• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

8

HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir Kritis merupakan bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi.

Ennis dalam Costa (2000) mengelompokan kemampuan berpikir tingkat tinggi ke dalam empat kelompok yang meliputi pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kritis (critical thinking), dan berpikir kreatif (creative thinking). Berpikir Kritis menurut Johnson (2010) yaitu kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya diri. Siswa yang berpikir kritis diharapkan dapat merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Tujuan dari berpikir kritis ini adalah untuk mencapai pemahaman yang mendalam sehingga siswa akan mengerti maksud dibalik ide yang mengarahkan pada kehidupan sehari-hari.

Kemampuan yang berhubungan erat dengan konsep berpikir kritis yakni kemampuan untuk memahami masalah, menyeleksi informasi, menemukan solusi, memahami asumsi–asumsi, merumuskan dan menyeleksi hipotesis yang relevan, serta menarik kesimpulan yang valid dan menentukan kevalidan dari kesimpulan–

kesimpulan (Amri dan Ahmadi,2010). Pendapat tersebut selaras dengan Yamin (2008) yang mengungkapkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan indivdu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan presepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi, dan intepretasi logis sehingga mampu menemukan solusi yang masuk akal dari permasalahn yang dijumpai.

Konsep dasar lain mengenai berpikir kritis menurut Burris dan Garton (2006), antara lain sikap yang mencakup kemampuan untuk mengakui adanya

(2)

permasalahan dan menerima kebutuhan secara umum terhadap bukti–bukti yang mendukung permasalah. Kemampuan berpikir kritis juga meliputi kemampuan yang menunjukan kebenaran, abstraksi, dan generalisasi yang akurat, serta kemampuan dalam mengaplikasikan afektif, psikomotorik, dan afektif secara berimbang. Kemampuan berpikir kritis mengindikasikan bahwa pengetahuan merupakan aspek dan ukuran kemampuan intelektual seseorang yang paling dasar dalam proses berpikir. Kunci utama memunculkan kemampuan berpikir kritiss seseorang adalah mengonstruksi pemikiran sebagai hasil dari menganalisa dan menilainya secara efektif.

Pemaparan dari beberapa ahli di atas hakikatnya memiliki kesamaan yakni berpikir kritis memiliki aspek mengumpulkan informasi yang jelas, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Kemampuan berpikir kritis diperlukan siswa agar dapat membuat keputusan yang tepat, efektif, dan masuk akal dalam setiap kejadian di kehidupan mereka.

b. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

Starkey (2010) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan yang mencakup beberapa aspek, yaitu: 1) melakukan pengamatan; 2) rasa ingin tahu, mengajukan pertanyaan–pertanyaan yang relevan dan mencari informasi dari berbagai referensi; 3) menguji dan memeriksa keyakinan, asumsi, dan opini, dengan menggunakan fakta–fakta; 4) mengenali dan menetapkan masalah; 5) menilai validasi pernyataandan argumen; 6) membuat keputusan yang bijaksana dan solusi yang valid dan 7) memahami logika dan argumenasi logis. Berpikir kritis diawali dari bagaimana menanggapi sebuah permaslahan yang ada dihadapannya, sehingga akar dari permasalahan tersebut dapat terlihat dari argumen yang dilontarkan oleh siswa. Jika argumen yang disampaikan menggunakan istilah–istilah yang tepat, dan mengandung kejelasan maka bisa langsung ditarik sebagai kesimpulan. (Amri dan Ahmadi,2010)

Watson dan Glaser (2002) menyatakan ada lima indikator untuk menilai kemampuan berpikir kritis yaitu asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interprestasi, dan mengevaluasi argumen. Pendapat tersebut diperkuat oleh

(3)

Prayitno,dkk (2014) yang menyatakan bahwa tahapan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut : 1) Merumuskan masalah yang dapat diukur dengan kemampuan siswa memformulasikan pertanyaan yang mengarah pada sebuah penyelidikan. 2) Berargumen dapat diukur dengan kemampuan siswa merumuskan argumen sesuai kebutuhan serta dapat menujukan perbedaan dan persamaan antara beragam aspek dari tugas yang sismulasikan. 3) melakukan deduksi dapat diukur dengan kemampuan siswa dapat mendeduksi secara logis serta menginterpretasikan data secara tepat. 4) Melakukan induksi dapat diukur dengan kemampuan siswa menganalisa data, membuat generalisasi, dan menarik kesimpulan dengan tepat. 5) mengevaluasi dapat diukur dengan kemampuan siswa mampu mengevaluasi berdasarkan fakta serta memberikan beragam alternatif solusi pemecahan masalah.

6) memutuskan dan mengambil tindakan dapat diukur dengan kemampuan siswa untuk menentukan jalan keluar dan memilih alternatif kemungkinan yang akan dipilih.

Facione (2013) menyatakan pemikir kritis mempunyai pemikiran yang ideal, memiliki rasa ingin tahu, berpikir terbuka, fleksibel, jujur, objektif, memiliki pertimbangan kuat, tekun mencari informasi yang relevan, fokus dan gigih dalam menemukan kesimpulan suatu penyelidikan. Secara garis besar aspek berpikir kritis menurut Facione (2013) dapat dijabarkan pada Tabel 2.1.

c. Upaya Peningkatan Berpikir Kritis

Meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dapat dilakukan melalui pengajaran dan pembelajaran dari setiap mata pelajaran di kurikulum sekolah. Pertanyaan-pertanyaan tingkat tinggi dapat mendorong kemampuan berpikir tingkat tinggi (Facione 2013). Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh guru haruslah menarik dan menantang yang berhubungan dengan topik dan yang memang dirancang untuk melibatkan pemikiran siswa, sehingga memancing siswa untuk terlibat berpikir aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Pertanyaan–

pertanyaan yang dapat memacu kemampuan berpikir kritis siswa dijabarkan dalam Tabel 2.2.

(4)

Tabel 2.1. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan Deskripsi Sub Kemampuan

Interpretasi Memahami dan mengekspresikan makna dari keberartian berbagai macam

pengalaman, situasi, data, kejadian,

penilaian, kaidah–kaidah, aturan, prosedur, atau kriteria.

Mengelompokan, menyamakan makna, menjelaskan makna.

Penjelasan Kemampuan untuk menyatakan hasil atau alasan, kemampuan membenarkan suatu alasan berdasarkan bukti, konsep, metodologi, suatu kriteria tertentu dan perimbangan yang masuk akal, dan kemampuan untuk mempresentasikan alasan seseorang berupa argumenasi yang meyakinkan.

Menyatakan hasi, mendukung prosedur, menyajikan argumen, memaparkan alasan.

Analisis Mengenali hubungan inferensial yang diharapkan dan sesungguhnya antara pernyataan, pertanyaan, deskripsi, yang diharapkan mengekspresikan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan, informasi, atau pilihan.

Menguji ide–ide, mengenali pendapat, mengenali alasan dan pernyataan.

Kesimpulan Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur–unsur yang diperlukan untuk membentuk hipotesis dengan memperhatikan informasi yang relevan, dan mengurangi konsekuensi yang

ditimbulkan dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan, opini, konsep dan bentuk representasi lainnya.

Mengenali bukti, menjawab hipotesis, menarik kesimpulan baik secara induktif atau deduktif.

Evaluasi Menilai pernyataan yang terpercaya atau penyajian lainnya yaitu catatan–catatan atau deskripsi tentang presepsi,

pengalaman, situasi, atau bentuk–bentuk representasi seseorang.

Menilai pernyataan yang terpercaya, menilai kualitas pendapat yang dibuat dengan

induktif/deduktif.

Pengaturan diri

Kesadaran untuk memonitor proses kognisi diri sendiri, elemen–elemen yang

digunakan dalam proses berpikir dan hasil yang dikembangkan, khususnya dengan mengaplikasikan kemampuan dalam menganalisis kemampuan diri dalam mengambil kesimpulan dengan bentuk pertanyaan, konfirmasi, validasi, atau koreksi.

Pemantauan diri, perbaikan diri.

Sumber : (Facione,2013)

(5)

Tabel 2.2 Pertanyaan–pertanyaan untuk Memacu Kemampuan Berpikir Kritis

Aspek Pertanyaan

Interpretasi a. Apa arti dari hal ini?

b. Apa yang terjadi?

c. Bagaimana kita seharusnya memahami ….. ? d. Dapatkah memaknai hal ini (pengalaman,perasaan,

pernyataan)?

Analisis a. Ceritakan kembali kepada kami alasan–alasan yang mendasari pernyataan tersebut dibuat!

b. Apa kesimpulan anda?

c. Bagaimana / apa yang harus kita buat untuk menerima kesimpulan itu?

d. Apakah dasar anda menyatakan hal itu?

Kesimpulan a. Dengan apa yang kita ketahui selama ini, buatlah deskripsi pada hal itu!

b. Dengan apa yang kita ketahui selama ini, apa yang dapat kita cegah?

c. Apa yang tersirat dari inti pernyataan ini?

d. Jika kita meninggalkan/menerima asumsi itu, sekarang apakah hal ini akan berubah?

e. Informasi tambahan apa yang kita perlukan untuk menegatifkan pertanyan ini?

f. Jika kita percaya hal ini, apa yang tersirat dari mereka bagi kita untuk maju?

Evaluasi a. Seberapa terpercayakah pernyataan itu?

b. Seberapa kuat pendapat–pendapat tersebut?

c. Apakah kita memiliki fakta–fakta yang benar?

d. Seberapa percayakah kita terhadap kesimpulan kita, dengan apa yang kita ketahui sekarang?

e. Apakah temuan–temuan / hasil khusus dari penelitian ini?

f. Ceritakan bagaimana anda melakukan analisis itu?

g. apakah jawaban ini benar/ apakah ini solusinya?

Penjelasan a. Kedudukan kita pada masalah ini masih terlalu samar, dapatkah kita memperjelasnya?

b. Seberapa baikah metodologi kita, dan bagaimana kita mengikutinya?

c. Apakah ada suatu cara bagi kita untuk mencocokan dua kesimpulan yang tampaknya bertentangan ini?

d. Seberapa baikkah bukti kita?

e. OK, sebelum kita lakukan, apa yang kita lupakan?

Pengaturan diri Saya menemukan beberapa dari keputusa kita sedikit

membingungkan, dapatkah kita merevisi apa yang ita maksud dengan hal–hal tertentu sebelum membuat keputusan-keputusan itu?

(Sumber : Facione : 2013)

(6)

Duron (2006) menyatakan lima langkah mengembangkan kemampuan berpikir kiritis siswa sebagai berikut, 1) Langkah pertama yaitu menentukan tujuan pembelajaran. guru harus mengidentifikasi tujuan pembelajaran sebagai kunci yang menentukan prilaku yang ditunjukan siswa sehingga menuju pemikiran kritis. 2) mengajar melalui pertanyaan. Pertanyaaan dapat merangsang komunikasi dua arah dan menantang siswa mempertahankan jawaban atau argumennya. 3) Langkah ketiga yaitu adanya praktek sebelum mengambil nilai. Guru harus memilih kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan memanfaatkan semua komponen yang mendukung pembelajaran aktif. 4) langkah keempat, yaitu mereview, memperbaiki, dan meningkatkan. Guru harus berusaha untuk terus menyempurnakan program siswa menuju pengembangan kemampuan berpikir kritis. Untuk mencapai hal tersebut, guru wajib selalu memantau kegiatan kelas guna melacak partisipasi siswa, menggambarkan aktivitas kelas, dan memberikan penilaian keberhasilan mereka. 5) Langkah kelima, yaitu memberikan umpan balik dan penilaian belajar.

Selain itu, siswa juga harus diberikan kesimpatan untuk menilai dirinya sendiri (Self-assesment). Feedback-feedback yang dilontarkan oleh siswa tersebut mampu mendorong siswa untuk memunculkan kemampuan berpikir kritisnya.

Ayedemi (2012) menambahkan berpikir kritis merupakan komponen vital dalam proses pembelajaran. Konten pembelajaran tersebut terdiri dari dua tahap, yakni tahap pertama terjadi ketika peerta didik membangun pengetahuan awal, ide–

ide, dan teori dalam pemikiran mereka untuk pertama kali (skemata). Tahap kedua terjadi ketika peserta didik secara efektif menggunakan pengetahuan awalnya, ide–

ide, dan prinsip dalam kehidupan sehari–hari mereka atau disebut proses aplikasi.

Guru yang menumbuhkan berpikir kritis mendorong proses refleksi pada siswa dengan mengajukan pertanyaan–pertanyaan untuk memancing siswa mengkonstruk pengetahuan mereka secara mandiri. Cara mengajar untuk membangun berpikir kritis siswa memiliki ciri karakteristik khusus, yaitu: 1) meningkatkan interaksi diantara siswa sebagai pembelajar, 2) mengajukan pertanyaan open-ended. 3) memberikan waktu pada siswa untuk merefleksi pertanyaaan yang diberikan, dan 4) teaching for transfer, yaitu mengajarkan

(7)

penggunaaan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi dan pengalaman yang dimiliki para siswa. (Amri dan Ahmadi,2010)

2. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif

a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis - Metakognitif

Model pembelajaran Konstruktivis-metakognitif merupakan model pembelajaran yang memiliki karakter konstruktivis dan metakognitif, serta tetap memiliki karakter pembelajaran secara kolaboratif. Model pembelajaran berbasis konstruktivis menurut Prayitno, dkk (2014) memandang belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan proses menghafal pengetahuan. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dituntut mampu merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan masalah, berdialog, meneliti, mencari jawaban, mengekpresikan gagasan, mengungkap pertanyaan, dan merefleksi diri.

Model pembelajaran berbasis konstruktivis menempatkan proses menemukan sebagai bagian penting dalam pembelajaran. Model pembelajaran berbasis konstruktivis berpotensi mampu memberdayakan kapasitas berpikir kritis siswa.

Moore (2004) menyatakan model pembelajaran berbasis metakognitif memandang belajar sebagai usaha menyadarkan siswa dalam mengendalikan aktivitas belajarnya. Siswa yang terampil mengendalikan aktivitas belajarnya terbukti lebih bertanggung jawab terhadap dirinya, sehingga mereka mampu merencanakan, memantau, dan mengevaluasi tujuan pembelajarannya secara mandiri. Pembelajaran berbasis metakognitif berpotensi melatihkan kemandirian belajar siswa. Menurut Paidi (2008) strategi metakognitif dirancang untuk memberdayakan kemandirian belajar.

Model Kontruktivis-Metakognitif harus dikembangkan secara integratif.

Pengembangan model pembelajaran konstuktivis-metakognitif secara parsial dinilai tidak berpengaruh maksimal terhadap pemberdayaan kemampuan berpikir dan kemandirian belajar siswa. Misalnya, pengembangan model pembelajaran berbasis konstruktivis dengan menghilangkan karakter strategi metakognitif menyebabkan kemandirian belajar siswa tidak terberdayakan dengan maksimal.

(8)

Sebaliknya, menghilangkan karakter konstruktivis menyebabkan pemberdayaan kapasitas berpikir siswa kurang optimal. (Prayitno, dkk :2014)

b. Teori yang Melandasi Model Pembelajaran Konstruktivis – Metakognitif Teori belajar merupakan landasan utama munculnya model pembelajaran yang inovatif. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan model pembelajaran yang secara garis besar dilandasi oleh teori belajar kognitif Piaget, Vygotsky, dan pandangan metakognitif Flavell. Teori kognitif Piaget melandasi pentingnya pembelajaran konstruktivis. Piaget berpendapat bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Konsep yang dibangun pada struktur kognitif peserta didik berkembang dan berubah jika mendapat pengetahuan atau pengalaman baru (Nair

& Muthiah, 2005). Pengetahuan baru yang diterima peserta didik mengalami dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika diciptakan sebuah konflik kognitif yaitu proses pengenalan pengetahuan baru yang diterima peserta didik sesuai dengan pengetahuan yang ada sebelumnya, sehingga pengetahuan lama dikembangkan dan diperluas. Pengetahuan baru yang tidak sesuai dengan skemata awal menyebabkan terjadi ketidakseimbangan (disequilibration). Pengetahuan yang diterima menggantikan skemata awal peserta didik hingga mencapai keadaan kognitif yang seimbang (equilibration) (Cakir, 2008). Proses ini dikenal dengan akomodasi. Teori Vygotsky menjelaskan pentingnya karakter kolaboratif di dalam model pembelajaran yang digunakan untuk membangun interaksi sosial peserta didik. Interaksi sosial terjadi melalui scaffolding. Scaffolding dimaksudkan agar peserta didik dapat berdiskusi dan mengonstruksi pengetahuan sama seperti orang yang ahli tersebut (Prayitno, dkk, 2014), sehingga peserta didik dapat memasuki wilayah ZPD (zona perkembangan proksimal). Karakteristik metakognitif pada model konstruktivis-metakognitif dilandasi oleh teori metakognisi Flavell. Flavell dalam Schunk (2008) mendefinisikan metakognisi sebagai pengetahuan atau aktivitas kognitif yang digunakan untuk mengatur kegiatan kognitif, atau disebut pengaturan kognisi tentang kognisinya. Metakognisi adalah kemampuan peserta didik merencanakan pembelajaran dan pemecahan masalah, kesadaran dan

(9)

pengaturan kemampuan berpikir (Ayazgok & Yalcin, 2014). Pembelajaran berbasis metakognisi mengharuskan peserta didik menganalisa, memantau, dan berpikir tentang pembelajaran dan pikirannya sendiri (Ayazgok & Yalcin,2014).

Metakognisi terkait dengan aktivitas merencanakan, menganalisa, dan merefleksi pembelajaran dan konsep (Kaune, Fresenborg & Nowinska, 2011). Pembelajaran metakognitif menuntut adanya pengaturan diri (self-regulation) dari peserta didik yang mencakup penyusunan teori mengenai diri mereka (misalnya, kemampuan, kapabilitas, usaha), orang lain, dan lingkungan mereka.

c. Ciri – Ciri Model Pembelajaran Konstruktivis – Metakognitif

Model Konstruktivis–Metakognitif memiliki karakteristik khusus dibanding dengan model pembelajaran yang lainnya. Model Konstruktivis–Metakognitif memiliki karakteristik utama yakni pengetahuan yang didapatkan siswa dikonstruk secara mandiri dengan cara yang berbeda–beda sesuai karakter belajar mereka masing–masing serta tetap mengedepankan kegiatan aktif diskusi dalam kelompok.

Prayitno,dkk (2014) mengungkapkan Pembelajaran berbasis kontruktivis- metakognitif mengusung konsep-konsep pada teori konstruktivisme personal dan sosial seperti, 1) konsepsi awal (skemata), 2) asimilasi, 3) akomodasi, 4) ketidak seimbangan kognitif, 4) zona proximal develpoment (ZPD), 5) scaffolding diperkuat dengan pelatihan-pelatihan strategi metakognitif seperti kemampuan, 1) perencanaan, 2) memanajemen informasi, 3) memonitor, 4) merevisi, dan 5) mengevaluasi. Skemata adalah konsepsi awal siswa sebelum memperoleh pembelajaran. Terbentuknya konsep pada siswa terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi yang berujung pada terbentuknya ketidakseimbangan kognitif siswa.

Bila konsepsi baru sejalan dengan konsepsi awal, maka konsepsi awal tersebut akan diperluas atau dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru tidak sejalan dengan konsepsi awal, sehingga konsepsi lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman baru maka menyebabkan ketidakseimbangan kognitif pada siswa. Konsepsi lama akan diubah oleh siswa sampai terjadi keseimbangan kognitif baru melalui proses akomodasi. Siswa mempunyai celah antara zona aktual dan potensial yang disebut ZPD. Zona aktual adalah zona yang dicapai siswa dalam

(10)

belajar yang dilakukan secara mandiri. Siswa tersebut sesungguhnya mampu melampaui zona aktual yang telah ia capai yang disebut sebagai zona potensial.

Jarak antara zona aktual dan zona potensial disebut sebagai ZPD. ZPD dapat tercapai jika siswa diberi scaffolding oleh orang yang lebih mampu yaitu guru dan siswa lain yang lebih pandai. Scaffolding dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis dialog, diskusi, dan kolaboratif. Pembelajaran seperti ini berpotensi dapat memperkecil kesenjangan prestasi belajar antara siswa Akademik Atas (AA) dan Akademik Bawah (AB).

1. Karakteristik Pembelajaran Konstruktivis

Driver dan Oldham (1994) dalam Siregar (2010) mengungkapkan pembelajaran konstruktivis memiliki karakteristik sebagai berikut, a) Orientation, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan pengamatan, b) elisitation, yaitu siswa mengembangkan idenya dengan jalan berkolaboratif dengan teman sebayanya menghasilkan sebuah proyek, c) restructure idea, yaitu klasifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru, d) application, yaitu ide atau pengetahuan yang telah terkonstruk diterapkan pada berbagai macam situasi, e) review, yaitu dalam mengaplikasikan pengethuan, gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.

Yamin (2008) mengungkapkan seorang pengajar berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu proses belajar siswa agar berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip konstruktivis. seorang guru kontruktivis harus melakukan hal–hal penting sebagai berikut, 1) mendengar secara sungguh–sungguh interprestasi siswa terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan, dan kebingungan setiap siswa, 2) memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas, memberikan penghargaan kepada setiap siswa, dan 3) perlu mengetahui bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu tanda yang buruk dalam proses pembelajaran, melainkan langkahawal untuk memulai belajar (Julyan and Duckworth (1995) dalam Yamin (2008).

(11)

2. Karakteristik Pembelajaran Metakognitif

Moore (2004) mengungkapkan model pembelajaran berbasis metakognitif memandang belajar sebagai usaha menyadarkan siswa dalam mengendalikan aktivitas belajarnya. Siswa yang terampil mengendalikan aktivitas belajarnya terbukti lebih bertanggung jawab terhadap dirinya, sehingga mereka mampu merencanakan, memantau, dan mengevaluasi tujuan pembelajarannya secara mandiri. Pembelajaran berbasis metakognitif berpotensi melatihkan kemandirian belajar siswa. Hal tersebut ditegaskaan olrh Janjai (2012) yang mengunkapan strategi metakognitif dirancang untuk memberdayakan kemandirian belajar.

Strategi metakognitif memberikan pengalaman pada siswa untuk memperhatikan apa yang perlu dipelajari, memantau ingatan apa yang telah dipelajari, mengetahui konsep mana yang belum dipahami, mengingat sesuatu yang penting, dan mencari informasi tambahan untuk memperluas dan melengkapi pengetahuannya

3. Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif

Karakteristik kolaboratif dalam model pembelajaran konstruktivis–metakognitif bisa dikatakan sebagai sistem sosial pendukung guna memperoleh hasil maksimal.

Sistem sosial yang dikembangkan pada model pembelajaran berbasis konstruktivis- metakognitif bahwa setiap siswa harus bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Kesuksesan tim hanya akan dapat dicapai apabila semua anggota tim bisa belajar mengenai pokok bahasan yang sedang mereka pelajari.

Oleh karena itu, tugas-tugas yang diberikan kepada siswa bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Semua siswa di dalam tim memberi konstribusinya kepada tim dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya, hal ini akan memastikan bahwa siswa dengan prestasi tinggi, sedang, dan rendah semua ditantang untuk melakukan yang terbaik. (Prayitno,dkk, 2014)

(12)

d. Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis–Metakognitif

Sintak model pembelajaran konstruktivis metakognitif meliputi 7 tahap pembelajaran sebagai berikut, 1) Fase I; Pembentukan Team Kolaboratif, 2) Fase II; Aktivasi Skemata Awal, 3) Fase III; Menciptakan Konflik Kognitif, 4) Fase IV;

Pengkontruksian Konsep, 5) Fase V; Presentasi Kelas, 6) Fase VI; Tes Individu, dan 7) Fase VII; Rekognisi Kelompok.

1. Fase I: Pembentukan Kelompok Kolaboratif

Siswa dibentuk menjadi tim-tim dengan anggota kurang lebih 5 orang dengan kemampuan akademik yang heterogen. Pembagian kelompok heterogen dimaksudkan supaya scaffolding terfasilitasi dengan baik. Saat pembentukan kelompok hendaknya semua aturan tentang pembelajaran berbasis Konstruktivis- metakognitif disampaikan di awal pembelajaran pada siswa dengan tujuan memperkecil nuansa belajar kompetitif antar individu selama siswa mengkonstruksi konsep. Aturan-aturan tersebut meliputi tiga konsep penting sebagai berikut: 1) Penghargaan tim, tim akan mendapatkan penghargaan, jika tim tersebut berhasil melampaui kriteria tertentu yang telah ditetapkan. 2) Kesuksesan yang sama, semua siswa memberi konstribusi kepada timnya dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya. 3) Tanggung jawab individu, semua kesuksesan tim tergantung pada pembelajaran individual dari semua anggota tim. Tanggung jawab difokuskan pada kegiatan anggota tim dalam membantu satu sama lain untuk belajar dan memastikan bahwa tiap anggota dalam tim siap untuk mengerjakan kuis atau bentuk penilaian lainnya yang dilakukan siswa tanpa bantuan teman satu timnya.

2. Fase II: Aktivasi Skemata Awal

Menurut paham konstruktivisme konsep dibentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi dan akomodasi bertalian erat dengan keberhasilan aktivasi konsepsi awal siswa. Konsepsi awal siswa bisa benar juga bisa salah, oleh karena itu langkah terpenting dalam pembelajaran konstruktivisme membuat siswa sadar akan gagasan mereka sendiri mengenai topik atau peristiwa yang akan mereka pelajari. Beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk mengaktivasi konsepsi awal siswa bisa berupa penyajian fenomena atau meminta siswa mendeskripsikan

(13)

konsepsi awal mereka. Penyajian fenomena bertujuan mengaktivasi konsepsi awal siswa tentang konsep yang berkaitan dengan pembelajaran yang akan diajarkan.

Guru meminta siswa menelaah fenomena tersebut dengan harapan konsepsi awal siswa yang berkaitan dengan fenomena menjadi teraktivasi. Guru dapat menyajikan fenomena yang sudah dikenal baik oleh siswa atau fenomena yang sama sekali belum dikenal oleh siswa. Fenomena yang sudah dikenal siswa, guru dapat meminta siswa menjelaskan tentang fenomena tersebut. Fenomena yang belum dikenal siswa, guru dapat meminta siswa meramalkan atau memprediksi apa yang terjadi dengan fenomena itu, serta meminta siswa menjelaskan dasar argumen dari prediksi mereka. Guru dapat meminta siswa mendeskripsikan konsepsi awal yang telah mereka miliki yang terkait dengan materi yang akan diajarkan. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengaktivasi konsepsi awal siswa yaitu, membuat peta konsep, peta pikiran, menggambarkan ilustrasi, menuliskannya dalam bentuk uraian, menciptakan model, atau kombinasi diantaranya. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah membantu siswa mengenali dan memperjelas pemahaman dan gagasan mereka sendiri.

3. Fase III: Menciptakan Konflik Kognitif

Tahap penting dalam pembelajaran adalah menciptkan konflik kognitif dalam pikiran siswa sehingga timbul ketidakseimbangan kognitif. Konflik kognitif yang timbul akan membuat siswa tertantang untuk belajar. Ketidakseimbangan kognitif membuat siswa merasa tidak puas dengan fenomena yang dihadapinya sampai mereka berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk menyeimbangkan kognitif mereka. Penciptaan konflik kognitif dapat difasilitasi oleh guru dengan berbagai cara sebagai berikut. 1 ) Mengajak siswa berdiskusi dalam kelompok kecil maupun besar. 2) Melakukan demonstrasi atau eksperimen yang membantah konsepsi awal siswa atau memperluas konsepsi awal siswa siswa dengan konsepsi ilmiah. Peran guru pada fase ini membantu siswa mendeskripsikan ide-idenya kepada siswa lain yang terlibat dalam diskusi, membimbing siswa melakukan demonstrasi atau melakukan eksperimen dan mengarahkan perhatian siswa terhadap pengamatan yang telah mereka lakukan.

(14)

4. Fase IV: Pengkontruksian Konsep

Guru pada fase pembentukan konsep secara kolaboratif dituntut mampu memfasilitasi siswa dalam merestrukturisasi ide-ide mereka. Beberapa hal yang disarankan dapat dilakukan guru untuk membantu merestrukturisasi ide-ide siswa sebagai berikut, 1) Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide siswa lain melalui diskusi atau lewat kegiatan pengumpulan ide-ide. Kekontrasan ide dengan ide-ide siswa lain dapat merangsang siswa merekonstruksi kembali gagasannya jika tidak cocok. Sebaliknya, jika ide mereka cocok dengan ide siswa-siswa lain menyebabkan siswa lebih yakin akan ideidenya. 2) Membangun ide yang baru, ide- ide baru ini terbentuk bila dalam diskusi idenya bertentangan dengan ide lain, atau idenya tidak dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya. 3) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Bila memungkinkan gagasan yang baru dibentuk oleh siswa diuji dengan eksperimen atau diuji dengan cara memecahkan pertesan-pertesan baru. 4) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk siswa perlu diaplikasikan dalam berbagai situasi agar pengetahuan siswa lebih lengkap dan rinci dengan segala macam pengecualian. Pada saat pembentukan konsep, siswa juga dilatihkan untuk terampil memantau yaitu, (1) siswa dilatihkan memantau tujuan yang ingin dicapai, (2) siswa memantau waktu yang digunakan, (3) siswa memantau kecukupan pengetahuan awal, dan (4) siswa dapat memantau pelaksanaan strategi kognitif yang mereka pilih. Selain itu, siswa juga dituntut untuk terampil mengevaluasi yaitu, (1) siswa dapat mengevaluasi ketercapaian tujuan, (2) siswa dapat mengevaluasi penggunaan waktu, (3) siswa dapat mengevaluasi relevansi pengetahuan awal, dan (4) siswa dapat mengevaluasi efektifitas strategi kognitif yang digunakan.

5. Fase V: Presentasi Kelas

Fase presentasi kelas ini menuntut siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Presentasi kelas dapat dimanfaatkan oleh guru untuk memantau perolehan konsep siswa, memperbaiki, serta menguatkan konsep siswa

(15)

yang telah dibangun selama diskusi kelompok. Presentasi kelas dapat dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok siswa yang sedang presentasi di depan kelas.

6. Fase VI: Tes Individu

Setelah pembelajaran berlangsung satu KD para siswa diminta mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis, sehingga tiap siswa bertanggungjawab secara individual untuk memahami materinya.

7. Fase VII: Rekognisi Kelompok

Kegiatan utama pada fase rekognisi tim adalah menghitung skor kemajuan individual, skor tim, dan memberikan penghargaan tim. Gagasan dibalik skor kemajuan individual, skor tim, dan pemberian penghargaan untuk menanamkan pada diri siswa bahwa keberhasilan belajar akan dicapai apabila mereka belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam sistem skor ini, tiap siswa dapat memberikan konstribusi poin yang maksimal kepada timnya, tetapi tidak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha yang terbaik. Tiap siswa diberikan skor awal yang diperoleh dari rata-rata kinerja mereka sebelumnya dalam mengerjakan kuis sebelumnya. Siswa selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka. Sesegera mungkin guru setelah melakukan kuis individual menghitung skor kemajuan individual dan skor tim, serta memberikan penghargaan kepada tim sesuai dengan tingkat perkembangan timnya.

Guru hendaknya mengumumkan skor tim pada periode pertama setelah mengerjakan kuis agar membuat jelas hubungan antara melakukan tugas dengan baik dan menerima rekognisi yang pada akhirnya akan meningkatkan motivasi mereka untuk melakukan yang terbaik.

Poin kemajuan individu diukur berdasarkan tingkat dimana skor kuis mereka melampau skor awal mereka. Pedoman pemberian poin kemajuan individu dapat dilihat pada Tabel 2.3.

(16)

Tabel 2.3. Pedoman Pemberian Poin Kemajuan Individu

No Skor Kuis Poin Kemajuan

1. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5

2. 10-1 poin di bawah skor awal 10

3. Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 20 4. Lebih dari 10 poin di atas skor awal atau nilai sempurna 30

Tujuan dari dibuatnya skor awal dan poin kemajuan adalah untuk memungkinkan semua siswa memberikan poin maksimum bagi kelompok mereka, berapapun tingkat kinerja mereka sebelumnya. Siswa memahami cukup adil membandingkan tiap siswa dengan tingkat kinerja mereka sendiri sebelumnya, karena semua siswa masuk ke dalam kelas dengan perbedaan tingkat kemampuan dan pengalaman.

Penghitungan point kemajuan juga diberikan pada tingkat tim. Guru hanya tinggal membagi jumlah total poin kemajuan seluruh anggota tim dengan jumlah anggota tim yang hadir, bulatkan semua pecahan. Untuk diingat bahwa skor tim lebih tergantung pada skor kemajuan dari pada skor awal. Skor tim merupakan dasar dari pemberian penghargaan tim.

Guru dapat membuat tiga tingkatan penghargaan yang didasarkan pada rata- rata skor tim. Pedoman pemberian tingkatan penghargaan dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Pedoman Penghitungan Skor Tim dan Pemberian Penghargaan No Kriteria (Rata-Rata Tim) Penghargaan

1. 15 Tim Baik

2. 16 Tim Sangat Baik

3. 17 Tim Super

Kriteria ini merupakan satu rangkaian sehingga untuk menjadi tim sangat baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor di atas skor awal mereka dan untuk menjadi tim super sebagian besar anggota tim harus memiliki skor setidaknya 10

(17)

poin di atas skor dasar mereka. Setelah guru menghitung skor tim hendaknya memberikan rekognisi atau penghargaan untuk pencapaian sampai pada tim sangat baik atau tim super. Penghargaan dapat berupa pemberian sertifikat. Sertifikat yang menarik untuk tiap anggota tim bisa guru gunakan, sebuah sertifikat yang besar dan menarik untuk tim super dan yang berukuran agak kecil untuk tim yang sangat baik.

Tim baik hanya mendapat ucapan selamat di dalam kelas. Guru juga dapat membuat papan buletin yang memamerkan daftar tim super dan tim sangat baik minggu itu atau memamerkan foto anggota tim-tim yang sukses. Guru dapat menggunakan imajinasinya untuk memberikan penghargaan tim pada fase rekognisi tim.

B. Kerangka Berpikir

Pembelajaran abad ke-21 mengharuskan siswa memiliki kemampuan berpikir yang biasa dikenal dengan High Order Thinking and Skill (HOTS). Berdasarkan HOTS siswa diharapkan mempunyai tingkat berpikir yang tinggi, salah satunya adalah berpikir kritis, oleh karena itu berpikir kritis yang rendah juga merupakan masalah nasional yang perlu ditangani. Tindakan peningkatan berpikir kritis dibuktikan dengan beberapa penelitian yang relevan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Saida (2008) mengkaji penerapan model pembelajaran yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis di Banjar, Kalimantan Selatan. Selaras dengan penelitian Agustina (2014) yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh berpikir kritis siswa kelas X Siswa SMA Negeri 1 Lampung. Hasil penelitian tersebut dikuatkan dengan penelitian Karomah,dkk (2014) yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis pertanyaan guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMA di Pasuruhan.

Proses belajar mengajar Biologi di kelas XI MIPA 5 SMA N 7 Surakarta menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa secara riil masih rendah.

Kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 SMA N 7 Surakarta ditandai dengan hasil observasi kurangnya kemampuan siswa bertanya mengenai materi yang diajarkan, kurang memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan guru disertai pendapat yang logis atau referensi yang mendukung, kurangnya

(18)

memberikan penilaian terhadap siswa lain yang telah mengemukakan pendapat, siswa belum dapat mencermati keseuaian teori terhadap pendapat yang telah disampaikan. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 perlu ditingkatkan menggunakan model pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Kemampuan berpikir kritis siswa erat kaitanya dengan kemampuan siswa mengolah informasi yang didapatkanya. Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran yaitu perlunya mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan dalam memecahkanmasalah, membuat keputusan yang matang, dan menjadi orang yang tak pernah berhenti belajar. Kemampuan siswa dalam bertanya mengenai materi yang diajarkan berkaitan dengan aspek inferensi (inference). Memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan guru disertai pendapat yang logis atau referensi yang mendukung berkaitan dengan aspek penjelasan (explanation).

Kegiatan berdiskusi dan menghubungkan hasil diskusi dengan teori berkaitan dengan aspek interpretasi (interpretation). Mencermati kesesuaian teori terhadap pendapat yang telah disampaikan berkaitan dengan aspek analisis (analysis).

Memberikan tanggapan terhadap penjelasan yang telah disampaikan dan memberikan penilaian terhadap siswa lain yang telah mengemukakan pendapat berkaitan dengan aspek evaluasi (evaluation) dan regulasi diri (self-regulation).

Hasil observasi diperkuat dengan tes yang menunjukan masih rendahnya aspek–

aspek berpikir kritis tersebut.

Model pembelajaran inovatif yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yaitu dengan menerapkan Model Konsrtuktivis- Metakognitif. Pembelajaran menggunakan Model Konstruktivis-Metakognitif diartikan sebagai model pembelajaran yang memiliki karakter konstruktivis dan metakognitif, serta tetap memiliki karakter pembelajaran secara kolaboratif. Model pembelajaran berbasis konstruktivis menurut Prayitno, dkk (2014) memandang belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan proses menghafal pengetahuan. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dituntut mampu merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan masalah, berdialog, meneliti, mencari jawaban, mengekpresikan gagasan,

(19)

mengungkap pertanyaan, dan merefleksi diri. Model pembelajaran berbasis konstruktivis menempatkan proses menemukan sebagai bagian penting dalam pembelajaran. Model pembelajaran berbasis konstruktivis berpotensi mampu memberdayakan kapasitas berpikir kritis siswa. Moore (2004) mengungkapkan Model pembelajaran berbasis metakognitif memandang belajar sebagai usaha menyadarkan siswa dalam mengendalikan aktivitas belajarnya. Kemampuan yang dapat dicapai dengan pembelajaran konstruktivis-metakognitif antara lain kemampuan dalam mempertanyakan pernyataan, memikirkan suatu solusi atau jawaban dari permasalahan yang muncul, kemampuan menyatakan masalah (inference), mengemukakan argumen (explanation), kemampuan mengklarifikasi makna dari suatu materi pembelajaran (interpretation), kemampuan dalam memeriksa gagasan, mengidentifikasi argumen, dan menganalisis argumen (analysis), kemampuan dalam menilai suatu pernyataan atau argumen (evaluation) dan merupakan kemampuan dalam meneliti diri dan mengoreksi diri (self- regulation). Keenam aspek yang diperoleh siswa melalui pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan keenam aspek kemampuan berpikir kritis siswa.

Pelatihan berpikir kritis dapat dilatihkan pada setiap sintaks dari Model Konstruktivis-Metakognitif. Fase pembentukan kelompok kolaboratif akan dilatih untuk membangun regulasi diri dengan menempatkan diri didalam kelompok kecil.

Kemampuan interpretasi dan evaluasi akan dilatihkan dalam fase aktivasi awal.

Fase konflik kognitif siswa dirangsang untuk mengevaluasi pengetahuan lamanya dengan pengetahuan baru yang didapat dalam proses pembelajaran. fase perencanaan, pembentukan konsep, pemantauan dan evaluasi akan memfasilitasi siswa untuk berpikir rasional, analisis, berlatih membuat kesimpulan.

Berdasarkan uraian di atas, dilakukan kolaborasi dengan guru Biologi siswa kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 7 Surakarta untuk meningkatkan berpikir kritis siswa. Kolaborasi diwujudkan dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menerapkan pembelajaran konstruktivis-metakognitif pada materi Sistem Koordinasi. Alur kerangka berpikir dalam melaksanakan kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(20)

C.

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu penerapan model konstruktivis-metakognitif mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 SMAN 7 Surakarta tahun pelajaran 2015/2016 pada materi sistem koordinasi.

(21)

 Kemampuan bertanya siswa masih rendah, padahal kemampuan bertanya merupakan gerbang awal dari proses berpikir kritis

 Siswa kesulitan

memecahkan masalah yang berupa penalaran

 Siswa kurang terbiasa menganalisis suatu permasalahan

 Model pembelajaran belum memberdayakan

kemampuan berpikir kritis

 Siswa memiliki kepercayaan diri dalam menyampaikan pendapat

 Siswa memiliki kemampuan bertanya yang tinggi

 Siswa cakap dalam menganalisis permasalahan

 Siswa terampil memecahkan masalah berupa penalaran

 Model pembelajaran mampu memberdayakan kemampuan berpikir kritis siswa

Akibat

Kemampuan berpikir kritis siswa rendah

Solusi

Model Pembelajaran Konstruktivis - Metakognitif

Potensi Model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif menurut (Prayitno,dkk : 2014)

Kegiatan-kegiatan pembentukan konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan eksperimen menuntut siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

(1) merumuskan masalah. Kegiatan merumuskan masalah melatih siswa menyadari masalah, melihat pentingnya masalah, dan bagaimana merumuskan masalah

(2) merumuskan hipotesis. Kegiatan merumuskan hipotesis melatih siswa menguji, menggolongkan data, melihat dan merumuskan hubungan secara logis, dan merumuskan hipotesis

(3) menguji jawaban tentatif. Kegiatan menguji jawaban tentatif melatih siswa merakit peristiwa, menyusun data, menganalisis data, menarik simpulan, dan melakukan generalisasi. Kegiatan-kegiatan ini jika terlaksana dengan baik, berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir siswa.

1) Fase I: Pembentukan Team Kolaboratif, 2) Fase II: Aktivasi Skemata Awal, 3) Fase III:

Menciptakan Konflik Kognitif, 4) Fase IV:

Pengkontruksian Konsep, 6) Fase V: Presentasi Kelas, 7) Fase VI: Tes Individu, dan 8) Fase VII:

Rekognisi Kelompok.

Target Kemampuan Berpikir Kritis

Meningkat

Gambar 2.1. Kerangka berpikir

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan-kesulitan dalam proses belajar akan berkurang dengan adanya bimbingan dari orang tua. Hal-hal yang menyebabkan kesulitan proses belajar adalah rendahnya

 Merupakan proses pendidikan serempak baik fisik, mental maupun emosional.. Dalam menyelenggarakan pembelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan melalui bermain

Pendapat lain dari Markaban (2008) menjelaskan bahwa kelebihan dari Model Pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut: (1) Siswa berpartisipasi aktif selama

Pengenalan konsep adalah fase dalam siklus belajar yang analog dengan akomodasi ketika struktur baru dibangun untuk mengintegrasikan informasi baru. Renner menyebut

Piaget (Sudarwan, 2013: 80) menyatakan bahwa proses berpikir anak-anak berubah secara signifikan selama tahap operasional konkret. Anak-anak usia sekolah bisa terlibat

Dengan menggunakan media macromedia flash dapat dikatakan mampu memberikan tambahan bukti penguat bahwa apabila siswa menguasai konsep dalam pembelajaran disertai

Menurut Susanto (2013: 186) pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa

Ketika seorang guru memberikan materi kepada siswa, maka secara tidak langsung akan terjadi proses komunikasi, dan apabila komunikasi berjalan baik, maka ada umpan balik