• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan mengetahui kadar kortisol darah dan nilai SKG penderita dapat dijelaskan pada keluarga tentang prognosis trauma kapitis yang diderita.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

II.2. Epidemiologi

Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden dari trauma kapitis sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika serikat. Insiden lebih tinggi di Eropa dari 91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546 /100.000 di Swedia, di Southern Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli, 2005).

Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat inap neurologi RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan.

Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang (Musridharta, 2006).

Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun atau lebih. Angka insiden untuk pria dua

kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2:1 sampai 4,4:1 dalam populasi yang berbeda (Bondanelli, 2005).

II.3. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi untuk trauma kapitis sering dilaporkan dalam berbagai literatur. Skala Koma Glasgow adalah klasifikasi klinis yang luas digunakan untuk mengetahui derajat beratnya trauma kapitis. Skala Koma Glasgow ini didasarkan pada respon pasien (membuka mata, fungsi verbal dan motorik) terhadap berbagai stimulus (Bondanelli, 2005).

Tabel-1 Derajat Kesadaran Berdasarkan Skala Koma Glasgow

Kategori SKG Gambaran Klinik CT Scan

Otak Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, penderita dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat.

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

Beratnya trauma kapitis secara klinis juga di defenisikan dengan lamanya kehilangan kesadaran, kehilangan memori segera sesudah

kejadian, atau sesudah cedera (post traumatic amnesia) dan identifikasi lesi intrakranial (Bondanelli, 2005).

Tabel-2. Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan patologi dan lokasi lesi 1. Patologi :

1.1. Komosio serebri 1.2. Kontusio serebri 1.3. Laserasio serebri 2. Lokasi lesi

2.1. Lesi diffus

2.2. Lesi kerusakan vaskuler otak 2.3. Lesi fokal

2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri 2.3.2. Hematoma intrakranial

2.3.2.1. Hematoma ekstradural (hematoma epidural) 2.3.2.2. Hematoma subdural

2.3.2.3. Hematoma intraparenkhimal 2.3.2.3.1. Hematoma subarakhnoid 2.3.2.3.2. Hematoma intraserebral 2.3.2.3.3. Hematoma intraserebellar

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

Tabel-3 Skala Koma Glasgow

NILAI

Buka Mata Spontan 4

Dengan perintah verbal 3

Dengan nyeri 2

Tidak ada respon 1

Respon Verbal Orientasi baik dan berbicara 5 Diorientasi dan berbicara 4 Kata-kata yang tidak tepat;menangis 3

Suara yang tidak berarti 2

Tak ada respon 1

Respon Motorik Menurut perintah 6

Dapat melokalisasi nyeri 5

Fleksi terhadap nyeri 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi (desereberasi) 2

Tidak ada respon 1

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

II.4. Patofisiologi Trauma kapitis

Kerusakan serebral dihasilkan dari trauma yang dikelompokkan kedalam trauma kepala primer dan sekunder. Cedera primer disebabkan disrupsi mekanik dari jaringan otak yang terjadi pada saat trauma atau awal trauma. Cedera sekunder berkembang dalam beberapa jam atau hari yang mengikuti kerusakan awal dan bisa berlanjut dengan kerusakan dan memperburuk outcome neurologis. Kenyataannya, sebagai hasil dari trauma kapitis, edema serebri dan gangguan sirkulatori, dan hipoksia menyebabkan peninggian tekanan intrakranial dihasilkan

bebas, asam amino dan nitric oxide) dan asam amino eksitatori (seperti N-methyl-D-aspartate) muncul sebagai dampak dari perkembangan trauma kapitis sekunder. Sitokin terutama interleukin-6 dimana menstimulasi sekresi vasopressin, bisa juga terlibat dalam patogenesis dari sekresi syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) sesudah trauma kapitis (Bondanelli, 2005;Marik, 2002).

Sebagaimana diketahui cedera primer tidak bisa dicegah, manajemen pengobatan secara langsung ditujukan terhadap mekanisme cedera sekunder yang ditujukan untuk perbaikan outcome. Baik cedera primer maupun sekunder bisa terjadi fokal atau diffus. Cedera fokal cenderung disebabkan oleh contact forces, sedangkan cedera diffus lebih sering disebabkan non contac, acceleration-deceleratio bisa menyebabkan kerusakan akson, dengan disrupsi dari white matter dan kerusakan yang luas, kebanyakan adalah vasogenik (Gilroy, 2000).

Kerusakan lebih sering terjadi pada struktur midline shift dari otak dan bisa muncul dalam mekanisme disfungsi hypothalamus-pituitary pada trauma kapitis (Bondanelli, 2005)

Fraktur tengkorak yang terjadi pada trauma kapitis kemungkinan dihubungkan dengan hematoma, gangguan saraf kranial, dan cedera otak berat. Fraktur dasar tengkorak pada trauma kapitis kemungkinan dihubungkan dengan cedera mekanis secara langsung terhadap kelenjar pituitary, stalk atau hipotalamus (Bondanelli, 2005).

II.5. Aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal pada Penyakit Akut

Kortisol adalah kortikosteroid utama yang disekresi dari korteks adrenal pada manusia. Pada seorang yang sehat, orang yang tidak stress, kortisol disekresi menurut gambaran diurnal dibawah pengaruh pelepasan kortikotropin dari kelenjar pituitary. Sekresi kortikotropin, dalam gilirannya dibawah pengaruh CRH dari hipotalamus (gambar-1A), dan kedua hormon ini adalah menjadi sasaran terhadap kontrol feedback negatif oleh kortisol. Sirkulasi kortisol berikatan terhadap corticosteroid-binding globulin, dimana dalam bentuk bebas ditemukan kurang dari 10%.

Pada infeksi berat, trauma, luka bakar, keadaan sakit, atau tindakan operasi, dijumpai peningkatan produksi kortisol sebanyak enam kali dibanding nilai normal (gambar-1B). Variasi diurnal dalam sekresi kortisol juga menghilang. Efek ini menyebabkan ditingkatkannya produksi dari corticotropin-releasing hormone dan kortikotropin dan pengurangan dalam feed back negatif dari kortisol (Cooper dan Stewart, 2003).

Selama dalam keadaan sakit berat, banyak faktor yang bisa mengganggu respon kortikosteroid normal (gambar-1C). Faktor-faktor ini meliputi kondisi yang ada sebelumnya mempengaruhi aksis HPA, tetapi insufisiensi kortikosteroid bisa juga terjadi selama perjalanan keadaan sakit akut. Respon yang melibatkan corticotropin releasing hormone dan corticotropin bisa diganggu oleh keadaan-keadaan seperti trauma kepala, penekanan terhadap sistim saraf pusat, atau infark pituitary. Sintesis kortisol adrenal bisa terganggu oleh mekanisme yang multipel.

Perdarahan adrenal bisa terjadi pada pasien-pasien yang sakit, khususnya mereka dengan septikemia dan koagulopati, dan insufisiensi bisa timbul saat terjadinya perluasan dari jaringan adrenal yang rusak oleh tumor atau infeksi. Kadar zat inflamatori sitokin yang tinggi pada pasien-pasien dengan sepsis bisa juga secara langsung menghambat sintesis kortisol adrenal (Cooper dan Stewart, 2003).

Sitokin mempunyai peranan fisiologis sebagai regulator aktivitas sekresi aksis HPA dan sitokin juga menghasilkan berbagai respon fase akut yang dapat menstimulasi aksis HPA. Diketahui bahwa sel saraf otak yang cedera dapat mensintesa dan mensekresikan sitokin pro inflamasi yang menjadi mediator kerusakan neuronal difus setelah trauma kepala.

Diantara sitokin yang paling berperan terhadap kerusakan adalah tumor necroting factor (TNF) dan Interleukin (IL). Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan IL-1 dan IL-6 pada cairan serebrospinal pasien cedera kranial (Graham dan Mcitosh, 1996 ; Stewart, 2003). Penelitian eksperimental trauma mekanik pada hewan coba menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 dan IL-6 (Turana, 2004).

Hipotalamus hanya mempunyai berat sekitar 4 gram atau 0,5%

dari berat otak keseluruhan namun merupakan bagian sangat penting dari otak yang merupakan struktur kompleks yang terdiri dari 12 nukleus.

(Turana, 2004). Hipotalamus mempunyai koneksi ke seluruh bagian lain susunan saraf pusat dan kontrol neurohormonal hipofisis yang

menghasilkan kontrol ketat regulasi homeostatis hormonal (Guyton dan Hall, 2005). Sedangkan hipofisis berbentuk kantong kecil dari permukaan ventral diensefalon yang terlindungi disella tursika merupakan bagian dari tulang sphenoid, namun tangkai hipofisis yang secara struktural maupun fungsional menghubungkan hipofisis dengan hipotalamus sangat rentan terhadap efek trauma kepala berat, khususnya pada pasien dengan fraktur basis kranii dengan keterlibatan saraf kranialis, trauma kraniofasial, dan paska henti jantung (Klein, 2006).

Koordinasi aksi hipotalamus dan hipofisis mempengaruhi suhu tubuh, regulasi cairan dan makanan, pertumbuhan, metabolisme, fungsi kardiovaskuler dan perilaku produktif (Turana, 2004).

Respon otonom, endokrin dan perilaku yang mengatur suhu tubuh dimediasi oleh bagian anterior dan posterior hipotalamus (Turana, 2004).

Gambar-1 Aktivitas Aksis HPA, Normal (A), Respon Stress (B), Penyakit Akut (C)

Dikutipbdari : Cooper,M.S., Stewart, P.M. 2003. Corticosteroid Insufficiency acutely ill patients.N.Engl J Med.348:727-734.

II.6. Disfungsi Aksis HPA pada Trauma kapitis

Trauma kapitis merupakan stress fisiologis dan mengakibatkan peningkatan pelepasan adrenocoticotropic hormone (ACTH) yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kortisol (Mcitosh, 1999 ; Cooper dan Stewart, 2003). Kebanyakan pasien trauma kepala berat mempunyai irama sirkardian ACTH abnormal dan mekanisme umpan balik kortisol

terhadap ACTH berkurang dan menghilang. Dengan hasil akhir peningkatan kadar kortisol yang mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif (Cooper dan Stewart, 2003 ; Kauffman dan Timberlake, 1994).

Pada trauma kapitis sedang dan berat dapat terjadi stimulasi aksis HPA akibat benturan langsung pada hipotalamus atau dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat edema vasospasme atau ruptur sawar darah otak, sehingga terjadi kebocoran komponen serum dan sel darah kedalam parenkim jaringan otak yang mengakibatkan timbulnya kaskade molekuler sehingga terjadi aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi antara lain sitokin, radikal oksigen dan nitrit oxide. Peningkatan sitokin juga dapat menyebabkan stimulasi aksis HPA yang berakibat produksi CRH dan ACTH berlebihan dan akhirnya memacu pelepasan hormon kortisol yang dihasilkan oleh korteks kelenjar adrenal. Peningkatan kadar kortisol pada trauma kapitis merupakan respon protektif yang penting dan keadaan ini berhubungan dengan beratnya keadaan penyakit (Nurhayati, 2006).

Pola abnormalitas disfungsi aksis HPA pada trauma kapitis berat bervariasi tergantung lokasi lesi di hipotalamus, hipofisis anterior atau posterior, bagian atas atau bawah dari tangkai hipofisis(Yuan dan Wade, 1991). Lesi yang dominan pada hipotalamus dapat mengakibatkan dissosisasi ACTH-kortisol dengan tidak respon terhadap insulin, hipotiroksinemia, dengan TSH yang masih berespon terhadap TRH, kadar gonadrotropin yang rendah masih berespon terhadap Gonadrotropin

releasing hormone, kadar Growth hormone bervariasi, hiperprolaktinemia, SIADH, diabetes insipidus temporer atau permanen, gangguan metabolisme glukosa dan hilangnya kontrol suhu tubuh. Kerusakan berat pada bagian bawah tangkai hipofisis atau lobus anterior dapat menyebabkan kadar basal yang rendah dari hormon-hormon hipofisis anterior dan respon terbatas terhadap hormon-hormon hipotalamus.

Trauma ruptur pada tangkai hipofisis dapat mengakibatkan infark lobus anterior karena adanya gangguan aliran darah portal antara hipotalamus dan hipofisis anterior (Klein, 2006).

Gejala klinik adanya insufisiensi aksis HPA seringkali tidak spesifik, hal ini dikarenakan fungsi aksis HPA yang kompleks mempengaruhi seluruh organ tubuh. Hal ini mungkin yang menyebabkan jarangnya disfungsi aksis HPA terdiagnosa pada fase akut (Benvenga dan Ruggeri, 2000). Gambaran klinis insufisiensi aksis HPA seperti krisis Addisonian dengan gejala-gejala: mual, muntah, diare, nyeri abdominal dan delirium sering kali timbul karena sebab lain pada penderita trauma kapitis berat.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan inadekuat fungsi adrenal, hipoglikemia, hiponatremia dan hiperkalemia dapat terjadi namun dapat tertutup oleh pemberian cairan dan elektrolit. Hipotensi yang refrakter terhadap pemberian cairan dan membutuhkan vasopressor menunjukkan adanya insufisiensi adrenal pada trauma kapitis berat (Cooper dan Stewart, 2003). Disisi lain, kadar kortisol pada pasien sakit

berat sangat sulit dinilai batasan normalnya karena dapat berfluktuasi lebar tergantung pada tipe dan beratnya penyakit (Singhi, 2002).

Disfungsi aksis HPA dapat menimbulkan gejala klinis secara nyata pada setiap waktu setelah trauma. Namun gejala klinis ini sering terdeteksi pada fase rehabilitatif. Salah satu gangguan tersebut adalah yang disebut dengan post head trauma hypopituitarism (PHTH) (Benvenga dan Ruggeri, 2000).

II.7. Kortisol

Kortisol memegang peranan penting untuk metabolisme karbohidrat, protein dan untuk mengontrol sistim imunitas (Oelkers, 1996).

Kortisol adalah hormon steroid natural yang dihasilkan oleh korteks kelenjar adrenal (Sahelian, 2005). Kortisol merupakan hormon stress (kortikosteroid) yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (Ponsford, 2002). Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30 jenis steroid, namun hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi endokrin manusia:

aldosteron yang merupakan mineralokortikoid yang utama, dan kortisol yang merupakan glukokortikoid utama (Guyton dan Hall, 2005). Kortisol dan beberapa glukokortikoid lainnya disekresikan oleh zona fasikulata, yakni lapisan tengah, dan zona retikularis yang merupakan lapisan terdalam (Guyton dan Hall, 2005 ; Ganong, 2003 ; McPhee, 2006).

Aktivitas glukokortikoid dari kortisol terutama disebabkan oleh adanya keto-oksigen pada karbon nomor 3 dan hidroksilasi pada karbon nomor 11 dan 21. (gambar-2).

Gambar-2 Rumus kimia aldosteron-kortisol

Dikutip dari : Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2005. Textbook of Medical Physiology. 10th

Hampir semua jenis stres, apakah bersifat fisik atau neurogenik akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH dengan segera dan

ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Kortisol dalam darah terutama berikatan dengan globulin dan disebut kortisol-terikat globulin atau transkortin, dan dalam jumlah yang lebih kecil berikatan dengan albumin. Secara normal kira-kira 94%

diangkut dalam bentuk terikat dan kira-kira 6% dalam bentuk bebas (Rai, dkk., 2004 ; McPhee, 2006 ; Amir, 2006).

II.7.1. Fungsi Kortisol pada Stres dan Peradangan

bermakna oleh kelenjar hipofisis anterior. Beberapa jenis stress yang meningkatkan pelepasan kortisol adalah sebagai berikut : hampir semua jenis trauma, infeksi, kepanasan atau kedinginan yang hebat, penyuntikan norepinefrin obat-obat simpatomimetik lainnya, penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis dibawah kulit, mengekang seekor binatang sehingga tak dapat bergerak, hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan (Guyton dan Hall, 2005).

Bila ada banyak kortisol yang disekresikan, maka kortisol mempunyai dua efek dasar anti-inflamasi : (1) kortisol dapat menghambat tahap awal dari proses inflamasi bahkan sebelum inflamasi itu sendiri mulai terjadi, dan (2) bila proses inflamasi sudah dimulai, proses ini akan menyebabkan resolusi inflamasi yang cepat dan meningkatkan kecepatan penyembuhan (Guyton dan Hall, 2005). Nilai kortisol yang tinggi selama periode waktu yang lama bisa meningkatkan resiko infeksi, peninggian tekanan darah, ulkus peptikum, diabetes melitus, osteoporosis, dan depresi (Sahelian, 2005).

II.7.2. Pengaturan Sekresi Kortisol Hormon Adrenokortikotropik dari Kelenjar Hipofisis

Sekresi kortisol terjadi dibawah kontrol dari aksis HPA. Ada berbagai macam stimulus dalam terjadinya pelepasan ini antara lain:

stress, kerusakan jaringan, pelepasan sitokin, hipoksia, hipotensi, dan hipoglikemia. Faktor-faktor ini bekerja pada hipotalamus dengan

pelepasan CRH dan vasopressin (Rai, ddk., 2004). Sekresi kortisol hampir seluruhnya diatur oleh ACTH yang disekresi kelenjar hipofisis anterior.

Hormon ini, yang disebut sebagai kortikotropin atau adrenokortikotropin, juga meningkatkan produksi androgen adrenal (Guyton dan Hall, 2005).

Hormon hipofisis yang lain diatur oleh hormon pelepas atau faktor-faktor dari hipotalamus, demikian juga dengan sekresi ACTH, diatur oleh faktor pelepas penting yang sama. Faktor pelepas ini disebut faktor pelepas kortikotropin (CRF). Faktor pelepas kortikotropin disekresikan kedalam pleksus kapiler utama dari sistim portal hipofisis dipuncak median hipotalamus dan kemudian dibawa ke kelenjar hipofisis anterior, dimana faktor pelepas kortikotropin akan merangsang sekresi ACTH. Badan sel neuron yang terutama mensekresi CRF terutama terletak di nukleus paraventrikuler hipotalamus. Nukleus ini selanjutnya menerima banyak hubungan saraf dari sistim limbik dan batang otak bagian bawah (Guyton dan Hall, 2005).

Bila tidak ada CRF, maka kelenjar hipofisis anterior hanya dapat mensekresi sedikit ACTH. Sebaliknya, sebagian besar kondisi yang menyebabkan tingginya kecepatan sekresi ACTH, mengawali sekresi ini melalui sinyal yang dimulai didaerah basal otak termasuk hipotalamus, dan kemudian dihantarkan oleh CRF ke kelenjar hipotalamus anterior (Guyton dan Hall, 2005).

Langkah yang paling penting dari ACTH yang sudah dirangsang dalam mengatur sekresi adrenokortikal adalah mengaktifkan enzim protein

kinase yang menyebabkan perubahan awal dari kolesterol menjadi pregnolon. Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres fisik apapun atau kerusakan jaringan pertama dihantarkan ke atas melalui batang otak dan akhirnya ke puncak median hipotalamus, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 3. Disini CRF disekresikan kedalam sistim portal hipofisis. Dalam beberapa menit seluruh rangkaian pengaturan mengarah kepada sejumlah besar kortisol di dalam darah. Stress mental dapat juga menyebabkan peningkatan sekresi ACTH. Keadaan ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam sistim limbik, khususnya dalam regio amigdala dan hipokampus, yang keduanya kemudian menjalarkan sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus.

(Guyton dan Hall, 2005). Pada keadaan depresi terjadi peningkatan aktivitas HPA yang ditandai dengan pelepasan CRH dari hipotalamus.

Akibatnya terjadi peningkatan rangsangan terhadap hipofisis anterior untuk mensekresikan ACTH. Pada pasien depresi terjadi peningkatan kadar kortisol terutama pada malam hari atau sore sedangkan pada orang normal tidak terjadi peningkatan pada waktu tersebut (Amir, 2006).

Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif langsung terhadap (1) hipotalamus untuk menurunkan pembentukan CRF dan (2) kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH. Kedua umpan balik ini membantu mengatur konsentrasi kortisol dalam plasma. Jadi, bila konsentrasi menjadi sangat tinggi, maka umpan balik ini secara otomatis

akan mengurangi jumlah ACTH sehingga kembali lagi ke nilai normalnya (Guyton dan Hall, 2005).

Kecepatan sekresi CRH, ACTH, dan kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari, tetapi rendah pada akhir sore hari, seperti yang digambarkan dalam gambar 4. Kadar kortisol plasma berkisar antara kadar paling tinggi kira-kira 20 µg/dl satu jam sebelum matahari terbit di pagi hari dan paling rendah kira-kira 5 µg/dl sekitar tengah malam (McPhee SJ, 2006). Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam, yang menimbulkan sekresi kortisol (Guyton dan Hall, 2005).

Gambar-3. Mekanisme pengaturan sekresi glukokortikoid

Dikutip dari : Guyton, A.C., Hall, J. Physiology. 10th ed. W.B. Saunders Company.

Philadelphia.

II.7.3. Pemeriksaan Kadar Kortisol

Pemeriksaan kortisol dilakukan untuk mengukur nilai hormon kortisol dalam darah, dimana bisa dideteksi terhadap adanya permasalahan dengan kelenjar adrenal atau kelenjar pituitary (Nissl, 2004

; Sahelian, 2005).

Metode pemeriksaan yang umum dilakukan adalah radioimmunoassay dan high-performance liquid chromatography. Nilai normal plasma kortisol berbeda-beda tergantung pada metode yang digunakan. Dengan metode radioimmunoassays nilai pada jam 08.00 pagi 3-20 µg/dl (80-550 nmol/l) dan rata-rata 10-12 µg/dl (275,9-331,1 nmol/l).

Sekresi kortisol plasma meningkat selama kejadian penyakit-penyakit akut, selama operasi, dan setelah trauma. Konsentrasi kortisol plasma bisa mencapai 40-60 µg/dl (1100-1655 nmol/l). Kadar kortisol plasma juga meningkat pada keadaan-keadaan dimana kadar estrogen meningkat seperti pada keadaan-keadaan: kehamilan, pemakaian estrogen atau kontrasepsi oral. Pada keadaan-keadaan ini nilai kortisol plasma meningkat 2-3 kali normal. Total plasma kortisol juga dipengaruhi keadaan-keadaan lain seperti ansietas, depresi, starvantion, anorexia nervosa, alkoholism, dan gagal ginjal kronis (Aron, 2004).

Sedangkan menurut Nissl (2004) nilai normal : (1) Darah (pagi hari) : 5-25 µg/dl, Darah (sore hari) : 3-16 µg/dl, dan urin kurang dari 50 µg/dl 24 jam sampel.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dan akurasi dari pemeriksaan kortisol adalah : Stres fisik atau emosional, kehamilan (bisa meningkatkan sedikit kadar kortisol urin dan darah), hipoglikemia, makan dan minum atau exercise berlebihan sebelum tes, obat-obatan seperti oral kontrasepsi, spironolakton (aldactone), fenitoin, hidrokortison, prednison, dan quinacrine (Nissl, 2004).

Gambar-4. Fluktuasi Kadar ACTH dan Glukokortikoid di dalam Darah

Dikutip dari : Mc Phee, S.J. 2006. Disorders of the Adrenal Cortex. In: McPhee SJ, Ganong WF (ed). Pathophysiology of Disease.pp.589-623. Lange Medical Books/McGraw-Hill. New York

II. 8. Kerangka Konsepsional

Cedera primer Cedera Sekunder

Mediator  Sitokin (IL-1, IL-6), nitric oxide,

N-methyl-D-aspartate Cedera kelenjar

pituitary, hipotalamus

Aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal

Peningkatan kadar kortisol plasma Irama sirkardian ACTH abnormal,

umpan balik kortisol (-)

Bondanelli, 2005

- Kauffman, 1994 - Cooper, 2003 - Klein, 2006

- Tingkat keparahan trauma - Skala Koma Glasgow

- Lambert, 1997 - Annane, 2000 - Nurhayati, 2006 - Offner, 2002 - Agha, 2004

Outcome

Cedera Kranioserebral

BAB III

METODE PENELITIAN III.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi yang dirawat di Ruang rawat inap RA4, ICU, VIP A, VIP B dan di Poliklinik Kesehatan RSUP Haji Adam Malik Medan mulai tanggal 17 Januari 2007 sampai dengan 17 Mei 2007 atau sampai jumlah sampel tercapai.

III.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat di Departemen Neurologi yaitu di RA 4, ICU, VIP A, VIP B, dan untuk kelompok pembanding diambil dari orang yang dinyatakan sehat saat pemeriksaan di Poliklinik kesehatan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.

Populasi sasaran

Semua penderita trauma kapitis sedang-berat yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, SKG, dan Head CT Scan.

Populasi terjangkau

Semua penderita trauma kapitis sedang-berat yang sesuai dengan kriteria inklusi yang dirawat di Departemen Neurologi RSUP. Haji Adam Malik Medan.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penderita trauma kapitis Kriteria inklusi :

1. Pria dan wanita berusia 15-55 tahun, onset < 48 jam 2. Penderita trauma kapitis sedang-berat

3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian Kriteria eksklusi :

1. Penderita dengan trauma abdomen, trauma medula spinalis, cedera thoraks.

2. Penderita trauma kapitis yang tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT-Scan otak.

3. Penderita dengan riwayat menderita stress-depresi 4. Penderita dengan pemeriksaan klinis ditemukan infeksi.

5. Penderita dengan riwayat penggunaan obat-obatan pil kontrasepsi, spironolaktone (aldactone), fenitoin, prednison dan quinacrine.

6. Penderita dengan kehamilan

7. Individu dengan pemeriksaan body mass index menderita obesitas 8. Individu dengan pemeriksaan laboratorium menderita hipoglikemia

Non Trauma kapitis Kriteria inklusi :

1. Individu yang sepada usia dan jenis kelaminnya dengan kasus.

2. Individu sehat melalui pemeriksaan fisik, neurologis, laboratorium.

3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian

Kriteria eksklusi :

1. Individu dengan pemeriksaan klinis ternyata menderita stress-depresi.

2. Individu dengan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar kortisol dalam darah seperti : pil kontrasepsi, spironolaktone (aldactone), fenitoin, prednison dan quinacrine.

3. Individu dengan kehamilan

4. Penderita dengan pemeriksaan klinis ditemukan infeksi.

5. Individu dengan pemeriksaan body mass index menderita obesitas 6. Individu dengan pemeriksaan laboratorium menderita hipoglikemia

Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, dkk.,1995) : n = (zα + zβ)xSd

d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 6

d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 6

Dokumen terkait