Kata “model” sering digunakan sebagai kata ganti contoh yang dapat mendiskripsikan sesuatu pada berbagai hal. Kaitanya dengan pendidikan, Suprijono (2014: 45) berpendapat bahwa model merupakan interpretasi dari hasil observasi atau pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Dengan demikian, model dapat digunakan sebagai bentuk representasi akurat terhadap sesuatu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Al-Tabany (2014: 23) yang menyatakan bahwa model merupakan objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu.
Berbeda dengan dua ahli di atas, pendapat yang lebih luas disampaikan oleh Abidin (2013: 30) bahwa model merupakan gambaran mental yang membantu mencerminkan dan menjelaskan pola pikir dan pola tindakan suatu hal. Gambaran tersebut merupakan ringkasan dari
suatu hal yang besar. Hal tersebut sejalan dengan Suyadi (2013: 15) yang menyatakan bahwa model adalah miniatur atau gambaran kecil dari suatu konsep yang besar. Walaupun merupakan gambaran kecil, namun model tersebut memiliki makna yang luas.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model adalah suatu gambaran kecil dari suatu konsep besar, sehingga dapat digunakan untuk mempresentasikan dan menjelaskan sesuatu, misalnya pola pikir dan tindakan. Model tersebut diperoleh melalui observasi atau pengukuran dari beberapa sistem. Dengan demikian, memiliki keakuratan yang tinggi untuk mempresentasikan sesuatu.
b. Konsep Dasar Model Pembelajaran
Pembelajaran memegang peranan penting pada masa depan seseorang. Hal ini dikarenakan dengan mengikuti kegiatan pembelajaran, maka seseorang menjadi memiliki pengetahuan. Adanya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat terjadi perubahan tingkah laku kearah yang lebih baik. Oleh karena itu, guru harus mampu menyusun dan menciptakan pembelajaran yang menarik siswa untuk belajar. Dengan demikian, pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru berupa rancangan untuk membuat siswa belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Khanifatul, 2013: 14). Ketercapaian tujuan pembelajaran merupakan salah satu indikator bahwa pembelajaran yang dilaksanakan berhasil. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sagala (2011: 61) menyatakan bahwa pembelajaran berarti membelajarkan siswa untuk menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar sebagai penentu utama terhadap keberhasilan pendidikan.
Keberhasilan suatu pembelajaran tidak terlepas oleh adanya keterlibatan berbagai hal. Suprihatiningrum (2013: 75) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan dengan melibatkan informasi dan lingkungan yang kemudian disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar. Selain kedua hal tersebut, masih
terdapat berbagai macam unsur yang terlibat dalam pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan Hamalik (2014: 57) yang mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Unsur manusiawi merupakan unsur paling penting dalam pembelajaran. Unsur tersebut meliputi guru, siswa, dan tenaga kependidikan lainnya. Unsur material meliputi buku, papan tulis, spidol/kapur, penghapus, dan media pembelajaran. Unsur fasilitas dan perlengkapan meliputi ruang kelas, audio visual, dan komputer. Unsur prosedur meliputi jadwal dan metode yang digunakan untuk mengajar, ujian, dsb.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar berupa serangkaian kegiatan yang telah disusun secara terencana oleh guru dengan melibatkan unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, prosedur, informasi dan lingkungan. Usaha tersebut dilakukan untuk memudahkan siswa belajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran secara efektif, efisien, produktif, dan optimal, maka guru harus membuat perencanaan pembelajaran dengan baik dan matang.
Salah satu faktor pendukung hal di atas adalah pemilihan model pembelajaran yang tepat. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dipelajari dan diterapkan dengan mudah oleh guru. Pemilihan model pembelajaran yang tepat memiliki peran sangat penting dalam pembelajaran yaitu sebagai acuan/pedoman. Hal tersebut sejalan dengan Trianto (2007: 1) bahwa model pembelajaran merupakan suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. Perencanaan tersebut meliputi kegiatan penyusunan dan pegaturan berbagai hal yang diperlukan dalam pembelajaran. Jihad dan Haris (2012: 25) mengungkapkan bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana
yang digunakan dalam menyusun kurikulum, mengatur materi, mengatur siswa, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas tentang setting pengajaran atau setting yang lainnya.
Model pembelajaran juga dapat diartikan sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang berdasarkan analisis implementasi kurikulum dan implikasi operasionalnya di kelas (Suprijono, 2014: 45-46). Apabila mengetahui implikasi operasionalnya di kelas, maka akan memudahkan guru dalam menerapkan model pembelajaran tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan Suprihatiningrum (2013: 145) yang menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu rancangan yang menggambarkan sebuah proses pembelajaran, sehingga dapat dilaksanakan oleh guru dalam mentransferkan pengetahuan maupun nilai-nilai kepada siswa. Oleh karena itu, untuk memilih suatu model pembelajaraan yang tepat guru hendaknya memiliki banyak pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan misalnya materi pelajaran, tingkat perkembangan kognitif siswa, serta sarana dan prasarana yang diperlukan sehingga tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran merupakan hasil penurunan teori psikologi dan teori belajar yang digunakan sebagai pedoman guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di kelas. Selain itu, model pembelajaran juga meliputi pengaturan terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam pembelajaran, seperti materi pelajaran dan siswa. Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih harus disesuaikan dengan karakter siswa. Hal tersebut dilakukan agar ketika pelaksanaan pembelajaran, guru dapat mentransferkan pengetahuan dan nilai-nilai kepada siswa serta tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif, efisien, produktif, dan optimal. c. Macam-Macam Model Pembelajaran
Berbagai macam model pembelajaran yang telah ada pada zaman ini adalah untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang student
centered. Student centered berarti siswa dilibatkan secara aktif dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menggali pengetahuannya sendiri dalam pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus meninggalkan cara lama dalam mengajar dengan menggunakan model konvensional. Guru sebaiknya mengganti model tersebut dengan menggunakan berbagai macam model pembelajaran yang inovatif. Macam-macam model pembelajaran tersebut diantaranya yaitu model pembelajaran penemuan, model pembelajaran berbasis masalah, dan model pembelajaran berbasis proyek (Kosasih, 2015: 83). Secara lebih luas, macam-macam model pembelajaran menurut Sugiyatno (2008: 4) meliputi model pembelajaran kontekstual, model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran kuantum, model pembelajaran terpadu, dan model pembelajaran berbasis masalah. Pendapat berbeda dinyatakan oleh Abidin (2014: 122-124) bahwa macam-macam model pembelajaran meliputi model pembelajaran saintifik, model pembelajaran integratif berdiferensiasi, model multiliterasi, model multisensori, dan model kooperatif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konsruktivis. Pembelajaran secara kooperatif berarti diterapkan strategi belajar dengan sejumlah siswa dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda saling bekerja sama dan membantu untuk memahami materi pelajaran (Hamdani, 2011: 30). Sejalan dengan pendapat tersebut, Isjoni (2014: 12) juga menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda-beda untuk saling bekerja sama dan membantu memahami materi pelajaran dalam rangka menyelesaikan tugas kelompoknya. Tingkat kemampuan yang berbeda dalam satu kelompok dimanfaatkan untuk siswa yang lebih pandai dapat membantu yang masih kurang. Selain itu, dapat dimanfaatkan
untuk melatih siswa menerima perbedaan latar belakang temannya, sehingga siswa memiliki sikap peduli dan tenggang rasa. Oleh karena itu, jika masih terdapat siswa dalam suatu kelompok belum menguasai materi pelajaran, maka kegiatan belajar dikatakan belum selesai.
Apabila setelah pembelajaran secara kooperatif semua siswa mampu menguasai materi pelajaran, maka dimungkinkan tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang fokus pada penggunaan kelompok kecil, sehingga siswa dapat bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Sugiyatno, 2008: 37). Penggunaan kelompok kecil memungkinkan kondisi belajar berjalan secara maksimal. Hal ini dikarenakan kelompok kecil berarti anggota kelompoknya hanya terdiri dari beberapa siswa. Rusman (2014: 202) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja secara kolaboratif dalam kelompok kecil yang anggotanya terdiri dari enam orang siswa yang bersifat heterogen.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaraan kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengelompokkan siswa pada kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang heterogen untuk saling bekerja sama dan membantu memahami materi pelajaran dalam rangka menyelesaikan tugas. Model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai jenis, salah satunya yaitu model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yang diterapkan pada penelitian. Adapun untuk penjelasan secara rinci mengenai pengertian, langkah-langkah, kelebihan dan kelemahan model tersebut dijabarkan pada subbab di bawah ini.
d. Pengertian Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE)
Model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan salah satu jenis model pembelajaran kooperatif. Oleh karena
itu, pada dasarnya model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) sama seperti model kooperatif yang lainnya, yakni menuntut siswa untuk bekerja sama secara berkelompok. Kegiatan berkelompok tmelatih siswa untuk mampu saling bertukar dan menyampaikan ide dengan teman satu kelompok. Hal tersebut sejalan dengan Hanafiah dan Suhana (2009: 50) yang menyatakan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa untuk mempresentasikan gagasan kepada siswa lainnya. Pendapat yang sama disampaikan oleh Kurniasih dan Sani (2015: 79) bahwa Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang melatih siswa dapat mempresentasikan ide atau gagasan kepada teman-temanya. Pemberian kesempatan untuk menyampaikan ide atau gagasan tersebut membuat siswa termotivasi menjadi yang terbaik dihadapan teman-temannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, dalam jurnal internasional karya Sims dan Demediuk (2002: 239-244) dikemukakan bahwa:
Students as presenters/discussion leaders in effort to ensure students prepared effectively for discussion of cases, various tutors have experimented with nominating an individual or two or more individuals at random, with notice or without notice, to present or lead discussion amongst the entire group or within smaller groups. Some tutors have nominated students at random and without notice, in the belief that if all students know that in any class they could be called upon to lead the discussion, then all students will be motivated to do the necessary pre-reading.
Kutipan jurnal di atas menjelaskan bahwa guru meyiapkan calon fasilitator diantara para siswa untuk dipersiapkan dengan efektif sebelum memimpin diskusi. Pengambilan secara acak dapat diberitahukan atau tidak perlu. Fasilitator tersebut dipersiapkan untuk membawakan diskusi atau menjadi presenter, sehingga siswa akan termotivasi dan melakukan persiapan dengan membaca dan memahami materi terlebih dahulu. Guru berperan sebagai penyampai garis-garis besar materi pada awal
pembelajaran, pengatur kegiatan selama proses pembelajaran, dan membahas hasil presentasi siswa pada akhir pembelajaran.
Dengan demikian, model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dapat diartikan sebagai suatu rangkaian penyajian materi pembelajaran yang diawali dengan penjelasan secara terbuka, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kembali kepada teman-temannya, dan diakhiri dengan penyampaian semua materi kepada siswa (Huda, 2014: 228). Rangkaian kegiatan pembelajaran yang seperti itu memungkinkan siswa tidak hanya mengetahui tetapi juga menguasai materi yang dipelajari. Penguasaan materi pelajaran merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penerapan model ini. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Shoimin (2014: 183) bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan meningkatkan penguasaan materi. Penguasaan materi tersebut diharapkan siswa mampu menerapkan ilmu yang dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli dan jurnal internasional di atas, maka dapat disintesiskan bahwa model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) merupakan model pembelajaran yang melatih dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan ide atau gagasan kepada teman-temannya. Kesempatan tersebut diberikan setelah guru melakukan penjelasan secara terbuka. Rangkaian kegiatan pembelajaran tersebut membuat siswa termotivasi untuk melakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan memahami materi, sehingga ketika menjelaskan dapat dilakukan dengan lancar dan baik.
e. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Student Facilitator
and Explaining (SFE)
Pemilihan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam penelitian ini dikarenakan memiliki kelebihan yang mendukung untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan keterampilan berbicara siswa. Namun, selain kelebihan, setiap model pembelajaran juga memiliki kekurangan. Begitu juga dengan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Adapun kelebihan model tersebut menurut Kurniasih dan Sani (2015: 79), yaitu: 1) mengajak siswa untuk menerangkan materi pelajaran kepada siswa lain dan 2) siswa dapat belajar mengungkapkan ide yang dimilikinya, sehingga lebih dapat memahami materi. Kekurangannya meliputi: 1) hanya sebagian siswa yang tampil karena adanya pendapat yang sama dan 2) banyak siswa yang kurang aktif.
Secara lebih rinci Shoimin (2014: 184-185) menyebutkan kelebihan lain dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) yaitu: 1) materi yang disampaikan lebih jelas dan konkret; 2) meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi; 3) melatih siswa untuk menjadi guru karena diberikan kesempatan untuk mengulangi penjelasan guru yang telah didengar; 4) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang terbaik dalam menjelaskan materi ajar; dan 5) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Kekurangan dari model tersebut meliputi: 1) siswa yang malu tidak mau mendemonstrasikan hal yang diperintahkan oleh guru atau banyak siswa yang kurang aktif; 2) tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melakukannya atau menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran; 3) adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang terampil; 4) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi ajar secara ringkas.
Pendapat hampir sama disampaikan oleh Huda (2014: 229) yang menyebutkan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: 1) membuat materi yang disampaikan menjadi lebih jelas dan konkret; 2) meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi; 3) melatih siswa untuk menjadi guru karena diberikan kesempatan untuk mengulangi penjelasan yang telah didengar; 4) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang terbaik dalam menjelaskan materi ajar; dan 5) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Kekurangannya yaitu: 1) siswa pemalu sering mengalami kesulitan untuk mendemonstrasikan tugas yang diperintahkan oleh guru; 2) tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran; 3) hanya sebagian siswa yang terampil karena adanya pendapat yang sama; dan 4) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi pembelajaran secara ringkas.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disintesiskan bahwa kelebihan dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) adalah melatih siswa untuk mengungkapkan ide yang dimiliki dan kemudian menyampaikan kepada teman-temannya. Siswa yamg diajak untuk mengungkapkan ide dan kemudian menyampaikannya kepada teman yang lain, dapat melatih siswa untuk berbicara. Selain itu, kegiatan tersebut dapat memotivasi siswa untuk menjadi penyampai materi yang terbaik. Dengan demikian, siswa akan melakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan memahami materi pelajaran. Persiapan tersebut memungkinkan siswa lebih siap untuk menyampaikan materi secara lancar dan jelas kepada teman-temannya. Oleh karena itu, apabila kegiatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan maka keterampilan berbicara siswa akan meningkat.
Namun, selain kelebihan tersebut, model ini juga memiliki kekurangan. Adapun kekurangan dari model pembelajaran Student
Facilitator and Explaining (SFE) adalah tidak semua siswa dapat terampil. Hal ini dikarenakan adanya pendapat yang sama dan keterbatasan waktu. Disamping itu juga, bagi siswa pemalu akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan ide yang dimiliki, sehingga memilih lebih banyak diam. Oleh karena itu, diperlukan peran guru untuk mengatur dan mengawasi siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Guru harus mampu membagi waktu dan mempersiapkan materi dengan baik, sehingga semua siswa dapat terampil. Selain itu juga, guru harus mampu memotivasi siswa agar semua siswa memiliki kepercayaan diri untuk menyampaikan ide atau pendapat kepada teman-temannya.
f. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Student Facilitator and
Explaining (SFE)
Sebelum suatu model pembelajaran diterapkan dalam pelaksanaan pembelajaran, maka seorang guru atau pendidik harus memahami dan menguasai langkah-langkahnya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar dapat tercipta kegiatan pembelajaran yang terarah dan lancar. Dengan demikian, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai secara lebih optimal. Kurniasih dan Sani (2015: 80) menyebutkan langkah- langkah pelaksanaan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) sebagai berikut:
1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut; 2) guru menerangkan atau menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran; 3) kemudian memberikan kesempatan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep, dan proses ini bisa dilakukan secara bergiliran; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; dan 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan sebagai kesimpulan, dan kemudian menutup pelajaran seperti proses seharusnya.
Pendapat hampir sama disampaikan oleh Shoimin (2014: 184) yang menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi:
1) guru menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai; 2) guru mendemonstrasikan atau menyajikan garis-garis besar materi
pembelajaran; 3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergantian; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan saat ini; dan 6) penutup.
Sejalan dengan pendapat di atas, Huda (2014: 228-229) menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi:
1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai; 2) guru mendemonstrasikan atau menyajikan garis-garis besar materi pembelajaran; 3) guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergantian; 4) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa; 5) guru menerangkan semua materi yang disajikan saat itu; dan 6) penutup
Secara ringkas Ngalimun (2014: 175) menyebutkan langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: “1) informasi kompetensi; 2) sajian materi; 3) siswa mengembangkannya dan menjelaskan lagi ke siswa lainnya; 4) kesimpulan dan evaluasi; 5) refleksi”. Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat disintesiskan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) meliputi: 1) guru menyampaikan kompetesi yang ingin dicapai, 2) guru menyampaikan garis-garis besar materi pelajaran, 3) memberikan kesempatan kepada siswa secara bergantian untuk menjelaskan materi yang dipelajari kepada siswa lainnya, 4) guru menyimpulkan penjelasan siswa, 5) guru menyampaikan materi pembelajaran secara keseluruhan, dan 6) penutup. g. Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam
Pembelajaran Berbicara
Penerapan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam pembelajaran berbicara dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran berbicara dan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN Sumber IV Surakarta tahun ajaran 2015/2016. Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka diketahui bahwa penerapan model
pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dalam pembelajaran memiliki tahapan-tahapan yang tersusun secara sistematis. Adapun kegiatan pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE) dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup.
Kegiatan pendahuluan terdapat apersepsi, orientasi dan motivasi. Apersepsi dilakukan dengan melakukan tanya jawab terkait materi yang sudah dipelajari. Orientasi dilakukan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan langkah-langkah pembelajaran berbicara dengan menerapkan model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Kegiatan orientasi tersebut merupakan langkah pertama dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Motivasi dilakukan dengan cara mengajak siswa melakukan hal yang menyenangkan yaitu tepuk semangat, tepuk the best, menirukan suara hewan, atau permainan tebak gambar. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menyiapkan psikis dan fisik siswa, sehingga siap mengikuti kegiatan pembelajaran.
Kegiatan inti yang juga dibagi menjadi tiga, yaitu eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Eksplorasi dilakukan dengan menampilkan gambar atau video tentang persoalan faktual, kemudian meminta siswa untuk mengamati dan menyebutkan nama sesuai yang ditunjukkan oleh guru. Elaborasi dilakukan dengan guru menyampaikan garis-garis besar materi pelajaran. Kegiatan elaborasi tersebut merupakan penerapan langkah kedua dari model pembelajaran Student Facilitator and Explaining (SFE). Guru selanjutnya meminta siswa berkelompok dan mendiskusikan tugas yang diberikan serta saling membantu dan memfasilitasi teman satu kelompok yang mengalami kesulitan terutama mengenai penerapan aspek-aspek keterampilan berbicara.
Kegiatan dilanjutkan dengan guru meminta setiap kelompok secara bergantian maju ke depan kelas untuk menjelaskan hasil diskusi secara lisan dengan memperhatikan aspek-aspek keterampilan berbicara. Kegiatan tersebut