• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Hakikat Keterampilan Berbicara a. Pengertian Keterampilan

Setiap orang memiliki keterampilan yang berbeda-beda. Hal ini dikarenakan, keterampilan diperoleh melalui belajar dan latihan secara berkelanjutan (Tarigan, 2008: 1). Oleh karena itu, semakin banyak belajar dan melakukan latihan memungkinkan keterampilan yang dimiliki seseorang dapat meningkat. Keterampilan yang semakin meningkat akan terlihat dari kegiatan jasmaniah, yaitu seseorang dapat melakukan sesuatu dengan cepat dan benar. Pendapat tersebut sejalan dengan Syah (2010: 117) yang menyatakan bahwa keterampilan adalah kegiatan yang lazimnya tampak pada jasmaniah seseorang karena berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot seperti menulis, olah raga, dan sebagainya. Walaupun bersifat motorik, namun keterampilan memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran tinggi. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan gerak motorik dengan koordinasi gerak dan kesadaran yang rendah, maka dianggap kurang atau tidak terampil.

Keterampilan tidak hanya erat kaitannya dengan melakukan sesuatu, tetapi juga kegiatan berfikir. Hal tersebut sejalan dengan Subana dan Sunarti (2009: 36) yang mengemukakan bahwa keterampilan berarti kemampuan dalam menggunakan pikiran. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki keterampilan berarti mampu menggunakan daya pikir, daya nalar, dan kreativitasnya untuk menyelesaikan maupun menghasilkan sebuah karya yang inovatif dalam kehidupannya. Pendapat yang hampir sama dinyatakan oleh Sukmadinata dan Syaodih (2012: 184) yang menyatakan bahwa keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam menerapkan pengetahuan yang dikuasainya dalam suatu bidang kehidupan.

(2)

Dengan demikian, keterampilan juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan baik mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir (Ichsan & Nursanto, 2013: 29). Hal ini dikarenakan, keterampilan tidak hanya meliputi kemampuan melaksanakan praktik (kegiatan fisik) atau mampu berfikir dan menggunakan pengetahuan yang dimiliki (kegiatan mental) saja tetapi juga dapat keduanya. Kedua kegiatan tersebut saling bergantung untuk menghasilkan sesuatu secara efektif dan efisien.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa keterampilan adalah suatu kemampuan dalam menggunakan pikiran dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki pada suatu bidang kehidupan dengan cepat dan benar melalui kegiatan baik yang berupa mental maupun fisik. Kegiatan mental berhubungan dengan berfikir, sedangkan kegiatan fisik berhubungan dengan gerak motorik. Oleh karena itu, apabila seseorang melakukan sesuatu dengan cepat namun salah belum dapat dikatakan terampil.

b. Konsep Dasar Keterampilan Berbicara

Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan satu sama lain. Kegiatan saling membutuhkan tersebut menimbulkan terjadinya suatu komunikasi. Salah satu alat komunikasi antar manusia adalah berbicara. Pengertian berbicara dinyatakan oleh Poerwanti (2013: 43) sebagai suatu proses berkomunikasi menggunakan suara yang dihasilkan oleh alat ucap dan di dalamnya terjadi pemindahan pesan kepada orang lain. Pesan yang disampaikan dapat berupa ide, pikiran, isi hati, dan sebagainya tergantung kepada tujuan dilakukannya kegiatan berbicara tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan Zuhri (2010: 19) yang menyatakan bahwa berbicara adalah kegiatan mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut diperlukan agar arah pembicaraan jelas dan isi pesan dapat disampaikan secara efektif.

(3)

Penyampaian pesan atau gagasan yang dilakukan pembicara kepada pendengar menunjukkan bahwa adanya kegiatan memberi dan menerima. Kegiatan memberi dilakukan oleh pembicara, sedangkan kegiatan menerima dilakukan oleh pendengar. Dengan demikian, berbicara adalah kegiatan memberi dan menerima bahasa, gagasan atau pesan (Nurgiyantoro, 2011: 397). Kegiatan menerima dan memberi sesuatu dapat dikategorikan sebagai berbicara apabila dilakukan secara lisan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Musaba (2012: 22) yang menyatakan bahwa berbicara berarti mengungkapkan sesuatu secara lisan. Kata mengungkapkan berarti tidak hanya sekedar mengucapkan, akan tetapi menekankan kepada menyampaikan sesuatu.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa berbicara merupakan kegiatan mengucapkan kata atau kalimat yang dihasilkan oleh alat ucap untuk menyampaikan gagasan, ide atau pesan secara lisan kepada individu atau sekelompok orang, sehingga dapat mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan tersebut sangat beraneka ragam, tergantung pada seseorang yang melakukan kegiatan berbicara. Namun apapun tujuannya, berbicara harus dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu agar pesan dapat diterima dengan baik oleh pendengar.

Pentingnya kedudukan berbicara sebagai penunjang komunikasi lisan, sehingga diajarkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia sebagai suatu keterampilan. Tujuannya adalah untuk melatih siswa mampu mengungkapkan ide atau gagasan secara lisan dengan memperhatikan santun berbahasa. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mudini dan Purba (2009: 4) yang menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan kepada pendengar. Selain itu, terdapat hal lain yang dapat disampaikan melalui keterampilan berbicara. Iskandarwassid dan Sunendar (2013: 241) menyatakan, “Keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan keterampilan

(4)

memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain”. Dengan demikian, melalui penguasaan keterampilan berbicara yang baik akan memudakan seseorang ketika menyampaikan berbagai hal yang diinginkan kepada orang atau sekelompok orang.

Kedua pendapat di atas sejalan dengan Tarigan (2008: 16) yang menyatakan, “Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”. Secara lebih luas, Arsjad dan Mukti (1998: 17) menyatakan bahwa keterampilan berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan pikiran kepada pendengar melalui rangkaian nada, tekanan, mimik, dan pantomimik. Artikulasi berkaitan dengan posisi alat bicara seperti lidah, gigi, bibir, dan langit-langit yang digunakan ketika membentuk bunyi, baik vokal maupun konsonan. Dengan demikian, keterampilan berbicara tidak hanya kemampuan mengucapkan kata atau kalimat tetapi lebih rumit dari itu. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan dalam jurnal internasional karya Aydogan, 2014, Vol 5 No. 9: 673 sebagai berikut, “Speaking is the productive skill in the oral mode. It, like the other skills, is more complicated than it seems at first and involves more than just pronouncing words”. Isi kutipan jurnal tersebut menjelaskan bahwa berbicara merupakan keterampilan yang produktif dari segi lingustik dan tidak hanya sekedar mengucapkan kata-kata tetapi lebih rumit dari yang telihat. Hal ini dikarenakan terdapat banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti aspek-aspek keterampilan berbicara.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli dan jurnal internasional di atas, maka dapat disintesiskan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan kata-kata atau kalimat untuk mengeluarkan ide, gagasan, atau pikiran secara lisan kepada pendengar melalui rangkaian nada, tekanan, mimik, dan pantomimik. Hal tersebut

(5)

dilakukan agar pendengar tidak bosan dan mampu menerima isi pembicaraan dengan baik dan benar. Dengan demikian, seseorang yang memiliki keterampilan berbicara tidak hanya sekedar mengucapkan kata, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain yang mendukung untuk tercapainya tujuan dari kegiatan berbicara tersebut.

c. Jenis-jenis Berbicara

Terdapat beragam jenis berbicara tergantung kepada dasar yang digunakan untuk membedakannya. Secara garis besar Tarigan (2008: 24-25) membagi berbicara menjadi dua jenis, yaitu: 1) berbicara di muka umum, meliputi berbicara dalam situasi yang bersifat memberitahukan, kekeluargaan, bujukan, dan perundingan; dan 2) berbicara pada konferensi yang meliputi diskusi kelompok resmi dan tidak resmi. Diskusi kelompok resmi meliputi: kelompok studi, kelompok pembuat kebijaksanaan, dan komik, sedangkan diskusi kelompok tidak resmi meliputi: konferensi, diskusi panel, simposium, prosedur parlementer, dan debat. Pendapat berbeda disampaikan oleh Purba (2009: 5) yang membagi berbicara menjadi berbicara formal dan nonformal. Berbicara formal meliputi diskusi, ceramah, pidato, dan wawancara, sedangkan berbicara informal meliputi percakapan, penyampaian berita, dan bertelepon.

Selain dua jenis berbicara di atas, secara lebih rinci berbicara dapat dibedakan berdasarkan: 1) tujuan, yang meliputi memberitahukan, melaporkan, menginformasikan, menghibur, membujuk, mengajak, meyakinkan, dan menggerakkan; 2) situasi, yang meliputi berbicara formal dan informal; 3) cara, yang meliputi berbicara berdasarkan catatan, mendadak, hafalan, dan naskah; dan 4) jumlah pendengar, yang meliputi antarpribadi, kelompok kecil, dan kelompok besar (Santosa dkk, 2011: 6.35-6.38). Secara lebih luas Slamet (2008: 38) membedakan berbicara berdasarkan: 1) situasi, artinya jenis berbicara berdasarkan situasi-situasi tertentu; 2) tujuan, artinya jenis berbicara berdasarkan pada tujuan yang akan dicapai pembicara kepada pendengar; 3) metode penyampaian, artinya jenis berbicara yang didasarkan kepada cara pembicara

(6)

menyampaikan pesannya kepada pendengar; 4) jumlah penyimak, artinya jenis berbicara yang didasarkan kepada sedikit atau banyaknya jumlah pendengar; dan 5) peristiwa khusus, artinya jenis berbicara yang menekankan penyampaian isi pembicaraan kepada pendengar berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh pembicara.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa jenis berbicara dibedakan menjadi berbagai macam tergantung kepada sudut pandang yang digunakan. Namun secara garis besar, berbicara dibedakan menjadi dua jenis yaitu berbicara di muka umum dan berbicara pada konferensi. Fokus utama dalam penelitian ini mengambil jenis berbicara pada konferensi yang bertujuan memberitahukan informasi dengan situasi formal. Cara yang digunakan adalah berbicara berdasarkan catatan yang telah dipelajari sebelumnya dengan jumlah pendengar seluruh anggota kelas (kelompok besar).

d. Tujuan Berbicara

Tujuan berbicara merupakan salah satu hal penting yang perlu ditentukan sebelum seorang pembicara menyampaikan isi pembicaraan kepada pendengar. Hal ini dikarenakan tujuan utama berbicara adalah berkomunikasi (Tarigan, 2008: 16). Pendapat tersebut sejalan dengan Slamet (2008: 36) yang juga menyatakan bahwa tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, pembicara harus mampu menggunakan bahasa dengan tepat dan santun agar pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik dan benar oleh pendengar.

Tujuan berbicara juga merupakan pedoman bagi pembicara untuk membangun, mengemas, dan menyampaikan informasi yang dimiliki secara efektif. Perbedaan tujuan akan berpengaruh terhadap bentuk gagasan yang dikembangakan dan cara penyampaiannya. Adapun tujuan berbicara menurut Abidin (2013: 129) meliputi empat hal, yaitu: 1) informatif, artinya tujuan berbicara yang dilakukan untuk membangun pengetahuan pendengar; 2) rekreatif, artinya tujuan berbicara yang dilakukan untuk memberikan kesan menyenangkan baik untuk pembicara

(7)

maupun pendengar; 3) persuasif, artinya tujuan berbicara yang dilakukan untuk membujuk atau mempengaruhi pendengar; dan 4) argumentatif, artinya tujuan berbicara yang dilakukan untuk meyakinkan pendengar terhadap gagasan yang disampaikan oleh pembicara.

Secara lebih luas, Gorys Keraf (Slamet, 2008: 37) menyebutkan tujuan berbicara adalah sebagai berikut.

1) mendorong pembicara untuk memberi semangat membangkitkan kegairahan, serta menunjukkan rasa hormat, dan pengabdian; 2) meyakinkan: pembicara berusaha mempengaruhi keyakinan atau sikap mental/intelektual kepada para pendengarnya; 3) berbuat atau bertindak: pembicara menghendaki tindakan atau reaksi fisik dari para pendengar dengan terbangkitnya emosi; 4) memberitahukan: pembicara berusaha menguraikan atau menyampaikan sesuatu kepada pendengar, dengan harapan agar pendengar mengetahui tentang sesuatu hal, pengetahuan, dan sebagainya; dan 5) menyenangkan: pembicara bermaksud mengembirakan, menghibur para pendengar agar terlepas dari kerutinan yang dialami oleh pendengar.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa tujuan berbicara adalah untuk menyampaikan gagasan, ide, pendapat, atau pesan baik yang bersifat memberi informasi, mempengaruhi, menghibur, maupun meyakinkan kepada pendengar. Adapun tujuan berbicara dalam penelitian ini adalah informatif, yaitu siswa menguraikan atau menyampaikan sesuatu, sehingga siswa yang lain memperoleh suatu pengetahuan.

e. Pembelajaran Berbicara di Sekolah Dasar (SD)

Berbicara merupakan salah satu kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus dikuasai oleh siswa pada semua jenjang pendidikan sekolah dasar. Pembelajaran berbicara tersebut dijabarkan dari kurikulum menjadi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) serta materi-materi pokok yang disesuaikan dengan jenjang kelasnya. Isi silabus kelas V semester II Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tertulis SK berbicara yaitu pada poin 6 yang isinya adalah mengungkapkan pikiran dan perasaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama,

(8)

sedangkan kompetensi dasarnya yaitu pada poin 6.1. yang isinya adalah mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan kata dan santun berbahasa. Isi silabus tersebut sudah tepat karena sesuai dengan karakteristik siswa di kelas tinggi yang kemampuan berbahasanya sudah berkembang. Selain itu, dengan mengajarkan siswa tentang mengomentari persoalan faktual dapat membantu siswa untuk memberikan komentar yang baik, membuat siswa menjadi lebih peduli terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya, dan mampu memberikan pemecahan masalah.

Adapun komentar yang disampaikan dapat berupa saran, pertanyaan, persetujuan, dan kritikan. Saran berarti mengemukakan suatu solusi untuk pemecahan masalah yang dibicarakan. Pertanyaan berarti mengemukakan pertanyaan yang masih berhubungan dengan persoalan yang dibicarakan. Persetujuan berarti mengemukakan dukungan maupun penolakan tentang suatu persoalan, sedangkan kritikan adalah tanggapan yang disertai penjabaran dan pertimbangan baik atau buruk terhadap suatu permasalahan, pendapat, tindakan, atau keadaan. Selain itu, komentar yang diberikan tidak boleh sampai menyinggung perasaan orang lain. Oleh karena itu komentar harus disampaikan dengan baik yaitu memperhatikan santun berbahasa.

Berdasarkan SK dan KD di atas, maka diterapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) agar siswa mampu mencapai kompetensi berbicara yang telah ditentukan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa. Siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menggali pengetahuannya sendiri melalui saling bertukar pendapat dengan teman sekelompok. Kegiatan tersebut membuat siswa terbiasa berfikir kritis, sehingga tidak terus-menerus bergantung kepada penjelasan guru. Disamping itu, melalui model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) siswa dilatih untuk mengungkapkan ide atau gagasannya

(9)

dengan tahapan yang dimulai dari lingkup kecil kemudian dilanjutkan ke lingkup yang lebih besar. Tahapan tersebut sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan berbicara, karena terkadang siswa takut jika harus langsung mengungkapkan ide atau gagasannya secara klasikal. Dengan demikian, melalui latihan yang dilakukan secara berkelanjutan membuat siswa memiliki keberanian dan keterampilan berbicara yang semakin meningkat, sebagai modal untuk berbicara dengan lancar dan baik di depan kelas.

f. Tujuan Pembelajaran Berbicara di Sekolah Dasar

Bahasa Indonesia merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang diberikan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pembelajaran bahasa Indonesia pada masing-masing jenjang tersebut memiliki tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Adapun tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada dasarnya adalah membentuk kompetensi komunikatif siswa. Tujuan tersebut dikemas dalam standar isi bahasa Indonesia, yaitu: “Memiliki kepedulian, rasa percaya diri, perilaku santun, sikap kasih sayang, kedisiplinan, dan anggung jawab dalam pemanfaatan bahasa Indonesia” (Permendikbud No. 64 Tahun 2013 Tentang Standar Isi Sekolah Dasar dan Menengah: 49).

Keterampilan berbicara sebagai salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa juga memiliki berbagai tujuan. Secara garis besar Abidin (2013: 131) menjelaskan bahwa ada empat tujuan penting pembelajaran berbicara yang bersifat hierarki. Adapun keempat tujuan penting tersebut yaitu: 1) membentuk kepekaan siswa terhadap sumber ide; 2) membangun kemampuan siswa dalam menghasilkan ide; 3) melatih kemampuan berbicara siswa untuk berbagai tujuan; dan 4) membina kreativitas berbicara siswa. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan membina kreativitas berbicara, siswa harus berkompetensi dalam

(10)

menggagas, mengorganisasikan, mengemas, dan menyampaikan ide terlebih dahulu.

Berbeda dengan pendapat di atas, Santosa dkk (2011: 6.38) menyatakan bahwa tujuan utama pembelajaran berbicara di sekolah dasar adalah melatih siswa dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Oleh karena itu, agar tujuan tersebut dapat tercapai guru harus sering melatih siswanya untuk berbicara sesuai dengan tata cara yang baik dan benar. Latihan dapat dilakukan dengan cara meminta siswa menceritakan pengalama pribadi, mengeluarkan pendapat tentang suatu topik, kegiatan tanya jawab, bermain peran, pidato, debat, dsb.

Selain beberapa tujuan yang telah dipaparkan di atas, pembelajaran berbicara sebaiknya juga mampu mengembangkan karakter siswa. Hal tersebut diperlukan agar dunia pendidikan Indonesia dapat menghasilkan siswa yang tidak hanya pandai secara intelektual tetapi juga berakhlak mulia. Oleh karena itu, pembelajaran berbicara harus dilakukan dengan memberikan serangkaian kegiatan pembelajaran yang menantang, sehingga dapat menuntut siswa untuk menunjukkan karakter positif dirinya selama pembelajaran khususnya dalam penggunaan Bahasa Indonesia dengan santun.

Mengingat pentingnya tujuan pembelajaran berbicara di sekolah dasar, maka pembelajaran tersebut seharusnya lebih dioptimalkan. Pengoptimalan dilakukan dengan cara menghadapkan siswa pada berbagai bentuk tes, latihan-latihan maupun kegiatan nyata yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi lisan. Hal ini dikarenakan keterampilan berbicara bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara uraian atau teori saja melainkan harus dengan praktik. Disamping itu, guru harus menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswanya, sehingga dapat menjadi penunjang untuk mencapai keberhasilan pembelajaran berbicara.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disintesiskan bahwa pembelajaran berbicara memiliki tujuan, yaitu: agar siswa mampu

(11)

menghasilkan ide dan menyampaikannya secara terampil dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang santun. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melatih siswa untuk berbicara secara berkelanjutan. Hal itu dilakukan mengingat keterampilan berbicara bersifat mekanis yang perlu banyak latihan dan belajar agar semakin terampil. Oleh karena itu, diperlukan model pembelajaran yang tepat, sehingga dapat menunjang peningkatan keterampilan berbicara siswa. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran berbicara di sekolah dasar adalah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). g. Penilaian Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara merupakan salah satu kompetensi yang terdapat pada ranah psikomotor. Penilaian yang dapat dilakukan adalah menggunakan tes unjuk kerja. Tes unjuk kerja keterampilan berbicara berarti siswa dituntut untuk berunjuk kerja berbahasa dan praktik berbicara langsung di depan kelas. Penilaian keterampilan berbicara tidaklah mudah, sehingga banyak guru yang telah melaksanakan pembelajaran berbicara, namun tidak disertai penilaian. Hal ini dikarenakan terdapat banyak aspek-aspek berbicara yang harus diperhatikan serta penilaiannya yang memerlukan banyak waktu dan tenaga. Namun, walaupun demikian penilaian harus tetap dilaksanakan agar dapat diketahui tujuan pembelajaran telah tercapai atau belum. Penilaian terhadap keterampilan berbicara dapat dilakukan dengan memperhatikan komponen-komponen dalam tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Komponen-Komponen Tes Keterampilan Berbahasa

No. Komponen Keterampilan

Menyimak Berbicara Membaca Menulis

1. Fonologi √ √ - - 2. Ortografi - - √ √ 3. Struktur √ √ √ √ 4. Kosa Kata √ √ √ √ 5. Kecepatan Kelancaran Umum √ √ √ √

(12)

Berdasarkan tabel 1 di atas, maka dapat diketahui bahwa keterampilan menyimak dan berbicara memiliki empat komponen yang sama untuk diperhatikan, yaitu fonologi, struktur, kosa kata, dan kecepatan kelancaran umum. Keterampilan membaca dan menulis juga memiliki empat komponen yang sama untuk diperhatikan, yaitu ortografi, struktur, kosa kata, dan kecepatan kelancaran umum. Persamaan keempat keterampilan berbahasa tersebut adalah memiliki empat komponen, namun perbedaannya terletak pada jenis komponennya. Jika keterampilan menyimak dan berbicara tidak memiliki ortografi, yaitu sistem ejaan suatu bahasa atau gambaran bunyi bahasa yang berupa tulisan atau lambang, meliputi masalah ejaan, kapitalisasi, pemenggalan kata, serta tanda baca, sedangkan keterampilan membaca dan menulis tidak memiliki komponen fonologi, yaitu bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum.

Berbeda dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2013: 415-416) menjelaskan bahwa keterampilan berbicara dapat dilihat dari aspek tekanan, tata bahasa, kosakata, kelancaran, dan pemahaman. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Poerwanti (2013: 48) bahwa aspek-aspek tes keterampilan berbicara meliputi tekanan, tata bahasa, kosa kata, kelancaran, dan pemahaman. Secara lebih rinci, Djiwandono (2011: 119) menjelaskan aspek keterampilan berbicara meliputi:”1) relevansi dan kejelasan isi pesan, masalah, atau topik; 2) kejelasan dan kerapian pengorganisasian isi; 3) penggunaan bahasa yang baik dan benar serta sesuai dengan isi, tujuan wacana, keadaan nyata termasuk pendengar”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka aspek-aspek yang digunakan untuk menilai keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Sumber IV Surakarta tahun ajaran 2015/2016 dalam penelitian ini diadaptasi dari Nurgiyantoro, 2013: 415-416. Penilaian meliputi lima aspek, yaitu lafal, intonasi, kelancaran, ekspresi berbicara, dan pemahaman isi. Adapun setiap aspek-aspek keterampilan berbicara tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

(13)

1) Lafal

Lafal berkaitan dengan kejelasan pengucapan kata atau kalimat. Dengan demikian, apabila lafal yang digunakan jelas maka dapat dibedakan antara bunyi huruf vokal dengan konsonan. Kejelasan pelafalan dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

a) Pelafalan sangat jelas, jika mengucapkan kata atau kalimat dengan benar-benar dapat dibedakan bunyi konsonan dan vokal (tidak ada kesalahan).

b) Pelafalan jelas, jika mengucapkan kata atau kalimat dengan dapat dibedakan antara bunyi konsonan dan vokal (artikulasi jelas tapi sesekali melakukan kesalahan).

c) Pelafalan cukup jelas, jika cukup kesulitan mengucapkan bunyi konsonan dan vokal dengan jelas tetapi masih dapat dipahami pendengar.

d) Pelafalan kurang jelas, jika melafalkan kata-kata yang susah sekali dipahami karena masalah pengucapan yaitu bunyi konsonan dan vokal kurang jelas untuk dibedakan, sehingga memaksa pendengar harus mendengarkan dengan teliti ucapannya.

e) Pelafalan tidak jelas, jika kesulitan (tidak jelas) melafalkan bunyi konsonal dan vokal, sehingga kesalahan dalam pelafalan terlalu banyak menyebabkan bicaranya tidak dapat dipahami dan salah pengertian.

2) Intonasi

Intonasi berkaitan dengan penempatan tinggi rendahnya nada bicara. Adanya intonasi membuat berbicara tidak terkesan datar dan membosankan. Ketepatan intonasi yang digunakan dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

a) Intonasi kata/suku kata sangat tepat, jika penempatan tekanan kata/suku kata sangat tepat, sehingga berbicaranya tidak terkesan datar.

(14)

b) Intonasi kata/suku kata tepat, jika sedikit sekali kesalahan penempatan tekanan kata/suku kata, sehingga berbicaranya tidak terkesan datar dan membosankan.

c) Intonasi kata/suku kata cukup tepat, jika terkadang membuat kesalahan dalam penempatan tekanan kata/suku kata, sehingga berbicaranya cukup terkesan datar.

d) Intonasi kata/suku kata kurang tepat, jika sering tidak memberikan tekanan kata/suku kata yang seharusnya mendapatkan intonasi dan cukup mebosankan lawan berbicara.

e) Intonasi kata/suku kata tidak tepat, jika sama sekali tidak ada tekanan kata/suku kata dalam pembicaraan dari awal sampai akhir, sehingga membosankan lawan berbicara dan keseluruhan bicaranya terkesan datar.

3) Kelancaran

Kelancaran berkaitan dengan pengucapan yang tidak terputus-putus. Selain itu juga tidak adanya sisipan seperti ”emmm” dsb. Kelancaraan dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut: a) Berbicara sangat lancar, jika berbicara dengan tidak terputus-putus

dan tidak terdapat sisipan bunyi “ee…mmm…” dan sejenisnya. b) Berbicara lancar, jika sedikit sekali berbicara dengan

terputus-putus tetapi tidak terdapat sisipan bunyi “ee…mmm…” dsb. c) Berbicara cukup lancar, jika terkadang berbicara dengan

terputus-putus dan terdapat sisipan bunyi “ee…mmm…” dan sejenisnya. d) Berbicara kurang lancar, jika berbicara sering terputus-putus dan

menyisipkan bunyi “ee…mmm…” dan sejenisnya.

e) Berbicara tidak lancar, jika berbicara selalu terputus-putus dan banyak pengucapan sisipan bunyi “ee…mmm…” dan sejenisnya, serta sangat membosankan lawan berbicara.

4) Ekspresi Berbicara

Ekspresi berbicara berkaitan dengan mimik/pantomimik berbicara, sehingga dapat meyakinkan pendengar dan komunikatif.

(15)

Mimik berkaitan dengan raut muka, sedangkan pantomimik berkaitan dengan gerakan anggota tubuh yang lain. Ketepatan ekspresi berbicara dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

a) Ekspresi berbicara sangat tepat, jika keseluruhan terdapat mimik/pantomimik berbicara yang meyakinkan dan komunikatif. b) Ekspresi berbicara tepat, jika terkadang menggunakan

mimik/pantomimik berbicara yang dapat membangkitkan perhatian lawan bicara.

c) Ekspresi berbicara cukup tepat, jika terdapat mimik/pantomimik berbicara tetapi tidak proporsional (terlalu berlebihan/tidak tepat pada keadaan).

d) Ekspresi berbicara kurang tepat, jika ragu-ragu dalam memberikan gerak-gerik (mimik/pantomimik) untuk menyakinkan lawan bicara. e) Ekspresi berbicara tidak tepat, jika berbicara tanpa ada gerakan,

statis, dan terkesan kaku. 5) Pemahaman Isi

Pemahaman isi berkaitan dengan isi pesan yang disampaikan. Isi tersebut harus sesuai dengan hal yang sedang dibahas. Pemahaman isi dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut:

a) Sangat memahami isi pembicaraan, jika pembicara paham sehingga isi pembicaraan sangat sesuai dengan isi pesan dan tidak ada kesalahan.

b) Memahami isi pembicaraan, jika isi pembicaraan sesuai dengan isi pesan tetapi sesekali hasil perbaikan.

c) Cukup memahami isi pembicaraan, jika terkadang berbicara tidak sesuai dengan isi pesan.

d) Kurang memahami isi pembicaraan jika sering berbicara tidak sesuai isi pesan.

e) Tidak memahami isi pembicaraan jika selalu berbicara diluar dari isi pesan sehingga membingungkan pendengar.

(16)

Setiap aspek di atas memiliki skala penilaian yaitu 5 (sangat baik), 4 (baik), 3 (cukup), 2 (buruk), dan 1 (sangat buruk). Penggunaan skala tersebut untuk menunjang pelaksanaan pemberian nilai sesuai dengan aktivitas yang siswa lakukan saat mengikuti kegiatan pembelajaran. Skor yang diperoleh kemudian ditentukan persentase ketuntasan klasikalnya, sehingga keterampilan berbicara siswa dapat dikategorikan berdasarkan hasil yang diperoleh. Pengkategorian keterampilan berbicara siswa dalam penelitian ini diadaptasi dari Poerwanti (2013: 49), yang meliputi 49% kebawah termasuk sangat kurang, 50% - 59% termasuk kurang, 60% - 69% termasuk cukup, 70% - 89% termasuk baik, dan 90% keatas termasuk sangat baik. Dengan demikian, keterampilan berbicara siswa dapat diukur secara jelas. Adapun penjelasan dan format lembar penilaiannya secara rinci dapat dilihat pada lampiran 20 dan 21 halaman 331 dan 335.

2. Hakikat Penilaian Kualitas Proses Pembelajaran a. Pengertian Penilaian

Salah satu kegiatan yang wajib guru lakukan pada setiap pelaksanaan pembelajaran adalah penilaian. Penilaian merupakan sebuah aktivitas yang kompleks dan melibatkan berbagai komponen serta kegiatan (Nurgiyantoro, 2011: 12). Penilaian tersebut dilakukan untuk melihat keberhasilan hasil belajar siswa dan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri, sehingga penilaian tidak hanya dilakukan terhadap produk tetapi juga proses. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Suwandi (2009: 7) bahwa penilaian merupakan suatu proses untuk mengetahui proses dan hasil dari suatu pembelajaran telah sesuai dengan tujuan atau kiteria yang ditetapkan atau belum. Apabila hasil penilaian menunjukkan telah mencapai kriteria atau tujuan yang telah ditetapkan berarti pembelajaran tersebut dapat dikatakan berhasil. Namun, jika pembelajaaran belum berhasil, maka hasil penilaian dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan perbaikan pada pembelajaran selanjutnya.

(17)

Penilaian dalam pembelajaran meliputi tiga ranah yaitu afektif, kognitif, dan psikomotor. Ketiga ranah tersebut dinilai menggunakan beragam cara yang disesuaikan dengan ranah yang dinilai. Pendapat tersebut sejalan dengan Haryati (2010: 15) yang menyatakan bahwa penilaian merupakan penerapan berbagai cara dan alat untuk memperoleh berbagai informasi tentang hasil belajar atau ketercapaian kompetensi siswa. Penilaian terhadap ranah kognitif dapat dilaksanakan dengan menggunakan tes, sedangkan penilaian terhadap ranah afektif dapat dilaksanakan melalui pengamatan, dan penilaian terhadap psikomotor dapat dilakukan dengan tes unjuk kerja maupun praktikum. Ketiga ranah pembelajaran tersebut dinilai berdasarkan kriteria tertentu. Dengan demikian, penilaian juga dapat diartikan sebagai proses memberikan atau menentukan nilai kepada suatu objek berdasarkan kriteria tertentu (Sudjana, 2012: 3).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disistesiskan bahwa penilaian adalah aktivitas yang kompleks untuk mengetahui proses dan hasil pembelajaran telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan atau belum. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria dan alat penilaian tertentu sesuai ranah yang dinilai. Ranah tersebut meliputi afektif, kognitif, dan psikomotor.

b. Kualitas Proses Pembelajaran

Terdapat hubungan yang erat antara proses pembelajaran dengan hasil belajar. Hal ini dikarenakan, kualitas proses pembelajaran mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu, agar diperoleh hasil belajar yang berkualitas, maka proses pembelajaran yang berlangsung juga harus berkualitas. Suatu proses pembelajaran dikatakan berkualitas jika jumlah siswa yang mencapai tujuan instruksional minimal 75% (Sudjana, 2011: 62). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hamiyah dan Jauhar (2014: 274-275) mengemukakan bahwa proses pembelajaran yang berkualitas yaitu apabila 75% atau lebih dari jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran telah mencapai taraf keberhasilan minimum. Pendapat

(18)

berbeda tentang penentuan kualitas proses pembelajaran dinyatakan oleh Mulyasa (2014: 143) yaitu apabila seluruh atau minimal 80% siswa terlibat aktif baik secara fisik, mental, atau sosial dalam proses pembelajaran, disamping itu juga menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya diri pada diri sendiri. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka untuk menentukan kategori kualitas proses pembelajaran dalam penelitian ini diadaptasi dari pendapat yang dinyatakan oleh Mulyasa (2014: 143) bahwa persentase ketuntasan klasikal 49% kebawah termasuk kurang, 50% - 79% termasuk cukup, dan 80% ke atas termasuk baik. Dengan demikian, proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dikatakan berhasil dan berkualitas baik apabila minimal 80% siswa atau terdapat 24 siswa mencapai taraf keberhasilan yang ditentukan. Penentuan taraf ketercapaian tersebut diperoleh dari hasil pengamatan aktivitas belajar siswa yang ditunjang dengan hasil pengamatan kinerja guru.

c. Penilaian Kualitas Proses Pembelajaran

Penilaian dalam pendidikan tidak hanya berorientasi pada hasil belajar saja, tetapi juga proses pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai kelancaran proses, kesesuaian dengan perencanaan, faktor pendukung maupun penghambat yang muncul dalam proses pelaksanaan pembelajaran (Ratnawulan & Rusdiana, 2015: 41). Secara lebih luas, Rusman (2014: 14) menyatakan bahwa penilaian proses dilakukan untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan yang mencakup tahap perencanaan, proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. Selain itu, penilaian terhadap proses pembelajaran dilakukan untuk perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar, sehingga pembelajaran dapat terlaksana secara efektif, efisien, dan produktif (Sudjana, 2011: 57).

(19)

Dengan demikian, berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disintesiskan bahwa penilaian proses pembelajaran adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat proses pelaksanaan dan menentukan kualitas pembelajaran, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar yang efektif, efisien, dan produktif. Penilaian terhadap proses pembelajaran meliputi komponen guru dan siswa. Komponen guru terkait dengan kinerja guru, sedangkan komponen siswa terkait dengan aktivitas belajar siswa. Pengamatan terhadap kinerja guru dalam penelitian ini diadaptasi dari Alat Penilaian Kinerja Guru II (APKG II). Aspek dan deskriptor yang diamati terkait kinerja guru dalam melaksanakan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup yang dijabarkan menjadi sembilan aspek penilaian. Hasil yang diperoleh kemudian dihitung rata-ratanya dan dikategorikan sebagai berikut: 0,01 – 1,00 termasuk kurang, 1,01 – 2,00 termasuk cukup, 2,01 – 3,00 termasuk baik, dan 3,01 – 4,00 termasuk sangat baik. Adapun secara lebih rinci penjabaran tentang pengamatan kinerja guru dapat dilihat pada lampiran 45 dan 46 halaman 383 dan 387.

Pengamatan aktivitas belajar siswa dalam penelitian ini diadaptasi dari Sudjana, 2011: 60-62. Penilaian difokuskan pada pengamatan beberapa aspek aktivitas belajar siswa yang ditunjukkan oleh siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Aspek-aspek tersebut meliputi minat, keaktifan, kerja sama, dan kreativitas yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Minat

Minat merupakan hal pertama yang harus dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan minat adalah rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa adanya paksaan. Siswa yang memiliki minat akan memberikan perhatiannya kepada kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, semakin besar minat yang dimiliki maka siswa akan memperhatikan dan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik.

(20)

Besar-kecilnya minat yang dimiliki siswa tersebut dapat menentukan kualitas dari proses pembelajaran yang dilaksanakan. Siswa dikatakan minat dalam penelitian ini apabila mengikuti kegiatan pembelajaran, memperhatikan penjelasan guru, dan memperhatikan penjelasan teman.

2) Keaktifan

Pembelajaran yang dilaksanakan seharusnya berisi serangkaian kegiatan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat secara aktif. Dengan demikian, pembelajaran tidak searah (teacher center) dan pasif karena siswa dapat memberikan feedback. Siswa dikatakan aktif dalam penelitian ini apabila siswa berani mengemukakan pendapat, pertanyaan, dan berkonstribusi aktif dalam kegiatan kelompok.

3) Kerja sama

Kerja sama berarti melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Melalui kerja sama banyak manfaat yang dapat diperoleh yaitu pekerjaan menjadi ringan dan cepat selesai. Selain itu, dapat sebagai solusi untuk memupuk kembali sikap tenggang rasa, empati dan toleransi yang pada zaman sekarang mulai hilang akibat tergerus arus globlalisasi. Sikap-sikap tersebut dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang rukun dan sejahtera. Oleh karena itu, kegiatan ini perlu dikembangkan sejak dini, sehingga siswa memiliki modal untuk hidup bermasyarakat. Siswa dikatakan dapat bekerja sama dalam penelitian ini apabila siswa mampu saling bertukar ide, membantu kesulitan teman, serta mempelajari dan menyelesaikan tugas secara bersama.

4) Kreativitas

Kreativitas merupakan kemampuan untuk menjadi atau menghasilkan hal yang berbeda dari contoh. Oleh karena itu, siswa harus mampu menunjukkan perbedaan dan keunikan dalam penampilan keterampilan berbicara. Selain itu juga, dalam penelitian

(21)

ini siswa dikatakan kreativitas apabila mengerjakan tugas sesuai petunjuk, menciptakan hasil, dan memberikan ide dalam pemecahan masalah.

Setiap aspek di atas terdiri dari tiga deskriptor yang masing-masing skornya adalah satu. Pemberian skor disesuaikan dengan indikator yang ditunjukkan oleh siswa. Apabila hanya satu indikator yang muncul maka skornya 1, jika dua indikator maka skornya 2, dan jika tiga indikator maka skornya 3. Skor yang diperoleh kemudian ditentukan persentase ketuntasan klasikalnya, sehingga kualitas proses pembelajaran dapat dikategorikan berdasarkan hasil yang diperoleh. Dengan demikian, kualitas proses pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dikatakan berhasil dan berkualitas baik apabila semua atau minimal 80% siswa memiliki minat, keaktifan, kerja sama, dan kreativitas. Adapun untuk penjabaran secara lebih rinci mengenai pedoman pengamatan aktivitas belajar siswa dapat dilihat pada lampiran 32 dan 33 halaman 357 dan 359.

3. Hakikat Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) a. Pengertian Model

Kata “model” sering digunakan sebagai kata ganti contoh yang dapat mendiskripsikan sesuatu pada berbagai hal. Kaitanya dengan pendidikan, Suprijono (2014: 45) berpendapat bahwa model merupakan interpretasi dari hasil observasi atau pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Dengan demikian, model dapat digunakan sebagai bentuk representasi akurat terhadap sesuatu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Al-Tabany (2014: 23) yang menyatakan bahwa model merupakan objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu.

Berbeda dengan dua ahli di atas, pendapat yang lebih luas disampaikan oleh Abidin (2013: 30) bahwa model merupakan gambaran mental yang membantu mencerminkan dan menjelaskan pola pikir dan pola tindakan suatu hal. Gambaran tersebut merupakan ringkasan dari

(22)

suatu hal yang besar. Hal tersebut sejalan dengan Suyadi (2013: 15) yang menyatakan bahwa model adalah miniatur atau gambaran kecil dari suatu konsep yang besar. Walaupun merupakan gambaran kecil, namun model tersebut memiliki makna yang luas.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model adalah suatu gambaran kecil dari suatu konsep besar, sehingga dapat digunakan untuk mempresentasikan dan menjelaskan sesuatu, misalnya pola pikir dan tindakan. Model tersebut diperoleh melalui observasi atau pengukuran dari beberapa sistem. Dengan demikian, memiliki keakuratan yang tinggi untuk mempresentasikan sesuatu.

b. Konsep Dasar Model Pembelajaran

Pembelajaran memegang peranan penting pada masa depan seseorang. Hal ini dikarenakan dengan mengikuti kegiatan pembelajaran, maka seseorang menjadi memiliki pengetahuan. Adanya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat terjadi perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, guru harus mampu menyusun dan menciptakan pembelajaran yang menarik siswa untuk belajar. Dengan demikian, pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru berupa rancangan untuk membuat siswa belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Khanifatul, 2013: 14). Ketercapaian tujuan pembelajaran merupakan salah satu indikator bahwa pembelajaran yang dilaksanakan berhasil. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sagala (2011: 61) menyatakan bahwa pembelajaran berarti membelajarkan siswa untuk menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar sebagai penentu utama terhadap keberhasilan pendidikan.

Keberhasilan suatu pembelajaran tidak terlepas oleh adanya keterlibatan berbagai hal. Suprihatiningrum (2013: 75) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan dengan melibatkan informasi dan lingkungan yang kemudian disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar. Selain kedua hal tersebut, masih

(23)

terdapat berbagai macam unsur yang terlibat dalam pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan Hamalik (2014: 57) yang mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Unsur manusiawi merupakan unsur paling penting dalam pembelajaran. Unsur tersebut meliputi guru, siswa, dan tenaga kependidikan lainnya. Unsur material meliputi buku, papan tulis, spidol/kapur, penghapus, dan media pembelajaran. Unsur fasilitas dan perlengkapan meliputi ruang kelas, audio visual, dan komputer. Unsur prosedur meliputi jadwal dan metode yang digunakan untuk mengajar, ujian, dsb.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar berupa serangkaian kegiatan yang telah disusun secara terencana oleh guru dengan melibatkan unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, prosedur, informasi dan lingkungan. Usaha tersebut dilakukan untuk memudahkan siswa belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif, efisien, produktif, dan optimal, maka guru harus membuat perencanaan pembelajaran dengan baik dan matang.

Salah satu faktor pendukung hal di atas adalah pemilihan model pembelajaran yang tepat. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dipelajari dan diterapkan dengan mudah oleh guru. Pemilihan model pembelajaran yang tepat memiliki peran sangat penting dalam pembelajaran yaitu sebagai acuan/pedoman. Hal tersebut sejalan dengan Trianto (2007: 1) bahwa model pembelajaran merupakan suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. Perencanaan tersebut meliputi kegiatan penyusunan dan pegaturan berbagai hal yang diperlukan dalam pembelajaran. Jihad dan Haris (2012: 25) mengungkapkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana

(24)

yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi, mengatur siswa, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas tentang setting pengajaran atau setting yang lainnya.

Model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis implementasi kurikulum dan implikasi operasionalnya di kelas (Suprijono, 2014: 45-46). Apabila mengetahui implikasi operasionalnya di kelas, maka akan memudahkan guru dalam menerapkan model pembelajaran tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan Suprihatiningrum (2013: 145) yang menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu rancangan yang menggambarkan sebuah proses pembelajaran, sehingga dapat dilaksanakan oleh guru dalam mentransferkan pengetahuan maupun nilai-nilai kepada siswa. Oleh karena itu, untuk memilih suatu model pembelajaraan yang tepat guru hendaknya memiliki banyak pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan misalnya materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif siswa, serta sarana dan prasarana yang diperlukan sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran merupakan hasil penurunan teori psikologi dan teori belajar yang digunakan sebagai pedoman guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di kelas. Selain itu, model pembelajaran juga meliputi pengaturan terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam pembelajaran, seperti materi pelajaran dan siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih harus disesuaikan dengan karakter siswa. Hal tersebut dilakukan agar ketika pelaksanaan pembelajaran, guru dapat mentransferkan pengetahuan dan nilai-nilai kepada siswa serta tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif, efisien, produktif, dan optimal. c. Macam-Macam Model Pembelajaran

Berbagai macam model pembelajaran yang telah ada pada zaman ini adalah untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang student

(25)

centered. Student centered berarti siswa dilibatkan secara aktif dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menggali pengetahuannya sendiri dalam pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus meninggalkan cara lama dalam mengajar dengan menggunakan model konvensional. Guru sebaiknya mengganti model tersebut dengan menggunakan berbagai macam model pembelajaran yang inovatif. Macam-macam model pembelajaran tersebut diantaranya yaitu model pembelajaran penemuan, model pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran berbasis proyek (Kosasih, 2015: 83). Secara lebih luas, macam-macam model pembelajaran menurut Sugiyatno (2008: 4) meliputi model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran kuantum, model pembelajaran terpadu, dan model pembelajaran berbasis masalah. Pendapat berbeda dinyatakan oleh Abidin (2014: 122-124) bahwa macam-macam model pembelajaran meliputi model pembelajaran saintifik, model pembelajaran integratif berdiferensiasi, model multiliterasi, model multisensori, dan model kooperatif.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konsruktivis. Pembelajaran secara kooperatif berarti diterapkan strategi belajar dengan sejumlah siswa dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda saling bekerja sama dan membantu untuk memahami materi pelajaran (Hamdani, 2011: 30). Sejalan dengan pendapat tersebut, Isjoni (2014: 12) juga menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda untuk saling bekerja sama dan membantu memahami materi pelajaran dalam rangka menyelesaikan tugas kelompoknya. Tingkat kemampuan yang berbeda dalam satu kelompok dimanfaatkan untuk siswa yang lebih pandai dapat membantu yang masih kurang. Selain itu, dapat dimanfaatkan

(26)

untuk melatih siswa menerima perbedaan latar belakang temannya, sehingga siswa memiliki sikap peduli dan tenggang rasa. Oleh karena itu, jika masih terdapat siswa dalam suatu kelompok belum menguasai materi pelajaran, maka kegiatan belajar dikatakan belum selesai.

Apabila setelah pembelajaran secara kooperatif semua siswa mampu menguasai materi pelajaran, maka dimungkinkan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang fokus pada penggunaan kelompok kecil, sehingga siswa dapat bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sugiyatno, 2008: 37). Penggunaan kelompok kecil memungkinkan kondisi belajar berjalan secara maksimal. Hal ini dikarenakan kelompok kecil berarti anggota kelompoknya hanya terdiri dari beberapa siswa. Rusman (2014: 202) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja secara kolaboratif dalam kelompok kecil yang anggotanya terdiri dari enam orang siswa yang bersifat heterogen.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaraan kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengelompokkan siswa pada kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang heterogen untuk saling bekerja sama dan membantu memahami materi pelajaran dalam rangka menyelesaikan tugas. Model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai jenis, salah satunya yaitu model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yang diterapkan pada penelitian. Adapun untuk penjelasan secara rinci mengenai pengertian, langkah-langkah, kelebihan dan kelemahan model tersebut dijabarkan pada subbab di bawah ini.

d. Pengertian Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE)

Model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan salah satu jenis model pembelajaran kooperatif. Oleh karena

(27)

itu, pada dasarnya model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) sama seperti model kooperatif yang lainnya, yakni menuntut siswa untuk bekerja sama secara berkelompok. Kegiatan berkelompok tmelatih siswa untuk mampu saling bertukar dan menyampaikan ide dengan teman satu kelompok. Hal tersebut sejalan dengan Hanafiah dan Suhana (2009: 50) yang menyatakan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk mempresentasikan gagasan kepada siswa lainnya. Pendapat yang sama disampaikan oleh Kurniasih dan Sani (2015: 79) bahwa Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang melatih siswa dapat mempresentasikan ide atau gagasan kepada teman-temanya. Pemberian kesempatan untuk menyampaikan ide atau gagasan tersebut membuat siswa termotivasi menjadi yang terbaik dihadapan teman-temannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam jurnal internasional karya Sims dan Demediuk (2002: 239-244) dikemukakan bahwa:

Students as presenters/discussion leaders in effort to ensure students prepared effectively for discussion of cases, various tutors have experimented with nominating an individual or two or more individuals at random, with notice or without notice, to present or lead discussion amongst the entire group or within smaller groups. Some tutors have nominated students at random and without notice, in the belief that if all students know that in any class they could be called upon to lead the discussion, then all students will be motivated to do the necessary pre-reading.

Kutipan jurnal di atas menjelaskan bahwa guru meyiapkan calon fasilitator diantara para siswa untuk dipersiapkan dengan efektif sebelum memimpin diskusi. Pengambilan secara acak dapat diberitahukan atau tidak perlu. Fasilitator tersebut dipersiapkan untuk membawakan diskusi atau menjadi presenter, sehingga siswa akan termotivasi dan melakukan persiapan dengan membaca dan memahami materi terlebih dahulu. Guru berperan sebagai penyampai garis-garis besar materi pada awal

(28)

pembelajaran, pengatur kegiatan selama proses pembelajaran, dan membahas hasil presentasi siswa pada akhir pembelajaran.

Dengan demikian, model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dapat diartikan sebagai suatu rangkaian penyajian materi pembelajaran yang diawali dengan penjelasan secara terbuka, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kembali kepada teman-temannya, dan diakhiri dengan penyampaian semua materi kepada siswa (Huda, 2014: 228). Rangkaian kegiatan pembelajaran yang seperti itu memungkinkan siswa tidak hanya mengetahui tetapi juga menguasai materi yang dipelajari. Penguasaan materi pelajaran merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penerapan model ini. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Shoimin (2014: 183) bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan meningkatkan penguasaan materi. Penguasaan materi tersebut diharapkan siswa mampu menerapkan ilmu yang dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli dan jurnal internasional di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang melatih dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan ide atau gagasan kepada teman-temannya. Kesempatan tersebut diberikan setelah guru melakukan penjelasan secara terbuka. Rangkaian kegiatan pembelajaran tersebut membuat siswa termotivasi untuk melakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan memahami materi, sehingga ketika menjelaskan dapat dilakukan dengan lancar dan baik.

(29)

e. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Student Facilitator

and Explaining (SFE)

Pemilihan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam penelitian ini dikarenakan memiliki kelebihan yang mendukung untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan keterampilan berbicara siswa. Namun, selain kelebihan, setiap model pembelajaran juga memiliki kekurangan. Begitu juga dengan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Adapun kelebihan model tersebut menurut Kurniasih dan Sani (2015: 79), yaitu: 1) mengajak siswa untuk menerangkan materi pelajaran kepada siswa lain dan 2) siswa dapat belajar mengungkapkan ide yang dimilikinya, sehingga lebih dapat memahami materi. Kekurangannya meliputi: 1) hanya sebagian siswa yang tampil karena adanya pendapat yang sama dan 2) banyak siswa yang kurang aktif.

Secara lebih rinci Shoimin (2014: 184-185) menyebutkan kelebihan lain dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yaitu: 1) materi yang disampaikan lebih jelas dan konkret; 2) meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi; 3) melatih siswa untuk menjadi guru karena diberikan kesempatan untuk mengulangi penjelasan guru yang telah didengar; 4) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang terbaik dalam menjelaskan materi ajar; dan 5) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Kekurangan dari model tersebut meliputi: 1) siswa yang malu tidak mau mendemonstrasikan hal yang diperintahkan oleh guru atau banyak siswa yang kurang aktif; 2) tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melakukannya atau menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran; 3) adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang terampil; 4) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi ajar secara ringkas.

(30)

Pendapat hampir sama disampaikan oleh Huda (2014: 229) yang menyebutkan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: 1) membuat materi yang disampaikan menjadi lebih jelas dan konkret; 2) meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi; 3) melatih siswa untuk menjadi guru karena diberikan kesempatan untuk mengulangi penjelasan yang telah didengar; 4) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang terbaik dalam menjelaskan materi ajar; dan 5) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Kekurangannya yaitu: 1) siswa pemalu sering mengalami kesulitan untuk mendemonstrasikan tugas yang diperintahkan oleh guru; 2) tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran; 3) hanya sebagian siswa yang terampil karena adanya pendapat yang sama; dan 4) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi pembelajaran secara ringkas.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disintesiskan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) adalah melatih siswa untuk mengungkapkan ide yang dimiliki dan kemudian menyampaikan kepada teman-temannya. Siswa yamg diajak untuk mengungkapkan ide dan kemudian menyampaikannya kepada teman yang lain, dapat melatih siswa untuk berbicara. Selain itu, kegiatan tersebut dapat memotivasi siswa untuk menjadi penyampai materi yang terbaik. Dengan demikian, siswa akan melakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan memahami materi pelajaran. Persiapan tersebut memungkinkan siswa lebih siap untuk menyampaikan materi secara lancar dan jelas kepada teman-temannya. Oleh karena itu, apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan maka keterampilan berbicara siswa akan meningkat.

Namun, selain kelebihan tersebut, model ini juga memiliki kekurangan. Adapun kekurangan dari model pembelajaran Student

(31)

Facilitator and Explaining (SFE) adalah tidak semua siswa dapat terampil. Hal ini dikarenakan adanya pendapat yang sama dan keterbatasan waktu. Disamping itu juga, bagi siswa pemalu akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan ide yang dimiliki, sehingga memilih lebih banyak diam. Oleh karena itu, diperlukan peran guru untuk mengatur dan mengawasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Guru harus mampu membagi waktu dan mempersiapkan materi dengan baik, sehingga semua siswa dapat terampil. Selain itu juga, guru harus mampu memotivasi siswa agar semua siswa memiliki kepercayaan diri untuk menyampaikan ide atau pendapat kepada teman-temannya.

f. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Student Facilitator and

Explaining (SFE)

Sebelum suatu model pembelajaran diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran, maka seorang guru atau pendidik harus memahami dan menguasai langkah-langkahnya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar dapat tercipta kegiatan pembelajaran yang terarah dan lancar. Dengan demikian, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai secara lebih optimal. Kurniasih dan Sani (2015: 80) menyebutkan langkah- langkah pelaksanaan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) sebagai berikut:

1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; 2) guru menerangkan atau menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran; 3) kemudian memberikan kesempatan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep, dan proses ini bisa dilakukan secara bergiliran; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; dan 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan sebagai kesimpulan, dan kemudian menutup pelajaran seperti proses seharusnya.

Pendapat hampir sama disampaikan oleh Shoimin (2014: 184) yang menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi:

1) guru menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai; 2) guru mendemonstrasikan atau menyajikan garis-garis besar materi

(32)

pembelajaran; 3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergantian; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan saat ini; dan 6) penutup.

Sejalan dengan pendapat di atas, Huda (2014: 228-229) menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi:

1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai; 2) guru mendemonstrasikan atau menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran; 3) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergantian; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu; dan 6) penutup

Secara ringkas Ngalimun (2014: 175) menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: “1) informasi kompetensi; 2) sajian materi; 3) siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya; 4) kesimpulan dan evaluasi; 5) refleksi”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat disintesiskan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: 1) guru menyampaikan kompetesi yang ingin dicapai, 2) guru menyampaikan garis-garis besar materi pelajaran, 3) memberikan kesempatan kepada siswa secara bergantian untuk menjelaskan materi yang dipelajari kepada siswa lainnya, 4) guru menyimpulkan penjelasan siswa, 5) guru menyampaikan materi pembelajaran secara keseluruhan, dan 6) penutup. g. Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam

Pembelajaran Berbicara

Penerapan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam pembelajaran berbicara dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran berbicara dan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN Sumber IV Surakarta tahun ajaran 2015/2016. Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka diketahui bahwa penerapan model

(33)

pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam pembelajaran memiliki tahapan-tahapan yang tersusun secara sistematis. Adapun kegiatan pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup.

Kegiatan pendahuluan terdapat apersepsi, orientasi dan motivasi. Apersepsi dilakukan dengan melakukan tanya jawab terkait materi yang sudah dipelajari. Orientasi dilakukan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan langkah-langkah pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Kegiatan orientasi tersebut merupakan langkah pertama dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Motivasi dilakukan dengan cara mengajak siswa melakukan hal yang menyenangkan yaitu tepuk semangat, tepuk the best, menirukan suara hewan, atau permainan tebak gambar. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menyiapkan psikis dan fisik siswa, sehingga siap mengikuti kegiatan pembelajaran.

Kegiatan inti yang juga dibagi menjadi tiga, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Eksplorasi dilakukan dengan menampilkan gambar atau video tentang persoalan faktual, kemudian meminta siswa untuk mengamati dan menyebutkan nama sesuai yang ditunjukkan oleh guru. Elaborasi dilakukan dengan guru menyampaikan garis-garis besar materi pelajaran. Kegiatan elaborasi tersebut merupakan penerapan langkah kedua dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Guru selanjutnya meminta siswa berkelompok dan mendiskusikan tugas yang diberikan serta saling membantu dan memfasilitasi teman satu kelompok yang mengalami kesulitan terutama mengenai penerapan aspek-aspek keterampilan berbicara.

Kegiatan dilanjutkan dengan guru meminta setiap kelompok secara bergantian maju ke depan kelas untuk menjelaskan hasil diskusi secara lisan dengan memperhatikan aspek-aspek keterampilan berbicara. Kegiatan tersebut merupakan penerapan langkah ketiga dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Guru melakukan penilaian terhadap

(34)

keterampilan berbicara siswa dan hasil diskusi kelompok, ketika siswa menyampaikan hasil diskusinya. Konfirmasi dilakukan dengan guru memberikan umpan balik terkait penampilan siswa yang dilanjutkan dengan penjelasan semua materi pelajaran, setelah semua kelompok maju. Rangkaian kegiatan pada konfirmasi tersebut merupakan penerapan langkah keempat dan kelima dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE).

Kegiatan akhir dilakukan dengan guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Guru kemudian membagikan soal tes formatif dan meminta siswa mengerjakannya secara individu untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran. Guru melakukan penilai dan membacakan hasil pekerjaan siswa, setelah siswa selesai mengerjakan soal tes formatif. Guru juga memberikan tindak lanjut dengan memberikan pekerjaan rumah (PR) dan meminta siswa untuk melatih kembali keterampilan berbicaranya, sehingga dipembelajaran selanjutnya dapat lebih baik. Kegiatan pembelajaran ditutup dengan mengucapkan salam dan berdoa. Rangkaian kegiatan pada penutup merupakan penerapan langkah keenam dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE).

4. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan adalah penelitian sejenis yang sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti lain dan mempunyai kesesuaian dengan penelitian yang dilakukan. Terdapat beberapa penelitian yang relevan sebagai dasar melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini. Adapun penelitian yang relevan dalam penelitian ini yaitu diambil dari International Journal of Social Science and Humanity karya Thanyalak Oradee (2012, Vol 2, No. 6: 533-535) dengan judul Developing Speaking Skills Using Three Communicative Activities (Discussion, Problem-Solving, and Role Playing). Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel terikatnya yakni keterampilan berbicara, sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya, yaitu model pembelajaran yang digunakan. Penelitian tersebut menerapkan Three Communicative Activities (Discussion, Problem-Solving, and Role Playing,)

(35)

sedangkan dalam penelitian ini menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE).

Berdasarkan hasil penelitian dalam jurnal tersebut, Orade menyimpulkan bahwa penggunaan Three Communicative Activities yaitu Discussion, Problem-Solving, dan Role Playing dapat meningkatkan keterampilan berbicara dan aktivitas belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase ketuntasan klasikal yang mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah tindakan. Hasil prasiklus menunjukkan bahwa persentase ketuntasan klasikal keterampilan berbicara siswa adalah 60,80%, sedangkan setelah tindakan meningkat menjadi 85,63%. Selain itu, aktivitas belajar siswa juga meningkat dengan hasil pada siklus terakhir adalah 4,50 (sangat baik).

Penelitian yang selanjutnya dilakukan oleh Azzizah Nurlaili dengan judul Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script pada Siswa Kelas V SDN 03 Gemolong Tahun Ajaran 2013/2014. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada variabel terikatnya yakni keterampilan berbicara, sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya, yaitu model pembelajaran yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script, sedangkan dalam penelitian ini menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Nurlaili menyimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN 03 Gemolong tahun ajaran 2013/2014. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase ketuntasan klasikal yang mengalami peningkatan antara sebelum dan sesudah tindakan.

Hasil prasiklus menunjukkan bahwa persentase ketuntasan klasikal adalah sebesar 20,59% atau sekitar 7 siswa yang mencapai nilai ketuntasan. Hasil tersebut mengalami peningkatan pada siklus I dengan persentase ketuntasan klasikal adalah sebesar 70,58% atau sekitar 24 siswa yang mencapai nilai ketuntasan. Siklus II meningkat kembali dengan persentase

Gambar

Tabel 1. Komponen-Komponen Tes Keterampilan Berbahasa
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

endorse terkesan suka membohongi, menyesatkan dan bahkan menipu dan tidak dapat dipercaya. Hal tersebut karena keduanya yaitu pihak Sumia Clinic dan selebriti endorse

Petugas adat tingkat bawahan (kebayan), menjatuhkan hukum­ an terhadap dua orang pemuda yang didakwa mencuri barang orang lain. Penetapan besarnya hukuman oleh

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, peneliti dapat menyimpulkan bahwa desain pembelajaran matematika dengan pendekatan Etnomatematik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot basah tajuk dan bobot kering akar.. Tinggi

The findings also reveals that the per- ceived risk and perceived benefit are impor- tant predictors of the attitude towards online purchases and the subjective norm and

32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang

Nomor P.14IPHPL/SEI/412016 tenlang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu

Merangkum semua bahasan peran MNC dalam pembangunan Ekonomi Indonesia sungguh sangat besar pada awal pembahan kita lihat bahwa munculnya MNC di Indonesia sendiri karena kita