kemampuan fisik dan mental maka Zuchdi dan Budiasih (2001: 56) menjelaskan bahwa :

Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis, yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca, seseorang akan dapat memperoleh informasi, memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan itu akan memungkinkan orang tersebut mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya, dan memperluas wawasannya.

Pada dasarnya membaca merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap individu. Karena dengan membaca, siswa dapat memahami dan menguasai berbagai macam bidang studi. Dengan membaca, siswa dapat memahami semua materi yang disampaikan guru. Dengan demikian kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat penting bagi siapapun yang ingin maju dan meningkatkan diri. Selain itu, membaca merupakan hal yang paling mendasar untuk anak dapat mengembangkan pengetahuan dan informasi yang diterima. “membaca bukan hanya berkaitan dengan pelajaran Bahasa Indonesia saja, namun juga berkaitan dengan semua pelajaran disekolah”. Isnaini (2013)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan membaca merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh pesan atau memahami isi dari suatu bacaan. Membaca juga merupakan dasar seseorang untuk menguasai berbagai macam bidang studi. Dengan demikian membaca merupakan kegiatan yang penting bagi seseorang bila ingin maju dan memperbaiki diri.

b. Tujuan membaca

Tarigan (2008: 9) mengemukakan “Tujuan utama dalam membaca untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan”. Makna, arti (meaning) erat sekali berhubungan dengan maksud tujuan, atau intensif kita dalam mambaca.

(12)

Hal tersebut diperkuat oleh Anderson (1972: 214) dalam Tarigan (2008: 9) yang mengemukakan tujuan membaca adalah :

1) Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang telah dilakukan oleh tokoh; apa apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang dibuat oleh tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts).

2) Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari atau dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas). 3) Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang

terjadi pada setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan ketiga/seterusnya. Setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah, adegan-adegan dan kejadian, kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization).

4) Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal. Ini disebut membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference).

5) Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa, tidak wajar mengenai seorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify) 6) Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau

hidup dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading to evaluate).

7) Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini disebut membaca

(13)

untuk memperbandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast).

Akan tetapi sebelum anak dapat menguasai tujuan membaca, anak harus sudah mengenal tujuan membaca permulaan. Tujuan membaca permulaan yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk mengenalkan tentang teknik-teknik membaca permulaan yang bertujuan untuk mengenalkan menangkap isi bacaan dengan baik kepada siswa. Slamet (2014: 49) mengemukakan pembelajaran pengenalan membaca dan menulis permulaan bertujuan:

1) Memupuk dan mengembangkan kemampuan anak-anak untuk memahami dan mengenalkan cara membaca dan menulis permulaan dengan benar.

2) Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengenal dan menuliskan huruf-huruf.

3) Melatih dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengubah tulisan menjadi bunyi bahasa atau menuliskan bunyi-bunyi bahasa yang didengarnya.

4) Memperkenalkan dan melatih anak mampu membaca dan menulis sesuai dengan teknik-teknik tertentu.

5) Melatih keterampilan anak untuk memahami kata-kata yang dibaca, didengar atau ditulisnya dan mengingatnya dengan baik.

6) Melatih keterampilan anak untuk dapat menetapkan arti tertentu dari sebuah kata dalam suatu konteks.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca adalah mencari serta memperoleh informasi, memahami isi bacaan yang disampaikan penulis kepada pembaca. Akan tetapi sebelum siswa memahami tujuan membaca, siswa harus terlebih dahulu memahami tujuan membaca permulaan.

c. Pentingnya Membaca Permulaan

Abdurrahman (2003: 201) mengemukakan bahwa “tahap membaca permulaan umumnya dimulai sejak anak masuk kelas satu SD, yaitu pada saat berusia sekitar enam tahun. Meskipun demikian, ada anak yang sudah belajar membaca lebih awal dan ada pula yang baru belajar

(14)

membaca pada usia tujuh atau delapan tahun”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Zuchdi dan Budiasih (2001: 57) yang menyatakan bahwa “Pembelajaran membaca di kelas I dan kelas II itu merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca yang diperoleh siswa di kelas I dan kelas II tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca di kelas berikutnya”. Dalam hal membaca permulaan Slamet (2014: 24) berpendapat bahwa:

Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan selanjutnya. Sebagai kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca permulaan anak akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca permulaan yang memadai.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan membaca permulaan umumnya dilakukan sejak anak kelas satu SD pada usia enam tahun, tapi ada anak yang telah belajar membaca lebih awal dan ada pula yang mulai belajar membaca pada usia tujuh atau delapan tahun. Pembelajaran membaca permulaan sangatlah penting karena membaca permulaan merupakan dasar pembelajaran membaca di kelas berikutnya.

3. Tinjauan tentang Metode SAS a. Pengertian Metode SAS

Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik) merupakan salah satu metode untuk mengatasi kesulitan membaca yang dapat digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, terutama dalam belajar membaca permulaan di kelas II Sekolah Dasar. Dahniar (2013: 136-137). Slamet (2014: 38) menambahkan pengertian metode struktural analitik sintetik adalah :

Struktur bahasa terdiri atas kalimat. Kalimat merupakan bagian bahasa yang terkecil. Kalimat itu sendiri merupakan struktur dan mempunyai bagian yang disebut unsur bahasa (kata, suku kata, dan bunyi atau huruf). Berbahasa berarti mengucapkan,

(15)

menuliskan, menyatakan atau menggunakan struktur bahasa yang dimulai dari struktur kalimat dan disambung dengan struktur kalimat berikutnya.

Analitik berarti memisahkan, menceraikan, membagi,

menguraikan, membongkar, dan lain-lain. Sebelum kita membuat suatu rencana, biasanya kita mengadakan analisis. Dalam analisis itu kita dapat memperoleh data tentang fungsi, nilai, dan arti.

Sintetik berarti menyatukan, menggabungkan, merangkai,

menyusun. Setelah kita mengenal struktur, mengenal bagian secara analitik, selanjutnya kita ingin sintesis untuk kembali mengenal struktur. Jadi, usaha secara sintetik berarti kembali mengenal bentuk struktur. Metode struktural analitik sintetik (SAS) dalam pembelajaran bahasa menekankan sekali hal-hal yang fungsional.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Abdurrahman (2003: 216) yang menyatakan “Metode SAS didasarkan atas asumsi bahwa pengamatan anak mulai dari keseluruhan (gestalt) dan kemudian ke bagian-bagian”. Maksud dari pendapat Abdurrahman adalah anak diajak memecahkan kode tulisan kalimat pendek yang dianggap sebagai unit bahasa utuh, selanjutnya diajak menganalisis menjadi kata, suku kata, dan huruf, kemudian mensintesiskan kembali dari huruf ke suku kata, kata, dan akhirnya kembali menjadi kalimat.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metode srtuktural analitik sintetik (SAS) adalah metode pembelajaran yang terdiri dari tiga bagian, yaitu struktural, analitik serta sintetik. metode SAS dalam pembelajaran bahasa sangat menekankan pada hal-hal yang fungsional. Maksudnya adalah anak diajak memecahkan kode tulisan kalimat pendek, menganalisis menjadi kata, suku kata dan huruf, kemudian mensintesiskan kembali dari huruf ke suku kata, kata dan menjadi kalimat.

b. Landasan Metode SAS

Slamet (2014: 39) mengemukakan bahwa Metode SAS dilandasi oleh beberapa prinsip-prinsip hasil penelitian ilmu bahasa (linguistik), ilmu jiwa, ilmu filsafat, dan ilmu pendidikan. Adapun penjelasan dari prinsip-prinsip tersebut adalah :

(16)

1) Landasan ilmu bahasa (linguistik)

Fungsi bahasa yang sebenarnya adalah sebagai alat komunikasi. Jadi bahasa yang dimaksud adalah bahasa dengan wujudnya bahasa dalam percakapan. Bahasa merupakan suatu keseluruhan (totalitas). Keseluruhan ini terdiri atas struktur-struktur dengan keteraturannya. Pada hakikatnya satuan terkecil dari bahasa yang sewajarnya adalah kalimat sebagai wahana maksud. Kalimat itupun mempunyai arti pula, yaitu suatu struktur.

2) Landasan ilmu jiwa (psikologi)

Proses kejiwaan dalam menanggapi suatu yang baru melalui struktur-struktur. Setelah itu baru mengenal bagian-bagiannya. Dalam mengenal keseluruhan manusia berkeinginan untuk mengetahui unsur-unsur secara analisis. Keinginan untuk mengetahui menimbulkan kegiatan untuk mencari, menemukan sendiri unsur-unsur tersebut, kemudian menggabungkan sendiri menjadi suatu totalitas.

3) Landasan filosofis (filsafat)

Segala sesuatu di dunia ini merupakan struktur yang tersusun dari unsur-unsur yang terorganisasi secara teratur. Bahasa juga merupakan suatu struktur. Manusia selalu berkeinginan untuk mengetahui dan meneliti lingkungannya untuk membentuk kepribadiannya. Perkembangan jiwa dan bahasa dipengaruhi oleh lingkungannya.

4) Landasan ilmu pendidikan (pedagogik)

Mendidik adalah mengorganisasikan pengalaman. Pendidik membantu anak dalam mengembangkan pengalaman anak. Oleh sebab itu, mendidik harus berpangkal pada pengalaman anak. Pendidik berusaha merangsang dengan mengajukan masalah-masalah. Dengan masalah-masalah itu diharapkan anak dapat mencari dan menemukan sendiri dan dapat memecahkan sendiri.

Hal tersebut diperkuat oleh Suparman yang menjelaskan ada tiga teori yang melandasi pengembangan metode SAS, antara lain :

1) landasan linguistik bahwa itu ucapan bukan tulisan, unsur bahasa dalam metode ini adalah kalimat, bahwa bahasa indonesia mempunyai struktur tersendiri. 2) landasan pedagogik mengembangkan potensi dan kemampuan anak, membimbing anak menjawab suatu masalah. 3) landasan psikologis bahwa pengamatan bersifat global dan bahwa anak usia sekolah memiliki sifat ingin tahu. (Sari, Suwatra & Suartama, 2014)

(17)

c. Pelaksanaan Metode SAS

Slamet (2014: 40) mengemukakan pelaksanaan Metode SAS dibagi dalam dua tahap, yakni 1) tanpa buku dan 2) menggunakan buku. Pada tahap tanpa buku, pembelajarannya dilaksanakan dengan cara :

1) Merekam bahasa anak

Bahasa yang digunakan oleh anak di dalam percakapan mereka, direkam untuk digunakan sebagai bahan bacaan. Karena bahasa yang digunakan sebagai bahan bacaan adalah bahasa anak sendiri maka anak tidak akan mengalami kesulitan.

2) Menampilkan gambar sambil bercerita

Dalam hal ini, guru memperlihatkan gambar kepada anak,sambil bercerita sesuai dengan gambar tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan guru dalam bercerita ini digunakan sebagai pola dasar bahan membaca.

3) Membaca gambar

Guru memperlihatkan gambar seorang ibu yang sedang memegang sapu, sambil mengucapkan kalimat “ini ibu”. Anak melanjutkan membaca gambar tersebut dengan bimbingan guru.

4) Membaca gambar dengan kartu kalimat

Setelah siswa dapat membaca gambar dengan lancar, guru menempatkan kartu kalimat dibawah gambar. Untuk memudahkan pelaksanaannya dapat digunakan media berupa papan selip atau papan flanel, kartu kalimat, kartu kata, kartu huruf, dan kartu gambar. Dengan menggunakan kartu-kartu dan papan selip atau flanel, untuk menguraikan dan menggabungkan kembali akan lebih mudah.

5) Membaca kalimat secara struktural (S)

Setelah anak membaca tulisan dibawah gambar, sedikit demi sedikit gambar dikurangi sehingga akhirnya mereka dapat membaca tanpa dibantu gambar. Dalam kegiatan ini yang digunakan kartu-kartu kalimat serta papan selip atau papan flanel. Dengan dihilangkannya gambar maka yang dibaca anak adalah kalimat.

Misalnya : ini bola ini bola nina ini bola lina ini bola tuti. dst. (a) Proses Analitik (A)

Sesudah dapat membaca kalimat, mulailah anak diminta untuk menganalisis kalimat tersebut menjadi sebuah

(18)

kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf. Misalnya: ini bola ini bola i ni bo la i n i b o l a (b) Proses Sintetik (S)

Setelah anak mengenal huruf-huruf dalam kalimat yang digunakan, huruf-huruf itu dirangkaikan lagi menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat seperti semula.

Misalnya : i n i b o l a i ni bo la ini bola ini bola

Secara utuh, proses SAS tersebut sebagai berikut : ini bola ini bola i ni bo la i n i b o l a i ni bo la ini bola ini bola.

Langkah-langkah pembelajaran membaca permulaan menggunakan buku yaitu setelah seorang guru memastikan diri bahwa murid-muridnya telah mampu mengenal huruf-huruf dengan baik melalui pembelajaran membaca tanpa buku, langkah berikutnya yang ditempuh siswa adalah mulai diperkenalkan dengan lambang-lambang tulisan yang tertulis dalam buku. Langkah awal yang paling penting di dalam pembelajaran membaca permulaan dengan buku adalah bagaimana menarik minat dan perhatian siswa agar para siswa mempunyai ketertarikan dengan buku (bacaan) dan mau belajar atas keinginannya sendiri tanpa ada keterpaksaan dalam melakukannya. Ada beberapa langkah pembelajaran membaca permulaan dengan buku, antara lain sebagai berikut :

1) Siswa diberi buku paket/diktat yang sama dan diberi kesempatan untuk melihat-lihat isi buku tersebut.

(19)

2) Siswa diberi penjelasan singkat mengenai buku tersebut, tentang warna, jilid, tulisan/judul luar dan sebagainya. 3) Siswa diberi penjelasan dan petunjuk tentang bagaimana cara

membuka halaman-halaman buku agar buku tetap terpelihara dan tidak cepat rusak.

4) Siswa diberi penjelasan mengenai fungsi dan kegunaan angka-angka yang menunjukkan halaman-halaman buku. 5) Siswa diajak untuk memusatkan perhatian pada salah satu

teks/bacaan yang terdapat pada halaman tertentu.

6) Apabila bacaan itu disertai gambar, sebaiknya terlebih dahulu guru bercerita tentang gambar yang dimaksud. 7) Selanjutnya, barulah pembelajaran membaca dimulai. Guru

dapat mengawali pembelajaran ini dengan cara yang bervariasi / berbeda beda.

Pendapat Slamet diatas diperkuat oleh Zuchdi dan Budiasih (2001: 75) yang menyatakan Metode SAS ini memang cocok diterapkan bagi siswa, karena dalam penerapan Metode SAS, guru melakukan langkah-langah sebagai berikut :

1) Guru menuliskan sebuah kalimat sederhana. Setelah itu kalimat dibaca, siswa menyalinnya.

2) Kalimat tersebut diuraikan/dipisah-pisahkan ke dalam kata-kata. Setelah dibaca, siswa menyalin kata-kata itu seperti yang dilakukan guru.

3) Kata-kata dalam kalimat itu diuraikan lagi atas suku-sukunya. Setelah dibaca, siswa menyalin suku-suku itu seperti yang dilakukan oleh guru.

4) Suku-suku kata itu diuraikan lagi atas huruf-hurufnya. Siswa menyalin seperti yang dilakukan guru.

5) Setelah guru memberikan penjelasan lebih lanjut, huruf-huruf itu dirangkaikan lagi menjadi suku kata. Siswa melakukan seperti apa yang dilakukan guru.

6) Setelah semua siswa selesai, guru merangkaikan suku-suku menjadi kata, murid menyalin.

7) Kata-kata tersebut dirangkaikan lagi sehingga menjadi kalimat seperti semula. Siswa melakukan hal yang sama seperti guru.

(20)

Misalnya : guru akan mengajarkan huruf baru: s dan y. Huruf yang sudah dikenal siswa : a, n, m, i. Kalimat : nama saya nani

Pembelajaran :

Gambar 2.1 Pelaksanaan Metode SAS

Demikian seterusnya pelaksanaan Metode SAS sehingga siswa mengenal kalimat, suku kata, huruf, dan dapat membacanya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pelaksanaan pembelajaran menggunakan Metode SAS memang cocok diterapkan kepada siswa karena metode ini mengajarkan siswa membaca melalui pengenalan gambar yang distrukturalkan menjadi kalimat lalu dianalisis dari kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf dan setelah anak mengenal huruf-huruf dalam kalimat, huruf-huruf itu dirangkai lagi menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat seperti semula.

d. Kelebihan dan Kekurangan Metode SAS

Dalam penerapan metode SAS Terdapat kelebihan serta kekurangan Supriyadi dkk (1992) dalam Niatama (2011:32) menyatakan Metode SAS memiliki Kelebihan dan Kekurangan yaitu :

1) Kelebihan Metode SAS, antara lain : Nama saya nani

nama saya nani

na ma sa ya na ni

n a m a s a y a n a n i

na ma sa ya na ni

nama saya nani

(21)

a) Metode ini menganut prinsip ilmu bahasa umum, bahwa bentuk bahasa yang terkecil adalah kalimat.

b) Metode ini menyajikan dan memperhitungkan pengalaman maupun perkembangan bahasa anak yang selaras dengan situasi lingkungannya.

c) Metode ini menganut prisip menemukan sendiri. 2) Kelemahan Metode SAS, antara lain :

a) Kurang Praktis

b) Membutuhkan banyak waktu c) Membutuhkan alat peraga

Sedangkan Wahyuni (2008: 30-31) mengemukakan kelebihan dan kekurangan metode SAS. Kelebihan dari metode SAS, yaitu metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu bahasa) yang memandang satu bahasa terkecil yang bermakna untuk berkomunikasi adalah kalimat. Kalimat dibentuk oleh satuan-satuan bahasa di bawahnya, yaitu kata, suku kata, dan akhirnya fonem (huruf-huruf); menyajikan bahan pelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan pengalaman bahasa siswa yang selaras dengan situasi lingkungannya; metode ini sesuai dengan prinsip inkuiri. Murid mengenal dan memahami sesuatu berdasarkan hasil temuannya sendiri. Dengan begini, murid akan merasa lebih percaya diri atas kemampuannya sendiri, sikap seperti ini akan membantu murid dalam mencapai keberhasilan belajar dikarenakan :

1) Sesuai dengan perkembangan kepribadian anak, karena pengenalan struktur totalitas atau keseluruhan lebih berarti bagi anak dibandingkan pengenalan bagian-bagian.

2) Menanamkan kebiasaan pada anak untuk berpikir kritis dan anak lebih kreatif.

3) Sesuai dengan perkembangan ilmu jiwa modern yaitu ilmu jiwa Gestalt.

4) Proses belajar mengajar yang menggunakan metode SAS lebih hidup, karena antara guru dan murid sama-sama aktif.

(22)

5) Tidak lekas menimbulkan kebosanan pada anak dalam menerima pelajaran.

6) Dapat mengindari penyusunan kalimat yang tidak bermakna, karena metode SAS dimulai dari pengenalan struktur kalimat.

Sedangkan kelemahan metode SAS yaitu :

1) Kurangnya pengetahuan guru tentang metode SAS mempengaruhi keberhasilan studi anak dalam bidang studi Bahasa Indonesia khususnya dan pelajaran lain pada umumnya.

2) Memerlukan biaya yang banyak dan memerlukan kecakapan guru yang memadai.

3) Anak yang kurang kreatif dapat membaca dengan hafal tetapi mengenal huruf (membaca hafalan).

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan metode SAS memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran. Salah satu kelebihan metode SAS adalah metode ini menyajikan dan memperhitungkan pengalaman maupun perkembangan bahasa anak yang selaras dengan situasi lingkungannya serta menanamkan kebiasaan pada anak untuk berpikir kritis dan anak lebih kreatif. Dari pendapat tersebut maka metode SAS ini dirasa peneliti dapat digunakan dalam pembelajaran membaca permulaan pada anak tunalaras, dikarenakan dengan memperhitungkan pengalaman maupun perkembangan bahasa anak yang selaras maka anak tunalaras dapat menyesuaikan diri dalam mengikuti pembelajaran. Serta dengan menanamkan kebiasaan berpikir kritis dan kreatif akan membuat anak tunalaras dapat mengoptimalkan kemampuan akademiknya, terutama kemampuan akademik anak dalam membaca permulaan. Sedangkan kekurangan dalam Metode SAS dapat dijadikan evaluasi pendidik untuk memperbaiki pembelajaran menjadi lebih baik lagi.

(23)

B. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori di atas dapat dijelaskan bahwa membaca permulaan merupakan kegiatan membaca bagi siswa di kelas I dan II pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat. Sedangkan metode Struktural Analitik Sintetik adalah suatu pengajaran Bahasa Indonesia yang dimulai dari pengenalan struktur kalimat dan dari struktur kalimat dianalisis menjadi kata, suku kata dan huruf dan kemudian diseintesakan menjadi struktur kalimat yang utuh. Hal ini menarik peneliti untuk menggunakan metode Struktural Analitik Sintetik untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak Tunalaras kelas II di SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran 2015/2016 tersebut.

Peneliti melakukan pengukuran pretest untuk mengetahui kemampuan awal anak sebelum menggunakan metode Struktural Analitik Sintetik. Pretest dalam penelitian ini adalah dengan memberikan soal kepada anak. Pretest ini dilakukan dengan satu kali pertemuan.

Berdasarkan hasil dari Pretest kemudian diberikan Treatment. Pelaksanaan traetment ini dilaksanakan sebanyak tigakali sesi pertemuan. Dalam pelaksanaan treatment ini peneliti menggunakan metode Struktural Analitik Sintetik dalam kegiatan pembelajaran.

Tahap selanjutnya peneliti mengukur kemampuan anak setelah diberikan treatment sebagai evaluasi untuk melihat efektifitas pemberian treatment dalam kemampuan membaca permulaan. Tahap ini juga disebut sebagai posttest. Posttest ini dilakukan sebanyak satu kali pertemuan.

Hasil dari treatment sebagai evaluasi menunjukan bahwa tingkat kemampuan membaca permulaan anak tunalaras kelas II di SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran 2015/2016 meningkat.

Kesimpulan dari serangkaian kegiatan yang telah dilaksanakan adalah metode Struktural Analitik Sintetik efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak tunalaras kelas II di SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran 2015/2016.

(24)

Gambar 2.2 kerangka berpikir C. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan/pernyataan sementara yang diungkapkan secara deklaratif yang menjadi jawaban dari sebuah permasalahan. Sugiyono (2013 : 96) menjelaskan “ hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pernyataan”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2007 : 137) yang menjelaskan bahwa ” hipotesis adalah pernyataan atau tuduhan sementara masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu benar) sehingga harus diuji secara empiris”. Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut “metode Struktural Analitik Sintetik efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan pada anak tunalaras kelas II di SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran 2015/2016.

Pembelajaran Bahasa Indonesia anak tunalaras kelas II SD di SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran

2015/2016.

Pembelajaran belum menerapkan Metode Struktural Analitik Sintetik

Kemampuan membaca permulaan anak tunalaras kelas II SD di SLB E Bhina Putera Surakarta masih

rendah

Pembelajaran sudah menerapkan Metode Struktural Analitik Sintetik

Gambar

Gambar 2.1 Pelaksanaan Metode SAS
Gambar 2.2 kerangka berpikir  C.  Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Dari data hasil simulasi perbandingan antara sistem CDMA-OFDM pada jumlah chip kode PN 4, 8 dan 16 dengan 4 pengguna, dalam grafik unjuk kerja sistem terlihat

PERKEMBANGAN JUMLAH LULUSAN DAN PRODUKTIVITAS UNIVERSITAS NEGERI MALANG TRENDS IN NUMBER OF GRADUATES AND PRODUCTIVITY OF STATE UNIVERSITY OF MALANG. TAHUN / YEARS

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

dalam berkomunikasi dengan manajerya maka produktivitas kinerjanya yang dihasilkan akan kurang memuaskan bahkan komunikasi tersebut kurang efektif karena jika manajer

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Tabel 2 Perbandingan output paket AMV 2.0 dengan output SAS, Minitab, dan SPSS menggunakan metode blackbox Fungsi di AMV 2.0 Perangkat Lunak Hasil Perbandingan output

Abstrak: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dari perceived quality, brand awareness, dan brand loyalty terhadap overall brand equity pada konsumen Luwak White Koffie

Jika Grup mengurangi bagian kepemilikan pada entitas asosiasi atau ventura bersama tetapi Grup tetap menerapkan metode ekuitas, Grup mereklasifikasi ke laba rugi proporsi