• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

1. Hakikat Kualitas Proses Pembelajaran

Kualitas merupakan penilaian yang bersifat subyektif, dalam pembelajaran penilaian pada proses pembelajaran sangatlah penting untuk diperhatikan, karena penilaian proses merupakan cikal bakal adanya penilaian hasil dari suatu pembelajaran. Penilaian proses adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu yang menitikberatkan sasaran penilaian pada tingkat efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Sudjana ( 2012: 56) menyatakan bahwa suatu hal yang dicapai oleh siswa merupakan akibat dari proses yang ditempuhnya melalui program kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru atau pengajar dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penilaian dalam proses pembelajaran perlu diperhatikan, karena hasil akhir dari pembelajaran merupakan akibat dari proses pembelajaran.Dari suatu penilaian proses pembelajaran, hasilnya juga akan memengaruhi pada penilaian hasil suatu kompetensi yang harus dicapai. Penilaian proses pembelajaran menurut Suwandi (2009: 80) dapat dilihat dari sikap serta motivasi siswa. Sikap tersebut dapat diketahui selama proses pembelajaran dan dapat dinilai dengan kecenderungan siswa dalam merespon suatu objek, yang dimaksud dalam penelitian ini ialah pembelajaran menulis paragraf berhuruf Jawa. Dalam suatu proses pembelajaran, untuk dapat menciptakan sikap siswa yang tertarik dalam suatu pembelajaran diperlukan adanya suatu motivasi. Dimana motivasi dapat diartikan sebagai upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Hamalik (Islamuddin, 2012: 259) menyatakan bahwa motivasi ialah perubahan dalam diri seorang itu berbentuk suatu aktivitas nyata berupa kegiatan fisik. Karena seseorang mempunyai tujuan tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan

(2)

segala upaya yang dapat dia lakukan untuk mencapainya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Apabila terdapat motivasi dalam diri siswa dalam pembelajaran maka terdapat suatu daya penggerak dalam diri siswa untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan pembelajaran.

Dengan adanya motivasi dalam diri peserta didik diharapkan proses pembelajaran akan menjadi menyenangkan dan materi akan cenderung dapat disukai dan diterima oleh siswa, sehingga dapat meningkatkan keberhasilan siswa dalam proses dan hasil pembelajaran menulis dua paragraf berhuruf Jawa. Sudjana (2012: 61) menyatakan bahwa keberhasilan dalam proses pembelajaran dapat dilihat dari motivasi belajar yang ditunjukan oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar, yang dapat dilihat dari beberapa aspek, salah satunya ialah dari aspek motivasi belajar siswa yang ditunjukkan oleh para siswa dalam proses belajar mengajar, yang dapat dilihat dalam hal:

1) semangat siswa untuk melaksanakan tugas 2) minat dan perhatian siswa terhadap pembelajaran;

3) reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang diberikan guru; 4) tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas.

Aspek motivasi menurut Sudjana tersebut, memiliki kesamaan dengan pendapat Suwandi (2009: 80), bahwa penilaian proses juga dapat dinilai melalui motivasi siswa dalam pembelajaran, meliputi hal:

1) antusias; 2) perhatian; 3) keaktian;

4) tanggung jawab mengerjakan tugas.

Pendapat Sudjana (2012: 61) dan pendapat Suwandi (2009: 80) aspek-aspek motivasi memiliki persamaan, pada aspek semangat menurut pendapat Sudjana (2012: 61), sama dengan pendapat Suwandi (2009: 80) pada aspek antusias. Pada aspek reaksi yang ditunjukan siswa terhadap stimulus yang

(3)

diberikan menurut Sudjana memiliki kesamaan dengan pendapat Suwandi pada aspek keaktifan. Dari beberapa aspek di atas, apabila siswa telah memenuhi aspek-aspek tersebut maka menunjukan bahwa proses pembelajaran dikatakan berhasil. Dari beberapa aspek di atas yang dirasa mampu meningkatkan nilai proses pembelajaran, terdapat beberapa ciri bahwa pemebalajaran proses dikatakan berhasil. Adapun penilaian proses menulis paragraf berhuruf Jawa dapat dinilai berdasarkan pedoman di bawah ini.

Tabel 2.6 Pedoman Penilaian Proses Pembelajaran No

.

Nama Skor Perilaku Total Ket

Antusias Perhatian Keaktifan Mengerjakan Tugas 1.

2. 3.

(Suwandi, 2009: 83 dengan modifikasi beberapa hal)

Keterangan :

1. Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut : a. Antusias

1) Apabila siswa tidak memperhatikan dan bermalas-malasan dalam proses belajar mengajar

2) Apabila siswa kurang memperhatikan dalam proses belajar mengajar

3) Apabila siswa terlihat cukup memperhatikan dalam proses belajar mengajar

4) Apabila siswa terlihat antusias dan senang dalam proses belajar mengajar

5) Apabila siswa terlihat sangat memperhatikan dan senang dalam proses belajar mengajar

(4)

b. Perhatian

1) Apabila siswa tidak memperhatikan guru dan melakukan kegiatan lain saat pembelajaran

2) Apabila siswa kurang memperhatikan guru tanpa memberi respon positif saat kegiatan pembelajaran

3) Apabila siswa hanya memperhatikan guru tanpa memberikan respon positif saat kegiatan pembelajaran

4) Apabila siswa terlihat memperhatikan dan memberi respon positif dalam pembelajaran

5) Apabila siswa terlihat sangat memperhatikan , terlihat antusias dan dan aktif memberikan respon positifselama kegiatan pembelajaran

c. Keaktifan

1) Apabila siswa sama sekali tidak merespon pertanyaan dari guru selama proses belajar mengajar

2) Apabila siswa kurang merespon pertanyaan dari guru selama proses belajar mengajar

3) Apabila siswa sesekali merespon pertanyaan dari guru selama proses belajar mengajar

4) Apabila siswa aktif merespon pertanyaan dari guru selama proses belajar mengajar

5) Apabila siswa sangat aktif merespon pertanyaan dari guru selama proses belajar mengajar

d. Mengerjakan Tugas

1) Apabila siswa sama sekali tidak mau mengerjakan tugas 2) Apabila siswa sedikit mengerjakan tugas dan belum selesai 3) Apabila siswa mengerjakan tugas dan hampir selesai 4) Apabila siswa mengerjakan tugas dan telah selesai 5) Apabila siswa mengerjakan tugas dan telah selesai

(5)

2. Keterangan diisi dengan kriteria berikut : 1) Nilai 0 – 5 = sangat kurang 2) Nilai 6 – 9 = kurang

3) Nilai 10 – 13 = cukup 4) Nilai 14 – 17 = baik

5) Nilai 18 – 20 = sangat baik

2. Hakikat Kemampuan Menulis Paragraf Berhuruf Jawa

Dalam pembelajaran bahasa khususnya pada pembelajaran bahasa Jawa terdapat empat kemampuan berbahasa di antaranya ialah kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di antara empat kemampuan berbahasa tersebut, kemampuan menulis merupakan kemampuan yang paling dianggap sulit oleh siswa. Dalam pembelajaran bahasa Jawa, kemampuan menulis siswa dalam pembelajaran tersebut yang memiliki nilai paling rendah dari hasil pengamatan dan wawancara peneliti ialah pada kompetensi dasar menulis paragraf berhuruf Jawa.

a. Hakikat Paragraf

Paragraf menurut Wijayanti, dkk. (2014: 105) disebut juga alinea, yang merupakan serangkaian kalimat yang saling bertalian untuk membentuk sebuah gagasan Senada dengan pendapat tersebut Djawa (2006: 101), menambahkan “Paragraf dapat diartikan sebagai kelompok kalimat yang berhubungan secara logis, membentuk suatu kesatuan yang didasarkan pada sebuah topik”. Anggarani, dkk. (2006: 55), juga mendefinisikan paragraf seperti berikut ini.

Paragraf adalah satuan bahasa tulis yang terdiri atas beberapa kalimat yang tersusun secara runtut, logis, lengkap, utuh, dan padu. Sebuah paragraf terdiri atas sejumlah kalimat yang mengungkapkan kesatuan informasi dengan satu pikiran utama atau gagasan pokok sebagai pengendalinya.

Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa paragraf ialah suatu susunan satuan bahasa tulis yang terdiri atas beberapa kalimat yang saling berhubungan secara logis, runtut, serta padu yang digunakan untuk menyampaikan informasi.

(6)

Ahmadi (Kusumaningsih, dkk., 2013: 97) menambahkan bahwa suatu paragraf adalah suatu satuan pikiran atau perasaan, suatu susunan teratur satuan-satuan yang lebih kecil (kalimat-kalimat) dan berfungsi sebagai bagian dari suatu satuan yang lebih besar (keseluruhan komposisi). Sementara itu, menurut pendapat Kridalaksana (Kusumaningsih, dkk., 2013: 98), paragraf adalah (1) satuan bahasa yang mengandung satu tema dan perkembangannya; (2) serta merupakan bagian dari wacana yang mengungkapkan pikiran tertentu yang lengkap tetapi masih berkaitan dengan isi seluruh wacana, serta dapat terjadi dari satu kalimat atau sekelompok kalimat berkaitan. Keraf (Djawa, 2006: 101) juga berpendapat bahwa paragraf tidak lain dari suatu pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat yang merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membuat sebuah gagasan. Senada dengan Keraf, menurut Rahardi (2010: 158) juga menyebutkan bahwa paragraf merupakan bagian dari karangan yang membentuk satu kesatuan pikiran atau ide atau gagasan yang disetiap paragraf dikendalikan oleh satu ide pokok yang dikemas dalam sebuah kalimat yang dapat disebut kalimat utama. Dari beberapa pendapat pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa paragraf ialah satuan bahasa tulis yang terdiri atas beberapa kalimat yang runtut serta logis yang membentuk satu kesatuan pikiran atau ide atau gagasan yang disetiap paragraf dikendalikan oleh satu ide pokok yang dikemas dalam sebuah kalimat yang disebut kalimat utama.

Sementara itu, fungsi atau kegunaan paragraf menurut pendapat Nasucha, Rohmadi, dan Wahyudi (2009: 34), kegunaan paragraf yaitu untuk (1) menandai pembukaan topik baru, atau pengembangan lanjut topik selanjutnya; serta (2) menambah hal-hal yang penting untuk memerinci apa yang sudah diutarakan dalam paragraf sebelumnya atau paragraf yang terdahulu”. Keraf (Djawa, 2006:101) juga menyatakan bahwa paragraf berfungsi untuk mengembangkan sebuah gagasan tunggal. Senada dengan Keraf, fungsi paragraf menurut Akadiah (Kusumaningsih, 2013: 102) ialah

(7)

“untuk menambah hal-hal yang penting atau merinci apa yang sudah diutarakan dalam paragraf sebelumnya atau paragraf yang terdahulu”.

Tarigan (Djawa, 2006: 101) menyatakan bahwa paragraf mempunyai beberapa fungsi, yaitu (1) bagi penulis, paragraf berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan jalan pikirannya secara sistematis dengan cara menceraikan atau memisahkan suatu tema dengan tema yang lain; (2) bagi pembaca, paragraf berfungsi sebagai alat untuk memudahkan memahami satuan dan jalan pikiran pengarang karena tanda fisik atau dengan tanda spasi, memungkinkan pembaca lebih dapat berkonsentrasi terhadap tema yang terkandung dalam paragraf dalam paragraf itu dengan jalan melakukan pemberhentian secara wajar dan formal pada setiap akhir paragraf. Senada dengan Tarigan, Wijayanti, dkk. (2014: 105) juga menyebutkan bahwa paragraf berguna untuk menandai topik baru, memisahkan gagasan pokok yang satu dengan yang lainnya, dengan demikian paragraf memudahkan pembaca memahami isinya secara utuh.

Dari pendapat beberapa pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa paragraf merupakan kesatuan pikiran yang lebih luas dari kalimat yang membentuk rangkaian membentuk sebuah ide yang terbentuk dari suatu kesatuan kata, kalimat yang membentuk susunan logis dan padu yang berisi gagasan atau ide dengan satu pikiran pokok utama. Kegunaan paragraf sendiri ialah untuk memisahkan hal-hal yang dianggap penting atau merinci apa yang telah diutarakan dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Paragraf juga berfungsi sebagai pembuka topik baru atau pengembang topik sebelumnya, dan berfungsi untuk mengembangkan sebuah gagasan tunggal, serta memudahkan pembaca membaca serta memahami isi paragraf melalui topik-topik baru yang memisahkan gagasan pokok satu dengan lainnya.

Syarat-syarat pembentukan paragraf yaitu memiliki kesatuan, pada setiap paragraf hanya mengandung satu gagasan pokok atau satu topik, kepaduan yang didalam paragraf harus dipenuhi oleh sebuah paragraf yang disebut koherensi pada antar kalimat-kalimat yang mempunyai hubungan serta kelengkapan atas kalimat-kalimat penjelas yang cukup untuk

(8)

menunjang kejelasan, Akhadiah (Rohmadi, dkk., 2013: 107). Sependapat dengan hal tersebut Miller (Rahardi, 2010: 158) juga menyatakan bahwa “paragraf itu harus mempunyai satu kesatuan perlakuan dan kesatuan susunan”. Selain syarat paragraf juga mempunyai ciri, ciri paragraf menurut Soejito (Kusumaningsih, dkk., 2013: 97) ialah “Suatu paragraf memiliki ciri visual dan ciri ideal. Ciri visual adalah bahwa setiap baris pertama suatu paragraf diketik agak menjorok kedalam lima ketukan dari marjin kiri dan selalu mulai dengan baris baru. Ciri idealnya adalah setiap paragraf hanya berisikan satu pikiran, gagasan atau tema”. Senada dengan pendapat Soejito, Rahardi (2010: 158) juga menyatakan bahwa secara visual paragraf ditandai oleh dua hal, yaitu baris pertama ditulis menjorok ke dalam sebanyak lima ketukan dari marjin kiri, serta selalu diawali dengan baris baru. Hal tersebut juga disebutkan oleh Ahmadi (Kusumaningsih, dkk., 2013: 97), bahwa ciri fisik paragraf dimulai kurang lebih satu inchi atau lima ketukan mesin ketik.

Selain ciri, paragraf juga mempunyai struktur yang menurut pendapat Ahmadi (Djawa, 2006: 102), Struktur paragraf dibentuk oleh komponen utama, yaitu: kalimat topik, kalimat utama, kalimat pokok, kalimat inti, dan kalimat tumpu. Kalimat topik merupakan kalimat sentral yang menyatakan “tentang apakah paragraf itu berbicara. Posisi kalimat topik dalam paragraf dapat terletak di bagian awal paragraf, tengah paragraf, akhir paragraf dengan tersirat secara implisit di dalam keseluruhan kalimat yang membangun paragraf itu. Sementara itu, berdasarkan sifat dan tujuannya, terdapat lima jenis paragraf yaitu paragraf deskripsi, narasi, argumentasi, persuasi, dan eksposisi (Anggarani, dkk., 2006: 5). Sependapat dengan Anggarani, Wijayanto (Nasucha, dkk., 2009: 49) juga menyebutkan bahwa “berdasarkan tujuan dan sifatnya, paragraf dibedakan menjadi lima macam, yaitu paragraf deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi”.

b. Hakikat Huruf Jawa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 171), huruf adalah simbol aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa aksara. Nitihardjo (2001: 18) mengemukakan

(9)

bahwa, aksara Jawa merupakan ornamental simbolik atau alegoris berupa gambar atau gaya tulis, misalnya kaligrafi yang unik dan sukar dimengerti oleh pembaca awam. Dalam tataran huruf Jawa, dapat disimpulkan bahwa huruf Jawa adalah simbol aksara dalam tata tulis yang merupakan anggota abjad yang melambangkan bunyi bahasa aksara dalam tulisan Jawa yang terkadang sulit dimengerti oleh pembaca awam. Huruf Jawa (ha-na-ca-ra-ka) merupakan hasil budaya yang usianya sudah berabad-abad, secara garis besar terdapat dua konsepsi kelahiran ha-na-ca-ra-ka yang mempunyai dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ialah konsepsi secara tradisional yang berkembang dari lisan ke lisan dan konsepsi yang kedua ialah konsespsi secara ilmiah (Riyadi, 2002: 8).

Riyadi (2002: 8) mengemukakan bahwa konsepsi secara tradisional kelahiran aksara Jawa berkaitan erat dengan legenda Aji Saka yang tersebar dari lisan ke lisan yang kemudian didokumentasikan secara tertulis dalam bentuk cerita yang berbentuk manuskrip, seperti yang terkandung dalam Serat Momana, Serat Aji Saka, Babad Aji Saka, dan Taun Saka lan Aksara Jawa. Sementara, dalam konsepsi secara ilmiah berkaitan erat dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa, yang secara alami bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya.

Huruf Jawa dalam hal ini juga berasosiasi dengan kata aksara Jawa atau sering disebut ha na ca ra ka atau aksara carakan . Aksara Jawa atau huruf Jawa menurut Hadiwirodarsono (2010: 5) dapat juga disebut aksara nglegena, yaitu aksara atau huruf Jawa yang belum mendapat sandhangan atau belum diberi sandhangan. Senada dengan pendapat Hadiwirodarsono, Tjiptodarsono juga mengemukakan bahwa huruf legena ialah huruf yang masih belum diberi sandhangan atau huruf suara (1987: 2). Huruf Jawa juga biasa disebut dentawyanjana, yang berasal dari kata denta yang berarti untu, wyanjana yang berarti aksara, yang apabila diartikan menjadi aksara untu yang lumrahnya disebut carakan (Sutardjo, 2008: 120).

Darusuprapta, dkk. (2003: 5) mengemukakan bahwa huruf carakan atau aksara carakan yang di dalam ejaan bahasa Jawa pada dasarnya terdiri

(10)

atas 20 aksara yang bersifat silabik (kesukukataan). Untuk penulisan aksara atau huruf Jawa ditulis dari sisi kiri ke sisi kanan. Selain itu, menulis huruf Jawa juga mempunyai ciri khas tersendiri, seperti yang dikemukakan oleh Tjiptodarsono (1987: 2) bahwa tata penulisan serta penggunaan pena dalam menulis huruf Jawa yaitu yang pertama tarik ke atas tipis, rata ke kanan tipis dan ke bawah sejajar dengan tarikan naik tetapi tebal. Selain itu, terdapat ragam corak penulisan aksara atau huruf Jawa, adapun ragam tersebut ialah mbata sarimbag, dan ngetumbar (Tjiptodarsono: 1987: 79).

Dalam huruf Jawa selain aksara carakan juga terdapat huruf pasangan atau aksara pasangan. Aksara pasangan adalah huruf Jawa seperti halnya huruf carakan yang jumlahnya 20 buah, tetapi bentuk dan fungsinya berbeda. Tjiptodarsono (1987: 33) menyatakan bahwa pasangan ialah huruf yang dipasang menyambung huruf mati atau huruf yang diberi pangkon, dimana jumlah pasangan sama banyaknya dengan huruf Jawa. Sejalan dengan itu, Hadiwirodarsono (2010: 12) juga mengemukakan bahwa pasangan ialah huruf atau aksara yang dapat digunakan untuk menghentikan aksara. Dapat disimpulkan bahwa pasangan dalam aksara Jawa ialah huruf yang yang dapat digunakan untuk menghentikan aksara. Pasangan diartikan “setelan”, karena setiap huruf Jawa yang mempunyai pasangan-nya sendiri yang berfungsi untuk menghilangkan tanda pangkon sekaligus serta untuk mematikan vokal menjadi konsonan pada huruf yang ada di depan atau di atasnya. Menurut Hadiwirodarsono (2010: 13) terdapat empat jenis pasangan, di antaranya yaitu:

(11)

1) Pasangan yang sama bentuknya dengan huruf nglegena, penulisan yaitu di bawah huruf yang dipasangi.

Tabel 2.1 Pasangan Penulisan di bawah Huruf Nglegena

a) Pasangan ra

R

c) Pasangan ya

Y

b) Pasangan ga

G

d) Pasangan nga

Z

2) Pasangan yang berupa huruf nglegena tetapi kaki belakang huruf itu dihilangkan.

Tabel 2.2 Pasangan Penulisan Kaki Belakang Dihilangkan

a) Pasangan ka

K

b) Pasangan ta

T

c) Pasangan la

L

3) Pasangan bentuk huruf nglegena yang dihilangkan kaki depannya, penulisan secara segaris dengan huruf yang dipasangi.

Tabel 2.3 Pasangan Kaki Depan Dihilangkan

a) Pasangan ha

H

b) Pasangan sa S

c) Pasangan pa P

4) Pasangan yang bentuknya berubah sama sekali dari bentuk huruf nglegena.

(12)

Tabel 2.4 Pasangan Berbeda dengan Bentuk Aslinya

Lebih lanjut Nitihardjo (2001: 1 4) mengemukakan bahwa huruf Jawa “merupakan ornamental berbentuk simbolik atau alegoris berupa gambar atau gaya tulis, misalnya kaligrafi yang unik dan rumit sukar dimengerti oleh para pembaca awamnya”. Riyadi (2002: 33) menyebutkan bahwa huruf atau aksara Jawa mempunyai fungsi ganda, yang bersifat primer dan sekunder. Fungsi primer yang dimaksudkan disini adalah fungsi yang berkaitan dengan tulisan, dokumen tertulis sehingga dapat disebut dengan fungsi literer. Fungsi literer menurut Riyadi (2002: 33) adalah fungsi yang berkaitan dengan ujaran gagasan, dan buah pikiran yang dituangkan dalam bentuk tertulis, sedangkan fungsi huruf Jawa yang lain adalah sebagai fungsi estetik. Fungsi estetik ialah fungsi aksara Jawa yang dijadikan sarana untuk menciptakan karya seni yang memiliki nilai estetika, krida sastra merupakan karya kreatif hasil keterampilan menggunakan aksara Jawa dalam karya sastranya, serta kaligrafi yang merupakan seni menulis indah dengan bahan kajian penulisannya menggunakan huruf Jawa (Riyadi, 2002: 3 41). Dari pendapat pakar-pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis paragraf berhuruf Jawa ialah kemampuan seseorang untuk menyusun atau merangkai huruf-huruf Jawa sesuai bentuk aturan tata tulis untuk membentuk menjadi kata, kalimat dan paragraf yang dapat menghasilkan suara serta tulisan yang bermakna guna untuk menyampaikan informasi atau komunikasi yang ada dalam tulisan tersebut.

a) Pasangan na N a) Pasangan ja J

b) Pasangan ca C b) Pasangan nya V

c) Pasangan da F c) Pasangan ma M

d) Pasangan wa W d) Pasangan ba B

(13)

Selain aksara atau huruf Jawa dan pasangannya, masih terdapat beberapa aksara lain yang digunakan untuk melengkapi serta menghasilkan suara vokal agar aksara tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menghasilkan informasi. Seperti yang dinyatakan oleh Nitihardjo (2001: 30), selain 20 buah huruf atau aksara Jawa dan pasangan, masih terdapat 12 buah sandhangan aksara atau huruf vokal yang makna artinya adalah bahwa mulai hidup berwujud titah atau makhluk di dunia ini lalu menyandhang (bukan berarti pakaian, namun menyandhang rasa atau merasakan penderitaan. Sandhangan dalam aksara atau huruf Jawa yang menghasilkan suara vokal disebut sandhangan swara dapat disebut juga sandhangan sastra Jawa, dimana guna sandhangan swara adalah jika di-sandhangkan pada huruf Jawa atau ngeglena akan mengubah bunyi vokalnya (Hadiwirodarsono, 2010: 7). Hadiwirodarsono (2010: 7) mengemukakan bahwa terdapat lima jenis sandhangan swara, yaitu :

Tabel 2.5 Sandhangan Swara

Wulu ...i wulu digunakan untuk merubah huruf Jawa menjadi bervokal i, ditulis di atas huruf yang disandhangi

Suku ...u suku digunakan untuk merubah huruf Jawa menjadi bervokal u. Penulisan suku disambungkan pada kaki belakang huruf yang disandhangi.

Taling ...[ taling digunakan untuk mengubah huruf Jawa menjadi bervokal e. Ditulis di depan huruf yang disandhangi dan ditulis segaris atau sejajar dengan hurufnya.

Taling tarung [...o taling tarung digunakan untuk mengubah huruf Jawa menjadi bervokal o. Taling ditulis d di depan huruf yang akan disandhangi, sementara tarung di

(14)

belakang huruf yang akan disandhangi.

Pepet ...e pepet digunakan untuk mengubah huruf Jawa menjadi bervokal ê, ditulis di atas huruf yang disandhangi. Namun dalam penggunaan sandhangan pepet ini, terdapat beberapa catatan khusus, yaitu pada penggunaan huruf Jawa ra dan la. Aksara ra dan la tidak boleh diberi sandhangan pepet, melainkan apabila keduanya akan disandhangi agar berubah vokal menjadi rê dan lê, x (pa ceret) untuk vokal rê dan 2 (nga lelet) untuk vokal lê.

Selain itu juga terdapat sandhangan panyigeg wanda, menurut Hadiwirodarsono (2010: 9) “adalah sandhangan untuk menghentikan wanda atau suku kata”. Terdapat 4 jenis sandhangan menurut Hadiwirodarsono (2010: 9), di antara sandhangan yang berfungsi sebagai menghentikan wanda yaitu :

Tabel 2.6 Sandhangan Panyigeg Wanda

= Jika suku kata atau wanda berakhir huruf nga diganti dengan ( = ) = cecak. Cecak ditulis di atas huruf yang disigeg.

/ Jika suku kata atau wanda berakhir huruf ra diganti dengan ( / ) = layar. Layar ditulis di atas huruf yang disigeg. h Jika suku kata atau wanda berakhir huruf ha diganti dengan

( h ) = wignyan. Wignyan ditulis segaris dan berada di belakang huruf yang disigeg.

(15)

suku kata atau wanda itu mati atau berhenti diberi pangkon ( \ )

Berbeda dengan pendapat Hadiwirodarsono (2010: 9) yang menyebutkan bahwa terdapat empat jenis sandhangan panyigeg wanda, Padmoesoekotjo (1986: 18) menyebutkan bahwa sandhangan panyigeg wanda terdapat 3 jenis, yaitu cecak, layar serta wigyan. Padmoesoekotjo (1986: 18) menyebutkan bahwa sandhangan pangkon (paten) berdiri menjadi kesatuan tersendiri, dimana apabila huruf atau aksara Jawa yang dipangkon menjadi aksara konsonan yang ada di depannya, sandhangan pangkon (paten) digunakan untuk menjelaskan bahwa aksara yang dipangku atau dipangkon menjadi aksara konsonan yang ada di depannya. Selain itu, tanda pangkon juga menjadi pengganti pada lingsa dan jika ditambah pada satu (pada ingsa) maka akan menjadi pada lungsi atau tanda titi. Selain sandhangan swara, sandhangan panyigeg wanda, dan sandhangan pangkon (patena), masih terdapat jenis sandhangan yang lain, yaitu sandhangan wyanjana.

Sandhangan wyanjana atau sandhangan pambukaning wanda menurut Hadiwirodarsono (2010: 11) ialah sandhangan yang diucapkan bersama dengan huruf yang dirangkap. Terdapat tiga jenis sandhangan wynajana menurutt Hadiwirodarsono (2010: 11). Senada dengan pendapat Hadiwirodarsono, Padmoesoekotjo (1986: 18) juga menyatakan bahwa terdapat tiga jenis sandhangan wyanjana, yaitu:

Tabel 2.7 Sandhangan Wyanjana

Pengkal - pengganti huruf Jawa ya, penulisan pengkal yaitu sejajar dengan garis huruf yang disandhangi.

Keret } pengganti huruf Jawa ra pepet, penulisan keret yaitu di bawah garis huruf yang disandhangi.

Cakra ] pengganti panjingan r (r), penulisan cakra yaitu di bawah garis huruf yang disandhangi.

(16)

Selain aksara carakan, pasangan dan sandhangan, juga terdapat beberapa aksara, seperti yang disebut aksara murda. Aksara murda atau huruf Jawa murda juga disebut huruf besar yang jumlahnya hanya ada delapan aksara atau huruf (Hadiwirodarsono (2010: 22 24). Aksara atau huruf Jawa murda ini digunakan untuk penulisan nama gelar, nama orang, nama tempat, singkatan nama lembaga, dan gelar pendidikan. Selain huruf Jawa murda juga terdapat huruf Jawa rekan atau yang disebut aksara rekan, yang jumlahnya hanya lima huruf, penggunaan huruf Jawa rekan atau aksara rekan ialah dalam penulisan bahasa asing terutama bahasa Arab. Terdapat juga angka Jawa yang dimulai dari angka 0 sampai dengan angka 9. Namun, pembelajaran aksara murda dan aksara rekan dalam penelitian ini tidak diikutsertakan dalam penelitian serta pembelajaran. Hal ini karena adanya pembatasan kompetensi dasar (KD) pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pembelajaran bahasa Jawa kelas VIII Sekolah Menegah Pertama (SMP), dalam pembelajaran bahasa Jawa sesuai dengan silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kelas VIII semester kompetensi dasar yang harus dicapai dalam keterampilan menulis salah satunya ialah menulis paragraf berhuruf Jawa dengan mengintegrasikan aksara carakan, pasangan, dan sandhangan yang sesuai dengan aturan atau tata penulisan huruf Jawa sesuai dengan tata aturan gubernuran, hal ini dikarenakan karena sekolah yang dijadikan sebagai obyek penelitian, yaitu SMP Negeri 2 Mojolaban berpicu pada tata aturan tersebut. Sementara dalam pembelajaran menulis yang mengintegrasikan aksara murda dan aksara rekan dimuat dalam kompetensi dasar (KD) jenjang yang selanjutnya.

Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan masih banyak siswa yang kurang mampu dalam pembelajaran menulis menggunakan aksara atau huruf Jawa, terlebih dalam penggunaan serta penerapan penulisan pasangan dan sandhangan, sehingga pembelajaran menulis dua paragraf berhuruf Jawa memiliki nilai yang rendah dan berdampak pada tidak tercapainya kompetensi dasar menulis paragraf berhuruf Jawa. Pada penelitian ini, peneliti membatasi

(17)

huruf-huruf atau aksara Jawa pada penggunaan aksara carakan, sandhangan, serta pasangan. Berikut adalah jenis-jenis aksara Jawa.

1) Huruf Jawa

Tabel 2.8 Aksara Carakan a ha n Na c ca r ra k ka f da t ta s sa w wa l la p pa d dha j ja y ya v nya m ma g ga b ba q tha z nga 2) Pasangan

Tabel 2.9 Pasangan Aksara Jawa H Ha N Na C Ca R Ra K Ka F Da T Ta S Sa W Wa L La P Pa D Dha J Ja Y Ya V Nya M Ma G Ga B Ba Q Tha Z Nga

(18)

3) Sandhangan

Tabel 2.10 Sandhangan Aksara Jawa Nama Sandhangan Aksara Jawa Keterangan Nama Sandhangan Aksara Jawa Keterangan Wulu I Tanda vokal i Wignyan h Tanda ganti konsonan h Suku U Tanda vokal u Cecak = Tanda ganti konsonan ng Taling [ Tanda vokal é Pangkon \ Tanda penghilang vokal Pepet e Tanda vokal ê Pengkal - Tanda ganti konsonan Taling Tarung [ h Tanda vokal o Cakra ] Tanda ganti konsonan ra Layar / Tanda ganti konsonan r

Cakra keret } Tanda ganti konsonan re

c. Hakikat Paragraf Berhuruf Jawa

Dari uraian pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa paragraf berhuruf Jawa ialah satuan bahasa tulis yang membentuk suatu ide yang terbentuk dari suatu kesatuan kata yang membentuk kalimat yang runtut, utuh, dan padu yang ditulis dalam bentuk menggunakan huruf

(19)

Jawa yang mengintegrasi pada penggunaan huruf-huruf Jawa seperti, aksara carakan, pasangan, sandhangan, aksara swara, aksara murda, serta aksara angka.

Berdasarkan teori-teori pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menulis paragraf berhuruf Jawa ialah kemampuan untuk menulis atau menyalin satuan bahasa tulis yang membentuk suatu ide yang terbentuk dari suatu kesatuan kata yang membentuk kalimat yang runtut, utuh, dan padu dalam bahasa latin, kemudian disalin menggunakan huruf Jawa yang mengintegrasi pada penggunaan huruf-huruf Jawa seperti, aksara carakan, pasangan, sandhangan, aksara swara, aksara murda, serta aksara angka. d. Teknik Penilaian Kemampuan Menulis Paragraf Berhuruf Jawa

Selain penilaian proses, terdapat juga penilaian terhadap hasil karya tulisan siswa, yang di dalam karya tulis tersebut diharapkan siswa telah mampu menerapkan penggunaan huruf atau aksara Jawa meliputi aksara carakan, pasangan, sandhangan, serta aksara angka, dalam hal penggunaan serta ketepatan tata penulisan huruf Jawa sesuai dengan pedoman penulisan aksara Jawa yang baik dan benar. Dalam kompetensi ini, siswa diharapkan mampu menulis dua paragraf menggunakan huruf Jawa dengan penerapan aksara carakan, pasangan,dan sandhangan secara tepat dan sesuai dengan kaidah penulisan aksara Jawa, sehingga siswa diharapkan mampu menulis dua paragraf berhuruf Jawa. Penilaian pada kemapuan siswa dalam pembelajaran menulis dua paragraf berhuruf Jawa ini bersifat penilaian diskrit, karena ketika salah satu bentuk penggunaan aksara Jawa salah atau tidak tepat atau berbeda bentuk aksara aslinya maka aksara tersebut salah dan mempunyai skor 0, sementara pada aksara yang sesuai mempunyai skor 1, dengan aksara salah tidak mengurangi skor benar. Berdasarkan hal tersebut, maka penilaian kemampuan pembelajar menulis dua paragraf berhuruf Jawa ialah sebagai berikut :

(20)

Tabel 2.13 Lembar Penilaian Hasil Penulisan Aksara Jawa NO ASPEK JUMLAH AKSARA JUMLAH BENAR INDIKATOR SKOR 1 Ketepatan penulisan Aksara carakan

307 Apabila siswa menulis

menggunakan Aksara carakan tepat bacaan latin yang disalin

2 Ketepatan penulisan Pasangan

Apabila siswa menulis menggunakan Aksara pasangan tepat bacaan latin yang disalin 3 Ketepatan

penulisan Sandhangan

Apabila siswa menulis

menggunakan Aksara

sandhangan tepat bacaan latin yang disalin

Setelah mengetahui jumlah benar yang mempunyai skor 1 pada setiap masing-masing aksara kemudian digunakan sebagai hasil tes kemampuan menulis paragraf berhuruf Jawa dengan cara diberi skor sesuai dengan pedoman penilaian yang telah ditentukan sebagai berikut.

3. Hakikat Teknik Peer Correction

Dalam pembelajaran menulis, seorang pelajar dalam prosesnya tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Hendrickson (Sumarwati, 2013: 2) mengemukakan bahwa menulis dengan banyak kesalahan bahasa merupakan kegiatan yang sia-sia karena tulisannya tidak akan dibaca orang. Sebaliknya, karangan dengan kesalahan bahasa yang minimal memungkinkan pembaca dapat memahami isinya secara optimal. Oleh karena itu, perlu diperlakukan upaya agar siswa melakukan kesalahan seminimal mungkin dalam karangannya. Di antara kesalahan tersebut dapat digunakan sebagai proses yang membawa keberhasilan dalam kompetensi menulis.

Wood (Sumarwati, 2013: 5) menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa adalah bagian dari proses belajar dan koreksi kesalahan adalah

(21)

yang akan membawa pembelajar ke arah kemajuan. Keberhasilan tersebut dapat dimulai dengan adanya proses koreksi kesalahan dalam hasil tulisan siswa yang berfungsi sebagai feedback atau umpan balik. Aktivitas koreksi kesalahan dalam menulis tersebut menunjuk pada kegiatan menemukan letak kesalahan, mengenali penyebab, dan kemudian memperbaikinya. Senada dengan Sumarwati, Hendrikckson (Ulfah, Fuady, dan Wardani, 2013: 3) juga mengemukakan bahwa pembelajar akan mengalami kebingungan apabila tidak diberi feedback atau umpan balik ketika pembelajar tidak bisa mempertimbangkan mana yang salah. Choudron (Ulfah, dkk., 2013: 3) juga menegaskan bahwa feedback merupakan halyang penting yang pasti terjadi di dalam interaksi pembelajaran yang baik. Sehingga dengan demikian, dibutuhkan sebuah feedback yang dapat menunjang keberhasilan pembelajar. Feedback atau umpan balik yangdapat digunakan untuk menunjang dapat berupa hasil koreksi kesalahan berbahasa.

Walz (Sumarwati, 2008: 13) mengklasifikasikan berbagai teknik koreksi yaitu teacher correction, peer correction, dan self correction.

a. Teacher correction (koreksi guru), yaitu aktivitas koreksi yang dilakukan oleh guru atau pengajar terhadap tulisan peserta didik dengan cara guru mencoret atau memberi tanda langsung pada letak-letak atau bagian-bagian yang salah serta menuliskan pembetulannya.

b. Peer correction (koreksi bersama teman), yaitu kegiatan koreksi tulisan yang dilakukan peserta didik dalam bentuk kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil.

c. Self correction (koreksi diri), yaitu kegiatan koreksi tulisan yang dilakukan oleh pelajar yang kemudian dikoreksi sendiri (pelajar mencari dan menemukan kesalahan sendiri).

Dari ketiga teknik koreksi kesalahan tulisan yang telah disebutkan di atas, untuk membantu meningkatkan kualitas pembelajaran menulis paragraf berhuruf Jawa, peneliti menerapkan teknik peer correction (koreksi teman sebaya) yang ditujukan agar dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis dengan alasan bahwa menerapkan teknik koreksi

(22)

teman sebaya ini dapat memberikan pembelajaran lebih kepada siswa untuk berbagi tulisan, saling membaca tulisan teman, saling mengoreksi dan saling memberikan masukan untuk karangan atau tulisan teman. Melalui teknik peer correction ini siswa akan mengidentifikasi kesalahan tulisan teman, dan secara tidak langsung siswa akan menghindari kesalahan yang sama. Pada teknik yang lain tidak dipilih dengan alasan terdapat kekurangan pada teknik-teknik tersebut yang kurang dapat membantu meningkatkan kualitas pembelajaran menulis huruf Jawa. Penggunaan teknik teacher feedback (koreksi guru) dirasa sangat pasif karena siswa hanya menunggu koreksi dari guru dan masukan dari guru. Selain itu, menurut Walz (Ganji, 2009: 119) “pointed out that giving the students the correct answers did not establish a pattern for long term memory.” (memberikan siswa jawaban yang benar tidak membentuk pola memori jangka lama), yang berarti apabila memberikan jawaban yang benar kepada siswa dalam koreksinya, maka jawaban tersebut akan percuma, karena jawaban yang benar tersebut tidak membentuk suatu pemahaman kepada siswa, sehingga siswa tidak mengingat serta memahami kesalahan tulisannya serta tidak mengingat bagaimana tata penulisan yang seharusnya. Teknik self feedback, dimana penulis atau siswa hanya membaca karangannya sendiri hal ini kurang efektif, karena selain sebagai penulis juga sebagai pembaca yang seharusnya mampu memberikan respon atau masukan positif.

Teknik peer correction atau yang berasosiasi dengan istilah lain seperti peer feedback, peer response, peer review, tutor sebaya, pembelajaran kooperatif, peer conference, dan lain-lain merupakan kegiatan atau teknik yang menjadi pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mengembangkan kemampuan menulis (Zainurrahman, 2011: 187). Ulfah, dkk. (2013: 2), menyatakan bahwa teknik peer correction merupakan teknik pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mengoreksi kesalahan bahasa dalam hasil tulisan temannya dengan bantuan feedback tidak langsung dari guru. Senada dengan Ulfah, dkk., Purwanto (2008: 19) menyatakan bahwa teknik peer correction menunjuk pada kegiatan atau aktivitas siswa dalam membaca

(23)

tulisan temannya kemudian membuat respon (berupa koreksi) dalam posisinya sebagai pembaca. Barkley, dkk. (2012: 373) menyatakan bahwa peer editing atau peer correction mampu membantu mengajari pelajar baik siswa maupun mahasiswa cara mengidentifikasi fitur-fitur tulisan yang baik dan buruk dalam pekerjaan teman sebayanya sehingga mampu mengembangkan keterampilan evaluasi kritis yang dapat mereka terapkan pada tulisan mereka sendiri, serta dapat memberikan dampak kritisisme positif bagi pelajar baik siswa maupun mahasiswa pembuat tulisan supaya mereka dapat meningkatkan kualitas tulisan.

Dengan adanya koreksi antar teman sebaya, secara langsung juga merupakan teknik penilaian terhadap hasil lembar kerja siswa, dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan serta kekurangan temannya dalam berbagai hal, dalam artian teman sejawatnya sebagai penilai (Wahyuni dan Ibrahim, 2012). Wahyuni dan Ibrahim (2014: 22) menyatakan bahwa kedudukan teman sejawat sebagai penilai setara dengan diri sendiri. Penilaian yang dilakukan oleh teman sejawat dalam pembelajaran menulis paragraf berhuruf Jawa ialah dalam pengoreksian hasil tulisan teman sebayanya. Dari pendapat pakar-pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknik peer correction merupakan sebuah teknik yang merupakan sebuah feedback atau umpan balik terhadap siswa dengan cara saling menukarkan hasil tulisan siswa dengan teman sejawatnya untuk saling dikoreksi.

Secara sederhana menurut Sumarwati (2013: 1), adapun pelaksanaan teknik peer correction adalah: (1) setelah selesai mengembangkan kerangka karangan menjadi draf karangan, siswa menukarkan draf tersebut dengan temannya, (2) siswa bersama guru menetapkan jenis kaidah bahasa tulis yang hendak dikoreksi, (3) guru memberikan contoh kesalahan pada aspek-aspek yang telah ditetapkan dan cara menandainya, (4) siswa mengidentifikasi serta memberi tanda-tanda tertentu pada kesalahan bahasa yang ditemukan dalam karya teman, (5) siswa membetulkan kesalahan tata bahasa atau kesalahan tulis yang ditemukannya pada karya temannya, (6) siswa mengembalikan karangan yang telah selesai dibetulkan kepada penulisnya, (7) siswa

(24)

mempelajari koreksi yang dilakukan teman terhadap karangan sehingga jika menemukan masalah berkaitan dengan hasil koreksi tersebut dapat didiskusikan bersama guru, dan (8) siswa menulis ulang karangannya untuk dipajang pada majalah dinding. Senada dengan Sumarwati, menurut pendapat Ulfah, dkk. (2013:2) feedback dalam teknik peer correction ialah pada pemberian tanda-tanda atau simbol kesalahan bahasa di bagian tulisan siswa, dengan demikian siswa lebih terarah dalam mengoreksi dan lebih mudah mengenali kesalahan bahasa dalam tulisan temannya.

Barkley, dkk. (2012: 374) mengemukakan bahwa tidak semua siswa atau mahasiswa memiliki keterampilan menulis kritik sehingga mereka perlu latihan dan bimbingan untuk mengetahui apa saja yang harus dicari dan bagaimana membuat komentar-komentar editorial yang konstruktif. Dalam hal ini menurut Barkley, dkk. (2012: 374) dapat dilakukan dengan cara memfasilitasi pengeditan dan membantu memonitor kegitan dengan peer review form yang memuat unsur-unsur yang harus dicari ketika mereka sedang mengkritisi. Prosedur peer review form dimulai dengan saling berpasangan kemudian masing-masing menulis secara individual yang kemudian hasil atau dra f dari tulisan masing-masing akan saling ditukarkan untuk dikoreksi oleh pasangan atau temannya, dimana editor juga memberi tanda persetujuan atau pengkoreksian menggunakan peer review form. Dalam koreksi hasil tulisan menulis paragraf berhuruf Jawa, teknik serta langkah-langkah dalam kegitan pengkoreksian tidak jauh berbeda, dimulai dengan bertukar draf hasil karangan menulis paragraf berhuruf Jawa antar teman sebaya yang kemudian dilanjutkan dengan pengkoreksian dengan memberikan tanda-tanda tertentu pada kesalahan penggunaan atau penulisan huruf Jawa yang ditemukan. Kemudian draf hasil karya menulis paragraf berhuruf Jawa dikembalikan kepada penulis masing-masing guna untuk dipelajari sehingga apabila menemukan masalah berkaitan dengan hasil koreksi dapat didiskusikan bersama guru.

Dalam tahap pemberian feedback menurut Walz (Sumarwati, 2013: 5) yang merupakan kegiatan pengkoreksian dapat memberikan tanda-tanda atau

(25)

simbol pada kesalahan tulis yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan yang telah ditentukan. Selain memberikan simbol-simbol atau tanda juga dapat ditindak lanjuti dengan memberi pembetulannya serta menggunakan referensi tentang kaidah-kaidah bahasa tulis. Dari penjabaran pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan teknik peer correction dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam menulis serta dapat dijadikan sebagai interaksi sosial, dimana menurut Barnes (Lin & Chien, 2008: 80) “increased opportunities for peer interaction because it allows students to engage in exploratory talk” (meningkatkan kesempatan untuk interaksi rekan karena memungkinkan siswa untuk terlibat dalam pembicaraan penjajakan).

Secara umum dalam penerapan teknik ini, siswa saling berinteraksi dan bertukar karya hasil tulisan untuk dikoreksi oleh teman yang lainnya serta saling memberikan masukan atas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam hasil tulisan temannya. Selain itu, dengan melakukan koreksi bahasa atas hasil karya temannya, pembelajaran atau siswa akan mendapatkan masukan mengenai model-model kesalahan yang ia lakukan, yang kemudian ia akan belajar dari kesalahannya. Hal tersebut juga senada dengan pendapat Choudron (Sumarwati, 2013: 11) menyatakan bahwa seseorang lebih mudah belajar dari kesalahan orang lain dibandingkan dengan kesalahannya sendiri termasuk dalam pemakaian bahasa. Dengan menerapkan teknik peer correction, Sumarwati (2013: 5) mengemukakan bahwa berarti hasil karangan seorang siswa akan dibaca dan dievaluasi oleh orang lain, selain guru.

Williams (Zainurrahman, 2011: 190) menjelaskan lebih rinci bahwa peer feedback atau peer correction mempunyai efektivitas dalam pembelajaran menulis, di antaranya adalah:

a. peer feedback menyediakan pembaca yang otentik: interaksi terencana yang terjadi antara penulis dan pembaca menyingkap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam tulisan. Yang dimaksud pembaca otentik adalah pembaca yang memiliki otoritas untuk mengkritisi, mengoreksi, memberikan masukan melalui sudut pandang tertentu. Pembaca otentik bukan sekedar membaca untuk mengetahui materi, tetapi untuk melihat fitur-fitur serta aspek yang mungkin masih harus dibenahi;

(26)

b. peer feedback membangun perbaikan tulisan dalam berbagai level: sebagaimana kitaketahui bahwa tulisan itu terdiri dari level kata, frase, klausa, kalimat, paragraf dan wacana. Oleh karena tulisan terdiri dari level-level ini, maka pengembangan atau perbaikan tulisan akan terdapat pada level-level ini juga, terdapat pada tulisan tersebut;

c. peer feedback menyediakan kritikan beresiko rendah: bahkan penulis profesional sekalipun masih saja rentan pada ketersinggungan apabila tulisannya dikritik orang lain, apalagi pengkritik itu “berstrata” lebih rendah. Namun tidak halnya dengan peer feedback, resiko “kehilangan wajah” itu sangat rendah karena peer feedback menjunjung tinggi kolaborasi. Pembacaan untuk “mencari kekurangan dan kesalahan” dalam peer feedback itu bersifat terencana, sehingga resiko tersinggung atau malu akan benar-benar minimal;

d. peer feedback membangun kemapuan membaca kritis: peer feedback bukan hanya menjanjikan pengembangan keterampilan menulis, tetapi juga kritis (Rollinson, 2005; Kurt dan Atay 2007); e. peer feedback membangun hubungan sosial: ketika peer feedback

digunkan, pada hakikatnya penulis dan pembaca bukan sekedar berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai bagaimana menulis yang baik dan benar, tetapi juga terjadi sinkronisasi pemahaman sosial yang memungkinkan terjadinya korelasi sosial yang signifikan dan positif antara partisipan dalam peer feedback (penulis dan pembaca, atau penulis satu dengan penulis lainnya). Dari pendapat Williams di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik peer correction dalam pembelajaran menulis dapat menghasilkan interaksi antar siswa penulis dan pengoreksi. Dimana pengoreksi mengkritisi, mengoreksi, memberikan masukan melalui sudut pandang tertentu yang dapat membangun hasil perbaikan terhadap tulisan baik dalam tingkat frase, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Hal tersebut senada dengan pendapat Ahangari (2014: 83) , “from a socio-cognitive perspective, peer review can be seen as a formative developmental process that gives learners the opportunities to discuss their productions and discover theirs’ interpretations of them (Hyland & Hyland, 2006). According toMcDowell (1995), the main strengths of peer feedback are that (1) there is a development of evaluative and critical abilities, (2) there are opportunities for skill development, (3) knowledge is more integrated and (4) students collaborate, are motivated and are satisfied. It is assumed that knowing the criteria of a product and

(27)

observing the work of peers, leads to a higher understanding of the quality of one’s own work” (Dari perspektif sosial-kognitif, peer review dapat diketahui sebagai proses perkembangan formatif yang memberikan peserta didik peluang untuk membahas karya mereka dan menemukan interpretasi dari mereka (Hyland & Hyland, 2006). Menurut McDowell (1995), kekuatan utama dari koreksi teman adalah (1) terdapat perkembangan evaluatif dan kemampuan kritis, (2) terdapat peluang untuk pengembangan keterampilan, (3) pengetahuan lebih terintegrasi dan (4) siswa saling berkolaborasi, saling termotivasi dan saling puas. Hal ini diasumsikan bahwa mengetahui kriteria produk dan mengamati pekerjaan rekan-rekan, mengarah ke pemahaman yang lebih tinggi dari kualitas pekerjaan sendiri).

Penggunaan teknik ini dalam menulis paragraf berhuruf Jawa, teknik ini dapat digunakan guna mengkritisi huruf demi huruf serta sandhangan ataupun pasangan yang digunakan sesuai dengan kaidah penulisan huruf Jawa. Penerapan teknik peer correction (koreksi teman sebaya) juga dinilai sangat bermanfaat bagi proses pengajaran menulis, khususnya menulis paragraf berhuruf Jawa. Melalui penerapan teknik tersebut selain untuk memperbaiki kesalahan tata tulisan siswa juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengukur seberapa jauh keberhasilan pencapaian tujuan pengajaran yang telah direncanakan.

Penelitian yang menggunakan teknik peer correction dalam pembelajaran menulis yang dilakukan oleh Sumarwati (2013), memperoleh beberapa temuan di antaranya ialah: (1) koreksi kesalahan bahasa oleh siswa sebagai proses inkuiri dalam pembelajaran, dimana aktivitas mengoreksi kesalahan bahasa siswa oleh para siswa merupakan wujud dari pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru yang bertindak sebagai fasilitator, (2) peer correction sebagai realisasi bagi tulisan antarsiswa, yang secara eksternal siswa akan menerima kritik dari orang lain tentang kesalahan yang dibuatnya, serta ia pun akan mengkritik orang lain yang berbuat salah yang kemudian penilaiannya itu akan sekaligus merefleksi ke dalam dirinya, sehingga ia akan turut menghindari kesalahan yang sama, (3) aktivitas peer correction

(28)

merefleksikan respons siswa dalam pembelajaran, yakni dalam pembelajaran yang melibatkan aktivitas pembelajar dan guru, serta respons yang diberikan pembelajar diharapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran, (4) kesalahan bahasa pihak lain dapat menjadi sumber belajar bagi pengoreksi, secara internal pengoreksi yang mengoreksi mengkritik dirinya sendiri, (5) tahap pengeditan berfungsi sebagai pembelajaran kaidah bahasa, selama kegiatan mengedit atau mengoreksi pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan tersebut juga mengajarkan tentang ketatabahasaan yang dilakukan dengan praktik mengoreksi pemakaian bahasa yang dirasa jauh lebih efektif meningkatkan kaidah penguasaan kaidah bahasa pada siswa dan pembelajaran ini mengindikasikan sebagai pembelajaran konstektual.

Selain itu, teknik peer correction juga berfungsi sebagai sebuah asesmen teman sejawat atau peer assessment yang merupakan teknik penilaian yang dilakukan dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan temannya dalam berbagai hal (Wahyuni dan Ibrahim, 2014: 22). Serta menurut Ulfah, dkk, (2013: 4) dengan adanya penerapan teknik peer correction ini juga dapat menumbuhkan sikap kritis siswa sehingga mereka akan lebih berhati-hati dalam menulis dan menghindari kesalahan bahasa seperti yang dilakukan oleh temannya. Namun, dengan hasil pekerjaan siswa yang dikoreksi oleh teman sebayanya siswa akan lebih santai dan tidak tertekan, sehingga siswa dapat lebih memahami dan lebih menerima kesalahan penulisannya.

Teknik peer correction yang menempatkan teman sebaya atau siswa sebagai peneliti atau korektor dapat memberikan manfaat yang lain, di antaranya adalah: (1) memberikan dorongan pada penilai untuk selalu belajar agar ia dapat melakukan penilaian dengan baik, (2) dapat meningkatkan kepercayaan peserta didik karena ia diberikan wewenang untuk melakukan penilaian tanpa ada perbedaan dengan siswa yang lain, (3) dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya ketika ia melakukan penilaian. Sementara bagi peneliti juga sekaligus dapat belajar karena ketika ia malakukan pengkoreksian ia juga sedang belajar yang

(29)

dapat mempertajam daya kritis peserta didik karena selalu mencari dan menemukan sesuatu dengan teliti untuk diberikan catatan atau komentar (Wahyuni dan Ibrahim, 2014: 22). Penggunaan teknik peer correction yang digunakan dalam upaya untuk meningkatkan pembelajaran menulis telah dilakukan sebelumnya, yaitu oleh penelitian yang dilakukan oleh Sumarwati pada tahun 2008 dengan judul “Penerapan Teknik Peer Correction dalam Pembelajaran Menulis untuk Meningkatkan Penguasaan Bahasa Indonesia Tulis Siswa Kelas VIII SMP”. Penelitian tersebut tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu menggunakan teknik peer correction untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menulis, namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Sumarwati (2008) tersebut menggunakan kajian bahasa Indonesia, dimana dalam kemampuan menulis menggunakan aksara latin, sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan kajian bahasa Jawa, dimana kemampuan menulis dalam kajian ini menggunakan huruf Jawa atau aksara caraka. Penelitian tindakan kelas dalam hal untuk meningkatkan kemampuan menulis dengan teknik peer correction juga dilakukan oleh Purwanto pada tahun 2008 dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Ilmiah Melalui Teknik Peer Correction pada Siswa Kelas XI IA SMA Muhammadiyah 3 Masaran”. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan kualitas proses pembelajaran serta peningkatan kemampuan menulis ilmiah siswa setelah diterapkannya teknik peer correction. Selain itu, terdapat dalam kajian yang sama, terdapat penelitian yang dinilai relevan, yaitu Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Suryani pada tahun 2009 dengan judul penelitian “Penerapan Teknik Koreksi Teman Sebaya untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Karangan pada Siswa Kelas X AP 2 SMK Murni 2 Surakarta Tahun Ajaran 200 /2009”. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peningkatan kemampuan menulis karangan siswa setelah diterapkannya teknik koreksi teman sebaya.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas menggunakan obejek kajian aksara latin yang diterapkan dalam pembelajaran menulis

(30)

pelajaran bahasa Indonesia, sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan objek kajian aksara atau aksara Jawa dalam pembelajaran menulis menggunakan huruf Jawa pada pelajaran bahasa Jawa yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis yang lebih spesifik ke dalam bagian bidang kajian, yaitu menulis dua paragraf berhuruf Jawa yang sesuai dengan kompetensi dasar (KD) dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

4. Hakikat Penggunaan Media Macromedia Flash dalam Pembelajaran a. Hakikat Media

Kata media berasal dari bahasa Latin, yang merupakan bentuk jamak dari kata medum yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar (Sadiman, dkk., 2008: 5). Lebih lengkap Anitah (2009: 4) mengungkapkan kata medium yang berarti “sesuatu yang terletak di tengah (antara dua pihak atau kutub) atau suatu alat. Webster Dictionary (Anitah, 2009: 4), media yaitu “segala sesuatu yang terletak di tengah dalam bentuk jenjang, atau alat apa saja yang digunakan sebagai perantara atau penghubung dua pihak atau dua hal”. Sementara menurut Bovee (Sanaky, 2009: 3) berpendapat “media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan”. Senada dengan Bovee, Arsyad (2014: 3) menyatakan media dalam pembelajaran, yaitu media adalah alat yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pembelajaran.

Hamidjojo (Arsyad, 2014: 4), memberikan batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju. Banyak batasan yang diberikan orang tentang media, salah satunya oleh Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and CommunicationTechnology/ AECT) di Amerika, membatasi media sebagai segala bentuk saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi (Sadiman, dkk., 2008: 5). Dalam perkembangannya, media mulai berkembang dalam ranah pendidikan yang digunakan sebagai alat untuk

(31)

membantu proses belajar mengajar. Dimana media dalam proses pembelajaran merupakan salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan. Apabila suatu media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran media itu disebut media pembelajaran. Sanaky (2009: 3) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk menyampaikan pesan dalam pembelajaran. Sementara itu, menurut pendapat Gagne (Sadiman, dkk., 2008: 5) media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Persamaan di antara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, minat serta perhatian.

Briggs (Anitah, 2009: 4) menyatakan bahwa media dalam pembelajaran pada hakikatnya adalah peralatan fisik untuk membawakan atau menyempurnakan isi pembelajaran, termasuk di dalamnya ialah buku, vidiotape, slide suara, suara guru, atau salah satu komponen dari suatu sistem penyampaian. Dalam hal ini Anitah (2009: 5) menyimpulkan bahwa sesuatu dikatakan sebagai media pembelajaran apabila segala sesuatu tersebut membawakan pesan untuk suatu tujuan pelajaran. Dari definisi-definisi yang telah disebutkan Anitah (2009: 5), dapat disimpulkan bahwa media adalah setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan pelajaran untuk menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang di dalamnya terkandung informasi yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain.

Selain itu, menurut Hamalik (2014: 19), penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa. Selain itu menurut Sanaky (2009: 3) media pembelajaran yang berupa bentuk-bentuk stimulus di antaranya adalah hubungan atau interaksi manusia,

(32)

realitas, gambar bergerak atau tidak, tulisan dan suara yang direkam. Selain itu media pembelajaran juga memiliki fungsi lain yang sangat strategis dalam pembelajaran. Terdapat beberapa fungsi media pembelajaran menurut Rusman (2012: 162), di antaranya adalah :

1) sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran; 2) sebagai komponen dari sub sistem pembelajaran; 3) sebagai pengarah dalam pembelajaran;

4) sebagai permainan atau membangkitkan perhatian dan motivasi siswa;

5) meningkatkan hasil dan proses pembelajaran; 6) mengurangi terjadinya verbalisme;

7) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan indra.

Selain fungsi, media dalam pembelajaran juga mempunyai kegunaan dalam pembelajaran, menurut Sadiman, dkk. (Sukiman, 2012: 40), kegunaan- kegunaan media dalam pembelajaran secara umum ialah sebagai berikut:

1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; 2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera;

3) penggunaan media dalam pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dalam hal media dalam pembelajaran berguna untuk meningkatkan kegairahan belajar yang memungkinkan peserta didik belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, serta memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara peserta didik dengan lingkungan dan kenyataan; 4) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan

pengalaman dan persepsi peserta didik terhadap isi pembelajaran; 5) media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman

kepada peserta didik tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam pembelajaran merupakan alat untuk menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pembelajaran yang dapat digunakan sebagai alat untuk dapat meningkatkan minat serta motivasi dalam proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses hasil pembelajaran, serta dapat digunakan sebagai alat yang dapat membantu proses pembelajaran yang juga

(33)

dapat mengatasi suatu kekurangan dalam pembalajaran yang juga akan dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Soemarsono (2007: 71) juga berpendapat bahwa penggunaan media pembelajaran juga mempunyai nilai praktis bagi kegiatan proses belajar mengajar, di antaranya adalah :

1) dengan media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan pengalaman pribadi siswa;

2) dengan media pembelajaran dapat mengatasi batas ruang;

3) dengan media pembelajaran dapat mengatasi benda yang terlalu kecil;

4) dengan media pembelajaran dapat mengatasi benda yang terlalu lambat gerakannya atau terlalu cepat;

5) dengan media pembelajaran dapat mengatasi hal-hal yang terlalu kompleks untuk diamati;

6) dengan media pembelajaran dapat mengatasi suara guru yang terlalu halus untuk dapat didengar secara biasa;

7) dengan media pembelajaran memungkinkan terjadinya kontak langsung dengan masyarakat atau dengan alam;

8) dengan media pembelajaran akan memberikan kesamaan dalam pengataman;

9) dengan media pembelajaran akan membangkitkan minat belajar kepada siswa.

Sementara itu, menurut Rusman (2012: 164) manfaat media dalam pembelajaran ialah sebagai berikut:

2) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar;

3) materi pembelajaran akan jelas maknanya sehingga lebih dipahami oleh para siswa dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran lebih baik;

4) metode pembelajaran akan lebih bervariasi dengan menggunakan media pembelajaran, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru harus mengajar setiap jam pelajaran;

5) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, mendengarkan, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain.

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan media yang tepat dalam pembelajaran dapat meningkatkan minat serta motivasi siswa terhadap pembelajaran. Selain itu, melalui penggunaan media pembelajaran yang tepat, materi pembelajaran akan lebih dapat diterima oleh siswa dan akan memungkinkan siswa untk

(34)

lebih menguasai kemampuan-kemampuan dari suatu tujuan pembelajatan yang juga akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran serta kemampuan siswa dalam menulis paragraf berhuruf Jawa.

b. Hakikat Macromedia Flash

Mengingat bagaimana pentingnya suatu media dalam pembelajaran yang berfungsi untuk membantu meningkatkan motivasi dan minat siswa dalam proses pembelajaran, maka guru harus dapat pandai dalam memilih media pembelajaran yang menarik dan inovatif. Salah satu pembelajaran yang menarik dan inovatif tersebut adalah dengan menggunakan software yang mempunyai sebuah tampilan animasi atau multimedia sebagai media atau sumber dalam pembelajaran. Dimana animasi merupakan susunan gambar mati (grafis statis) yang dibuat efek sehingga seolah-olah nampak bergerak (Yudhiantoro, 2003: 4). Tim Wahana Komputer (2004: 2) mengemukakan bahwa animasi atau multimedia dapat membantu melakukan penawaran atau memberikan informasi kepada pihak lain secara interaktif.

Multimedia menurut Wahono (Ariani dan Haryanto, 2010: 11) ialah perpaduan antara teks teks, grafik, sound, animasi, dan video untuk menyampaikan pesan kepada publik. Sementara menurut Anitah (2009: 56) multimedia merupakan penggunaan berbagai jenis media secara berurutan maupun simultan untuk menyajikan suatu informasi. Konsep multimedia menurut Duffy, Mc. Donald & Mizell (Anitah, 2009: 56) merupakan kombinasi multipel media dengan satu jenis, sehingga terjadi suatu keterpaduan secara keseluruhan. bersinonim dengan format computer based yang mengkombinasikan teks, grafis, audio, bahkan video ke dalam suatu penyajian digital tunggal dan koheren (Anitah, 2009: 56). Sementara itu, menurut Sutopo ( 2003: 3), multimedia berarti kombinasi atau gabungan dari teks dengan dokumen image. Multimedia pada saat ini sangat berpengaruh sebagai alat penerus informasi yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Karena multimedia menurut Anitah (2009: 57), merupakan suatu kegiatan interaktif yang sangat tinggi yang dapat mengajak pembelajar untuk mengikuti proses pembelajaran. Seperti yang telah disebutkan di atas,

(35)

dapat berarti bahwa multimedia yang digunakan sebagai media pembelajaran dapat berfungsi sebagai alat yang bersifat interaktif di dalam pembelajaran yang dapat membangun ketertarikan dan interaksi siswa dalam proses pembelajaran. Tujuan Multimedia dalam pembelajaran ialah untuk melibatkan pelajar atau pembelajar dalam pengalaman multisensori untuk meningkatkan kegiatan dan proses pembelajaran (Anitah, 2009: 57). Sejalan dengan pendapat tersebut Sutopo (2003: 3) juga menjelaskan kemampuan multimedia yang menampilkan kualitas yang tinggi sama halnya dengan sistem televisi yang dapat menampilkan suara, gambar dan tampilan presentasi dengan kualitas tinggi dapat membuat kesanbahwa data yang ditampilkan dalam multimedia tersebut lebih baik dan dapat lebih dipahami audiens. Salah satu yang terdapat dalam multimedia ialah berupa animasi, yang berarti gerakan image atau video, seperti gerakan orang yang sedang melakukan kegiatan dimana konsep dari animasi ialah menyajikan suatu informasi (Sutopo, 2003: 12).

Salah satu program animasi atau multimedia tersebut ialah program macromedia flash. Macromedia flash menurut Sutopo (2003: 60) adalah software aplikasi untuk animasi yang dilengkapi dengan beberapa macam animasi, audio, interaktif animasi, dan lain-lain. Program macromedia flash merupakan perangkat lunak adobe flash yang selanjutnya disebut macromedia flash merupakan software multimedia unggulan yang populer dalam bidang animasi dan interaktif website (Sunyoto, 2010: 1). Program macromedia flash adalah suatu program yang sangat ideal untuk membuat animasi, program ini memberikan fasilitas dan tool yang efektif dan fleksibel yang menghasilkan animasi yang menarik (Syarif, 2003: 4). Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Tim Litbang LPKBM MADCOMS (2004: 1), juga menyatakan bahwa macromedia flash adalah sebuah program animasi yang paling fleksibel untuk keperluan pembuatan animasi, baik animasi interaktif maupun animasi non-interaktif. Program macromedia mampu membantu membuat animasi atau multimedia yang interaktif, dimana memiliki fasilitas pengaturan untuk membuat suatu animasi per frame, bahkan animasi tiga

(36)

dimensi. Animasi dapat digunakan untuk menarik perhatian siswa apabila digunakan secara tepat.

Macromedia flash mempunyai banyak fasilitas yang sangat berdaya guna, dan mudah untuk digunakan tanpa perlu menuliskan kode pemrograman. Hakim (2004: 1) menyatakan bahwa animasi flash terdiri dari grafik, teks, animasi dan aplikasi untuk situs web yang semuanya mengutamakan grafik berbasis vektor yang aksesnya lebih cepat dan lebih halus pada skala resolusi berapapun. Selain itu, menurut Wibawanto (2005: 1) program macromedia flash juga memiliki beberapa kemampuan, antara lain:

1) animasi dan gambar yang dibuat dengan program macromedia flash akan tetap bagus dalam ukuran window dan resolusi layar berapapun. Hal ini karena program merupakan suatu program grafis dengan sistem vektor;

2) waktu loading, baik untuk animasi ataupun game sangat lebih cepat dari program lain sejenisnya;

3) mampu menganimasikan grafis, sekalipun ukuran besar, dengan cepat dan mampu mengerjakan sejumlah frame dengan urutan; 4) mudah diintegrasikan dengan program lain.

Macromedia flash termasuk dalam bagian media visual, menurut Levie dan Lents (dalam Arsyad, 2014: 20), empat fungsi media visual dalam pembelajaran, yaitu:

1) fungsi autensi, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran;

2) fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks bergambar. Melalui fungsi ini, siswa dapat menyerap materi pembelajaran dengan lebih santai dan menyenangkan dan tidak bersifat tegang, yang memungkinkan materi lebih mudah diterima oleh siswa;

3) fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar;

4) fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk

Gambar

Tabel 2.6 Pedoman Penilaian Proses Pembelajaran  No
Tabel 2.1 Pasangan Penulisan di bawah Huruf Nglegena
Tabel 2.4 Pasangan Berbeda dengan Bentuk Aslinya
Tabel 2.5 Sandhangan Swara
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Dari data hasil simulasi perbandingan antara sistem CDMA-OFDM pada jumlah chip kode PN 4, 8 dan 16 dengan 4 pengguna, dalam grafik unjuk kerja sistem terlihat

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dalam berkomunikasi dengan manajerya maka produktivitas kinerjanya yang dihasilkan akan kurang memuaskan bahkan komunikasi tersebut kurang efektif karena jika manajer

Tabel 2 Perbandingan output paket AMV 2.0 dengan output SAS, Minitab, dan SPSS menggunakan metode blackbox Fungsi di AMV 2.0 Perangkat Lunak Hasil Perbandingan output

Jika Grup mengurangi bagian kepemilikan pada entitas asosiasi atau ventura bersama tetapi Grup tetap menerapkan metode ekuitas, Grup mereklasifikasi ke laba rugi proporsi