• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

8

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

1. Kecakapan Spasial

Association of American Geographers mendefinisikan kecakapan spasial sebagai berikut:

Spatial Thingking Skills are an important set of competencies for examining the world around us. These skills enable the geographer to visualize and analyze spatial relationships between objects, such as location, dstance, direction, shape, and pattern. Any issue or event can be viewed spatially : the spread of disease, earthquake activity, trade, immigration, and so forth. Geography’s unique spatial perspective makes it an ideas starting point for interdisciplinary instruction. If we want to foster problem-solving and analytical skills in our classrooms, then we must infuse our curricula with content and activities that support the development of Spatial Thingking Skills.(hlm 1)

Sumber:

www.aag.org/galleries/tgmgfiles/spatial_thingking_history_lesson.pdf Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecakapan spasial merupakan kompetensi penting dalam memahami lingkungan disekitarnya. Kecakapan tersebut memungkinkan seorang geograf untuk memvisualisasikan dan menganalisis hubungan spasial antara lokasi, jarak, arah, bentuk, dan pola. Jika kita ingin mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan analisis sebaiknya menuangkan kedalam kurikulum dengan konten dan aktifitas yang mendukung pengembangan kecakapan spasial. Kecakapan spasial sangat dibutuhkan oleh peserta didik berkenaan dengan kemampuan peserta didik untuk mengkaji, mengkaitkan, dan mempresentasikan fenomena yang ada dipermukaan bumi.

Dalam Spearman Seminar, University of Plymouth pada tanggal 21 Juli 1993, pembicara menyatakan :

Spatial ability may be defined as the ability to generate, retain, retrieve, and transform well-structured visual images. It is not a unitary construct. There are, in fact, several spatial abilities, each

(2)

emphasizing different aspects of the process of image generation, storage, retrieval, and transformation.(Lohman, 1993: 3)

Kutipan di atas menjelaskan kecakapan spasial dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan, menyimpan, mengambil, dan mengubah visual yang terstruktur dengan baik. Beberapa kecakapan spasial menekankan aspek yang berbeda yaitu penyimpanan, pencarian, dan transformasi informasi.

Menurut Geographical Sciences Committee (2006) menyatakan definisi kecakapan spasial sebagai berikut:

Spatial thinking, one form of thinking, is a collection of cognitive skills. The skills consist of declarative and perceptual forms of knowledge and some cognitive operations that can be used to transform, combine, or otherwise operate on this knowledge. The key to spatial thinking is a constructive amalgam of three elements: concepts of space, tools of representation, and processes of reasoning. It is the concept of space that makes spatial thinking a distinctive form of thinking. By understanding the meanings of space, we can use its properties (e.g., dimensionality, continuity, proximity, separation) as a vehicle for structuring problems, finding answers, and expressing and communicating solutions. (hlm 12)

Kecakapan spasial berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran spasial merupakan kumpulan keterampilan kognitif. Inti berpikir spasial terdiri dari tiga unsur yaitu, konsep ruang, alat representasi, dan proses penalaran. Dengan memahami makna ruang, kita dapat menggunakan sifat-sifatnya sebagai alat untuk memecahkan masalah, menemukan jawaban, dan membuat solusi.

Kecakapan spasial terdiri dari beberapa kecakapan dasar. Berikut ini ini kecakapan dasar menurut Association of American Geographers yang disajikan pada Tabel 2.1.

(3)

Tabel 2.1 Kecakapan Dasar menurut Association of American Geographers

KECAKAPAN DEFINISI CONTOH

Comparation membandingkan satu tempat

dengan tempat lainnya curah hujan, pendapatan, citra satelit, peta dan grafik

Aura menjelaskan bahwa letak suatu tempat dapat berpengaruh dengan tempat didekatnya (tetangganya)

asap pabrik, kebisingan jalan raya, nilai properti di dekat taman

Region menarik garis/deliniasi tempat yang memiliki karakteristik sama atau terkait dalam beberapa cara

daerah tanaman jagung, daerah dataran tinggi ozark, lingkungan polish, jalan kecil/lorong tornado

Transition menggambarkan apa yang terjadi antara dua tempat dengan kondisi yang diketahui

kenampakan yang berubah secara bertahap atau tiba – tiba dari satu tempat ke tempat lain Analogy menemukan tempat di benua atau

lokasi lain yang memiliki posisi sama dan kondisi serupa

iklim mediterania, zona subduksi, hinterland Heirarki mengidentifikasi hirarki spatial

atau sekumpulan kenampakan yang saling berhubungan

jaringan sungai, distribusi hirarki, hierarki politik

Pattern menggambarkan susunan fitur atau kondisi di suatu daerah/wilayah

cluster, melingkar, mengikat, memanjang, merata atau tidak

Association mengidentifikasi sejauh mana kenampakan dalam peta memiliki pola yang sama

mall dan jalan bebas hambatan, penyakit malaria.

Sumber: www.aag.org/galleries/tgmgfiles/spatial_thingking_history_lesson.pdf Untuk mengukur kecakapan spasial peserta didik menggunakan tes obyektif yang terdiri dari butir-butir soal. Pada butir-butir soal mencangkup diantara delapan kemampuan dasar kecakapan spasial. Tes kecakapan spasial yang dilakukan mengarah pada ranah kognitif yang meliputi 6 aspek dalam Taksonomi Anderson dan Krathwohl. Taksonomi Anderson dan Krathwohl merupakan hasil pengembangan dari Taksonomi Bloom. Kedua taksonomi tersebut memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan Taksonomi Bloom dan Taksonomi Anderson dan Kathwohl disajikan pada Tabel 2.2.

(4)

Tabel 2.2 Perbedaan Taksonomi Bloom dan Taksonomi Anderson dan Kathwohl

Taksonomi Bloom (1956) Taksonomi Anderson dan Kathwohl (2000)

Knowledge (C1) : Mengingat atau menerima kembali materi pembelajaran yang pernah dipelajari peserta didik. Kate kerja yang berkaitan dengan hal ini adalah : mengetahui, mengidentifikasi, menghubungkan, mendaftar, mendefinisikan, mengingat, mengulangi, menamai, merekam, mengenali, dan memperoleh sesuatu.

Remembering : retrieving, recalling, recognizing (C1) :Memperkenalkan pengetahuan dari memori, mengingat adalah ketika memori digunakan untuk menghasilkan definisi, kenyataan, atau daftar suatu benca atau menceritakan

Comprehension (C2) : Kemampuan untuk memahami atau mengartikan sesuatu. Contoh atau kata kerja yang ebrhubungan dengan bagian ini : mencatat, menerangkan, menyatakan, mengidentifikasi, mendiskusikan, menggambarkan, mengulangi, menyimpulkan, memberi ilustri, memberi interpretasi, menyatakan perbedaan

Understanding (C2) : Membangun pemahaman dari berbagai contoh jenis fungsi yang ditulis atau grafik seperti : interpretasi, memberi contoh, membangingkan, menerangkan, mengklarifikasi

Application (C3) : kemampuan untuk menggunakan bahan-bahan atau mengimplementasikan bahan-bahan dalam keadaan yang baru atau keadaan yang sesungguhnya. Kata kerja yang terkait pada keterampilan ini adalah : mengaplikasikan, menghubungkan, mengorganisasikan, memperkirakan, menghitung, mempraktikkan, menerjemahkan, mengoperasikan, menggunakan, memberi ilustrasi, mengoperasikan, mendramakan, memberi petunjuk.

Applying (C3) : Melaksanakan atau menggunakan prosedur untuk mengimplementasikan. Aplikasi ini berkaitan dengan keadaan yang menggunakan bahan-bahan sebagai modal, presentasi, wawancara, atau simulasi.

Analysis (C4) : Kemampuan untuk membedakan bagian-bagian sutau bahan menjadi komponen-komponennya sedemikian rupa sehingga terstruktur, terorganisasi dan mudah dimengerti. Kata kerja yang terkait yaitu : memisahkan, menganalisis, membandignkan, membuktikan, mengkategorikan, membedakan, menyelidiki, mengklasifikasi, menyimpulkan, melakukan percobaan, menemukan

Analyzing (C4) : Memisahkn konsep atau bahan menjadi bagian – bagiannya, menentukan bagaimana bagian itu berhubungan satu sama lain. Aktivitass yang tergolong bagian ini

yaitu : membedakan,

mengorganisasikan, memberi atribut, membuat grafik, dan diagram.

Synthesis (C5) : Kemampuan untuk merangkai bagian-bagian menjadi atu kesatuan yang utuh, terstruktur, terorganisasi dan mudah dimengerti. Kata kerja yang terkait yaitu : menciptakan, mendesain, memproduksi, memodifikasi, menceritakan,

Synthesizing (C5) : Membuat pernyataan berdasarkan kriteria dan standar melalui pengecaekan dan kritikan. Kritikan, rekomendasi, dan catatan adalah beberapa produk yang dapat digunakan untuk

(5)

menemukan, memformulasikan, membuat dokumen, mengembangkan, menyusun, menulis, mengusulkan.

mendemonstrasikan proses evaluasi.

Evaluation (C6) : kemampuan untuk membuat keputusan, mengkoreksi, kritikan terhadap sesuatu dalam tertentu. Mengorganisasi unsur-unsur. Contoh kata kerja yang berhubungan yaitu :menghakimi, menilai, mengevaluasi, memberi kesimpulan, mengukur, memilih, memutuskan, menyeleksi, memebri kritikan, memvalidasi.

Creating (C6) : menghubungkan unsur-unsur secara dan memberi bersama-sama menjadi satu kesatuan utuh, mencapai suatu tujuan menjadi pola ayng baru melalui menurunkan, merencanakan, atau memproduksi. Creating ini membutuhkan keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi suatu produk baru dan berbeda.

Sumber : Sutrisno (2011: 16 - 18)

Berdasarkan Tabel 2.2 dapat diperinci menjadi bagan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Perbedaan Taksonomi Bloom lama dan revisi Bloom 2. Model 4MAT

McCarthy, at al. (2002: 1.1) menyatakan bahwa “Bernice McCarthy’s 4MAT System is a teaching model which combines the fundamental principles of several long-standing theories of personal development with current research on human brain function and learning”. Dari kutipan tersebut, disimpulkan bahwa model pembelajaran 4MAT yang dikembangkan oleh Bernice McCarthy adalah model pembelajaran yang menggabungkan prinsip-prinsip fundamental beberapa teori lama dari pengembangan penelitian pada fungsi otak manusia dengan gaya belajar. Menurut Ovez (2012: 2198): “The 4MAT (4 Mode Application Techniques) is a model that converts learning style concepts into educational strategies”. Kutipan

(6)

tersebut dapat disimpulkan bahwa model 4MAT menerapkan konsep gaya belajar dengan strategi pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran 4MAT adalah model pembelajaran yang mengembangkan keseimbangan antara belahan otak kanan dan otak kiri. Model 4MAT juga memperhatikan gaya belajar peserta didik dan stategi pengajaran guru.

Asal-usul model 4MAT dijelaskan oleh pengembang model 4MAT sebagai berikut :

Dawing heavily upon these brain studies and grounded in the work of John Dewey, David Kolb and Carl Jung, has created a pedagogical model which assumes (1) that individuals learn in different yet identifiable ways, and that (2) engagement with a variety of diverse learning sets results in higher levels of motivation and performance. (McCarthy, at al.,2002: 1.18)

Dari kutipan di atas, disimpulkan bahwa penelitian otak yang dilakukan oleh Bernice McCarthy didasarkan pada karya John Dewey, David Kolb dan Carl Jung, yang telah menciptakan model pedagogis. Mereka mengasumsikan individu belajar dengan cara yang berbeda dan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran menghasilkan tingkat motivasi yang lebih tinggi.

McCarthy’s 4MAT System applies the principles of these long-standing theories to provide teachers with a structure for planning meaningful learning experiences for all “styles” of learners (McCarthy ,2002: 1.18). McCarthy dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa model 4MAT menerapkan prinsip-prinsip teori lama yaitu dengan memfasilitasi guru secara struktur untuk merencanakan pengalaman belajar yang bermakna dengan gaya belajar peserta didik.

Seorang peneliti dari Universitas Balikesir, Turki menyatakan:

The 4MAT teaching model is based on a learning cycle that covers the four student types suggested by McCharthy and all the characteristics of the right and left hemispheres of the brain and also makes learning a continual process. In this cycle, while teachers revolve around the reel, they also teach according to personal differences by using educational strategies suitable for each student’s

(7)

learning style. In brief, this model is a student centered model based on learning styles occurring based on the relation between the brain and learning and also centering the learning cycle.(Ovez, 2012: 2199)

Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa, model 4MAT merupakan model yang berdasar pada gaya belajar dengan 4 komponen yang diciptakan oleh McCharthy. Pengembangan model 4MAT ini mempertimbangkan belahan otak kanan dan otak kiri. Model ini mengacu pada student center dengan gaya belajar yang berdasar pada hubungan antara otak dan pembelajaran serta siklus belajar.

Model pembelajaran 4MAT yang dicetuskan oleh Bernice McCharthy didesain melaui 8 tahap pembelajaran yang melibatkan kemampuan otak kanan dan otak kiri. Berikut tahap-tahap pembelajaran dalam model 4MAT yang disajikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Tahap-tahap pembelajaran dalam model 4MAT

STEP LEFT MODE RIGHT MODE

Why (Motivate and Develop Meaning)

1 Create an experience

(CONNECT) 2 Analyze reflect about the experience

(EXAMINE)

WHAT (Reflection & Skill Development)

3 Integrate reflective analysis into

concepts (IMAGE) 4 Develop concepts/skills

(DEFINE)

HOW (Usefulness & Skill Development) 5 Practice defined “givens”

(BY)

6 Practice and add something of

oneself (EXTEND) IF (Adaptations)

7 Analyze application for refance (REFINE)

8 Do it and apply to more complex

experience (INTEGRATE) Sumber: http://www.edpsycinteractive.org/topics/instruct/4mat.html

(8)

Tabel 2.3 menjelaskan 8 tahapan dalam model 4MAT yang melibatkan otak kanan dan otak kiri. Pada tahap pertama peserta didik menciptakan suatu pengalaman. Tahap keduan peserta didik menganalisis dan merefleksikan pengalama. Tahap ketiga mengintegrasikan hasil analisis refleksi kedalam pikiran (membayangkan). Tahap keempat peserta didik mengembangkan konsep/ keterampilan dengan mendefinisikan. Tahap kelima peserta didik mendefinisikan dengan kalimat sendiri. Tahap keenam peserta didik mempraktekkan dan memperluas dengan menambahkan sendiri. Tahap ketujuh peserta didik menyempurnakan dengan menganalisis dengan hal-hal yang relevan dan tahap terakhir peserta didik mengerjakan hal-hal yang lebih kompleks.

Tahap-tahap pembelajaran pada Tabel 2.4 dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Tahap 1

Guru memberikan pengalaman atau materi pembelajaran yang akan dipelajari kepada peserta didik. Guru membiarkan peserta didik berkutat dengan pertanyaan “mengapa” terkait dengan materi pembelajaran. b. Tahap 2

Peserta didik diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya tentang apa yang mereka ketahui tentang materi tersebut. Pada tahap ini guru tidak melakukan intervensi kepada peserta didik. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengemukakan apa yang mereka ketahui tentang materi pelajaran tersebut, walaupun guru mengetahui sebagian besar pendapat peserta didik masih belum benar.

c. Tahap 3

Guru mengeksploitasi pengalaman yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang telah dimiliki peserta didik. Hal ini bertujuan untuk memunculkan pengetahuan peserta didik tentang materi pembelajaran yang akan dipelajari sehingga materi pembelajaran akan terkait dengan pengalaman peserta didik sebelumnya.

(9)

d. Tahap 4

Guru berusaha mengembangkan pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki peserta didik sehingga pengalaman-pengalaman tersebut dapat lebih berkembang. Hal ini bertujuan agar peserta didik mengerti “apa” yang mereka pelajari.

e. Tahap 5

Peserta didik diberikan waktu untuk mendefinisikan pengetahuan tentang materi pembelajaran yang meraka pahami. Pada tahap ini guru memberikan masukan dan arahan untuk meluruskan pemahaman yang benar kepada peserta didik terhadap materi yang diajarakan.

f. Tahap 6

Peserta didik mengembangkan materi pembelajaran yang didapatkan dengan menghubungkan pengalaman praktis sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk memberikan dasar penggunaan pengetahuan yang diperoleh ketika peserta didik hidup dalam masysrakat. Sehingga peserta didik berfikir “bagaimana” ia dapat memanfaatkan materi pembelajaran yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.

g. Tahap 7

Guru memberikan tugas yang berkaitan dengan materi yang diajarakan dengan memberikan topik-topik yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Kemudian peserta didik berdiskusi secara berkelompok, lalu hasilnya dipresentasikan di depan kelas.

h. Tahap 8

Guru memberikan topik yang lebih komplek kepada peserta didik yang terkait dengan materi pembelajaran yang dipelajari. Hal ini bertujuan untuk memperluas konsep yang dimiliki oleh peserta didik. Sehingga peserta didik mempunyai kemampuan analisis, artinya peserta didik dapat memecahkan suatu persoalan yang dilatarbelakangi oleh materi pembelajaran yang diperoleh. Sehingga peserta didik harus mampu berfikir “jika begini” maka“ harus begitu”.

(10)

Pendekatan pada model 4MAT yaitu pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada peserta didik (student centered approach). Pembelajaran dengan model 4MAT ini peserta didik berperan aktif dan guru sebagai fasilitator. Peserta didik memperoleh informasi mengenai materi dari pengalaman individu dan berbagai sumber dan pertukaran informasi antar peserta didik pada saat diskusi kelompok. Sedangkan guru mengarahkan peserta didik untuk aktif selama proses pembelajaran.

Strategi di dalam model 4MAT adalah stratedi deduktif. Dalam model 4MAT ini guru mengawali pembelajaran dengan pengalaman-pengalaman peserta didik. Pengalaman-pengalaman peserta didik dikaitkan dengan konsep dan contoh-contoh yang berkaitan dengan materi. Pembelajaran dengan model 4MAT suatu proses pembelajaran untuk menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus. Pengalaman peserta didik dan contoh-contoh yang diberikan oleh guru dan peserta didik merupakan sesuatu yang bersifat umum untuk ditarik sebuah kesimpulan atau inti dari materi yang diajarkan.

Metode dalam model Siklus Belajar 5E adalah diskusi. Metode diskusi ini merupakan pelaksana dari strategi deduktif. Peserta didik berdiskusi untuk bertukar pengalaman-pengalaman peserta didik yang berkaitan dengan materi untuk menarik suatu kesimpulan. Antar peserta didik saling bertukar pengalaman dan informasi pada saat pembelajaran dengan model 4MAT.

3. Model Siklus Belajar 5E

Menurut Nohuglu dan Yasin (2006: 28) menyatakan bahwa learning cycle is a teaching model based on the knowledge organisation process of the mind. It helps students to apply concepts and to make their scientific knowledge persistent. Kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa, model siklus belajar berdasarkan pada proses organisasi pengetahuan dalam pikiran. Model siklus belajar membantu peserta didik dalam menerapkan konsep-konsep ilmiah.

(11)

Lorsbach (2005: 1) menyatakan bahwa the learning cycle is an established planning method in science education and consistent with contemporary theories about how individuals learn. It is easy to learn and useful in creating opportunities to learn science. Dari kutipan tersebut disimpulkan bahwa model siklus belajar merupakan model pada pendidikan sain dengan teori-teori kontemporer tentang bagaimana individu belajar. Belajar bertujuan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Model siklus belajar pertama kali dikenalkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study (SCIS). Model siklus belajar pada mulanya terdiri dari tiga fase. Menurut Bybee, at al. (2006: 8) menyatakan bahwa the SCIS learning cycle used the terms exploration, invention, and discovery to identify the phases and sequence of the model. Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa model siklus belajar terdiri dari tiga fase yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep (concept introduction) dan penerapan konsep (concept application). Model siklus belajar yang terdiri dari tiga fase kegiatan tersebut mengalami perkembangan menjadi lima fase kegiatan. Bybee (2006: 8) menyatakan bahwa the BSCS model has five phases: engagement, exploration, explanation, elaboration, and evaluation. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa model siklus belajar terdiri dari lima fase kegiatan yaitu perkembangan minat (engagement), eksplorasi (exploration), penjelasan (explanation), elaborasi (elaboration) dan evaluasi (evaluation). Sintak model pembelajaran Siklus Belajar 5E disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Sintak Model Pembelajaran Siklus Belajar 5E Tahapan

Siklus Belajar 5E

Aktivitas

Guru Peserta Didik

Engagement a. Membangkitkan minat

b. Memunculkan pertanyaan dan respon

a. Mengajukan pertanyaan b. Menunjukkan minat

Exploration a. Memberi kesempatan untuk

bekerja kelompok

b. Mengamati interaksi peserta didik

c. Menanyakan saat dibutuhkan

a. Menguji prediksi dan hipotesis

b. Membuat prediksi dan hipotesis baru

(12)

d. Memberi kesempatan memecahkan masalah

e. Berperan sebagai fasilitator

dan berdiskusi dengan teman lain

d. Melakukan pengamatan dan mencatat ide

e. Menentukan pendapat

Explanation a. Mendorong peserta didik

menjelaskan dengan kaimat sendiri

b. Meminta bukti dari peserta didik

c. Mengklarifikasi ketika diperlukan

d. Menggunakan pengalaman yang diperoleh peserta didik sebagai dasar penjelasan konsep

e. Menilai atau memantau perkembangan pemahaman/pengetahuan peserta didik a. Menjelaskan jawaban b. Mendengarkan penjelasan teman

c. Bertanya pada teman

d. Mendengarkan penjelasan guru

e. Menghubungkan penjelasan dengan aktivitas yang telah dilakukan

f. Menggunakan hasil pengamatan dalam menjelaskan

Elaboration a. Meminta peserta didik

menggunakan penjelasan yang telah diperoleh

b. Mendorong peserta didik mengaplikasikan konsep dan keterampilannya

c. Menanyakan peserta didik “apa yang telah kamu ketahui?”, “apa yang kamu pikirkan mengenai….?” (strategi dalam menggali sejauh mana pemahaman yang telah peserta didik peroleh)

a. Mengaplikasikan penjelasan dan keterampilan pada situasi baru

b. Membuat kesimpulan berdasarkan bukti

c. Mengecek pemahaman melalui teman sebaya

Evaluation a. Mengamati bagaimana

peserta didik dapat menerapkan konsep dan keterampilan yang diperoleh b. Menilai atau memantau

pengetahuan dan

keterampilan peserta didik c. Mencari bukti yang

menunjukkan bahwa peserta didik telah mengalami perubahan

d. Memberi kesempatan peserta didik untuk menilai pembelajaran

e. Menanyakan pertanyaan “open-ended” seperti

a. Menjawab pertanyaan berdasarkan pengamatan, bukti, dan penjelasan yang diperolehnya

b. Mendemostrasikan pemahaman atau konsep c. Mengevaluasi perkembangan

dirinya sendiri

d. Mengajukan pertanyaan yang mendorong investigasi baru

(13)

“mengapa kamu berpikir bahwa….?”, “Apa bukti yang kamu punya?”, “Apa yang kamu ketahui tentang…?”,

“Bagaimana kamu

menjelaskan…?” (sumber: Bybee, 2006: 33)

Pendekatan pada model Siklus Belajar 5E yaitu pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada peserta didik (student centered approach). Pembelajarn dengan model Siklus Belajar 5E ini peserta didik berperan aktif dan guru sebagai fasilitator. Peserta didik memperoleh informasi mengenai materi dari berbagai sumber dan pertukaran informasi antar peserta didik pada saat diskusi kelompok. Sedangkan guru mengarahkan peserta didik untuk aktif selama proses pembelajaran.

Strategi di dalam model Siklus Belajar 5E adalah stratedi deduktif. Dalam model Siklus Belajar 5 ini guru memberikan contoh-contoh untuk membuktikan konsep. Pembelajaran dengan model Siklus Belajar 5E suatu proses pembelajaran untuk menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus. Contoh-contoh yang diberikan oleh guru dan peserta didik merupakan sesuatu yang bersifat umum untuk ditarik sebuah kesimpulan atau inti dari materi yang diajarkan.

Metode dalam model Siklus Belajar 5E adalah diskusi. Metode diskusi ini merupakan pelaksana dari strategi deduktif. Peserta didik berdiskusi tentang permasalahan yang diberikan oleh guru untuk menarik suatu kesimpulan. Antar peserta didik saling bertukar informasi pada saat pembelajaran dengan model Siklus Belajar 5E.

4. Model Ekspositori

Menurut Sanjaya (2014: 179) model pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Hartono (2013: 45) mendefinisikan model pembelajaran ekspositori sebagai bentuk pembelajaran yang lebih menekankan pada bertutur atau bercerita secara verbal. Dari dua

(14)

definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang berpusat pada guru yang menekankan penyampaian materi secara verbal. Guru menyampaikan materi yang telah disiapkan sebelumnya. Peserta didik mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru.

Menurut Sanjaya (2014: 179) menyatakan karakteristik model pembelajaran ekspositori sebagai berikut:

a. Dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal. b. Biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang

sudah jadi.

c. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.

Roy Killen (1998) dalam Sanjaya (2014: 179) menamakan model ekspositori ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung. Dalam strategi ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Selama proses pembelajaran guru lebih dominan menggunakan metode ceramah. Guru dituntut untuk menguasai materi dengan baik. Penguasaan materi membantu guru menumbuhkan rasa percaya diri dalam menyampaikan materi di depan kelas.

Hartono (2013: 49 - 52) menyatakan prinsip-prinsip dasar model ekspositori sebagai berikut:

a. Berorientasi pada Tujuan

Model pembelajaran ekspositori tidak menguras daya berfikir hingga pada tahap analisis dan kritis. Pembelajaran berkisar pada data berfikir rendah. Meskipun demikian, guru harus mampu merumuskan secara jelas dan terukur, mulai dari kompetensi pengetahuan hingga pada tingkah laku.

b. Prinsip Komunikasi

Proses pembelajaran juga bisa disebut sebagai proses komunikasi antara guru yang berperan sebagai penyampai pesan dan siswa sebagai orang yang menerima pesan. Guru menjadi sumber pesan untuk menyampaikan

(15)

materi terhadap siswa melalui komunikasi. Komunikasi bisa disebut efektif apabila pesan dari pihak guru dapat ditangkap dengan mudah oleh siswa.

c. Prinsip Kesiapan

Setiap siswa akan mampu merespon dengan baik ketika dalam dirinya sudah ada kesiapan. Hal penting yang perlu diperhatikan guru tentang kesiapan siswa untuk menerima informasi. Kesiapan dalam mengajar menjadi perkara yang harus diperhatikan oleh setiap guru agar proses belajar-mengajar berjalan dengan baik.

d. Prinsip Berkelanjutan

Model pembelajaran ini mampu mendorong, menginspirasi, dan memotivasi siswa untuk belajar lebih jauh di luar kelas. Model ekspositori dikatakan berhasil apabila siswa mempunyai motivasi tinggi untuk menambah pengetahuan melalui proses belajar secara mandiri atau kelompok.

Prinsip-prinsip dasar model pembelajaran ekspositori harus dipahami dengan baik oleh guru. Setelah memahami prinsip-prinsip dasar, langkah selanjutnya yaitu mengimplementasikan model pembelajaran ekspositori. Menurut Sanjaya (2014: 185 - 190) langkah-langkah model pembelajaran ekspositori terdiri dari lima langkah yaitu:

a. Persiapan (preparation)

Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan adalah: 1) Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.

2) Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar. 3) Merangsang dan menggugah rasa ingin tau siswa.

4) Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka. b. Penyajian (presentation)

Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap

(16)

guru dalam penyajian ini adalah bagaimana agar materi pelajaran dapat dan mudah ditangkap dan mudah dipahami oleh siswa.

c. Menghubungkan (correlation)

Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.

d. Menyimpulkan (generalization)

Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disampaikan. Melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian.

e. Penerapan (aplication)

Langkah aplikasi adalah langkah untuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa.

Sanjaya (2014: 190 - 191) menyatakan beberapa keunggulan dan kelemahan model pembelajan ekspositori, yaitu:

a. Keunggulan

Beberapa keunggualan model pembelajan ekspositori diantaranya:

1) Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui samapai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang sisampaikan.

2) Model pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas.

3) Melalui model pembelajaran ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan tentang suatu materi pelajaran, siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).

4) Model pembelajaran ekspositori bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.

(17)

b. Kelemahan

Beberapa kelemahan model pembelajan ekspositori diantaranya:

1) Model pembelajaran ekspositori ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.

2) Model ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat dan bakat, serta perbedaan gaya belajar.

3) Karena model ini lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisai, hubungan interpersonal, serta kemampuan berfikir kritis. 4) Keberhasilan model pembelajaran ekspositori sangat tergantung

kepada apa yang dimiliki guru, seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi, dan berbagai kemampuan seperti kemampuan bertutur, dan kemampuan mengelola kelas. Tanpa itu sudah dapat dipastikan proses pembelajaran tidakmungkin berhasil.

5) Gaya komunikasi dalam model pembelajaran ekspositori lebih banyak terjadi satu arah, maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi pelajaran akan sangat terbatas pula. Disamping itu, komunikasi satu arah bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas apa yang diberikan guru.

Pendekatan pada model Ekspositori yaitu pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pembelajarn dengan model Ekspositori ini guru mendominasi selama proses pembelajaran. Peserta didik terbatas dalam memperoleh informasi, sebatas informasi yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran. Peserta didik bersifat pasif dan peran guru yang mendominasi membuat peserta didik terbatas dalam mengemukakan pendapat dan ide-ide.

Strategi di dalam model Ekspositori adalah stratedi induktif. Dalam model Ekspositori ini guru langsung memberikan inti materi kepada peserta

(18)

didik. Guru memberikan penjelasan materi kepada peserta didik selama proses pembelajara. Metode dalam model Ekspositori adalah ceramah. Metode yang dominan dalam model Ekspositori adalah ceramah, namun terdapat selingan metode diskusi diantara metode ceramah yang diterapkan oleh guru. Dalam menyampaikan penjelasan materi guru menggunakan metode yang dominan ceramah.

5. Efektivitas Pembelajaran

Sutikno (2013: 173) menyatakan bahwa pembelajaran efektif, bukan membuat anda pusing, akan tetapi bagaimana tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan mudah dan menyenangkan. Menurut Dick & Reiser (1989) dalam Sutikno (2013: 173) mendefinisikan pembelajaran efektif sebagai suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, dan sikap serta yang membuat siswa senang. Pembelajaran efektif merupakan suatu pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik untuk mencapai keberhasilan sesuai tujuan pembelajaran.

Suyono dan Hariyanto (2012: 212) menyampaikan sejumlah kriteria agar pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, yaitu:

a. Harus diciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan

b. Belajar yang menarik perhatian siswa adalah menyenangkan karena menantang, relevan, mengarah tujuan, serta didukung dengan metode yang memungkinkan tercapainya keberhasilan.

c. Hampir semua siswa dapat dan akan belajar bila didukung oleh guru dan lingkungan belajar yang efektif.

Keefektivan pembelajaran sangat diharapkan dapat tercapai. Kegiatan pembelajaran dikatakan sempurna apabila pembelajaran sudah efektif. Pembelajaran efektif dapat terwujud apabila didukung oleh guru yang efektif. Gilbert (1999) dalam Rosyada (2007: 112 - 113) menyebutkan bahwa ada tujuh kriteria yang harus dimiliki oleh seorang guru agar pembelajaran efektif, yaitu:

(19)

a. Sifat

Guru harus memiliki sifat antusias, memberi rangsangan, mendorong siswa untuk maju, hangat, berorientasi pada tugas dan pekerja keras, toleran, sopan, bijaksana, dapat dipercaya, fleksibel dan bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar.

b. Pengetahuan

Memiliki pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus menerus mengikuti perkembangan dalam bidang ilmunya.

c. Apa yang disampaikan

Mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencangkup semua unit bahasan, semua kompetensi dasar yang diharapkan siswa secara maksimat.

d. Bagaimana mengajar

Mampu menjelaskan berbagai informasi secara jelas dan terang, memberikan layanan yang variatif (menerapkan metode mengajar secara bervariasi), menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor bahwa sering mendekati siswa, mampu mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian yang tidak terduga.

e. Harapan

Mampu memberi harapan kepada siswa, mampu membuat siswa akuntabel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.

f. Reaksi guru terhadap siswa

Mau dan mampu menerima berbagi masukan, risiko, tantangan, selalu memberikan dukungan kepada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa.

g. Manajemen

Mampu menunjukkan keahlian dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasikan kelas sejak hari pertama dia tugas, cepat memulai

(20)

kelas, melewati masa transisi dengan baik, mampu memelihara waktu bekerja serta menggunakannya secara efisien dan konsisten, dapat meminimalisasi gangguan, memiliki teknik untuk mengontrol kelas, dapat memelihara suasana tenang dalam belajar, jika perlu memberi hukuman dalam bentuk yang ringan.

Ketujuh kriteria di atas yaitu: sifat, pengetahuan, apa yang disampaikan, bagaimana mengajar, harapan, reaksi guru terhadap siswa dan manajemen jika benar-benar tertanam dalam jiwa seorang guru, pembelajaran dapat berlangsung efektif. Keefektivan pembelajaran dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan. Pembelajaran dapat dikatakan sempurna jika pembelajaran berlangsung efektif.

Menurut Mitchell (1993) dalam Suyono dan Hariyanto (2012: 209 -210) menyatakan indikator pembelajaran efektif antara lain:

a. Perhatian siswa yang aktif dan terfokus pada pembelajaran. b. Berupaya dan menyelesaikan tugas dengan benar.

c. Siswa mampu menjelaskan hasil belajarnya.

d. Siswa difasilitasi untuk berani menyatakan kepada guru apa-apa yang belum dipahami.

e. Siswa berani menyatakan ketidaksetujuan.

f. Siswa dimotivasi untuk berani meminta informasi yang relevan dengan topik bahasan lebih lanjut.

g. Setelah selesai mengerjakan suatu tugas, siswa terbiasa melakukan cek terhadap hasil kerja, jika menjumpai kesalahan segera memperbaiki kesalahannya.

h. Siswa didorong untuk terbiasa mencari alasan mengapa hasil kerja menjadi salah.

i. Dalam mencoba menyelesaikan masalah siswa dibiasakan mengambil sebagai contoh pengalaman pribadi atau kehidupan nyata maupun anekdot.

Peserta didik dapat belajar dengan efektif didukung oleh kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang efektif dan lingkungan belajar

(21)

yang mendukung. Guru dan peserta didik, keduanya harus saling bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran efektif.

6. Penelitian yang Relevan

Yuli Setyo Dewi. 2014. melakukan penelitian tentang Penerapan Authentic Assesment Untuk Meningkatkan Spatial Ability Dan Hasil Belajar Peserta Didik Pada Pembelajaran Geografi Materi Hubungan Manusia Dan Lingkungan Akibat Dinamika Hidrosfer Di Kelas X IPS 1 SMA N 7 Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mengetahui peningkatan spatial ability peserta didik pada pembelajaran geografi materi hubungan manusia dan lingkungan akibat dinamika hidrosfer di kelas X IPS 1 SMA N 7 Surakarta dengan penerapan authentic assesment, (2) mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran geografi materi hubungan manusia dan lingkungan akibat dinamika hidrosfer di kelas X IPS 1 SMA N 7 Surakarta dengan penerapan authentic assesment. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dokumentasi, angket, dan tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah analsis deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) penerapan authentic assesment dapat meningkatkan spatial ability peserta didik pada siklus kedua. Hal ini dapat dilihat pencapaian spatial ability lebih dari 75 %. (2) penerapan authentic assesment dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik pada siklus kedua. Hal ini dapat dilihat pencapaian indikator keberhasilan lebih dari 75 % pada siklus kedua. Tingkat ketuntasan kelas pada siklus kedua untuk hasil belajar kognitif yaitu 81.25 %, hasil belajar efektif yaitu 78.1 % dan hasil belajar psikomotor yaitu 93.75 %.

Legiman. 2008. Melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan model pembelajaran 4mat system dan model pembelajaran students team achievement devision (stad) terhadap prestasi belajar kimia ditinjau dari keingintahuan siswa (penelitian pembelajaran koloid kelas XI SMA Negeri Tawangsari. Tujuan penelitian adalah : (1) Mengetahui apakah terdapat

(22)

pengaruh penggunaan model pembelajaran 4mat system dan model pembelajaran Students Team Achievement Devision (STAD) terhadap prestasi belajar siswa, (2) Mengetahui apakah terdapat pengaruh keingintahuan siswa terhadap prestasi belajar, (3) Mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran 4mat system dan model pembelajaran Students Team Achievement Devision (STAD) dengan keingintahuan siswa terhadap prestasi belajar. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Teknik analisis data menggunakan desain faktorial anava 2 x 3. Hasil analisis data pada taraf signifikansi 5 % sedangkan Ftabel = 3,97 diperoleh : (1) Data prestasi belajar Fhitung = 7,258 artinya ada perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran 4mat system dengan model pembelajaran Students Team Achievement Devision (STAD), (2) Data keingintahuan siswa Fhitung = 18,886 artinya ada pengaruh keingintahuan terhadap prestasi belajar, (3) Uji interaksi menunjukkan Fhitung =13,328 artinya ada interaksi antara model pembelajaran 4mat system dan model pembelajaran Students Team Achievement Devision (STAD) dengan keingintahuan siswa terhadap prestasi belajar kimia.

Rina Rahayuningsih. 2012. Melakukan penelitian tentang Penerapan Siklus Belajar 5E (Learning Cycle 5e) Disertai Peta Konsep untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kartasura Tahun Pelajaran 2011/2012. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Dapat meningkatkan kualitas proses belajar kimia pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan di SMA Negeri 1 Kartasura, (2) Dapat meningkatkan kualitas hasil belajar kimia pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan di SMA Negeri 1 Kartasura. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, tes, angket, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan Siklus Belajar 5E (learning cycle 5E) disertai peta konsep dapat meningkatkan kualitas proses belajar siswa

(23)

dan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. Dari aspek afektif menunjukkan bahwa terdapat peningkatan presentase dari 75,8% pada siklus I menjadi 78,9% pada siklus II, sedangkan dari aspek psikomotor terjadi peningkatan presentase dari 74,3% pada siklus I menjadi 80,9% pada siklus II.

Yuli Setyo Dewi Legiman Rina

Rahayuningsih

Ana Pangesti Judul Penerapan Authentic

Assesment Untuk Meningkatkan Spatial Ability Dan Hasil Belajar Peserta Didik Pada Pembelajaran Geografi Materi Hubungan Manusia Dan Lingkungan Akibat Dinamika Hidrosfer Di Kelas X IPS 1 SMA N 7 Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014.

Pengaruh

penggunaan model pembelajaran 4mat system dan model pembelajaran

students team achievement devision (stad) terhadap prestasi belajar kimia ditinjau dari keingintahuan siswa (penelitian

pembelajaran koloid kelas XI SMA Negeri Tawangsari

Penerapan Siklus Belajar 5e (Learning Cycle 5e) Disertai Peta Konsep untuk Meningkatkan Kualitas Proses dan Hasil Belajar Kimia pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan kelas XI IPA SMA Negeri 1 Kartasura Tahun Pelajaran 2011/2012 Efektivitas Penerapan Model 4MAT dan Siklus Belajar 5E terhadap Kecakapan spasial Peserta Didik pada Topik Bahasan Karakteristik Lapisan Bumi dan Pergeseran Benua Kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016 Tujuan (1)Mengetahui peningkatan spaial ability peserta didik, (2)mengetahui

peningkatan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran geografi materi hubungan manusia dan lingkungan akibat dinamika hidrosfer di kelas X IPS 1 SMA N 7 Surakarta dengan penerapan authentic assesment. (1)Mengetahui apakah terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran 4mat dan STAD terhadap prestasi belajar siswa, (2) mengetahui apakah terdapat pengaruh keingintahuan siswa terhadap prestasi belajar, (1)Dapat meningkatkan kualitas proses belajar kimia, (2) dapat meningkatkan kualitas hasil belajar kimia pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan di SMA Negeri 1 Kartasura. (1)Mengetahui perbedaan antara kecakapan spasial peserta didik dengan menerapan model 4MAT, Siklus Belajar 5E dan Ekspositori, (2) mengetahui

efektivitas penerapan model 4MAT dengan Ekspositori terhadap terhadap kecakapan spasial peserta didik, (3) mengetahui efektivitas penerapan model Siklus Belajar

5E dengan

Ekspositori terhadap Tabel 2.5 Penelitian yang relevan

(24)

B. Kerangka Berpikir

Pembelajaran geografi mempelajari hubungan berbagai gejala dan peristiwa yang terjadi di muka bumi, baik fisik maupun sosial. Mata pelajaran geografi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan pola spasial, lingkungan dan kewilayahan, serta proses yang berkaitan dengan gejala geosfera dalam konteks nasional dan global. Untuk mencapai tujuan dalam mengembangkan kecakapan spasial peserta didik pada pembelajaran geografi memerlukan model pembelajaran yang bervariasi. Sehingga dapat

(3) mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran 4mat dan model

STAD dengan keingintahuan siswa terhadap prestasi belajar. kecakapan spasial peserta didik, (4) mengetahui efektivitas penerapan model 4MAT dengan model Siklus Belajar 5E terhadap kecakapan spasial peserta didik pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016. Metode PTK (Penelitian Tindakan Kelas) Eksperimen PTK (Penelitian Tindakan Kelas) Quasi Eksperimental Teknik Analisis Data Analisis Deskriptif Komparatif Desain faktorial anava 2 x 3 Teknik deskriptif kualitatif

anava satu jalan, pasca anava (metode scheffe’)

Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) penerapan authentic assesment dapat meningkatkan spatial ability peserta didik pada siklus kedua, (2) penerapan authentic assesment dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik pada siklus kedua.

Hasil analisis data

pada taraf signifikansi 5 % sedangkan Ftabel = 3,97 diperoleh : 1.Data prestasi belajar Fhitung = 7,258 2.Data keingintahuan siswa Fhitung = 18,886 3.Uji interaksi menunjukkan Fhitung =13,328 Penerapan siklus belajar 5E disertai peta konsep dapat meningkatkan kualitas proses belajar siswa dan dapat

meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.

(25)

mengembangkan kecakapan spasial peserta didik dengan maksimal. Pencapaian kecakapan spasial peserta didik dapat merubah persepsi mengenai pembelajaran geografi yang selama ini dianggap banyak hafalan dan membosankan.

Topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua bertujuan membentuk kecakapan spasial peserta didik. Untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kecakapan spasial pada topik bahasan tersebut memerlukan model yang bervariasi. Dalam penelitian ini, model yang akan digunakan adalah model pembelajaran 4MAT sebagai kelas eksperimen 1, model pembelajaran Siklus Belajar 5E sebagai kelas eksperimen 2 dan model pembelajaran Ekspositori sebagai kelas kontrol. Setelah semua kelas diberikan perlakuan akan diperoleh kecakapan spasial peserta didik pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua. kecakapan spasial dalam penelitian ini di ukur menggunakan kecakapan dasar menurut Association of American Geographers. Kecakapan dasar dimasukkan kedalam kategori soal sehingga dapat diketahui melalui skor hasil belajar dan selanjutnya di hitung dengan anava satu jalan dilanjutkan dengan pasca anava untuk membuktikan hipotesis dalam perbandingan kecakapan spasial masing-masing model yang diterapkan. Berikut adalah penalaran jawaban sebagai acuan untuk merumuskan hipotesis:

1. Ada perbedaan kecakapan spasial peserta didik antara penerapan model 4MAT, model Siklus Belajar 5E dan model Ekspositori.

Rerata kecakapan spasial dengan model 4MAT, model Siklus Belajar 5E dan model Ekspositori dibandingkan dan dicari perbedaannya. Ketiga model tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Model 4MAT merupakan model yang menggunakan pengalaman peserta didik yang dibawa kedalam pembelajaran. Pengetahuan peserta didik diawali dari pengalaman masing-masing peserta didik yang dikaitkan dengan materi kemudian diterapkan pada hal-hal yang kompleks. Model Siklus Belajar 5E adalah model yang diawali dari menarik minat peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik menerapkan konsep dan

(26)

keterampilan yang diperoleh. Model Ekspositori merupakan model pembelajaran yang didominasi oleh guru, peserta didik kurang aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan karakteristik ketiga model tersebut diduga memiliki perbedaan.

2. Pembelajaran dengan model 4MAT lebih efektif dibandingkan dengan model Ekspositori terhadap kecakapan spasial peserta didik.

Rerata kecakapan spasial dengan menerapkan model 4MAT dan Ekspositori akan dibandingkan dan dicari perbedaannya dalam penalaran jawaban kedua. Pada penalaran jawaban kedua ini bertujuan untuk mengetahui model yang lebih efektif antara model 4MAT dan Ekspositori. Diduga model 4MAT lebih efektif dan menghasilkan rerata kecakapan spasial yang lebih baik dibandingkan dengan model Ekspositori, karena model 4MAT menuntut peserta didik aktif dalam pembelajaran dengan pengalaman yang dikaitkan dengan materi kemudian diaplikasikan kedalam hal-hal yang kompleks. Sedangkan model Ekspositori pembelajaran didominasi oleh guru sehingga partisipasi peserta didik dalam pembelajaran dibatasi dan cenderung pasif.

3. Pembelajaran dengan model Siklus Belajar 5E lebih efektif dibandingkan dengan model Ekspositori terhadap kecakapan spasial peserta didik.

Dalam penalaran jawaban ketiga ini, rerata kecakapan spasial peserta didik dibandingkan antara penerapan model Siklus Belajar 5E dengan Ekspositori. Diduga model Siklus Belajar 5E lebih efektif dan menghasilkan rerata kecakapan spasial yang lebih baik dibandingkan dengan model Ekspositori, karena model Siklus Belajar 5E peserta didik dituntut untuk menciptakan suatu konsep kemudian menerapkan konsep tersebut sehingga peserta didik aktif selama proses pembelajara. Sedangkan model Ekspositori gerak peserta didik untuk mengeksplor informasi dibatasi, guru mendominasi pembelajaran.

4. Pembelajaran dengan model 4MAT lebih efektif dibandingkan dengan model Siklus Belajar 5E terhadap kecakapan spasial peserta didik.

(27)

Penalaran jawaban ketiga yaitu rerata kecakapan spasial peserta didik dibandingkan antara penerapan model 4MAT dan model Siklus Belajar 5E. Diduga model 4MAT lebih efektif dan memiliki rerata kecakapan spasial yang lebih baik dibandingkan dengan model Siklus Belajar 5E. Hal ini dikarenakan model 4MAT mengangkat pengalaman peserta didik untuk dikaitkan dengan materi dan diterapkan pada hal-hal yang kompleks, sedangkan model Siklus Belajar 5E peserta didik diarahkan untuk menciptakan suatu konsep untuk diterapkan.

Kerangka berpikir dalam melaksanakan kegiatan penelitian secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.1.

` Gambar 2.2 Kerangka Berpikir

Kurikulum 2013

Topik Bahasan

Karakteristik Lapisan Bumi dan Pergeseran Benua

Kelas Eksperimen 1 Kelas Eksperimen 2 Kelas Kontrol

Model 4MAT Model

Siklus Belajar 5E Model Ekspositori Kecakapan spasial Kecakapan spasial Kecakapan spasial

Perbandingan kecakapan spasial dengan menggunakan model 4MAT, model Siklus Belajar 5E dan model Ekspositori

(28)

C. Hipotesis

1. Ada perbedaan kecakapan spasial peserta didik antara penerapan model 4MAT, model Siklus Belajar 5E dan model Ekspositori pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

2. Pembelajaran dengan model 4MAT lebih efektif dibandingkan dengan model Ekspositori terhadap kecakapan spasial peserta didik pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

3. Pembelajaran dengan model Siklus Belajar 5E lebih efektif dibandingkan dengan model Ekspositori terhadap kecakapan spasial peserta didik pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

4. Pembelajaran dengan model 4MAT lebih efektif dibandingkan dengan model Siklus Belajar 5E terhadap kecakapan spasial peserta didik pada topik bahasan karakteristik lapisan bumi dan pergeseran benua kelas X SMA Negeri 1 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

Gambar

Tabel 2.1 Kecakapan Dasar menurut Association of American Geographers
Gambar 2.1 Perbedaan Taksonomi Bloom lama dan revisi Bloom 2. Model 4MAT
Tabel 2.3 Tahap-tahap pembelajaran dalam model 4MAT
Tabel 2.4 Sintak Model Pembelajaran Siklus Belajar 5E Tahapan

Referensi

Dokumen terkait

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id.. menganalisis kemandirian belajar siswa. Perbedaannya terletak pada pembelajarannya, karena dalam penelitian ini meneliti pada sistem

Berdasarkan jawaban siswa, diketahui bagaimana level pemahaman siswa sekaligus profil pemahaman konsep siswa dari jenjeng SD - SMA di Sukoharjo pada materi biodiversitas,

Kesulitan-kesulitan dalam proses belajar akan berkurang dengan adanya bimbingan dari orang tua. Hal-hal yang menyebabkan kesulitan proses belajar adalah rendahnya

Berdasarkan hal tersebut, pada model pembelajaran STAD dan STAD dengan teknik mind mapping, ada kemungkinan peserta didik dengan gaya belajar visual memiliki prestasi

banyak waktu untuk menjelaskan suatu materi pelajaran. Hal ini sebenarnya tidak harus terjadi jika guru dapat memanfaatkan, maka visual secara verbal akan teratasi. 5)

Melatih keterampilan berpikir kritis peserta didik khususnya dalam materi matematika yang dilakukan dengan maksimal akan meningkatkan kualitas hasil belajar, bakat,

Pengenalan konsep adalah fase dalam siklus belajar yang analog dengan akomodasi ketika struktur baru dibangun untuk mengintegrasikan informasi baru. Renner menyebut

Sedangkan menurut Muhsetyo (2008: 1.26) pembelajaran matematika adalah proses pengalaman belajar kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga