• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.4 Kegunaan Penelitian

2.1.3 Tinjauan Tentang Novel

2.1.3.1 Unsur-Unsur Novel

Novel mempunyai unsur-unsur yang terkandung didalamnya, yaitu :

1. Unsur Intrinsik, terdiri dari :

a. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.

b. Setting

Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita. Seting meliputi waktu, tempat dan sosial budaya.

c. Sudut Pandang

Menurut Harry Show (1972:293) sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-kata sendiri. 2. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan lebih

banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.

3. Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri diluar cerita, serba melihat, serba mendengar dan serba tahu. Pengarang melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh. d. Alur atau Plot

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian yaitu alur maju (progesif). Alur maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung (Paulus Tukan)

e. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. (Rustamaji dan Agus Priantoro)

f. Gaya Bahasa

Merupakan gaya yang dominan dalam sebuah novel (Rustamaji dan Agus Priantoro)

2. Unsur Ekstinsik

Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang dan lain-lain diluar unsur instrinsik. Unsur-unsur yang ada diluar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsur-unsur ini akan membantu

keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra (Rustamaji dan Agus Priantoro)

2.1.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Setelah peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap hasil penelitian terdahulu, ditemukan beberapa penelitian teks dengan menggunakan analisis wacana kritis yang menggunakan model teori dari Teun A. van Dijk, seperti yang ditulis oleh :

1. Skripsi Teguh Firmansyah, 2011. Fokus penelitian pada analisis teks pidato dengan judul “Konstruksi Realitas Teks Pidato Indonesia Menggugat”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi realitas dari teks Indonesia Menggugat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dimunculkan pertanyaan tentang bagaimana dimensi teks dari teks Indonesia Menggugat, bagaimana dimensi kognisi sosial teks Indonesia Menggugat dan bagaimana konteks sosial teks Indonesia Menggugat.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian analisis wacana kritis, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan penelusuran data online. Informan dipilih sebanyak tiga orang, dengan asumsi para informan mengetahui banyak informasi tentang teks yang akan diteliti. Sedangkan hasil wawancara mendalam dilakukan kategorisasi pertanyaan dan jawaban yang diajukan, yang

kemudian dianalisis secara kritis sesuai dengan metode analisis wacana kritis.

Hasil penelitian bahwa dimensi teks menunjukan bahwa Bung Karno seorang orator ulung serta pemakai bahasa yang baik. Setiap pemilihan kata, bahasa maupun kalimat yang dipakai Bung Karno memiliki arti makna yang dalam, tegas dan detil dalam menjelaskan sesuatu. Dimensi kognisi sosial Bung Karno menunjukan Bung Karno sebagai kaum intelektual, kaum pergerakan, seorang jawa,seorang yang sangat mencintai ranah air dan rakyatnya, dan seorang yang baik dalam beragama. Dimensi konteks sosial, bahwa wacana yang berkembang dalam masyarakat pada waktu itu merupakan hasil propaganda yang dilakukan pemerintah Belanda dan agitasi yang selama ini dilakukan Bung Karno. Meskipun beraneka ragam wacana yang berkembang pada masyarakat, masyarakat pribumi tetap mendukung Bung Karno sebagai pemimpin mereka.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa faham Imperialisme dan Kapitalisme, faham penyebab terjadinya penjajahan yang ada di muka bumi, bahwa sejarah perjalanan dunia memang mengatakan demikian. Teks Indonesia Mengggugat suatu bentuk konsistensi Bung Karno melawan kedua faham itu. Sedangkan saran yang dapat peneliti berikan, agar terus dilakukan penelusuran sejarah dalam konteks apapun untuk mencari tahu jatidiri bangsa, jujur dalam sikap berbangsa, bahwa dengan jatidiri itu agar bangsa Indonesia

semakin yakin melangkah dalam melakukan pembangunan, mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

2. Thesis Umarella, 2002. Fokus penelitian meengenai anailisis teks berita sebagai wacana yang dikonstruksikan oleh harian Rakyat Merdeka, sebagai media oposisi terhadap pemerintah mengenai pemberitaan polemik politik pasca memorandum I, II dan kontroversi Seputar Sidang Istimewa MPR tahun 2001, terhadap presiden Gus Dur. Penelitian ini menjadikan harian Kompas sebagai media pembanding. Hasil peneIitiannya menunjukkan baliwa harian Rakyat Merdeka dalam pemberitaannya cenderung menampilkan propaganda anti Gus Dur, dengan pemberitaan yang sangat sensasional dan provokatif.

Empat penelitian di atas merupakan penelitian terhadap teks berita media versus kekuasaan, dengan berbagai kepentingan yang ada di sekelilingnya. Namun demikian meskipun penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan perspektif penelitian yang sama dengan keempat penelitian tersebut, peneliti memiliki objek dan subjek penelitian yang berbeda. Fenomena komunikasi dalam hal ini kampanye dan kisruh politik Pilkada Maluku Utara dalam liputan media menurut saya tidak kalah menariknya dari keempat fenomena yang dikaji oleh peneliti terdahulu. Pilkada merupakan budaya baru dalam kehidupan demokrasi Indonesia, di mana proses pilkada cenderung menjadi penyebab konflik, sehingga tidak pernah sepi dari liputan media.

Kesimpulannya adalah bahwa tidak ada media yang terlepas dari kepentingan menyangkut ideologi, ekonomi, politik dan tidak ada media yang benar-benar independen semuanya mengusung kepentingan, dengan demikian perlu penelitian yang kritis terhadap pemberitaan teks media.

3. Thesis Thadi, 2007. Fokus penelitian pada analisis wacana pemberitaan kampanye Agusrin M. Najamuddin dalam pemilihan gubernur Bengkulu pada harian Rakyat Bengkulu. Hasil penelitian menunjukan bahwa harian Rakyat Bengkulu sebagai media cetak lokal terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu, sering memberitakan aktivitas Agusrin M. Najamuddin sebagai salah satu calon gubernur Provinsi Bengkulu dalam kegiatan kampanye pilkada. Dalam rentang waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Bengkulu sebagai penyelenggara prosesi pilkada, intensitas pemberitaan harian Rakyat Bengkulu menunjukan grafik yang meningkat. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh banyaknya agenda kegiatan kampanye pilkada yang berlangsung di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu, kegiatan tersebut memiliki nilai berita yang tinggi. Harian Rakyat Bengkulu memiliki kecenderungan dan cara tersendiri dalam memberitakan Agusrin M. Najamuddin sebagai salah satu calon gubernur Provinsi Bengkulu, sehingga harian ini terkesan sebagai “panggung kampanye” bagi Agusrin M. Najamuddin. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa harian ini memiliki kesamaan ideologi dan politik-ekonomi dengan Agusrin M. Najamuddin. Hal ini

berbeda dengan harian pembanding Semarak Bengkulu yang terkesan memasang jarak dengan kandidat tersebut.

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Wacana dan Ideologi

‘Bahasa adalah ideologi’, demikian secara tegas Kress dan Hodge memberi judul bukunya. Di satu titik ‘ideologi’ didefinisikan sebagai body ide yang sistematis, diatur dari titik pandang tertentu ; dimanapun ideologi dikatakan sebagai ’sekumpulan ide-ide yang di dalamnya termasuk penataan pengalaman, membuat pemahaman tentang dunia. Hal yang mudah untuk melihat bagaimana konsepsi ideologi ini, samar-samar didefinisikan, sesuai dengan penekanan para pengarang itu tentang proses klasifikasi. Hanya kelompok yang berbeda dalam masyarakat – kelompok sosial, ras, etnik, demikian seterusnya – memiliki sistem klasifikasi yang berbeda, dengan demikian mereka memiliki ideologi yang berbeda, yaitu cara yang berbeda ’dalam membuat pemahaman tentang dunia’. (Thompson, 2003: 196).

Austin (dalam Thompson, 2003 : 203) mengatakan, analisa ideologi secara fundamental concern dengan bahasa, karena bahasa merupakan medium dasar makna (pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Membicarakan sebuah bahasa berarti sebuah cara untuk bertindak.

Tentang hubungan antara pembuat teks dan pembaca teks. Menurut Hall (dalam Eriyanto, 2001: 94), ada tiga bentuk pembacaan/hubungan antara penulis dan pembaca dan bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya. Pertama, posisi

pembacaan dominan (dominant-hegemonic position). Posisi ini terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang bisa diterima umum, sehingga pembaca akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut.

Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan (negotiated code/position). Dalam posisi kedua ini, tidak ada pembacaan dominan. Yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus di antara kedua belah pihak. Penulis di sini juga menggunakan kode atau kepercayaan politik yang dipunyai oleh khalayak, tetapi ketika diterima oleh khalayak tidak dibaca dalam pengertian umum, tetapi pembaca akan menggunakan kepercayaan dan keyakinan tersebut dan dikompromikan dengan kode yang disediakan oleh penulis.

Ketiga, pembacaan oposisi (oppasitional code/position). Posisi pembaca yang ketiga ini merupakan kebalikan dari posisi yang pertama. Dalam posisi pembacaan pertama, khalayak disediakan penafsiran yang umum, dan tinggal pakai secara umum dan secara hipotesis sama dengan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Sementara itu, dalam posisi ketiga ini, pembaca akan menandakan secara berbeda atau membaca secara berseberangan dengan apa yang ingin disampaikan oleh khalayak tersebut. Pembacaan oposisi ini muncul kalau penulis tidak menggunakan kerangka acuan budaya atau kepercayaan politik khalayak pembacanya, sehingga pembaca akan menggunakan kerangka budaya atau politik tersendiri.

Sebagaimana dikatakan oleh Fiske, berita dan proses komunikasi secara keseluruhan pada dasarnya adalah praktik dari proses sosial dan hampir selalu ideologis: interpelasi adalah bagian penting dari praktik ideologi tersebut.

Gramsci (Eriyanto, 2401 : 104) mengatakan, hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu kegiatan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap sebagai tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.

Gramsci melanjutkan, salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense). Jika ide atau gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai sesuatu yang common sense (jadi tidak didasarkan pada kelas sosial), kemudian ideologi itu diterima, maka hegemoni telah terjadi.

Dalam konsepsi Marx (Eriyanto, 2001 : 93), ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagairnana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu.

Teori ideologi menekankan bahwa semua teks dan semua makna mempunyai dimensi sosial politik dan tidak dapat dimengerti kalau tidak menyertakan dimensi konteks sosial. Kerja ideologi, sebagaimana dinyatakan John Fiske (Eriyanto, 2001 : 108), selalu mendukung status quo, melalui mana kelompok yang mempunyai kekuasaan lebih besar menyebarkan gagasan dan pesannya. Sistem ekonomi diorganisir sesuai dengan kepentingan mereka, dan sistem ideologi diambil dari kerja itu untuk menyebarkan gagasan mereka. Bagi Fiske, semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja untuk dominasi kelas, perbedaannya hanya pada cara bagaimana dominasi itu bekerja, dan tingkat efektivitasnya.

2.2.2 Analisis Wacana

Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna. Dalam hal ini para pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternatif dalam memahami bahasa tersebut. Analisis wacana mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistic, semua unsur bahasa terikat pada konteks pemakaian. Oleh karena itu, analisis wacana sangat penting untuk memahami hakikat bahasa dan perilaku berbahasa termasuk belajar bahasa.

Menurut Stubbs dalam Darma (2009:15), “wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi”. Bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meniliti dan menganalisis bahasa yang digunkan secara alamiah, baik lisan atau tulis,

misalnyapemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Analisis wacana menekankan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antarpenutur. Jadi, jalasnya analisis wacana bertujuan untuk mencari keteraturan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keberterimaan penggunaan bahasa di masyarakat secara realita dan cenderung tidak merumuskan kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa.

Sedangkan Kartomiharjo dalam Darma (2009:15), mengungkapkan bahawa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, oleh penulis dalam wacana tulis.

2.2.3 Analisis Wacana Kritis

2.2.3.1Pengertian Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis dalam pandangan kritis, bahwa pandangan kritis ingin mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis

maupun institusional. Pandangan konstruktivisme masih belum

menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku – perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigm kritis.

Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktifisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan fikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara.

Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan yang jadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, analisi wacana kategori ini disebut sebagai analisis wacana kritis (CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana kategori sebelumnya.

Dokumen terkait