• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR KORTISOL DARAH DAN SKALA KOMA GLASGOW DENGAN OUTCOME HARI KE-3 PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT TESIS OLEH DALTON SILABAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KADAR KORTISOL DARAH DAN SKALA KOMA GLASGOW DENGAN OUTCOME HARI KE-3 PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT TESIS OLEH DALTON SILABAN"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR KORTISOL DARAH DAN SKALA KOMA GLASGOW DENGAN OUTCOME HARI KE-3 PADA PENDERITA

TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

TESIS

OLEH

DALTON SILABAN

Nomor Register CHS : 15420

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN USU /

RSUP H.ADAM MALIK

MEDAN

(2)

HUBUNGAN KADAR KORTISOL DARAH DAN SKALA KOMA GLASGOW DENGAN

OUTCOME HARI KE-3 PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

TESIS

Untuk memperoleh gelar spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

OLEH

DALTON SILABAN Nomor Register CHS : 15420

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN USU /

RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

2007

(3)

JUDUL TESIS : HUBUNGAN KADAR KORTISOL DARAH DAN SKALA KOMA GLASGOW DENGAN OUTCOME HARI KE-3 PADA PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

Nama : DALTON SILABAN Nomor register CHS : 15420

Program studi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S

NIP. 131 996 176 NIP. 130 702 008

Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)

Mengetahui/Mengesahkan

Ketua Program Studi Ketua Departemen Ilmu Penyakit Saraf Ilmu Penyakit Saraf FK-USU Medan FK-USU Medan

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

NIP. 131 124 054 NIP. 130 702 008

Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 11 September 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K) 3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S 7. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S 9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 10. Dr. Cut Aria Arina, Sp.S

(5)

ABSTRAK

Latar Belakang : Pada trauma kapitis sedang dan berat terjadi stimulasi aksis Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA), aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan hormon kortisol oleh korteks adrenal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar kortisol dalam darah dan nilai Skala Koma Glasgow (SKG) dengan outcome hari ke-3 pada penderita trauma kapitis sedang-berat.

Metodologi : Studi ini merupakan studi prospektif dengan kelompok pembanding. Pengambilan sampel dilakukan secara non random dengan metode konsekutif pada pasien trauma kapitis di ruang rawat inap neurologi dan Poliklinik Kesehatan RSUP H.Adam Malik Medan, periode Januari 2007 sampai Mei 2007. Dilakukan pemeriksaan fisik, SKG dan kadar kortisol darah pada semua penderita trauma kapitis dengan onset < 48 jam dan dinilai outcome hari ke-3. Untuk kelompok pembanding dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kadar kortisol darah. Untuk mengetahui perbedaan kadar kortisol darah yang meningkat dan yang tidak meningkat menurut SKG digunakan uji Chi-square. Perbedaan rerata kadar kortisol darah penderita trauma kapitis dengan kelompok pembanding digunakan uji t-berpasangan. Nilai kemaknaan, p< 0,05.

Hasil : Diteliti 46 penderita trauma kapitis (89,1% pria) dan 23 orang pembanding (95,7% pria). Pada kelompok trauma kapitis terdapat 52,2%

penderita mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah penderita trauma kapitis adalah 762,28±320,52 nmol/l, sedangkan rerata nilai SKG adalah 8,11±3,25. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol darah paling tinggi (p=0,018). Rerata kadar kortisol pada outcome kematian lebih tinggi bermakna dengan outcome hidup yaitu 931,40 ± 295,80 nmol/l (p=0,000). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 621,7 nmol/l dengan spesifisitas 66% dan sensitifitas 93%. Pada nilai SKG 3-8, 69,2%

penderita mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan outcome kematian. Rerata kadar kortisol darah pada kelompok pembanding lebih rendah dan berbeda bermakna dibandingkan kelompok trauma kapitis yaitu 268,88 ± 91,45 nmol/l (p=0,001)

Kesimpulan : Outcome kematian pada penderita trauma kapitis sedang- berat menunjukkan kadar kortisol darah yang lebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan outcome hidup.

Kata kunci : kortisol, trauma kapitis, SKG, outcome

(6)

ABSTRACT

Background : In moderate and severe head injury, Hypothalamo- Pituitary-Adrenal (HPA) axis is stimulated, activation of immunocompetent cell that causes inflamation mediators. The increasement of cytokin level causes stimulation of HPA axis that will cause release of cortisol hormone by adrenal cortex. The objective of this study was to determine the correlation between blood cortisol level and Glasgow Coma Scale (GCS) score and day-3 outcome in moderate severe head injury patients.

Methods : This study was a prospective study with comparison group. The sampling method was non-random consecutive for head injury patients who was admitted in Neurologic ward and out patient clinic RSUP.H. Adam Malik Medan, between the period of January-May 2007. Physical examination was performed, GCS score was evaluated and blood cortisol level was measured for all head injury patients with onset<48 hour and outcome was determined on day 3. For the comparison group, physical examination was perfomed and cortisol blood level was measured. To determine the difference of blood cortisol level between the increased and not, based on GCS, Chi-square test was used. The difference of mean of blood level between the head injury patients and comparison group, t-paired test was used.The value of significant was 0,05.

Result : Fourthy six head injury patients were examined (89,1% men) and 23 were comparison (95,7% men). In the head injury group, there were 52,2% of the patients died in the first 3 days of treatment. The mean of blood cortisol level in head injury patients was 762,28 ± 320,52 nmol/l, meanwhile the mean of GCS score was 8,11 ± 3,25 . There was a significant relationship between blood cortisol level and the GCS score, where in GCs score 3-6 the blood cortisol level was the highest (p=0,018).

The mean of cortisol level in death outcome was significantly higher than survive outcome, which was 931,40 ± 295,80 nmol/l (p=0,000). The cut of point for cortisol level in death outcome was 621,7 nmol/l with 66%

specificity and 93% sensitivity. In GCS score 3-8, 69,2% of the patients died. There was a significant relationship between GCS score and death outcome. The mean of blood cortisol level in the comparison group was lower and was significantly different compared to the head injury group, which was 268,88 ± 91,45 nmol/l (p=0,001).

Conclusion : Death outcome in moderate-severe head injury patients showed higher blood cortisol and lower GCS score compared to survive outcome.

Keyword : Cortisol, Head injury, Glasgow Coma Scale, Outcome

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu tugas akhir dalam Program Pendidikan spesialisasi di Bidang Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangannya, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Pada kesempatan ini penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H.

Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan spesialisasi.

Yang terhormat Prof. Dr. T. Bahri Anwar Johan, Sp.JP(K)., (Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

(8)

menjadi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, Dekan Fakultas Kedokteran yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), (Ketua Departemen Neurologi FK – USU saat penulis diterima sebagai PPDS) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi peserta didik serta memberi bimbingan selama mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, arahan serta dorongan semangat yang tak ternilai selama penulis mengikuti program pendidikan spesialisasi ini.

Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi Departemen Neurologi FK – USU saat penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. H. Rusli Dhanu,

(9)

Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan, banyak memberikan bimbingan dan arahan serta dorongan semangat dalam menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S dan Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K), almarhum., Dr. Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) almarhum., Dr. LBM Sitorus, Sp.S., Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S., Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)., Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S., Dr. Dadan Hamdani, Sp.S., Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S., Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S., Dr. Khairul P.

Surbakti, Sp.S dan Dr. Cut Aria Arina, Sp.S dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Neurologi maupun Departemen lainnya di lingkungan FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terimakasih yang setulus-tulusnya penulis sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terimaksih sebesar-besarnya.

(10)

Kepada Prof. Dr. Adi Koesuma Aman, SpPK-KH, Ketua Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP.H. Adam Malik Medan, terimakasih atas bantuan yang diberikan untuk fasilitas laboratorium hingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.

Kepada Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Kuala Tungkal Jambi, saya ucapkan terimakasih yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit Umum Tembakau Deli, Rumah Sakit Kesdam I Bukit Barisan, Rumah Sakit Umum Sri Pamela PTP N III Tebing Tinggi, dan Rumah Sakit Umum Daerah Rantau Prapat yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerjasama yang terjalin baik selama pendidikan spesialisasi ini. Ucapan terima kasih kepada bapak Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di Departemen Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien sehari-hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada orang tua saya, St. A. Silaban (almarhum) dan L. br. Simamora (almarhum) yang

(11)

telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, membekali saya dengan pendidikan, kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras dan bertanggung jawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus sewaktu beliau masih hidup.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada bapak dan Ibu mertua saya, M. Pasaribu (almarhum) dan N. br. Ritonga yang terus memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.

Teristimewa kepada Istriku tercinta dr. Loide br. Pasaribu dan anakku Dandy Azriel Silaban yang dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Kepada saudara-saudaraku beserta seluruh keluarga yang senatiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebut satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya ucapkan terimakasih. Akhirnya penulis mengaharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2007

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Dr. Dalton Silaban

Tempat/Tanggal lahir : Taput, 09 September 1969 Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil pada Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Kuala Tungkal Jambi

NIP : 140 349 737

Pangkat/Golongan : Penata/III C Nama Ayah : St. A. Silaban Nama Ibu : L. br. Simamora Nama Istri : Dr. Loide br. Pasaribu Nama Anak : Dandy Azriel Silaban

Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dasar di SD Negeri No. 173396 Kecamatan Dolok Sanggul Tapanuli Utara tamat tahun 1982

2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Medan tamat tahun 1985.

3. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Medan tamat tahun 1988 4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 1995.

Riwayat Pekerjaan

1. Kepala Puskesmas Teluk Nilau Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi tahun 1996-1998.

2. Staf Medis Fungsional RSU Daerah Kuala Tungkal Jambi 1999-2002

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK ………... i

ABTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ……….….. .. iii - vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... viii

DAFTAR ISI ……….. ... ix - xii DAFTAR SINGKATAN………... xiii

DAFTAR LAMBANG ……….... xiv

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR TABEL ………... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ………..………... 1 -10 I.1. Latar belakang………... 2 - 8 I.2. Perumusan masalah ... 8

I.3. Tujuan Penelitian ………... 8-9 I.3.1. Tujuan umum ………. 8

I.3.2. Tujuan khusus ……… 9

I.4. Hipotesis ... 9

I.5. Manfaat Penelitian ……….. . . 9-10 I.5.1. Dalam kaitannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan………. 9

I.5.2. Untuk masyarakyat... 10 BAB II. TINJAUAN P USTAKA ………... 11-30

(14)

II.1. Definisi………... 11 II.2. Epidemiologi....……….…….. ... 11-12 II.3. Klasifikasi………..……….... 12-14

II.4. Patofisiologi dari Trauma kapitis... 14-15 II.5. Aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal pada

Penyakit Akut... 16-19 II.6. Disfungsi Aksis HPA pada Trauma kapitis... 19-22 II.7. Kortisol ... 22-29 II.7.1. Fungsi Kortisol pada Stres dan Peradangan. 23-24 II.7.2. Pengaturan Sekresi Kortisol Hormon Adreno

kortikotropik dari Kelenjar Hipofisis………….. 24-27 II.7.3. Pemeriksaan Kadar Kortisol………. 28-29 II.8. Kerangka Konsepsional ……….... 30 BAB III. METODE PENELITIAN .……….... 31-41 III.1. Tempat dan Waktu ...……… 31 III.2. Subjek Penelitian ...………. 31-34 III.3. Batasan operasional penelitian………... 34-38 III.4. Rancangan Penelitian ………... 39 III.5. Pelaksanaan Penelitian ………... 39-43 III.5.1. Pengambilan Sampel ………... 39-40 III.5.2. Kerangka Operasional………... 41-42 III.5.3. Variabel yang diamati ………... 42 III.5.4. Analisa Statistik ………... 42-43 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………….... 44-65

(15)

IV.1. HASIL PENELITIAN ………... 44-63 IV.1.1. Karakteristik subjek penelitian ………... 44-46

IV.1.1.1. Distribusi sampel menurut umur dan

jenis kelamin ... 44-45 IV.1.1.2. Distribusi sampel menurut pendidikan

pekerjaan, suku bangsa dan status

perkawinan ... 45-47

IV.1.2. Distribusi sampel berdasarkan rerata usia... 48

IV.1.3. Hubungan antara umur dan rata-rata kadar

kortisol... 48

IV.1.4. Distribusi penderita trauma kapitis menurut SKG

dan Outcome... 49-50 .

IV.1.5. Sebaran rata-rata dan Standard Deviasi SKG

kortisol... 50

IV.1.6. Kadar kortisol berdasarkan titik potong dari

Reciever Operator Curve (ROC)... 51-52

IV.1.7. Hubungan nilai SKG dan rerata kortisol... 52-53

IV.1.8. Hubungan kadar kortisol dan nilai SKG dengan

outcome pada penderita trauma kapitis... 53-54

IV.1.9. Distribusi outcome menurut umur... 54-55

IV.1.10. Hubungan rerata SKG dan kadar kortisol

dengan outcome ... 55-56

IV.1.11. Sebaran outcome menurut SKG dan kadar

kortisol... 56-57 IV.1.12. Sebaran rerata kortisol pada trauma kapitis

dan kelompok pembanding... 57-58

IV.2. PEMBAHASAN ………... 58-65 IV.2.1. Karakteristik Demografi subjek penelitian... 59-60

(16)

IV.2.2. Hubungan variabel dengan SKG dan rerata

kadar kortisol... 60-65 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 66-67 V.1. KESIMPULAN ………... 66-67 V.2. SARAN ………... 67

KEPUSTAKAAN ……….... 68-73

LAMPIRAN ………... 74-84

(17)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH = Adrenocorticotropic hormone BMI = Body mass index

CRF = Corticotropin releasing factor CRH = Corticotropin releasing hormone CT = Computed Tomography

FSH = Follicle stimulating hormone GCS = Glasgow Coma Scale

HADS = Hospital Anxiety and Depression Scale HPA = Hypothalamo-Pituitary-Adrenal

IL = Interleukin

PHTH = Post head trauma hypopituitarism ROC = Receiver Operator Curve

SIADH = Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone SKG = Skala Koma Glasgow

TNF = Tumor necroting factor TRH = Thyroid releasing hormone TSH = Thyroid stimulating hormone

(18)

DAFTAR LAMBANG

n : Besar sampel

Zα : Nilai baku normal tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang telah ditentukan (α = 0,05), Zα = 1,96

Zβ : nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan = 0,842

Sd : Standard deviasi

d : Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna

% : persen

p : tingkat kemaknaan X : rata-rata (mean) µgr/dl : mikrogram/deciliter nmol/l : nanomol/liter mmol/l : milimol/liter mg/dl : miligram/deciliter

(19)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Gambar-1. Aktivitas Aksis HPA, Normal (A), Respon

Stress (B), Penyakit Akut (C)………... 19 Gambar-2. Rumus kimia aldosteron-kortisol ………... 23 Gambar-3. Mekanisme pengaturan sekresi glukokortikoid……... 27 Gambar-4. Fluktuasi Kadar ACTH dan Glukokortikoid di dalam

darah... 29 Gambar-5. Receiver Operator Curve (ROC) untuk kortisol menurut outcome ... 51

(20)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Derajat Kesadaran Berdasarkan Skala Koma Glasgow... 12

Tabel 2. Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan patologi dan lokasi lesi... 13

Tabel 3. Skala Koma Glasgow... 14

Tabel 4. Karakteristik Subjek Penelitian... 47

Tabel 5. Distribusi rerata usia menurut kelompok pengamatan... 48

Tabel 6. Distribusi rerata kadar kortisol menurut kelompok umur... 49

Tabel-7. Karakteristik medik penderita trauma kapitis menurut SKG dan Outcome... 50

Tabel-8. Nilai rata-rata dan standard deviasi SKG dan Kortisol... 50

Tabel-9. Kadar kortisol berdasarkan titik potong yang diperoleh dari ROC... 52

Tabel-10. Distribusi rerata kortisol menurut nilai SKG... 53

Tabel-11. Distribusi outcome menurut kadar kortisol dan nilai SKG... 54

Tabel-12. Distribusi outcome menurut kelompok umur... 55

Tabel-13. Perbedaan nilai rerata variabel menurut outcome... 56

Tabel-14. Distribusi outcome menurut SKG dan kadar kortisol... 57

Tabel-15. Perbedaan rerata kadar kortisol antara trauma kapitis dan pembanding... 58

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1. Surat persetujuan ikut dalam penelitian... 74

Lampiran 2. Persiapan pemeriksaan kortisol pada kontrol... 75

Lampiran 3. Lembar pengumpul data penelitian... 76

Lampiran 4. Perceived stress questionnaire……….... 79

Lampiran 5. Hospital anxiety and depression scale (HADS)………. 81

Lampiran 6. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU... 83

Lampiran 7. Karakteristik data sampel... 84

(22)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Trauma kapitis merupakan masalah kedaruratan neurologi yang sering ditemukan dan umumnya terjadi pada pria atau wanita, dengan penyebab utama kecelakaan lalulintas maupun jatuh dari ketinggian.

Trauma kapitis merupakan 40% dari seluruh kematian pada kasus cedera akut di Amerika Serikat dan sekitar 200.000 pasien trauma kapitis membutuhkan rawat inap di rumah sakit, 1.74 juta orang trauma kapitis ringan memerlukan kunjungan ke dokter atau disabilitas sementara sekurangnya satu hari (Dawodu, 2005 ; Torner, dkk., 1999).

Kematian yang terjadi pada trauma kepala umumnya terjadi pada trauma kepala berat. Dalam satu studi Traumatic Coma Data Bank, angka mortalitas pada trauma kepala berat adalah 33% (Dawodu, 2005).

Data pasien trauma kapitis di bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo berkisar 60-70% trauma kapitis ringan, 15-20% trauma kapitis sedang dan sekitar 10% trauma kapitis berat, dengan angka kematian sekitar 35-50% akibat trauma kapitis berat dan 5-10% akibat trauma kapitis sedang (Nurhayati, dkk., 2006).

Mortalitas pada trauma kepala berat lebih tinggi dibandingkan dengan trauma kapitis sedang. Narayan mengatakan bahwa mortalitas pada penderita trauma kapitis berat dengan nilai Skala Koma Glasgow (SKG)

(23)

5-8 sekitar 76% dan pada trauma kapitis sedang 7% (cit. Nurhayati, dkk., 2006).

Banyak komplikasi yang timbul akibat trauma kapitis. Komplikasi sistemik yang penting pada trauma kapitis sedang dan berat adalah gangguan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA) yang berperan penting terhadap sekresi berbagai hormon regulator seperti Corticotropin releasing hormone (CRH) dan Adrenocorticotropic hormone (ACTH).

Trauma kapitis sudah lama diketahui sebagai penyebab disfungsi neuroendokrin (Nurhayati, dkk., 2006). Pada satu studi retrospektif menunjukkan bahwa 4% dari pasien trauma kepala mempunyai kelainan yang berhubungan dengan neuroendokrin pada aksis HPA. Keadaan ini adalah underdiagnosed, sebanyak 40-60% dari kasus-kasus trauma kepala berat yang dilakukan otopsi post mortem ternyata ditemukan kelainan hipotalamus/anterior (Klein, 2006).

Cohan dkk (2005) melakukan satu studi terhadap 80 penderita trauma kapitis sedang atau berat (skor SKG, 3-13) dan 41 penderita trauma tanpa trauma kapitis (Injury Severity Score >15) untuk menilai prevalensi, time course, karakteristik klinis, dan pengaruh dari insufisiensi adrenal. Diperoleh hasil insufisiensi adrenal terjadi dalam 42 penderita trauma kapitis (53%).

Dalam satu studi prospektif yang dilakukan untuk menilai respon kortisol dan insidensi insufisiensi adrenal yang tersembunyi sesudah trauma kapitis berat. Dari penelitian ini diperoleh nilai rata-rata kortisol

(24)

segera setelah trauma meningkat (35 ± 3µgr/dl) dan secara signifikan menurun pada hari ke-5 (24 ± 2 µgr/dl) dan hari ke-10 menjadi (22 ± 2 µgr/dl), p< 0,001. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kadar kortisol langsung meningkat bermakna setelah trauma kapitis kemudian akan menurun secara signifikan setelah 5 hari dan kembali normal pada hari ke-10 (Offner, 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma maka semakin buruk prognosis, dan berhubungan dengan tingginya mortalitas. Dari beberapa penelitian yang dilakukan review oleh Lamberts, dkk., (1997) mengatakan bahwa konsentrasi kortisol dalam plasma paling tinggi pada pasien dengan skor keparahan penyakit yang berat dan berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi, yaitu 30-260 µg/dl (828-7173 nmol/l). Penelitian lain yang dilakukan oleh Annane, dkk., (2000) menunjukkan bahwa kadar kortisol basal plasma yang berhubungan dengan kematian adalah yang melebihi 34 µgr/dl.

Dalam satu studi yang dilakukan oleh Dimopoulou, dkk., (2004) terhadap 37 penderita trauma kapitis sedang-berat bertujuan untuk mengetahui insiden dan tipe gangguan endokrin dan hubungannya dengan faktor-faktor predisposisi. Penilaian dilakukan terhadap fungsi- fungsi endokrin seperti kortisol, kortikotropin, dehydroepiandrosterone sulfate, tiroksin, Thyroid stimulating hormone (TSH), testoteron, estradiol, follicle stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone, prolaktin, dan

(25)

growth hormone. Didapatkan 54% penderita trauma kapitis mempunyai sekurangnya satu gangguan dari sistim aksis HPA.

Disfungsi aksis HPA dapat menimbulkan gejala klinis secara nyata pada setiap waktu setelah trauma. Namun gejala klinis ini sering terdeteksi pada fase rehabilitatif. Pada satu penelitian prospektif yang dilakukan terhadap 52 pasien trauma kapitis dengan penilaian terhadap fungsi pituitary 24 jam setelah masuk dan sesudah satu tahun. Secara keseluruhan pemulihan defisiensi hormon pituitary ditemukan dalam 30(57,7%) pasien sesudah satu tahun, dan defisiensi hormon pituitary yang baru, ditemukan dalam 27 pasien (51,9%) sesudah satu tahun (Tanriverdi, 2006).

Savaridas T (2003) melakukan penelitian perubahan kortisol yang mengikuti trauma kapitis akut berat terhadap 15 penderita didapatkan nilai total kortisol plasma sama dengan nilai normal, hanya ditemukan 2 pasien lebih tinggi dari nilai normal pada pengukuran pagi hari, 140-690 nmol/l, dan lima pasien pada pengukuran sore hari dengan rentang nilai lebih besar dari 80-330 nmol/l. Delapan pasien menunjukkan variasi diurnal dari plasma kortisol. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa total serum kortisol pada pasien trauma kapitis berat akut tidak dijumpai peninggian yang signifikan.

Pada satu studi prospektif tanpa kelompok pembanding yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk mengetahui gambaran kadar kortisol darah pada trauma kapitis sedang dan berat < 48 jam

(26)

pertama dan apakah terdapat hubungan kadar kortisol dalam darah dan nilai SKG dengan outcome hidup atau kematian sampai hari ke tiga pada penderita trauma kapitis sedang dan berat. Dari penelitian ini diperoleh rerata kadar kortisol darah 32,88 ± 10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17 ± 2,49. Terdapat hubungan yang bermakana antara kadar kortisol dengan nilai SKG, dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada outcome mati lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan outcome hidup yaitu 44,38 ± 8,87 µg/dl (p<0.05). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa outcome kematian pada penderita trauma kapitis menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang lebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan outcome hidup (Nurhayati, dkk., 2006).

Frekwensi dari disfungsi pituitary pada fase awal trauma kapitis belum sepenuhnya diketahui. Agha, dkk., (2004) melakukan suatu studi prospektif untuk mengevaluasi prevalensi dari disfungsi pituitary anterior- posterior pada fase akut yang menyertai trauma kapitis. Lima puluh satu penderita trauma kapitis sedang-berat (SKG 3-13), dan 31 kontrol.

Dibandingkan kontrol, nilai basal kortisoll secara signifikan lebih rendah pada penderita dengan respon normal kortisol (p<0,05), defisiensi growth hormone dan kortisol tidak berhubungan dengan usia pasien, body massa index, dan nilai SKG (p<0.05). Dari penelitian ini disimpulkan bahwa gangguan endokrin terjadi pada fase akut trauma kapitis dengan

(27)

frekwensi yang tinggi, dimana bisa memiliki dampak yang signifikan selama pemulihan dan rehabilitasi penderita.

Insufisiensi adrenal berdampak pada manajemen hemodinamik dari pasien-pasien trauma kapitis yang dirawat di intensive care unit. Sangat sedikit diketahui insiden dari insufisiensi adrenal pada 10 hari sesudah trauma kapitis. Dalam satu studi retrospektif terhadap 113 pasien trauma kapitis dalam 10 hari sesudah trauma, dilakukan test stimulasi kortikotropin dan dinilai kadar kortisol darah pada menit ke-0, 30, 60.

Insufisiensi adrenal ditegakkan melalui konsentrasi kortisol abnormal pada baseline dan respon abnormal terhadap tes stimulasi kortikotropin ditemukan dalam 13-28% dari pasien-pasien menurut cut off point yang digunakan. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa insiden insufisiensi adrenal bervariasi dari 25-100% dalam 10 hari pertama sesudah trauma kapitis (Bernard, 2006).

Chang (2001) melaporkan insufisiensi adrenal pada penyakit- penyakit kritis seperti sepsis dan miocard infarct, setelah dilakukan tes stimulasi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari 30 penderita yang diikutkan diperoleh 43% pasien dengan serum kortisol kurang dari 15 µgr/dl, sesuai dengan insufisiensi adrenal. Demikian juga Canon, dkk., (2006), melaporkan prevalensi dari low cortisol kurang dari 25 µgr/dl dalam 51-81%, dan puncaknya pada hari ke-4 dan ke-8.

Penelitian yang dilakukan terhadap aspek endokrin pada fase akut dari trauma kapitis masih sedikit. Kejadian dari post traumatic

(28)

hypopituitarism belakangan ini telah dipelajari dan bukti yang dilaporkan bahwa gangguan neuroendokrin pada fase akut trauma kapitis sedang- berat kemungkinan berlangsung sementara, dimana beberapa kelainan muncul selama fase rehabilitasi (Acerini, 2006).

Agha (2005) melakukan studi prospektif terhadap 50 pasien dewasa yang dirawat di ruang intensive care unit dengan tiga tahap penilaian yaitu pada fase akut, 6 bulan, dan 12 bulan. Disimpulkan bahwa disfungsi pituitary posterior sering mengikuti trauma kapitis.

Beberapa penulis melaporkan hubungan antara tingkat keparahan dari trauma kapitis dan respon aksis HPA pada penderita sesudah trauma kapitis yang dilakukan oleh Koiv, dkk., dan yang lain menyatakan bahwa ada hubungan antara nilai kortisol plasma dan outcome penderita yang diteliti oleh Woolf. Peneliti lain juga melaporkan peningkatan respon aksis HPA terhadap trauma ekstrakranial, hubungan antara tingkat keparahan trauma dan nilai kortisol plasma (cit. Grundy, 2001).

Depresi dapat menyebabkan terjadinya hiperaktivitas aksis HPA.

Akibat peningkatan aktivitas aksis HPA terjadilah kenaikan kadar glukokortikoid. Sekitar 20-40% pasien depresi rawat jalan menunjukkan adanya peningkatan sekresi kortisol, sedangkan pada pasien rawat inap peningkatan terjadi pada sekitar 40-60% pasien (Amir, 2006).

Dari hasil penelitian-penelitian yang disebutkan diatas diperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kadar kortisol setelah trauma kapitis, hubungannya dengan mortalitas, prognosis yang signifikan, meskipun ada

(29)

penelitian yang melaporkan bahwa kadar kortisol tidak signifikan mempengaruhi prognosis penderita. Di Indonesia penelitian kadar kortisol pada penderita trauma kapitis masih terbatas, sehingga dirasakan perlu untuk melakukan penelitian kadar kotisol pada penderita trauma kapitis sedang-berat yang dirawat di Departemen neurologi FK-USU/RSUP. Haji Adam Malik Medan dengan kelompok pembanding/non trauma kapitis.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat hubungan kadar kortisol dalam darah dan nilai SKG dengan outcome hari ke-3 pada penderita trauma kapitis sedang-berat.

2. Apakah ada perbedaan kadar kortisol darah penderita trauma kapitis sedang dan berat bila dibandingkan dengan kadar kortisol darah pada individu sehat yang sepadan umur dan jenis kelaminnya.

I.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

I.3.1. Tujuan Umum.

Untuk mengetahui hubungan kadar kortisol dalam darah dan nilai SKG dengan outcome hari ke-3 pada penderita trauma kapitis sedang-berat.

(30)

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1 Untuk mengetahui hubungan kadar kortisol dalam darah dan nilai SKG dengan outcome hari ke-3 pada penderita trauma kapitis sedang-berat di RSUP.H. Adam Malik Medan.

I.3.2.2. Untuk mengetahui perbedaan nilai kadar kortisol darah pada penderita trauma kapitis sedang-berat dibandingkan dengan non trauma kapitis yang sepadan usia dan jenis kelaminnya.

I.4. Hipotesis

I.4.1. Ada hubungan antara kadar kortisol darah dan nilai SKG penderita trauma kapitis sedang-berat dengan outcome hari ke-3.

I.4.2. Ada perbedaan kadar kortisol darah penderita trauma kapitis sedang-berat dengan individu yang sehat.

I.5. Manfaat Penelitian

I.5.1. Dalam kaitannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan

Dengan mengetahui nilai kemaknaan kadar kortisol darah dan SKG penderita trauma kapitis diharapkan memahami hubungan kadar kortisol darah dan SKG dengan trauma kapitis sebagai prediktor prognosis.

(31)

I.5.2. Untuk masyarakyat

Dengan mengetahui kadar kortisol darah dan nilai SKG penderita dapat dijelaskan pada keluarga tentang prognosis trauma kapitis yang diderita.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

II.2. Epidemiologi

Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden dari trauma kapitis sekitar 180- 250/100.000 populasi per tahun di Amerika serikat. Insiden lebih tinggi di Eropa dari 91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546 /100.000 di Swedia, di Southern Australia 322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli, 2005).

Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat inap neurologi RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan.

Pada tahun 1994 jumlah penderita dirawat 1002 orang (Musridharta, 2006).

Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun atau 75 tahun atau lebih. Angka insiden untuk pria dua

(33)

kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2:1 sampai 4,4:1 dalam populasi yang berbeda (Bondanelli, 2005).

II.3. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi untuk trauma kapitis sering dilaporkan dalam berbagai literatur. Skala Koma Glasgow adalah klasifikasi klinis yang luas digunakan untuk mengetahui derajat beratnya trauma kapitis. Skala Koma Glasgow ini didasarkan pada respon pasien (membuka mata, fungsi verbal dan motorik) terhadap berbagai stimulus (Bondanelli, 2005).

Tabel-1 Derajat Kesadaran Berdasarkan Skala Koma Glasgow

Kategori SKG Gambaran Klinik CT Scan

Otak Minimal 15 Pingsan (-), defisit neurologi (-) Normal Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit,

defisit neurologi (-)

Normal Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6 jam

defisit neurologi (+)

Abnormal Berat 3-8 Pingsan > 6 jam

defisit neurologi (+)

Abnormal

Catatan : Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat.

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

Beratnya trauma kapitis secara klinis juga di defenisikan dengan lamanya kehilangan kesadaran, kehilangan memori segera sesudah

(34)

kejadian, atau sesudah cedera (post traumatic amnesia) dan identifikasi lesi intrakranial (Bondanelli, 2005).

Tabel-2. Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan patologi dan lokasi lesi 1. Patologi :

1.1. Komosio serebri 1.2. Kontusio serebri 1.3. Laserasio serebri 2. Lokasi lesi

2.1. Lesi diffus

2.2. Lesi kerusakan vaskuler otak 2.3. Lesi fokal

2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri 2.3.2. Hematoma intrakranial

2.3.2.1. Hematoma ekstradural (hematoma epidural) 2.3.2.2. Hematoma subdural

2.3.2.3. Hematoma intraparenkhimal 2.3.2.3.1. Hematoma subarakhnoid 2.3.2.3.2. Hematoma intraserebral 2.3.2.3.3. Hematoma intraserebellar

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

(35)

Tabel-3 Skala Koma Glasgow

NILAI

Buka Mata Spontan 4

Dengan perintah verbal 3

Dengan nyeri 2

Tidak ada respon 1

Respon Verbal Orientasi baik dan berbicara 5 Diorientasi dan berbicara 4 Kata-kata yang tidak tepat;menangis 3

Suara yang tidak berarti 2

Tak ada respon 1

Respon Motorik Menurut perintah 6

Dapat melokalisasi nyeri 5

Fleksi terhadap nyeri 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ekstensi (desereberasi) 2

Tidak ada respon 1

Dikutip dari : Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI. 2006. Jakarta

II.4. Patofisiologi Trauma kapitis

Kerusakan serebral dihasilkan dari trauma yang dikelompokkan kedalam trauma kepala primer dan sekunder. Cedera primer disebabkan disrupsi mekanik dari jaringan otak yang terjadi pada saat trauma atau awal trauma. Cedera sekunder berkembang dalam beberapa jam atau hari yang mengikuti kerusakan awal dan bisa berlanjut dengan kerusakan dan memperburuk outcome neurologis. Kenyataannya, sebagai hasil dari trauma kapitis, edema serebri dan gangguan sirkulatori, dan hipoksia menyebabkan peninggian tekanan intrakranial dihasilkan

(36)

bebas, asam amino dan nitric oxide) dan asam amino eksitatori (seperti N-methyl-D-aspartate) muncul sebagai dampak dari perkembangan trauma kapitis sekunder. Sitokin terutama interleukin-6 dimana menstimulasi sekresi vasopressin, bisa juga terlibat dalam patogenesis dari sekresi syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) sesudah trauma kapitis (Bondanelli, 2005;Marik, 2002).

Sebagaimana diketahui cedera primer tidak bisa dicegah, manajemen pengobatan secara langsung ditujukan terhadap mekanisme cedera sekunder yang ditujukan untuk perbaikan outcome. Baik cedera primer maupun sekunder bisa terjadi fokal atau diffus. Cedera fokal cenderung disebabkan oleh contact forces, sedangkan cedera diffus lebih sering disebabkan non contac, acceleration-deceleratio bisa menyebabkan kerusakan akson, dengan disrupsi dari white matter dan kerusakan yang luas, kebanyakan adalah vasogenik (Gilroy, 2000).

Kerusakan lebih sering terjadi pada struktur midline shift dari otak dan bisa muncul dalam mekanisme disfungsi hypothalamus-pituitary pada trauma kapitis (Bondanelli, 2005)

Fraktur tengkorak yang terjadi pada trauma kapitis kemungkinan dihubungkan dengan hematoma, gangguan saraf kranial, dan cedera otak berat. Fraktur dasar tengkorak pada trauma kapitis kemungkinan dihubungkan dengan cedera mekanis secara langsung terhadap kelenjar pituitary, stalk atau hipotalamus (Bondanelli, 2005).

(37)

II.5. Aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal pada Penyakit Akut

Kortisol adalah kortikosteroid utama yang disekresi dari korteks adrenal pada manusia. Pada seorang yang sehat, orang yang tidak stress, kortisol disekresi menurut gambaran diurnal dibawah pengaruh pelepasan kortikotropin dari kelenjar pituitary. Sekresi kortikotropin, dalam gilirannya dibawah pengaruh CRH dari hipotalamus (gambar-1A), dan kedua hormon ini adalah menjadi sasaran terhadap kontrol feedback negatif oleh kortisol. Sirkulasi kortisol berikatan terhadap corticosteroid- binding globulin, dimana dalam bentuk bebas ditemukan kurang dari 10%.

Pada infeksi berat, trauma, luka bakar, keadaan sakit, atau tindakan operasi, dijumpai peningkatan produksi kortisol sebanyak enam kali dibanding nilai normal (gambar-1B). Variasi diurnal dalam sekresi kortisol juga menghilang. Efek ini menyebabkan ditingkatkannya produksi dari corticotropin-releasing hormone dan kortikotropin dan pengurangan dalam feed back negatif dari kortisol (Cooper dan Stewart, 2003).

Selama dalam keadaan sakit berat, banyak faktor yang bisa mengganggu respon kortikosteroid normal (gambar-1C). Faktor-faktor ini meliputi kondisi yang ada sebelumnya mempengaruhi aksis HPA, tetapi insufisiensi kortikosteroid bisa juga terjadi selama perjalanan keadaan sakit akut. Respon yang melibatkan corticotropin releasing hormone dan corticotropin bisa diganggu oleh keadaan-keadaan seperti trauma kepala, penekanan terhadap sistim saraf pusat, atau infark pituitary. Sintesis kortisol adrenal bisa terganggu oleh mekanisme yang multipel.

(38)

Perdarahan adrenal bisa terjadi pada pasien-pasien yang sakit, khususnya mereka dengan septikemia dan koagulopati, dan insufisiensi bisa timbul saat terjadinya perluasan dari jaringan adrenal yang rusak oleh tumor atau infeksi. Kadar zat inflamatori sitokin yang tinggi pada pasien-pasien dengan sepsis bisa juga secara langsung menghambat sintesis kortisol adrenal (Cooper dan Stewart, 2003).

Sitokin mempunyai peranan fisiologis sebagai regulator aktivitas sekresi aksis HPA dan sitokin juga menghasilkan berbagai respon fase akut yang dapat menstimulasi aksis HPA. Diketahui bahwa sel saraf otak yang cedera dapat mensintesa dan mensekresikan sitokin pro inflamasi yang menjadi mediator kerusakan neuronal difus setelah trauma kepala.

Diantara sitokin yang paling berperan terhadap kerusakan adalah tumor necroting factor (TNF) dan Interleukin (IL). Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan IL-1 dan IL-6 pada cairan serebrospinal pasien cedera kranial (Graham dan Mcitosh, 1996 ; Stewart, 2003). Penelitian eksperimental trauma mekanik pada hewan coba menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 dan IL-6 (Turana, 2004).

Hipotalamus hanya mempunyai berat sekitar 4 gram atau 0,5%

dari berat otak keseluruhan namun merupakan bagian sangat penting dari otak yang merupakan struktur kompleks yang terdiri dari 12 nukleus.

(Turana, 2004). Hipotalamus mempunyai koneksi ke seluruh bagian lain susunan saraf pusat dan kontrol neurohormonal hipofisis yang

(39)

menghasilkan kontrol ketat regulasi homeostatis hormonal (Guyton dan Hall, 2005). Sedangkan hipofisis berbentuk kantong kecil dari permukaan ventral diensefalon yang terlindungi disella tursika merupakan bagian dari tulang sphenoid, namun tangkai hipofisis yang secara struktural maupun fungsional menghubungkan hipofisis dengan hipotalamus sangat rentan terhadap efek trauma kepala berat, khususnya pada pasien dengan fraktur basis kranii dengan keterlibatan saraf kranialis, trauma kraniofasial, dan paska henti jantung (Klein, 2006).

Koordinasi aksi hipotalamus dan hipofisis mempengaruhi suhu tubuh, regulasi cairan dan makanan, pertumbuhan, metabolisme, fungsi kardiovaskuler dan perilaku produktif (Turana, 2004).

Respon otonom, endokrin dan perilaku yang mengatur suhu tubuh dimediasi oleh bagian anterior dan posterior hipotalamus (Turana, 2004).

(40)

Gambar-1 Aktivitas Aksis HPA, Normal (A), Respon Stress (B), Penyakit Akut (C)

Dikutipbdari : Cooper,M.S., Stewart, P.M. 2003. Corticosteroid Insufficiency acutely ill patients.N.Engl J Med.348:727-734.

II.6. Disfungsi Aksis HPA pada Trauma kapitis

Trauma kapitis merupakan stress fisiologis dan mengakibatkan peningkatan pelepasan adrenocoticotropic hormone (ACTH) yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kortisol (Mcitosh, 1999 ; Cooper dan Stewart, 2003). Kebanyakan pasien trauma kepala berat mempunyai irama sirkardian ACTH abnormal dan mekanisme umpan balik kortisol

(41)

terhadap ACTH berkurang dan menghilang. Dengan hasil akhir peningkatan kadar kortisol yang mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif (Cooper dan Stewart, 2003 ; Kauffman dan Timberlake, 1994).

Pada trauma kapitis sedang dan berat dapat terjadi stimulasi aksis HPA akibat benturan langsung pada hipotalamus atau dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat edema vasospasme atau ruptur sawar darah otak, sehingga terjadi kebocoran komponen serum dan sel darah kedalam parenkim jaringan otak yang mengakibatkan timbulnya kaskade molekuler sehingga terjadi aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi antara lain sitokin, radikal oksigen dan nitrit oxide. Peningkatan sitokin juga dapat menyebabkan stimulasi aksis HPA yang berakibat produksi CRH dan ACTH berlebihan dan akhirnya memacu pelepasan hormon kortisol yang dihasilkan oleh korteks kelenjar adrenal. Peningkatan kadar kortisol pada trauma kapitis merupakan respon protektif yang penting dan keadaan ini berhubungan dengan beratnya keadaan penyakit (Nurhayati, 2006).

Pola abnormalitas disfungsi aksis HPA pada trauma kapitis berat bervariasi tergantung lokasi lesi di hipotalamus, hipofisis anterior atau posterior, bagian atas atau bawah dari tangkai hipofisis(Yuan dan Wade, 1991). Lesi yang dominan pada hipotalamus dapat mengakibatkan dissosisasi ACTH-kortisol dengan tidak respon terhadap insulin, hipotiroksinemia, dengan TSH yang masih berespon terhadap TRH, kadar gonadrotropin yang rendah masih berespon terhadap Gonadrotropin

(42)

releasing hormone, kadar Growth hormone bervariasi, hiperprolaktinemia, SIADH, diabetes insipidus temporer atau permanen, gangguan metabolisme glukosa dan hilangnya kontrol suhu tubuh. Kerusakan berat pada bagian bawah tangkai hipofisis atau lobus anterior dapat menyebabkan kadar basal yang rendah dari hormon-hormon hipofisis anterior dan respon terbatas terhadap hormon-hormon hipotalamus.

Trauma ruptur pada tangkai hipofisis dapat mengakibatkan infark lobus anterior karena adanya gangguan aliran darah portal antara hipotalamus dan hipofisis anterior (Klein, 2006).

Gejala klinik adanya insufisiensi aksis HPA seringkali tidak spesifik, hal ini dikarenakan fungsi aksis HPA yang kompleks mempengaruhi seluruh organ tubuh. Hal ini mungkin yang menyebabkan jarangnya disfungsi aksis HPA terdiagnosa pada fase akut (Benvenga dan Ruggeri, 2000). Gambaran klinis insufisiensi aksis HPA seperti krisis Addisonian dengan gejala-gejala: mual, muntah, diare, nyeri abdominal dan delirium sering kali timbul karena sebab lain pada penderita trauma kapitis berat.

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan inadekuat fungsi adrenal, hipoglikemia, hiponatremia dan hiperkalemia dapat terjadi namun dapat tertutup oleh pemberian cairan dan elektrolit. Hipotensi yang refrakter terhadap pemberian cairan dan membutuhkan vasopressor menunjukkan adanya insufisiensi adrenal pada trauma kapitis berat (Cooper dan Stewart, 2003). Disisi lain, kadar kortisol pada pasien sakit

(43)

berat sangat sulit dinilai batasan normalnya karena dapat berfluktuasi lebar tergantung pada tipe dan beratnya penyakit (Singhi, 2002).

Disfungsi aksis HPA dapat menimbulkan gejala klinis secara nyata pada setiap waktu setelah trauma. Namun gejala klinis ini sering terdeteksi pada fase rehabilitatif. Salah satu gangguan tersebut adalah yang disebut dengan post head trauma hypopituitarism (PHTH) (Benvenga dan Ruggeri, 2000).

II.7. Kortisol

Kortisol memegang peranan penting untuk metabolisme karbohidrat, protein dan untuk mengontrol sistim imunitas (Oelkers, 1996).

Kortisol adalah hormon steroid natural yang dihasilkan oleh korteks kelenjar adrenal (Sahelian, 2005). Kortisol merupakan hormon stress (kortikosteroid) yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (Ponsford, 2002). Dari korteks adrenal dapat dikenali lebih dari 30 jenis steroid, namun hanya dua jenis yang berguna untuk fungsi endokrin manusia:

aldosteron yang merupakan mineralokortikoid yang utama, dan kortisol yang merupakan glukokortikoid utama (Guyton dan Hall, 2005). Kortisol dan beberapa glukokortikoid lainnya disekresikan oleh zona fasikulata, yakni lapisan tengah, dan zona retikularis yang merupakan lapisan terdalam (Guyton dan Hall, 2005 ; Ganong, 2003 ; McPhee, 2006).

(44)

Aktivitas glukokortikoid dari kortisol terutama disebabkan oleh adanya keto-oksigen pada karbon nomor 3 dan hidroksilasi pada karbon nomor 11 dan 21. (gambar-2).

Gambar-2 Rumus kimia aldosteron-kortisol

Dikutip dari : Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2005. Textbook of Medical Physiology. 10th

Hampir semua jenis stres, apakah bersifat fisik atau neurogenik akan menyebabkan peningkatan sekresi ACTH dengan segera dan

ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia.

Kortisol dalam darah terutama berikatan dengan globulin dan disebut kortisol-terikat globulin atau transkortin, dan dalam jumlah yang lebih kecil berikatan dengan albumin. Secara normal kira-kira 94%

diangkut dalam bentuk terikat dan kira-kira 6% dalam bentuk bebas (Rai, dkk., 2004 ; McPhee, 2006 ; Amir, 2006).

II.7.1. Fungsi Kortisol pada Stres dan Peradangan

(45)

bermakna oleh kelenjar hipofisis anterior. Beberapa jenis stress yang meningkatkan pelepasan kortisol adalah sebagai berikut : hampir semua jenis trauma, infeksi, kepanasan atau kedinginan yang hebat, penyuntikan norepinefrin obat-obat simpatomimetik lainnya, penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis dibawah kulit, mengekang seekor binatang sehingga tak dapat bergerak, hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan (Guyton dan Hall, 2005).

Bila ada banyak kortisol yang disekresikan, maka kortisol mempunyai dua efek dasar anti-inflamasi : (1) kortisol dapat menghambat tahap awal dari proses inflamasi bahkan sebelum inflamasi itu sendiri mulai terjadi, dan (2) bila proses inflamasi sudah dimulai, proses ini akan menyebabkan resolusi inflamasi yang cepat dan meningkatkan kecepatan penyembuhan (Guyton dan Hall, 2005). Nilai kortisol yang tinggi selama periode waktu yang lama bisa meningkatkan resiko infeksi, peninggian tekanan darah, ulkus peptikum, diabetes melitus, osteoporosis, dan depresi (Sahelian, 2005).

II.7.2. Pengaturan Sekresi Kortisol Hormon Adrenokortikotropik dari Kelenjar Hipofisis

Sekresi kortisol terjadi dibawah kontrol dari aksis HPA. Ada berbagai macam stimulus dalam terjadinya pelepasan ini antara lain:

stress, kerusakan jaringan, pelepasan sitokin, hipoksia, hipotensi, dan hipoglikemia. Faktor-faktor ini bekerja pada hipotalamus dengan

(46)

pelepasan CRH dan vasopressin (Rai, ddk., 2004). Sekresi kortisol hampir seluruhnya diatur oleh ACTH yang disekresi kelenjar hipofisis anterior.

Hormon ini, yang disebut sebagai kortikotropin atau adrenokortikotropin, juga meningkatkan produksi androgen adrenal (Guyton dan Hall, 2005).

Hormon hipofisis yang lain diatur oleh hormon pelepas atau faktor- faktor dari hipotalamus, demikian juga dengan sekresi ACTH, diatur oleh faktor pelepas penting yang sama. Faktor pelepas ini disebut faktor pelepas kortikotropin (CRF). Faktor pelepas kortikotropin disekresikan kedalam pleksus kapiler utama dari sistim portal hipofisis dipuncak median hipotalamus dan kemudian dibawa ke kelenjar hipofisis anterior, dimana faktor pelepas kortikotropin akan merangsang sekresi ACTH. Badan sel neuron yang terutama mensekresi CRF terutama terletak di nukleus paraventrikuler hipotalamus. Nukleus ini selanjutnya menerima banyak hubungan saraf dari sistim limbik dan batang otak bagian bawah (Guyton dan Hall, 2005).

Bila tidak ada CRF, maka kelenjar hipofisis anterior hanya dapat mensekresi sedikit ACTH. Sebaliknya, sebagian besar kondisi yang menyebabkan tingginya kecepatan sekresi ACTH, mengawali sekresi ini melalui sinyal yang dimulai didaerah basal otak termasuk hipotalamus, dan kemudian dihantarkan oleh CRF ke kelenjar hipotalamus anterior (Guyton dan Hall, 2005).

Langkah yang paling penting dari ACTH yang sudah dirangsang dalam mengatur sekresi adrenokortikal adalah mengaktifkan enzim protein

(47)

kinase yang menyebabkan perubahan awal dari kolesterol menjadi pregnolon. Rangsangan sakit yang disebabkan oleh jenis stres fisik apapun atau kerusakan jaringan pertama dihantarkan ke atas melalui batang otak dan akhirnya ke puncak median hipotalamus, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 3. Disini CRF disekresikan kedalam sistim portal hipofisis. Dalam beberapa menit seluruh rangkaian pengaturan mengarah kepada sejumlah besar kortisol di dalam darah. Stress mental dapat juga menyebabkan peningkatan sekresi ACTH. Keadaan ini dianggap sebagai akibat dari naiknya aktivitas dalam sistim limbik, khususnya dalam regio amigdala dan hipokampus, yang keduanya kemudian menjalarkan sinyal ke bagian posterior medial hipotalamus.

(Guyton dan Hall, 2005). Pada keadaan depresi terjadi peningkatan aktivitas HPA yang ditandai dengan pelepasan CRH dari hipotalamus.

Akibatnya terjadi peningkatan rangsangan terhadap hipofisis anterior untuk mensekresikan ACTH. Pada pasien depresi terjadi peningkatan kadar kortisol terutama pada malam hari atau sore sedangkan pada orang normal tidak terjadi peningkatan pada waktu tersebut (Amir, 2006).

Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif langsung terhadap (1) hipotalamus untuk menurunkan pembentukan CRF dan (2) kelenjar hipofisis anterior untuk menurunkan pembentukan ACTH. Kedua umpan balik ini membantu mengatur konsentrasi kortisol dalam plasma. Jadi, bila konsentrasi menjadi sangat tinggi, maka umpan balik ini secara otomatis

(48)

akan mengurangi jumlah ACTH sehingga kembali lagi ke nilai normalnya (Guyton dan Hall, 2005).

Kecepatan sekresi CRH, ACTH, dan kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari, tetapi rendah pada akhir sore hari, seperti yang digambarkan dalam gambar 4. Kadar kortisol plasma berkisar antara kadar paling tinggi kira-kira 20 µg/dl satu jam sebelum matahari terbit di pagi hari dan paling rendah kira-kira 5 µg/dl sekitar tengah malam (McPhee SJ, 2006). Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam, yang menimbulkan sekresi kortisol (Guyton dan Hall, 2005).

Gambar-3. Mekanisme pengaturan sekresi glukokortikoid

Dikutip dari : Guyton, A.C., Hall, J. Physiology. 10th ed. W.B. Saunders Company.

Philadelphia.

(49)

II.7.3. Pemeriksaan Kadar Kortisol

Pemeriksaan kortisol dilakukan untuk mengukur nilai hormon kortisol dalam darah, dimana bisa dideteksi terhadap adanya permasalahan dengan kelenjar adrenal atau kelenjar pituitary (Nissl, 2004

; Sahelian, 2005).

Metode pemeriksaan yang umum dilakukan adalah radioimmunoassay dan high-performance liquid chromatography. Nilai normal plasma kortisol berbeda-beda tergantung pada metode yang digunakan. Dengan metode radioimmunoassays nilai pada jam 08.00 pagi 3-20 µg/dl (80-550 nmol/l) dan rata-rata 10-12 µg/dl (275,9-331,1 nmol/l).

Sekresi kortisol plasma meningkat selama kejadian penyakit-penyakit akut, selama operasi, dan setelah trauma. Konsentrasi kortisol plasma bisa mencapai 40-60 µg/dl (1100-1655 nmol/l). Kadar kortisol plasma juga meningkat pada keadaan-keadaan dimana kadar estrogen meningkat seperti pada keadaan-keadaan: kehamilan, pemakaian estrogen atau kontrasepsi oral. Pada keadaan-keadaan ini nilai kortisol plasma meningkat 2-3 kali normal. Total plasma kortisol juga dipengaruhi keadaan-keadaan lain seperti ansietas, depresi, starvantion, anorexia nervosa, alkoholism, dan gagal ginjal kronis (Aron, 2004).

Sedangkan menurut Nissl (2004) nilai normal : (1) Darah (pagi hari) : 5-25 µg/dl, Darah (sore hari) : 3-16 µg/dl, dan urin kurang dari 50 µg/dl 24 jam sampel.

(50)

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil dan akurasi dari pemeriksaan kortisol adalah : Stres fisik atau emosional, kehamilan (bisa meningkatkan sedikit kadar kortisol urin dan darah), hipoglikemia, makan dan minum atau exercise berlebihan sebelum tes, obat-obatan seperti oral kontrasepsi, spironolakton (aldactone), fenitoin, hidrokortison, prednison, dan quinacrine (Nissl, 2004).

Gambar-4. Fluktuasi Kadar ACTH dan Glukokortikoid di dalam Darah

Dikutip dari : Mc Phee, S.J. 2006. Disorders of the Adrenal Cortex. In: McPhee SJ, Ganong WF (ed). Pathophysiology of Disease.pp.589-623. Lange Medical Books/McGraw-Hill. New York

(51)

II. 8. Kerangka Konsepsional

Cedera primer Cedera Sekunder

Mediator  Sitokin (IL-1, IL-6), nitric oxide,

N-methyl-D-aspartate Cedera kelenjar

pituitary, hipotalamus

Aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal

Peningkatan kadar kortisol plasma Irama sirkardian ACTH abnormal,

umpan balik kortisol (-)

Bondanelli, 2005

- Kauffman, 1994 - Cooper, 2003 - Klein, 2006

- Tingkat keparahan trauma - Skala Koma Glasgow

- Lambert, 1997 - Annane, 2000 - Nurhayati, 2006 - Offner, 2002 - Agha, 2004

Outcome

Cedera Kranioserebral

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN III.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi yang dirawat di Ruang rawat inap RA4, ICU, VIP A, VIP B dan di Poliklinik Kesehatan RSUP Haji Adam Malik Medan mulai tanggal 17 Januari 2007 sampai dengan 17 Mei 2007 atau sampai jumlah sampel tercapai.

III.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat di Departemen Neurologi yaitu di RA 4, ICU, VIP A, VIP B, dan untuk kelompok pembanding diambil dari orang yang dinyatakan sehat saat pemeriksaan di Poliklinik kesehatan. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.

Populasi sasaran

Semua penderita trauma kapitis sedang-berat yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, SKG, dan Head CT Scan.

Populasi terjangkau

Semua penderita trauma kapitis sedang-berat yang sesuai dengan kriteria inklusi yang dirawat di Departemen Neurologi RSUP. Haji Adam Malik Medan.

(53)

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penderita trauma kapitis Kriteria inklusi :

1. Pria dan wanita berusia 15-55 tahun, onset < 48 jam 2. Penderita trauma kapitis sedang-berat

3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian Kriteria eksklusi :

1. Penderita dengan trauma abdomen, trauma medula spinalis, cedera thoraks.

2. Penderita trauma kapitis yang tidak dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT-Scan otak.

3. Penderita dengan riwayat menderita stress-depresi 4. Penderita dengan pemeriksaan klinis ditemukan infeksi.

5. Penderita dengan riwayat penggunaan obat-obatan pil kontrasepsi, spironolaktone (aldactone), fenitoin, prednison dan quinacrine.

6. Penderita dengan kehamilan

7. Individu dengan pemeriksaan body mass index menderita obesitas 8. Individu dengan pemeriksaan laboratorium menderita hipoglikemia

Non Trauma kapitis Kriteria inklusi :

1. Individu yang sepada usia dan jenis kelaminnya dengan kasus.

2. Individu sehat melalui pemeriksaan fisik, neurologis, laboratorium.

(54)

3. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian

Kriteria eksklusi :

1. Individu dengan pemeriksaan klinis ternyata menderita stress- depresi.

2. Individu dengan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kadar kortisol dalam darah seperti : pil kontrasepsi, spironolaktone (aldactone), fenitoin, prednison dan quinacrine.

3. Individu dengan kehamilan

4. Penderita dengan pemeriksaan klinis ditemukan infeksi.

5. Individu dengan pemeriksaan body mass index menderita obesitas 6. Individu dengan pemeriksaan laboratorium menderita hipoglikemia

Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Madiyono, dkk.,1995) : n = (zα + zβ)xSd

d = Selisih rerata kedua kelompok yang bermakna = 6 n =

2

d

zα = nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan =1,96 zβ = nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah ditentukan = 0,842 Sd= Standard deviasi ( dari kepustakaan)  10,16 (Nurhayati, 2006)

1,96 + 0,842)x10,16 2 6 n = 22,51 ≈ 23

(55)

Jumlah sampel minimal 23 untuk masing-masing kelompok penderita trauma kapitis dan individu non trauma kapitis.

III.3. Batasan Operasional Penelitian

1. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

2. Skala Koma Glasgow adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis semikuantitatif dari tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata dan respon verbal dan motorik penderita (Mayer dan Rowland, 2000).

3. Trauma kapitis sedang adalah trauma kapitis dengan nilai SKG 9- 12, pingsan > 10 menit sampai dengan 6 jam, defisit neurologis (+), dan hasil Head CT Scan abnormal (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

4. Trauma kapitis berat adalah trauma kapitis dengan nilai SKG 3-8, pingsan > 6 jam, defisit nerologis (+), dan hasil Head CT Scan abnormal (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

(56)

5. Trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal PERDOSSI, 2006).

6. Trauma abdomen adalah trauma fisik terhadap bagian organ tubuh (abdomen) yang disebabkan oleh mekanisme primer yaitu kompresi dan deselerasi. Kompresi biasanya dihasilkan pukulan langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang difiksasi.

Deselerasi disebabkan stretching dan linier shearing antara obyek bebas dan yang difiksasi (Salomonea, 2006). Pada penelitian ini diagnosa trauma abdomen ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, fisik, penunjang diagnostik oleh seorang dokter bedah.

7. Trauma thoraks adalah trauma pada thoraks baik itu trauma tumpul (dada masih intak) maupun trauma tembus (terganggunya integritas dinding dada) yang menimbulkan simtom dan tanda klinis nyeri dada, sesak, tanda-tanda fraktur tulang-tulang dada, pneumothoraks, hemothoraks dan tanda klinis lainnya (Khan, 2005). Pada penelitian ini diagnosa trauma abdomen ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, fisik, penunjang diagnostik oleh seorang dokter bedah

8. Infeksi adalah masuknya kuman mikroorganisme patogen seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit dan mereka memperbanyak diri di

(57)

dalam jaringan yang mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan simtom dan gejala klinis (Infectious diseases Society of America, 2003). Pada penelitian ini infeksi ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, klinis, dan penunjang diagnostik, serta hasil konsultasi dengan displin ilmu terkait.

9. Kehamilan ditegakkan berdasarkan anamnese, pemeriksaan fisik, klinis, penunjang diagnostik dan hasil konsultasi dengan seorang ahli kebidanan dan kandungan.

10. Obesitas adalah orang-orang dengan nilai body massa index (BMI)

> 30 kg/m2. Nilai BMI diperoleh dengan cara membagi berat-badan (Kg) dengan tinggi badan (m2

11. Kadar kortisol adalah nilai hormon kortisol yang diperoleh dengan pemeriksaan darah dengan rentang nilai pada pagi hari (jam 08.00) sebesar 9-24 µg/dl atau sore hari 3-12 µg/dl (Sacher dan McPherson, 2002).

) (Bray, 2002)

12. Stress adalah adaptasi spesifik dan reaksi pertahanan fisiologis terhadap stimuli fisik, psikis (Wacognec, 2003).

13. Depresi adalah hilangnya energi dan ketertarikan, perasaan bersalah, susah berkonsentrasi, hilang selera makan dan berpikir untuk mati atau bunuh diri (Kaplan, 1998).

14. Hipoglikemia adalah nilai glukosa plasma yang diperiksa berdasarkan hasil laboratorium sebesar < 2,5-2,8 mmol/L(< 45-50 mg/dl) (Bray, 2002)

(58)

15. Penilaian gambaran Head CT Scan otak dikelompokkan menjadi (Wardlaw dkk., 2002) sebagai berikut :

- Normal

- Mild focal injury (misalnya dijumpai adanya kontusio kecil pada hanya satu area di otak).

- Medium focal injury (dijumpai beberapa kontusio pada 1 atau 2 area yang berdekatan di otak atau di jumpai subdural hematoma epidural hematoma kecil.

- Mild/moderate diffuse (beberapa kontusio kecil atau hematoma tapi tidak pada daaerah yang berdekatan, tapi sebagian besar otak kelihatannya normal.

- Massive focal injury (epidural/subdural hematoma besar atau kontusio berat atau parenchymal hematomas)

- Massive diffuse injury (dijumpai edema otak menyeluruh atau banyak kontusio dibeberapa area)

16. Pembanding adalah individu yang dinyatakan sehat dalam pemeriksaan kesehatan di Poliklinik kesehatan RSUP.

Haji Adam Malik Medan dan memenuhi kriteria inklusi/eksklusi.

17. Instrumen

Pemeriksaan kadar kortisol darah pada penderita trauma kapitis dan pembanding dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP.

Haji Adam Malik Medan dengan alat analyzer Elecsys 2010 Roche Diagnostics GmbH : Elecsys® 2010 Germany Produksi tahun 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Gizi buruk masih merupakan mas-alah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya.Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U &lt;-3

Ket: Apabila ruangan pada formulir tidak cukup, agar ditulis pada lampiran tersendiri dengan ditandatangani Direktur Utama/Penanggung Jawab dan stempel perusahaan. Jumlah

The HMAX based methods mainly make best of Gabor filters for feature extraction, while Gabor filters could not get enough local details that represent the distinct features

Pada tampilan Halaman Hasil Perhitungan dan Saran Menu Makanan, User memilih pasien yang telah di- input. Pada halaman ini, setelah User memilih pasien yang telah

Izin Usaha Angkutan Laut Pelayaran Rakyat bagi badan usaha yang berdomisili dan yang beroperasi pada lintas pelabuhan antar Daerah kabupaten/kota dalam Daerah

STUDI TENTANG PERAN KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA (KAMMI) DALAM MEREVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Analisi Pengaruh Faktor-Faktor Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan Jasa Transportasi Kereta Api (Studi Kasus Pada PT Kereta Api Indonesia DAOP IV