• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka

1. Senam Artistik

a. Pengertian Senam Artistik

Istilah senam merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

gymnastic atau dalam bahasa Yunani gymnos dan dalam bahasa Belanda

gymnastiek yang artinya telanjang. Karenan pada waktu zaman kuno melakukan senam dengan badan telanjang. Seperti yang dikemukakan oleh Hidayat bahwa, " Gymnastiek tersebut dipakai untuk menunjukkan kegiatan-kegiatan fisik yang memerlukan keleluasaan gerak sehingga perlu dilakukan telanjang" (1995: 7).

Lebih lanjut Margono merumuskan pengertian senam artistik sebagai berikut:

Senam artistik adalah merupakan salah satu jenis/ macam dari cabang olahraga senam yang sering dipertandingkan. Dalam pertandingan senam artistik seorang atlit/pesenam harus menguasai gerakan-gerakan yang sudah disusun/dirangkai dari masing-masing alat dan ditetapkan sesuai dengan peraturan pertandingan yang berlaku (2009: 77).

Dalam latihan senam dapat dilakukan pada lantai dan alat yang dirancang untuk meningkatkan daya tahan, kekuatan, kelentukan kelincahan, koordinasi serta kontrol tubuh. Hal ini artinya, senam bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh bukan alatnya atau pola gerakannya. Oleh karena itu, suatu gerakan dikatakan senam atau bukan harus memiliki ciri-ciri kaidah tertentu menurut Suyati dan Agus Margono menyatakan sebagai berikut:

(1) Gerakan-gerakannya selalu dibuat atau diciptakan dengan sengaja. (2) Gerakan-gerakannya harus selalu berguna untuk mencapai tujuan tertentu (meningkatkan kelentukan, memperbaiki sikap dan gerak atu keindahan tubuh, menambah ketrampilan, meningkatkan keindahan, gerak, dan meningkatkan kesehatan tubuh. (3) Gerakannya harus selalu tersusun dan sistematis. (2000: 5)

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa, senam artistik merupakan aktivitas yang gerakan-gerakannya sengaja diciptakan untuk mencapai tujuan tertentu yang

(2)

tersusun secara sistematis yang berguna bagi kesehatan tubuh. Dengan melakukan senam maka memperoleh banyak manfaat baik secara fisik maupun mental.

b. Pengertian Senam Lantai

Senam lantai pada umumnya disebut floor excercise, tetapi ada juga yang menamakan tumbling. Margono merumuskan bahwa, "Senam lantai adalah latihan senam yang dilakukan pada matras, unsur-unsur gerakannya terdiri dari mengguling, melompat, meloncat, berputar di udara, menumpu dengan tangan atau kaki, untuk mempertahankan sikap seimbang atau pada saat meloncat ke depan atau ke belakang" (2009: 79).

Bentuk-bentuk latihannya juga merupakan gerakan dasar dari senam perkakas (alat). Hal ini dapat dikaitkan dengan kesimpulan dari Margono, yaitu "Pada dasarnya bentuk-bentuk latihan bagi putra dan putri adalah sama, hanya untuk putri banyak masuk unsur-unsur gerakan balet" (2009: 79).

Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa mempelajari atau berlatih senam, seseorang tidak bisa langsung belajar/berlatih senam tanpa diikuti latihan-latihan penunjang terlebih dahulu, seseorang tidak bisa langsung belajar/berlatih gerakan-gerakan yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi. Maka dari itu senam harus diawali dari dasar atau tingkat yang mudah, baru kemudian semakin meningkat ke arah gerakan yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi.

c. Guling Belakang

Guling belakang merupakan salah satu jenis senam ketangkasan yang dilakukan pada matras. Gerakan guling belakang dimulai dengan sikap jongkok, telapak tangan menghadap ke atas, jari menuju ke belakang, ibu jari tangan menyentuh kepala di atas telinga. Sentukan dagu ke dada, gerakan pinggul ke belakang untuk mulai berguling. Menurut Roji yang dimaksud gerakan guling belakang yaitu, "Gerakan badan berguling ke arah belakang melalui bagian belakang badan mulai dari panggul bagian belakang, pinggang, punggung dan tengkuk" (2007: 116).

(3)

Sedangkan Margono menyatakan gerakan guling belakang ialah seperti berikut :

Pertama, sikap permulaan jongkok membelakangi matras, lengan lurus ke depan. Kedua, jatuhkan badan ke belakang, tarik dagu ke dada, bengkokan lengan, telapak tangan menghadap ke atas, ibu jari dekat pada telinga. Ketiga, mengguling kebelakang mendarat pada matras mulai dari pantat, punggung, tengkuk, kepala bagian belakang, tangan menumpu pada matras di samping kepala, kaki tetap bengkok mengikuti gerakan badan pada saat mengguling.

Keempat Tolakan tangan sampai lengan lurus pada saat pantat melewati titik tertinggi pada waktu mengguling ke belakang, mendarat pada kaki, tangan lepas dari matras, pandangan lurus ke depan.(2009 : 81)

Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, keberhasilan melakukan gerakan guling belakang dibutuhkan keberanian, keseimbangan, kelentukan, dan kecepatan serta penguasaan teknik yang benar, agar gerakan guling belakang dapat dilakukan dengan baik. Hal terpenting dan harus diperhatikan pada saat akan melakukan guling belakang yaitu, dimana posisi badan tetap harus membulat, yaitu kaki dilipat, lutut tetap melekat di dada, kepala ditundukkan sampai dagu melekat di dada. Jika seseorang ketika melakukan gerakan guling belakang mampu membuat tubuhnya sebulat mungkin dan gerakannya menyerupai roda maka dapat dikatakan gerakan guling belakang tersebut berhasil dan benar.

Gambar 1. Gerakan Guling Belakang Tungkai Bengkok (Sumber : Luthfiramdhansyah.blogspot.com, 2012 : 01)

Apabila gerakan tersebut di atas sudah dapat dilakukan dengan baik, coba lakukan dari sikap permulaan berdiri kaki rapat. Gerakannya sama seperti di atas.

d. Kesalahan Umum pada saat Melakukan Guling Belakang

Sering kali sewaktu pembelajaran guling belakang, banyak dijumpai murid-murid yang melakukan berbagai macam kesalahan.

(4)

Kesalahan yang umum dilakukan oleh murid-murid yang baru belajar, antara lain adalah:

(1) Melempar badan ke belakang, hingga punggung jatuh ke matras, (2) Pada waktu berguling ke belakang badan tidak dibulatkan, hingga sulit untuk mengangkat kaki atau lutut ke belakang, (3) Sebelum pundak matras kedua kaki sudah diluruskan, (4) Tidak menarik kedua lutut ke kepala, hingga sulit untuk meletakan kedua ujung kaki pada matras di belakang kepala, (5) Pada waktu kedua kaki terkena pada matras di belakang kepala kedua tangan tidak diluruskan, hingga sulit untuk mengangkat badan dan kepala ke atas serta jantung berguling ke samping. (Syarifuddin & Muhadi, 1992: 108).

Kesalahan-kesalahn tersebut harus dihindari saat melakukan gerakan guling belakang, karena walaupun terlihat sederhana gerakan guling belakang yang keliru dapat mengakibatkan cedera bagi siswa dan hal itu besar kemungkinan memberikan dampak negatif bagi siswa khususnya trauma.

e. Cara Memberi Bantuan pada Guling Belakang

Untuk menghindarinya, peran teman dalam membantu sangat penting agar kesalahan-kesalahan tersebut dapat dihindari supaya resiko terjadinya cedera pun dapat ditekan sekecil mungkin.

Pemberikan alternatif bantuan pada saat melakukan gerakan guling belakang dapat dilakukan dengan cara menopang dan mendorong pinggang ke arah guling belakang dan membawanya ke arah guling, kemudian angkat panggul siswa dan membawanya ke arah guling belakang secara perlahan.

Gambar 2. Cara Memberi Bantuan pada Guling Belakang ( Sumber : Dokumentasi peneliti )

(5)

a. Hakikat Belajar

Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya banyak dianut. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha memberikan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat mengumpulkan atau menerimanya. Proses belajar mengajar ini banyak di dominasi aktivitas menghafal. Peserta didik sudah belajar jika mereka sudah hafal dengan hal-hal yang telah dipelajarinya. Sudah barang tentu pengertian belajar seperti ini secara esensial belum memadai. Perlu Anda pahami, perolehan pengetahuan maupun upaya penambahan pengetahuan hanyalah salah satu bagian kecil dari kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.

Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Namun, realitas yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat tidaklah demikian. Kegiatan belajar selalu dikaitkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagian besar masyarakat menganggap sekolah adalah usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya salah, sebab Reber menyebutkan bahwa, Belajar adalah the process of aquiring knowledge. Belajar adalah proses mendapatkan pengetahuan (Agus Suprijono, 2013: 3). Selain itu ada beberapa pakar pendidikan yang mengemukakan pendapat seperti, Travers menyatakan, Belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku (Agus Suprijono, 2013: 2), dan Cronbach berpendapat,

Learning is shown by change in behaviour as a result of experience. (Belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman) (Agus Suprijono, 2013: 2).

Dari beberapa pernyataan yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan di atas menunjukkan bahwa belajar merupakan proses mendapatkan pengetahuan yang didapat dari hasil pengalaman dan menghasilkan sebuah perubahan maupun penyesuain tingkah laku.

(6)

Supaya tujuan belajar dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, guru hendaknya memperhatikan secara cermat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi atau menentukan ketercapaian tujuan belajar tersebut. Salah satu yang harus diperhatikan guru adalah berkenaan dengan prinsip-prinsip belajar dan asas-asas pembelajaran. Dimyati dan Mudjiono menyebutkan bahwa, “Prinsip-prinsip pembelajaran meliputi perhatian, motivasi, keaktifan siswa, keterlibatan langsung atau berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual” (2009: 42).

Prinsip-prinsip pembelajaran merupakan hal yang penting untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar sehingga guru dapat memahami, menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam diri siswa. Menurut Davies (1991: 32), ada penerapan prinsip-prinsip belajar dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Hal apapun yang dipelajari murid, maka ia harus mempelajarinya sendiri. Tidak seorangpun yang dapat melakukan kegiatan tersebut untuknya.

2) Setiap murid belajar menurut tempo (kecepatannya) sendiri dan untuk setiap kelompok umur, terdapat variasi dalam kecepatan belajar.

3) Seorang murid belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan penguatan (reinforcement).

4) Penguasaan secara penuh dari setiap langkah-langkah pembelajaran, memungkinkan murid belajar secara lebih berarti. 5) Apabila murid diberikan tanggungjawab untuk mempelajari

sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk belajar, dan ia akan belajar dan mengingat lebih baik (Aunurrahman, 2009: 113-114). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, prinsip belajar diartikan sebagai pandangan mendasar dan dianggap penting untuk dijadikan sebagai pegangan didalam melaksanakan kegiatan belajar. Oleh sebab itu ketika menyusun perencanaan pembelajaran, disamping memilih

(7)

dan menentukan metode pembelajaran, guru juga perlu mengkaji prinsip-prinsip belajar secara cermat agar siswa aktif dalam proses belajar.

c. Hasil Belajar

Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yaitu hasil dan belajar. Hasil menunjukan suatu perolehan, sementara belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan. Dalam hubungannya dengan belajar, hasil belajar dilakukan guna untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik telah menguasai bahan yang sudah diajarkan. Menurut Nana Sudjana (2009: 3) menyatakan bahwa, “Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan terjadi pada siswa setelah melalui proses belajar mengajar, perubahan tingkah laku tersebut mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor”. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2009: 200) mengemukakan, “Tujuan utama hasil belajar yaitu untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, dimana tingkat keberhasilan tersebut kemudian ditandai dengan skala nilai berupa huruf atau kata atau symbol”.

Di sekolah, hasil belajar atau prestasi belajar ini dapat dilihat dari penguasaan siswa akan mata pelajaran yang telah ditempuhnya. Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Ketiga ranah tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan teori Taksonomi Bloom, Krathwol & Simpson membagi hasil belajar dalam tiga kategori ranah antara lain:

1) Ranah Kognitif

Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

2) Ranah Afektif

Ranah afektif meliputi lima aspek yaitu: penerimaan, partisipasi, penilaian dan penentuan sikap, organisasi, pembentukan pola hidup.

3) Ranah Psikomotor

Berkenaan dengan kemampuan motorik yang terdiri dari tujuh aspek yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan

(8)

terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, kreativitas. (Aunurrahman, 2009: 49-53).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang sebagai hasil yang diperoleh siswa setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar dapat dicapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Perubahan tingkah laku tersebut meliputi baik pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Ketiga ranah tersebut bukan merupakan bagian-bagian yang terpisahkan, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait antara satu dengan yang lain.

3. Model Pembelajaran

Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan model pembelajaran menurut Joyce dan Marsha Weil, mengetengahkan empat kelompok model pembelajaran, yaitu :

a. Model Interaksi sosial. b. Model pengolahan informasi. c. Model personal-humanistik.

d. Model modifikasi tingkah laku.(Waluyo, 2011: 31)

Dalam penerapannya, model pembelajaran harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Adapun Waluyo berpendapat, "Model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran"(2011: 30).

Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode, atau prosedur. Apabila antara pendekatan, strategi, metode pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan yang digunakan sebagai pedoman

(9)

untuk merencanakan pembelajaran dan menentukan perangkat pembelajaran yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan siswa.

4. Model Cooperative Learning

a. Pengertian Cooperative Learning

Salah satu metode pembelajaran yang berkembang saat ini adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran ini menggunakan kelompok-kelompok kecil sehingga siswa-siswa saling bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dalam kelompok kooperatif belajar berdiskusi, saling membantu, dan mengajak satu sama lain untuk mengatasi masalah belajar. Suprijono menambahkan, "Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru" (Suprijono 2013 : 54).

Pembelajaran kooperatif berasal dari kata ‘kooperatif’ yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin mengemukakan, “in cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. “Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu metode pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-5 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar”(Isjoni 2009: 15).

Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik di kelas atau sekolah. Lingkungan belajarnya juga membina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekaligus memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi, cooperative learning dapat diterapkan untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapat, menghargai pendapat teman, dan saling memberi pendapat (sharing ideas) dalam menghadapi permasalahan kemudian bekerja sama dan tolong –

(10)

menolong mengatasi tugas yang dihadapi sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive).

b. Ciri – Ciri Cooperative Learning

Cooperative Learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur cooperative learning yang benar dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas lebih efektif. Lebih lanjut Suprijono menambahkan, “model cooperative learning akan menumbuhkan pembelajaran yang efektif bercirikan : (1) memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai, konsep, dan bagaiman hidup serasi dengan sesama : (2) pengetahuan, nilai, dan ketrampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai” (2013: 58).

Sedangkan Roger dan David menyatakan untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam cooperative learning harus diterapkan, yaitu:

1) Positive interdependence (saling ketergantungan positif). 2) Personal responbility (tanggung jawab perseorangan). 3) Face to face promotive interaction (interaksi promotif). 4) Interpersonal skill (komunikasi antar anggota).

5) Group processing (pemrosesan kelompok).(Suprijono,2013: 58) Ada beberapa kekhawatiran bahwa cooperative learning hanya akan mengakibatkan kekacauan di dalam kelas dan peserta didik tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam kelompok. Sebagai guru harus dapat memahami sintak model cooperative learning. Sintak model

cooperative learning terdiri dari enam fase.

Tabel 1. Sintak Model Cooperative Learning

FASE FASE PERILAKU GURU

Fase 1: Present goals and set

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik

Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik

(11)

Fase 2: Present information

Menyajikan informasi

Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal Fase 3: Organize students into

learning teams

Mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar

Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase 4: Assist team work and study

Membantu kerja tim dan belajar

Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya

Fase 5: Test on the materials

Mengevaluasi

Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase 6: provide recognition

Memberikan pengakuan atau penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok

(Sumber. Suprijono, 2013: 50)

Dengan demikian model cooperative learning dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keberagaman dan pengembangan ketrampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model cooperative learning menuntut kerja sama dan interdepedensi peserta didik dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur rewardnya.

c. Tujuan Cooperative Learning

Eggen dan Kauchak, menyatakan pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pembelajaran yang melibatkan siswa bekerja secara kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama (Trianto, 2007: 42). Pembelajaran ini disusun untuk meningkatkan partisipasi siswa , memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan

(12)

membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar. Oleh karena itu dengan bekerja secara kolaboratif untuk mencapai tujuan bersama, maka siswa akan mengembangkan keterampilan yang berhubungan dengan sesama agar dapat bermanfaat.

d. Komponen-komponen Pembelajaran Cooperative

Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berhubungan dan mempengaruhi, termasuk dalam pembelajaran kooperatif. Adapun komponen-komponen pembelajaran kooperatif menurut Slavin yaitu:

1) Team: para siswa dibagi dalam tim-tim yang beranggotakan 4-5 orang.

2) Tes penempatan: para siswa diberikan tes pra-program dalam permulaan pelaksanaan program.

3) Materi-materi kurikulum: para siswa diberikan materi-materi kurikulum individual.

4) Belajar kelompok: guru mengajar pengajaran pertama dan memberikan tugas kelompok pada siswa untuk dikerjakan. 5) Skor tim dan Rekognisi tim: guru menghitung jumlah skor tim

didasarkan pada perolehan tiap tim.

6) Kelompok Pengajaran: setiap guru memberikan pengajaran selama sekitar sepuluh sampai lima belas menit kepada dua atau tiga kelompok kecil siswa.

7) Tes fakta: siswa diminta mengerjakan tes-tes fakta.

8) Unit seluruh kelas: guru menghentikan program individual dan mengganti dengan mengajar secara menyeluruh. (2005:195) e. Bentuk-bentuk Pembelajaran Cooperative

Dalam proses pembelajaran dengan model cooperative learning, mengalami beberapa kendala, misalnya dari materi yang meluas, siswa cenderung mendominasi dalam diskusi. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut maka perlu dirancang sebuah model yang menunjang dalam proses pembelajaran dengan cooperative learning. Menurut Slavin, model

(13)

1) Metode-metode Student Teams Learning.Meliputi: Student Teams-Achievement Division (STAD), Team Game Tournament

(TGT), Jigsaw II (JIG II).

2) Metode-metode Supported Cooperative Learning.Meliputi:

Learning Together (LT)–Circle of Learning (CL), Jigsaw (JIG),

Jigsaw III (JIG III), Cooperative Learning Structure (CLS),

Group Investigation (GI), Complex Instruction (CI), Team Assisted Individualization (TAI),Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Structure Dyadic Methods

(SDM).

3) Metode-metode Informal.Meliputi: Spontaneous Group Discussion (SGD), Numbered Heads Together (NHT), Team Product (TP), Cooperative Review (CR), Think Pair Share

(TPS), Discussion Group (DG) – Group Project (GP) (Miftahul Huda, 2011: 114).

f. Model Cooperative Learning Tipe TAI (Team Assisted Individualization)

1) Pengertian Model Cooperative Learning Tipe TAI (Team Assisted Individualization)

Model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Robert E. Slavin dalam karyanya Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Slavin (2005) memberikan penjelasan bahwa dasar pemikiran di balik individualisasi pembelajaran adalah:

Bahwa para siswa memasuki kelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam. Ketika guru menyampaikan sebuah pelajaran kepada bermacam-macam kelompok, besar kemungkinan ada sebagian siswa yang tidak memiliki syarat kemampuan untuk mempelajari pelajaran tersebut dan akan gagal memperoleh manfaat dari metode tersebut. Siswa lainnya mungkin malah sudah tahu materi itu, atau bisa mempelajarinya dengan sangat cepat sehingga waktu

(14)

pembelajaran yang dihabiskan bagi mereka hanya membuang waktu (hlm. 187)

Model pembelajaran kooperatif Tipe TAI menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan individual, pembelajaran kooperatif menunjuk pada pembelajaran bersama dalam grup kecil namun memerlukan pertanggungjawaban individu dan mencapai tujuan kelompok.

Model pembelajaran kooperatif TAI (Team Assisted Individualization) memiliki ciri khas selain pembelajaran kelompok juga pembelajaran atau bimbingan individual, terdapat kombinasi antara keduanya. Jika terdapat hasil individu yang lemah itu menjadi tanggungjawab bersama, oleh karena itu dapat didiskusikan dan dibahas dalam satu kelompok tersebut.

2) Karakteristik Model Pembelajaran Team Assisted Individualization Team Assisted Individualization dirancang untuk memuaskan kriteria, berikut ini untuk menyelesaikan masalah-masalah teoritis dan praktis dari sistem pengajaran individual menurut Slavin (2005: 190) adalah sebagai berikut:

a. Dapat meminimalisir keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin.

b. Guru setidaknya akan menghabiskan separuh waktunya untuk mengajar kelompok-kelompok kecil.

c. Operasional program tersebut akan sedemikian sederhananya sehingga para siswa di kelas tiga ke atas melakukannya.

d. Para siswa akan termotivasi untuk mempelajari materi-materi yang diberikan dengan cepat dan akurat, dan tidak akan bisa berbuat curang atau menemukan jalan pintas.

e. Tersedianya banyak cara pengecekan penguasaan supaya para siswa jarang menghabiskan waktu mempelajari kembali materi yang sudah mereka kuasai atau menghadapi kesulitan serius yang membutuhkan bantuan guru.

(15)

f. Para siswa akan dapat melakukan pengecekan satu sama lain, sekalipun bila siswa yang mengecek kemampuannya ada di bawah siswa yang dicekdalam rangkaian pengajaran, dan prosedur pengecekan akan cukup sederhana dan tidak mengganggu si pengecek.

g. Programnya sudah dipelajari baik oleh guru maupun siswa, tidak mahal, fleksibel, dan tidak membutuhkan guru tambahan ataupun tim guru.

h. Dengan membuat para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kooperatif, dengan status yang sejajar, program ini akan membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-sikap positif terhadap siswa-siswa mainstream yang cacat secara akademik dan di antara para siswa dari latar belakang rasa tau etnik berbeda.

Tipe pembelajaran ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Daryanto dan Raharjo, berpendapat sebagai berikut :

Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu, kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Ciri khas pada tipe pembelajaran TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama (2012: 246).

Hal yang paling terpenting yang diunggulkan dalam model kooperatif Team Assisted Individualization ini adalah siswa yang berkemampuan rendah atau lemah akan terbantu dengan adanya pembelajaran individual yang dilakukan dalam kelompok oleh siswa yang pandai, selain itu juga terdapat persaingan sehat antar anggota kelompok maupun antar kelompok lain.

3) Langkah-langkah Model Pembelajaran Team Assisted Individualization.

(16)

Menurut Slavin langkah-langkah kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut:

a. Guru menyiapkan paket-paket pembelajaran penjasorkes, baik untuk pembelajaran klasikal maupun pembelajaran kooperatif, serta berbagai alat tes yang terdiri dari tes penempatan (placement test), tes formatif maupun tes akhir (final test).

b. Selama pembelajaran kooperatif, sekelompok kecil siswa yang heterogen belajar bersama dalam sejumlah waktu yang telah ditetapkan, kemudian mendapatkan skor (nilai) bergantung kepada kinerja seluruh anggota tim. Dengan pengaturan (setting) semacam ini, siswa-siswa yang lebih berkompeten diberikan kesempatan untuk membantu siswa lain yang tertinggal (implementasi konsep scaffolding) agar skor kelompok cukup baik.

c. Kemudian, dalam pengajaran klasikal setiap siswa mengerjakan tugas-tugasnya sendiri sesuai paket yang telah ditentukan dan disiapkan oleh guru.

d. Tim yang memperoleh nilai rata-rata tertinggi akan diberi predikat

Superteam, yang memperoleh nilai rata-rata cukup akan memperoleh penghargaan sebagai Greateam, yang mencapai nilai rata-rata minimal mendapatkan predikat sebagai Goodteam.

(1995: 104)

Sedangkan menurut Daryanto dan Raharjo, langkah-langkah kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut:

a. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran secara individu yang sudah dipersiapkan oleh guru.

b. Guru memberikan kuis secara individual kepada siswa untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.

c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta kesetaraan gender.

(17)

d. Hasil belajar secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu kelompok. e. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman,

mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari.

f. Guru memberikan kuis kepada siswa secara individual. g. Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan

perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor tes akhir siklus. (2012: 247)

Skor perkembangan individu dihitung berdasarkan skor dasar dan skor tes pada akhir siklus. Skor dasar diambil dari skor tes yang dilakukan oleh guru sebelum melaksanakan cooperative learning tipe TAI. Sedangkan skor tes akhir siklus dilakukan oleh guru sesudah melaksanakan cooperative learning tipe TAI. Kriteria pemberian skor peningkatan individual dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2. Kriteria Pemberian Skor Peningkatan Individual

Skor Siswa Skor

Perkembanga n Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar 5

10 poin di atas skor dasar 10

Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 20

Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor dasar)

30

(Sumber. Anwar, 2003: 54)

Pemberian penghargaan diberikan setiap akhir pembelajaran berdasarkan skor peningkatan yang diperoleh setiap anggota kelompok. Pemberian penghargaan dilakukan dengan cara diumumkan nama-nama kelompok dengan skor kelompok tertinggi dan skor perkembangan tertinggi, dan penghargaan dapat berupa

(18)

apapun asalkan siswa tertarik dan termotivasi serta meningkatkan prestasinya.

Menurut Slavin (1995) penghargaan kelompok berdasarkan skor kelompok terdapat tiga tingkatan penghargaan yang dpat dilihat pada tabel.

Tabel 3. Tingkat Penghargaan Kelompok

Poin Kelompok Tingkat Penghargaan Kelompok

5 < PPK < 15 Baik

15 < PPK < 23 Hebat

23 < PPK < 30 Super

Ket : PPK (Perolehan Poin Kelompok) (Anwar, 2003: 54)

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah: a) guru memberikan penjelasan klasikal mengenai materi pembelajaran; b) guru mengelompokkan siswa secara heterogen dengan tes penempatan; c) siswa diberi tes individu dalam kelompok dan teman lain mengoreksi dan membantu apabila terjadi kesulitan sebelum bertanya kepada guru; d) siswa bekerja sama dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan diskusi; e) guru memberikan tes secara individual; f) guru memberikan penghargaan kepada kelompok terbaik.

4) Kelebihan dan Kekurangan Model Cooperative Learning Tipe TAI

(Team Assisted Individualization)

Dalam setiap model pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran cooperative learning tipe TAI (Team Assisted Individualization) adalah :

(19)

Kelebihan cooperative learning tipe TAI (Team Assisted Individualization) yang dikutip Slavin menyatakan sebagai berikut.

(a) Guru terlibat minimal dalam pengaturan dan pengecekan rutin.

(b) Guru akan menggunakan waktunya paling sedikit dalam mengajar kelompok kecil pelaksanaan program sederhana. (c) Para siswa dapat mengecek pekerjaan satu sama lain,

mengurangi perilaku yang menganggu, mengurangi konflik antar pribadi

(d) Meningkatkan motivasi belajar pada siswa. (e) Meningkatkan hasil belajar. (1995: 101)

Selain memiliki kelebihan pembelajaran cooperative learning tipe TAI juga memiliki kekurangan. Disebutkan oleh Derc bahwa:

(a) Dibutuhkan waktu yang lama untuk membuat dan mengembangkan perangkat pembelajaran, dan. (b) Jumlah siswa yang besar dalam kelas, maka guru akan mengalami kesulitan dalam memberikan bimbingan kepada siswanya. (Anwar, 2003: 37

5) Desain Pembelajaran Guling Belakang dengan Model Cooperative Learning Tipe TAI (Team Assisted Individualization)

Desain pembelajaran guling belakang dengan menggunakan model Cooperative Learning Tipe TAI dalam penelitian ini adalah : (a) guru memberikan penjelasan klasikal mengenai materi pembelajaran guling belakang dengan penerapan model pembelajaran TAI; (b) guru mengelompokkan siswa secara heterogen dengan tes penempatan yaitu dikelompokan 4-5 siswa; (c) guru memberikan contoh melakukan tahapan guling belakang pada siswa dan cara memberikan bantuanya; (d) siswa mencoba melakukan guling belakang dalam kelompok kecilnya; (e) siswa diberi tes individu dalam kelompok dan teman lain mengoreksi dan membantu apabila terjadi kesulitan sebelum bertanya kepada guru tentang materi guling belakang; (f) siswa bekerja sama dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan tentang kesulitan dalam melakukan guling belakang (diskusi); (g) siswa yang memiliki kemampuan guling

(20)

belakang yang terbaik di kelompoknya memberikan contoh cara melakukan guling belakang dengan tetap diawasi guru sehingga siswa yang lain dikelompoknya bias termotivasi untuk lebih aktif dalam mencoba teknik dasar guling belakang (h) guru memberikan tes secara individual; (i) guru memberikan penghargaan kepada kelompok terbaik; (j) pada akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi dan menanyakan kembali materi pembelajaran guling belakang yang telah disampaikan untuk lebih mengingat materi pembelajaran guling belakang.

B. Kerangka Berpikir

Pada umumnya pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu melibatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dan selalu menekankan pada pencapaian hasil dari belajar itu sendiri. Salah satu pokok bahasan dalam pembelajaran penjasorkes di SMP Islam Diponegoro Surakarta kelas VII C adalah materi guling belakang. Kondisi saat pembelajaran siswa kurang berperan aktif dan terkontrol sehingga mereka bertindak semaunya sendiri sehingga mengakibatkan hasil pembelajaran guling belakang yang kurang memuaskan.

Model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah model cooperative learning dengan tipe TAI (Team Assisted Individualization). Tujuan model pembelajaran cooperative learning adalah untuk merangsang keaktifan dan kerjasama siswa didalam pembelajaran guling belakang. Model pembelajaran kooperatif Tipe TAI menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan individu, pembelajaran kooperatif menunjuk pada pembelajaran bersama

(21)

Kondisi Awal

Tindakan

Kondisi Akhir

Kondisi saat pembelajaran materi guling belakang senam lantai siswa kurang terkontrol

Menerapkan Model cooperative learning tipe TAI pada pembelajaran gerakan guling belakang senam lantai Siswa :

Jenuh hanya berlatih sendiri.

Siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan bertindak semaunya sendiri. Hasil belajar penjas rendah

Kualitas gerakan guling belakang senam lantai yang kurang memuaskan

Siklus I : guru dan peneliti menyusun bentuk pengajaran yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar gerakan guling belakang senam lantai, melalui model cooperative learning tipe TAI dalam grup kecil namun memerlukan pertanggungjawaban individu dan mencapai

tujuan kelompok. Siswa yang lemah menjadi tanggungjawab bersama, oleh karena itu dapat didiskusikan dan dibahas dalam satu kelompok tersebut.

Penelitian ini memfokuskan pada upaya peningkatan pembelajaran senam lantai guling belakang dengan menggunakan model pembelajaran

cooperative learning tipe TAI di SMP Islam Diponegoro Surakarta. Model pembelajaran cooperative learning tipe TAI dianggap yang paling konsisten sesuai dengan materi serta karakter peserta didik untuk membantu siswa menguasai materi pelajaran dan motivasi belajar. Dengan menggunakan model

cooperative learning tipe TAI ini, diharapkan agar siswa dapat mengecek pekerjaan satu sama lain, mengurangi perilaku yang mengganggu, mengurangi konflik antar pribadi dan meningkatkan motivasi siswa di dalam proses pembelajaran, serta hasil belajar guling belakang pada siswa dapat meningkat.

Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini secara skematis sebagai berikut :

Melalui penerapan Model Pembelajaran cooperative learning Tipe TAI dapat meningkatkan hasil belajar guling belakang dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran

(22)

Gambar 3. Alur Kerangka Berpikir (Sumber : Agus Kristiyanto, 2010 : 134)

C. Hipotesis Tindakan

Melalui kerangka berpikir yang telah disusun sebelumnya maka dapat dirumuskan hipotesis terhadap penelitian adalah sebagai berikut :

“Penerapan model pembelajaran Tipe TAI ( Team Assisted Individualization ) dapat meningkatkan hasil belajar guling belakang pada siswa putra kelas VII C SMP Islam Diponegoro Surakarta tahun pelajaran 2015 / 2016”

Gambar

Gambar 2. Cara Memberi Bantuan pada Guling Belakang ( Sumber : Dokumentasi peneliti )
Tabel 3. Tingkat Penghargaan Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada fakta yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Munculnya berbagai macam film dan lagu dari negara luar

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dan M otivasi Belajar Siswa SM K Pada Topik Limbah Di Lingkungan Kerja Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.