• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba

Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan

(Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH:

HERNITA LUMBAN GAOL

050901027

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu

Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

lmu Sosisl Dan Ilmu Politik

Sumatera Utara

(2)

ABSTRAKSI

Perubahan yang terjadi dalam aspek budaya mencakup perubahan struktur dan proses yang ada dalam kebudayaan. Demikian juga halnya dengan perubahan dalam aspek sosial. Perubahan yang terjadi dalam aspek sosial mencakup perubahan struktur dan proses sosial. Pertumbumbuhan dan perkembangan tersebut membawa suatu pola dan nilai baru bagi masyarakat tertentu. Perubahan tersebut dengan sendirinya mempengaruhi masyarakat untuk memilih tindakan yang akan dilakukanya, dan perubahan tersebut senantiasa melekat pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa diliputi perubahan, dan perubahan selalu ada dalam suatu masyarakat. Ini merupakan ciri dinamis dari masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif ,yang berusaha untuk mengambarkan, meringkas, berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner, dokumenter dan analisis data. Melalui deskriptif dengan panduan teori perubahan. Penelitian ini dilakukan terhadap 200 orang responden dimana 100 orang responden berasal dari kecamtan Pollung dan 100 orang responden berasal dari Medan perjuangan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba.

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati saya mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab kasihNya yang begitu besar pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “ KOMPARATIF NILAI SOSIAL BUDAYA PERKAWINAN BATAK TOBA PADA PENDUDUK ASAL DENGAN PERANTAUAN”.

Dalam penulisan skrispsi ini banyak hikmat yang penulis terima, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran dan penyerahan diri terhadap Tuhan. Disiplin dan kesabaran untuk memahami orang lain, kemampuan berpikir dan daya nalar khususnya dalam penyelesaian skrispsi ini, semua ini merupakan pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik USU Medan beserta seluruh staf pegawai.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi FISIP USU Medan.

(4)

4. Bapak, Ibu Dosen yang ada di FISIP USU khususnya dosen saya yang mengajarkan mata kuliah di Departemen Sosiologi, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

5. Bapak Mangabing Tua Sinaga Selaku Kepala Desa Hutajulu dan Bapak Syafruddin Harahap S.SOS selaku Camat Medan Perjuangan Beserta para staf pegawai dan juga semua informan, yang telah banyak memberi saya bantuan data selama penelitian.

6. Orang tua saya N. Lumban Gaol dan E. Lumban Batu yang telah banyak memberikan dukungan pengertian, dorongan yang tak henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan pengorbanan yang tidak ternilai selama ini kepada penulis. Semoga Tuhan memberikan limpahan Rahmat-Nya dan berkat-Nya kepada orang tua saya.

7. Kakak saya M. Lumban Gaol & J. Banjar Nahor, yang memberikan banyak dorongan kepada saya dan adek saya Abidin, Polber, Natalia, Normauli terimakasih atas doa dan dukungannya.

8. Keluarga besar saya Uda, Inanguda, Tulang, Nantulang Namboru, serta saudara-saudara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih telah banyak memberikan dorongan serta motivasi kepada saya selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Abang saya Jaipar Sihombing terimakasih atas dukungan serta motivasi yang selama ini diberikan terhadap saya.

(5)

11.Teman-teman terdekat saya, Vera, Sari, Helna, Yeni, Iren, Edu, Roy, Beny, Renty, Twince dan seluruh stambuk 2005 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu terimakasih atas motivasinya, dan juga buat Okto, Viana, Nalon, Tina, Debora, dan seluruh stambuk 2006 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu semoga sukses dan selamat berjuang terimakasih atas dukungannya dan juga kepada abang serta kakak stambuk mulai dari 2004, 2003, dan adek kami stambuk 2007, 2008, 2009.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dengan segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu masukan dan kritik yang membangun sangat saya hargai. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua saya banyak mengucapkan banyak terimakasih.

Medan, Februari 2011

Hernita Lumban Gaol

DAFTAR ISI

(6)

KATA PENGANTAR ………. i

ABSTRAKSI ……… ii

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL ……… vi

DAFTAR LAMPIRAN……… v

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2.Perumusan Masalah ……….. 6

1.3.Tujuan Penelitian ………. 6

1.3.1. Manfaat Penelitian ……… 6

1.3.2. Manfaat Teoritis ……… 6

1.3.3. Manfaat Praktis ………. 6

1.4.Kerangka Teori ……….……... 7

1.4.1. Nilai Soaial Budaya Perkawinan Batak Toba ……….. 7

1.4.2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan ……….. 11

1.4.3. Proses Perubahan Sosial dan Kebudayaan ………... 13

1.4.4. Proses Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba ……… 14

1.4.5. Masa Pra Perkawinan ……… 14

1.4.6. Upacara Perkawinan ………. 15

1.4.7. Upacara Pasca Perkawinan ……… 15

1.5.Defenisi konsep ………. 16

1.6.Hipotesis ………. 17

(7)

1.8.Operasional Variabel……… 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ………. 25

3.2. Lokasi Penelitian ……….. 25

3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ……… 25

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……… 26

3.5. Analisis Data ………..………... 27

3.6. Keterbatasan Penelitian ……….……. 27

3.7. Jadwal Kegiatan ………. 28

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 29

4.1.1. Gambaran Kota Medan Secara Umum. ……… 29

4.1.1.1. Gambaran Medan Perjuangan Secara Umum ………... 32

4.1.1.2 Gambaran Kelurahan Sidorame Barat II……… 39

4.1.1.3 . Gambaran Masyarakat Suku Batak Toba Di Kelurahan Sidorame Barat II……….……… 46

4.1.2. Gambaran Umum Kabupaten Humbang Hasundutan. …………. 47

4.1.2.1. Gambaran Masyarakat Kecamatan Pollung ……… 52

4.1.2.2. Gambaran Masyarakat Desa Hutajulu…………. ………... 54

4.2. Karakteristik Responden ……… ... ... ….. 62

(8)

4.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia……… 65

4.2.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan ……… 66

4.3. Analisis Komparatif Terhadap Nilai Sosial Budaya Perkawinn Batak Toba………. 67

4.3.1.1. Pandangan Responden Pada Masa Pra Perkawinan ….……….. 68

4.3.1.2. Martandang……… 68

4.3.1.3. Mangaririt……… 70

4.3.1.4. Tanda Hata olo……… 73

4.3.1.5. Marhusip……… 74

4.3.1.6. Marhata Sinamot……… 76

4.3.2. Upacara Perkawinan …………..….………….……. ………. 78

4.3.2.1. Marsibuha-buhai……… 78

4.3.2.2. Marunjuk……….. 79

4.3.3. Pasca Perkawinan……… …. .. 80

4.3.3.1. Paulak Panaru……… .80

4.3.3.2. Paulak Une……… 81

4.3.3.3. Maningkir Tangga……… 82

4.4. Pandangan Responden Terhadap Perubahan Nilai Sosial Budaya Batak Toba… ……….………… 84

4.5. Modernisasi Menyebabkan Terjadinya Perubahan Bentuk Perkawinan… 86 4.6. Tindakan Dan Sikap Terhadap Adanya Perubahan Dalam Menjalakan Tata Cara Adat Perkawinan ………..…… 87

(9)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan………...……… 93

5.2. Saran ………. 96

DAFTAR PUSTAKA

(10)

Jumlah Kelurahan……… 33 Tabel 4.2. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Suku Bangsa………. 35 Tabel 4.3. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Mata Pencaharian……….. 36 Tabel 4.4. Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Pendidikan……… 37 Tabel 4.5 Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan

Tingkat Agama……….. 37

Tabel 4.6. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Lingkungan……… 39

Tabel 4.7. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Jenis Kelamin……… 40

Tabel 4.8. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Jenis Pekerjaan……….. 41 Tabel 4.9. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Tingkat Usia………. . 42

Tabel 4.10. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Kewarganegaraan………. 42

Tabel 4.11. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Tingkat Pendidikan………. 43 Tabel 4.12. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

(11)

Tabel 4.13. Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan

Suku Bangsa……… 45

Tabel 4.14. Distribusi Berdasarkan Pendidikan……….……… 50

Tabel 4.15. Distribusi Berdasarkan Agama……… 52

Tabel 4.16. Distribusi Berdasarkan Agama……… 57

Tabel 4.17. Distribusi Berdasarkan Pendidikan………. 58

Tabel 4.18. Distribusi Berdasarkan Tingkat Pendidikan……… 59

Tabel 4.19. Distribusi Berdasarkan Tingkat Usia……… 60

Tabel 4.20. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin……… 62

Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Status Pendidikan…… 62

Tabel 4.22. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan……… 63

Tabel 4.23. Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Usia………… 64

Tabel 4.24. Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Penghasilan… 66

Tabel 4.25. Tata Upacara Perkawinan Martandang……… 68

Tabel 4.26 Tata Upacara Perkawinan Mangaririt……… 70

Tabel 4.27. Tata Upacara Perkawinan Tanda Hata Olo……… 72

Tabel 4.28. Tata Upacara Perkawinan Marhusip………. 74

Tabel 4.29. Tata Upacara Perkawinan Marhata Sinamot………. 75

Tabel 4.30. Tata Upacara Perkawinan Marsibuha – buhai.……… 77

Tabel 4.31. Tata Upacara Perkawinan Marunjuk...……… 78

Tabel 4.32. Tata Upacara Perkawinan Paulak Panaru.……… 79

(12)

Tabel 4.35. Distribusi Jawaban Responden Tentang Masyarakat Yang Menyetujui Perubahan Upacara Adat Perkawinan Batak Toba……….. 82 Tabel 4.36. Distribusi Jawaban Responden Modernisasi Menyebabkan Terjadinya

Bentuk Perkawinan……… 84 Tabel 4.37. Distribusi Jawaban Responden Tentang Tindakan dan Sikap terhadap

Adanya Perubahan dalam Pelaksanaan Tata Cara Adat

(13)

ABSTRAKSI

Perubahan yang terjadi dalam aspek budaya mencakup perubahan struktur dan proses yang ada dalam kebudayaan. Demikian juga halnya dengan perubahan dalam aspek sosial. Perubahan yang terjadi dalam aspek sosial mencakup perubahan struktur dan proses sosial. Pertumbumbuhan dan perkembangan tersebut membawa suatu pola dan nilai baru bagi masyarakat tertentu. Perubahan tersebut dengan sendirinya mempengaruhi masyarakat untuk memilih tindakan yang akan dilakukanya, dan perubahan tersebut senantiasa melekat pada masyarakat. Dengan demikian masyarakat senantiasa diliputi perubahan, dan perubahan selalu ada dalam suatu masyarakat. Ini merupakan ciri dinamis dari masyarakat.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif ,yang berusaha untuk mengambarkan, meringkas, berbagai kondisi, situasi atau berbagai fenomena sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat atau gambaran tentang kondisi, situasi maupun fenomena tertentu. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner, dokumenter dan analisis data. Melalui deskriptif dengan panduan teori perubahan. Penelitian ini dilakukan terhadap 200 orang responden dimana 100 orang responden berasal dari kecamtan Pollung dan 100 orang responden berasal dari Medan perjuangan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkawinan tidak hanya penting bagi suku-suku bangsa tertentu tetapi negarapun menganggap penting untuk mengatur dan mengesahkan tahapan perkawinan. Menurut Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuanya membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya adalah Ketuhan Yang Maha Esa.

(15)

Terlaksananya upacara adat perkawinan ini, maka dianggap sebagai perkawinan yang ideal dan memiliki nilai yang tinggi bagi masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki dua bentuk perkawinan yaitu marbagas dan

mangabia. Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan,

mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota marga. Perkawinan marbagas dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu cara marunjuk dan

mangalua.

Marunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat menimang dan pembayaran mas kawin, sedangkan mangalua adalah kawin lari sepasang pemuda-pemudi tanpa membayar mas kawin. Proses perkawinan marunjuk dapat dilakukan dalam dua bentuk upacara perkawinan yaitu bentuk upacara perkawinan alap jual

(jemput baru jual) dan upacara perkawinan taruhon jual. Bentuk upacara perkawinan

alap jual adalah upacara perkawinan yang pelaksanaanya di adakan dirumah atau kampung halaman pihak perempuan sedangkan upacara perkawinan taruhon jual

(antar baru jual) adalah upacara perkawianan yang pelaksananya dirumah atau kampung halaman pihak pengantin laki-laki.

(16)

Masyarakat Batak membedakan dua macam perkawinan yaitu mangalua

(kawin lari) dan kawin secara biasa dengan mengikuti semua prosedur yang ada. Perkawinan dengan cara kawin lari yaitu perkawinan tanpa upacara adat. Umumnya perkawinan ini terjadi karena adanya ketidak setujuan dari pihak kerabat salah satu atau kedua belah pihak, tetapi sering juga terjadi karena biaya yang tidak cukup untuk mengadakan upacara adat perkawinan. Perkawinan tanpa diikuti upacara adat ini hanya diresmikan di gereja atau kantor catatan sipil. Secara adat pasangan yang kawin lari di anggap belum resmi kawin.

Untuk meresmikan perkawinan mereka secara adat, harus melalui upacara yang disebut dengan mangadati (membayar adat). Sebelum melalui upacara peresmian perkawinan, maka pasangan kawin lari tersebut belum boleh menyelenggarakan upacara adat apapun yang berhubungan dengan kehidupanya. Upacara peresmian perkawinan tidak jauh berbeda dari upacara perkawinan biasa perbedaanya hanya nama upacaranya (mangadati dan merunjuk). Prosedur adat yang didahuluinya dimulai dengan beberapa perkataan adat yang dalam upacara perkawinan disebut marhata yaitu antara kerabat dalihan na tolu kedua belah pihak.

(17)

dalihan na tolu dan membagi sinamot tersebut sesuai dengan adat. Demikian juga pihak pengantin laki-laki, mahar yang harus dibayar oleh pihak laki-laki harus dibayar bersama oleh kerabat dalihan na tolu pihak laki-laki.

Dari sudut pelaksanaanya upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggung jawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai dengan kedudukan sosial adatnya. Perkawinan yang dianggap ideal oleh masyarakat suku Batak Toba adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya (marpariban). Seorang laki-laki Batak di larang kawin dengan anak perempuan dari saudara ayah dan juga dengan wanita dari kelompok marganya sendiri, karena orang-orang yang satu marga menganggap sesamanya sebagai kerabat dari satu nenek moyang, sehingga merupakan satu kesatuan.

Hubungan perkawinan dalam masyarakat Batak Toba adalah hubungan (perkawinan sepihak) yaitu perkawinan tidak boleh timbal balik. Sebagai contoh seorang pemuda A mengambil gadis dari marga B, seorang pemuda dari marga B tidak boleh mengambil gadis dari marga A, tetapi harus mengambil seorang gadis dari marga C, demikian seterusnya. Didaerah perantauan pada umumnya, di daerah perkotaan pada khususnya masih dilakukan tradisi adat perkawinan dengan mengacu kepada tata cara yang telah disepakati dan juga masih digunakan istilah-istilah seperti

(18)

pihak laki-laki ataupan perempuan, sekarang dilaksanakan di tempat tertentu seperti wisma. Saat dan waktu pelaksanan upacara dulu dilaksanakan dalam waktu dan proses yang cukup lama, sekarang dipersingkat dengan istilah pesta adat ulaon sadari

artinya pesta yang dituntaskan selama satu hari. Sementara pada hakeketnya pelaksaan upacara tersebut dilaksanakan berselangan dalam waktu yang cukup lama, misalnya satu minggu. Contoh pelaksanaan paulak une, dan maningkir tangga yang dilaksanakan langsung setelah upara peresmian selesai tepat ditunggu seminggu kemudian.

Demikian juga dengan unsur peralatan dan perlengkapan upacara yang digunakan yang dulunya peralatan begitu sederhana. Sekarang upacara perkawinan tersebut dilaksanakan dengan dukungan peralatan dan perlengkapan yang lebih maju, penggunaan dan pemakaian peralatan tata rias, tata busana, penyunting, peralatan hiburan merupakan suatu bukti perubahan tersebut, demikian juga dengan orang-orang yang melaksanakan upacar tersebut tidak persis lahi seperti yang dahulu.

Upacara perkawinan yang dilaksanakan dan diikuti oleh pihak kerabat dalam

(19)

Perubahan tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu akibat dari terjadinya perubahan penilaian terhadap tata cara dan kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam upacara perkawinan. Perubahan penilaian tersebut juga mempengaruhi tindakan untuk memenuhi kewajiban dalam tata cara tadi, dalam hal ini terjadi proses pertimbangan dan perhitungan mengenai tindakan yang diperioritaskan upacara perkawinan yang terjadi atas upacara sebelum perkawinan saat peresmian perkawinan dan upacara setelah peresmian perkawinan merupakan tata cara yang berisikan kewajiban. Oleh karena itu penulis tertarik mengambil judul Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi komparatif di Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi rumusan masalah yang penulis ambil adalah: Apakah ada perbedaan antara nilai sosial budaya upacara perkawinan Batak Toba pada masyarakat Desa Hutajulu dengan masyarakat Kelurahan Sidorame

1.3. Tujuan Penelitian

(20)

1.3.1. Manfaat Penelitain

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan, memperluas pengetahuan kepada peneliti dan juga kepada pembaca mengenai perbandingan nilai sosial budaya perkawinan Batak Toba antara masyarakat asal dengan masyarakat perantauan, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori ilmu-ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi. Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang memerlukannya.

2. Manfaat praktis

(21)

1.4. Kerangka Teori

1.4.1. Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa besar pada suku Batak Toba, sehingga upacara itu selalu diperlihatkan di dalam pelaksanaan upacara-upacara adat peresmianya. Perkawinan masyarakat Batak Toba haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat dalihan na tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah pelengkap saja. Perkawinan pada masyarakat Batak Toba sangat kuat sehingga tidak mudah untuk bercerai karena dalam perkawinan tersebut banyak orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Adapun tata cara perkawinan secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu ialah perkawinan yang mengikuti tahap-tahap berikut:

1. Mangaririt

Mangaririt adalah ajuk-mengajuk hati atau memilih gadis yang akan dijadikan menjadi calon istrinya sesuai dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Acara mangaririt ini dilakukan kalau calon pengantin laki-lakinya adalah anak rantau yang tidak sempat mencari pasangan hidupnya sendiri, sehingga sewaktu laki-laki tersebut pulang kampung, maka orang tua dan keluarga lainya mencarai perempuan yang cocok denganya untuk dijadikan istri, tetapi perempuan yang dicarikan tersebut harus sesuai dengan kriteria silaki-laki dan kriteria keluarganya.

2. Mangalehon Tanda

(22)

saling memberikan tanda. Laki-laki biasanya memberikan uang kepada perempuan sedangkan perempuan menyerahkan kain sarung kepada laki-laki, setelah itu maka laki-laki dan perempuan itu sudah terlibat satu sama lain. Laki-laki kemudian memberitahukan hal itu kepada orang tuanya, orang tua laki-laki akan menyuruh prantara atau domu-domu yang sudah mengikat janji dengan putrinya.

3 Marhusip

Marhusip artinya berbisik, namun pengertian dalam tulisan ini adalah pembicaran yang bersifat tertutup atau dapat juga disebut perundingan atau pembicaraan antara utusan keluarga calon pengantin laki-laki dengan wakil pihak orang tua calon pengantin perempuan, mengenai jumlah mas kawin yang harus di sediakan oleh pihak laki-laki yang akan diserahkan kepada pihak perempuan. Hasil-hasil pembicaraan marhusip belum perlu diketahui oleh umum karena menjaga adanya kemungkinan kegagalan dalam mencapai kata sepakat. Marhusip biasanya diselenggarakan di rumah perempuan. Domu-domu calon pengantin laki-laki akan menerangkan maksud kedatangan mereka pada kaum kerabat calon pengantin perempuan.

4. Martumpol

(23)

gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang Beragama Kristen.

5.Marhata Sinamot

Marhata sinamot biasanya diadakan selesai membagikan jambar. Marhata sinamot yaitu membicarakan berapa jumlah sinamot dari pihak laki-laki, hewan apa yang di semblih, berapa banyak ulos, berapa banyak undangan dan dimana dilakukan upacara perkawinan tersebut. Acara marhata sinamot dapat juga dianggap sebagai perkenalan resmi antara orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan. Mas kawin yang diberikan pihak laki-laki biasanya berupa uang yang jumlah mas kawin tersebut di tentukan lewat terjadinya tawar-menawar

6.Martonggo Raja.

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba bukan hanya urusan ayah dan ibu kedua calon pengantin, tetapi merupakan urusan semua keluarga, karena itu orang tua calon pengantin akan mengumpulkan semua anggota keluarga di rumah mereka masing-masing dan yang hadir dalam upacara ini terutama menyangkut dalihan na tolu yaitu hula-hula, boru, dongan sabutuha, dan dongan sahuta(teman sekampung).

7. Marunjuk

(24)

Pengantin perempuan dijemput oleh pengantin laki-laki bersama oaring tua, kaum kerabat dan para undangan ke rumah orang tuanya. Pihak pengantin laki-laki sering menyebut istilah ini mangalap boru

( menjemput pengantin perempuan). Pada acara merunjuk inilah akan berjalan semua upacara perkawinan dari makan sibuhai-buhai, pembagian, dan mangulosi.

8.Paulak Une

Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak perempuan mengetahui bahwa anak perempuanya betah tinggal di rumah mertuanya.

9. Maningkir Tangga

(25)

Kesepakatan pada nilai-nilai sosial merupakan dasar yang penting bagi banyak kelompok, terutama dalam perkawinan. Tiap-tiap pasangan perkawinan mempunyai nilai-nilai budaya sendiri, hal-hal yang dianggap penting oleh masing-masing pihak. Jarang sekali hal ini disepakati secara lengkap. Setiap pasangan dapat berbeda keinginannya dalam menentukan hal-hal seperti pengaturan keuangan, rekreasi, agama, memperlihatkan kasih sayang, hubungan-hubungan dengan menantu mereka, dan tata cara.

Nilai-niali sosial meliputi berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah perkawinan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap perkawinan, seperti suatu nilai sering merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkawinan. Bagi kebanyakan orang, perkawinan adalah nilai tunggal mereka paling penting, dan mereka akan berbuat segalanya yang dapat mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan. Bagi yang lain, perkawinan tidaklah penting seperti kebahagian pribadi mereka, kesenangan, atau kesuksesan pribadi mereka.

1.4.2. Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

(26)

Pada dasarnya perubahan sosial dan kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan adalah merupakan suatu proses yang dapat diukur melalui skala maju, mundur naik atau turun, banyak atau sedikit. (Simanjuntak , 2002 : 171). Perubahan dalam masyarakat dapat berarti positif maupun negatif, perubahan yang positif adalah perubahan yang membawa kemajuan, dan perubahan dalam arti negatif adalah perubahan yang mengakibatkan kemunduran. Perubahan dalam arti positif maupun negatif dapat dilihat dalam beberapa akibat dari terjadinya perubahan dibawah ini:

1. Perubahan dapat mengancam kepentingan yang sudah tetap 2. Perubahan dapat merusak kebiasaan

3. Perubahan dapat membawa pola-pola tingkah laku baru (Simanjuntak, 1980:14) Perubahan yang menerobos seluruh aspek kehidupan mempengaruhi perubahan sikap masyarakat. Perubahan sikap masyarakat tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, antara lain:

1. Faktor dari dalam diri masyarakat mencakup derajat selektifitas terhadap nilai baru untuk diterima dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

2. Faktor dari luar diri masyarakat, mencakup pengaruh budaya luar, pertumbuhan penduduk, kemajuan iptek dan lain-lain (Simanjuntak, 1980-14).

(27)

yang mempengaruhi terciptanya keragaman kebutuhan yang medorong setiap individu untuk berubah. Nilai baru yang sudah diterima dapat menjadi kebiasaan yang akhirnya menjadi budaya setelah mengalami proses penerapan, sehingga akan terjadi perubahan dalam cara berfikir, cara menghayati dan cara bertindak individu dalam masyarakat (Simanjuntak, 2002 :173).

Perubahan adalah proses yang berkesinambungan dan mempunyai arah yang jelas. Yang dapat terjadi melalui adaptasi, penyesuaian, akomodasi, asimilasi dan lain-lain, sehingga terjadi proses perubahan antara dua atau lebih objek dan sistem sosial budaya (Simanjuntak,2002:171).

Ada beberapa variabel yang berpengaruh amat besar dalam proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat, namun intensitas pengaruh setiap variabel pada setiap masyarakat yang berbeda, tak dapat disamakan. Dalam khusus masyarakat Batak Toba dapat dikatakan bahwa secara umum variabel agama dan pendidikan merupakan variabel yang amat mempengaruhi dan menentukan arah perubahan sosial budaya.

1.4.3. Proses Perubahan Sosial Dan Kebudayaan

a. Penyesuaian masyarakat terhadap perubahan

Keseimbangan atau keharmonisan dalam masyarakat (sosial equilibrium)

(28)

keseimbagan, bila keseimbangan itu dapat dipulihkan kembali dinamakan suatu penyesuaian.

b. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan

Saluran perubahan sosial dan kebudayaan yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan (pemerintah, ekonomi, pendidikan, agama), lembaga ini merupakan penilaian tertinggi dari masyarakat.

c. Disorganisasi (disentegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)

Disorganisasi adalah suatu keadaan tidak adanya keserasian dimasyarakat antar lembaga-lembaga kemasyarakatan dan norma-norma, nilai-nilai, dan sebaginya. Reorganisasi adalah suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyrakatan yang telah melembaga dalam diri masyarakat.

1.4.4. Proses Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Toba

Secara ringkas dapat dijelaskan bagaimana suatu proses pernikahan dalam masyarakat Batak Toba yang dianggap ideal. Hal ini sangat diperlukan untuk nantinya dapat melihat perbandingan antara proses yang ideal dan perubahan yang telah terjadi pada masyarakat batak Toba yang ada di penduduk asal dengan perantauan.

1.4.5. Masa Pra Perkawinan

(29)

seorang ibu kepada anaknya yang telah akil balik kelak berkeluarga. Maksutnya agar setiap anak laki-laki dan anak perempuan yang telah dewasa sudah saatnya memikirkan membentuk rumah tangga. Dalam tradisi masyarakat Batak toba, martandang biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki dengan berbagai hal. Ada dengan usaha orang tua martandang kepihak lingkungan sendiri, misalnya kepihak hula-hula atau tulang (paman).

b. Mangaririt, pada kesepakatan inilah sang pemuda dan gadis-gadis saling menyampaikan isi hati masing-masing. Pada tahap inilah yang disebut

mangaririt memilih gadis yang akan dijadikan menjadi calon isterinya sesuai dengan kriterianya sendiri dan kriteria keluarga. Apabila kedua kriteria itu kira-kira sudah terpenuhi pada diri gadis itu, maka sipemuda dengan cara halus menyampaikan maksudnya dan kemudian disampaiakan dengan cara terbuka kepada si gadis menyampaikan hal itu kepada ibunya. Kalau keluarga sudah berkenaan bermenantukan sipemuda, maka si gadis memberitahukan hal itu kepada pemuda pujaanya.

c. Tanda hata olo (tukar cicin) : tukar cicin antara dua sijoli yang sudah memadu cinta dan berjanji sehidup semati dalam bentuk suami isteri adalah istilah baru mengikuti jaman, dahulu istilah ini disebut mangalehon tana hata.

d. Marhusip : adalah suatu kegiatan penjajakan akan kelanjutan yang akan dilaksakan kedua belah pihak kerabat akibat dari tukar cincin tadi.

(30)

mana beban yang dapat dipundak oleh kedua belah pihak agar perkawinan itu dapat dilaksanakan.

1.4.5. Upacara Perkawinan

Masyarakat memandang perkawinan itu suci, perpaduan hakekat antara kehidupan laki-laki dengan perempuan menjadi satu sehingga sering kita dengar para pemberi nasehat kepada pengantin dengan mengatakan, bahwa satu tambah satu adalah dua, tetapi dalam perkawinan bahwa satu tambah satu itu adalah satu. Artinya dua insan manusia yang menjadi suami istri harus menjadi satu pada kehidupan berkeluarga.

1.4.6. Upacara pasca perkawinan

Dalam hal di atas, adapun yang menjadi bagian-bagian dari pada upacara pasca perkawinan adalah sebagai berikut

a. Paulak panaru yang dimaksud dengan panaru adalah gadis pengiring pengantin permpuan dari desa pihak perempuan ke desa pengantin laki-laki. Setelah tugas

panaru sudah selesai, maka untuk mengantar panaru pulang ke deasa asalnya maka harus dilengkapi dengan makanan, yaitu dengan acara adat lengkap dengan

tudu-tudu ni sipanganon.

b. Paulak une adalah keluarga pihak laki-laki mengunjungi pihak perempuan dengan jalan membawa makanan adat beserta kedua pengantin.

(31)

mengunjungi keluarga pihak laki-laki. Mereka disambut pihak laki-laki dengan lengkap dengan unsur dalihan na tolu juga maningkir tangga bukan sekedar melihat tangga atau desa keluarga pihak paranak, melainkan bagaimana membuat agar rumah tangga baru itu berjalan dengan baik bagaimana layaknya rumah tangga Batak Toba. Setelah maningkir tangga selesai maka lengkaplah prosedur adat perkawinan masyarakat Batak Toba sacara keseluruhan.

1.5. Defenisi Konsep

Perubahan ini berarti perubahan nilai atau penilaian yang diberikan oleh individu atau masyarakat baik dari segi positif ke negatif atau sebaliknya terhadap suatu objek yang dalam penelitian ini adalah perkawinan dipengaruhi oleh adanya perubahan situasi dan kondisi dan berbagai faktor yang dijadikan sebagai pertimbangan. Faktor tersebut antara lain ; pendidikan, status ekonomi uang, teknologi, kemajuan media informasi. berdasarkan adat istiadat suku tertentu, Upacara adat perkawinan suku Batak Toba berarti keseluruhan rangkaian kegiatan yang telah ditentukan dalam adat istiadat Batak Toba dalam melaksanakan suatu perkawinan.

(32)

yang telah berlangsung lama dan akan mengarahkan perilaku dan memberi kepuasan dalam kehidupan sehari-hari

2. Perkawinan Batak Toba adalah merupakan suatu ikatan antara dua orang yang berlainan jenis kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana mereka mengikatkan diri untuk bersatu dalam kehidupan bersama. 3. Masyarakat asal adalah merupakan masyarakat itu sendiri yang tinggal di

daerah tersebut dan yang melakukan perkawinan.

4. Masyarakat perantauan adalah merupakan masyarakat yang pergi merantau ke daerah lain, dan disana mereka melangsungkan perkawinan dan tinggal menetap di daerah tersebut..

1.7. Defenisi Operasional

Perkawinan adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk atau menjalin suatu hubungan sehingga terbentuk suatu keluarga. Perkawinan terbagi atas dua bentuk, yaitu :

1. Perkawinan Marbagas adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan.

2. Perkawinan Mangabia adalah perkawinan bagi janda atau duda sesama anggota keluarga.

Perkawinan mangabia dapat dilaksanakan dalam dua cara yaitu:

a. Cara merunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat-syarat meminang dan pembayaran mas kawin.

(33)

1.8. Operasional Variabel

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Nilai-nilai sosial meliputi berbagai pola-pola tingkah laku yang luas. Suatu nilai yang penting adalah perkawinan itu sendiri. Pada dasarnya, sikap terhadap perkawinan, seperti suatu nilai sering merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari, perkawinan adalah nilai tunggal mereka paling penting, dan mereka akan berbuat segalanya yang dapat mereka lakukan untuk menyesuaikan secara memuaskan. Bagi yang lain, perkawinan tidaklah penting seperti kebahagian pribadi mereka, kesenangan, atau kesuksesan pribadi mereka

Nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat batak toba dapat dilihat dan dapat dirasakan dalam bentuk salah satu sistem kemasyarakatan atau sistem kekerabatannya. Nilai-nilai budaya ini dapat merupakan aturan-aturan yang menjadi pegangan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari oleh kehidupan masyarakat batak toba yang menyangkut hubungan antara anak dengan ayah, anak dengan ibu, saudara dengan saudara, kemenakan dengan paman, menantu dengan mertua dan hubungan individu dengan individu. Oleh karena itu perkawinan pada masyarakat batak toba tidak melanggar sistem kemasyarakatan atau kekerabatannya.

29 September

2010 jam 18-19.30

(35)

(patrilineal) dan diturunkan kepada keturunannya, dengan adanya marga hubungan diantara satu kumpulan marga akan semakin dekat.

Etnis Batak Toba melihat garis keturunan dari pihan laki-laki atau sistem patrilineal sehingga anak laki-laki dianggap mempunyai suatu kekhususan tertentu, terutama dalam menuruskan warisan marga dan penerusan keturunan, dianggap sebagai pelindung nantinya di hari tua bagi kedua orang tua dan penolong orang tua yang tidak mampu lagi menghadapi diri sendiri.

Etnis Batak Toba khususnya laki-laki diwajibkann mengetahui silsilahnya minimal nenek monyangnya yang menurunkan marga dan teman semarganya

(dongan sabutuha). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatanya

(partuturanya) dalam suatu klan dan marga. Marga merupakan suatu identitas diri karena dengan mengetahui marganya maka dengan sendirinya akan mengatur dirinya sendiri, mengatur sikapnya, mengatur sifat sopan santunya, sikap perilakunya terhadap orang lain, apakah dia marhula-hula, apakah mardongan tubu atau marboru.

29 September

2010 jam 18-19.30

(36)

sekali peran kewajiban baru, dan juga penyesuaian dan ketengangan-ketengagan baru. (Koentjaraningrat, 2002)

Oleh karena itu suatu perkawinan menimbulkan berbagai macam akibat, yang juga melibatkan banyak sanak keluarga termasuk suami/istri itu sendiri. Perkawinan adalah peritah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan kekeluargaan, sama konsepnya dengan pasal 1 ayat (1) undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. (H.R O Salman Soemadingrat 2002 ; 173).

(37)

Kebudayan Batak Toba juga mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi masyarakat Batak Toba yang akan yang akan melakukan atau melangsungkan sebuah perkawinan. Salah satu unsur penting ketika terjadinya transaksi perkawinan pada masyarakat Batak Toba adalah penentuan jumlah mas kawin (sinamot). Mas kawin menjadi syarat utama apakah sebuah perkawinan dapat dilaksanakan atau tidak. Mas kawin yang ditentukan dahulunya pada masyarakat Batak Toba selalu menjadi beban atau tanggungan dari pihak pengantin laki-laki tetapi dengan berlalunya waktu mas kawin sudah ditanggang bersama kedua belah pihak antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak agar upacara perkawinan tersebut dapat dilaksanakan.

Adat istiadat merupakan bagian dari tiga wujud dari kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang dibiasakan dengan belajar. Ketiga wujud dari kebudayaan itu antara lain:

• Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, perantauan dan sebagainya.

• Wujud kebuyaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat.

• Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

(38)

perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari kebudayaan disebut sebagai sistem sosial yang disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud dari ketiga budaya disebut kebudayaan fisik karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto (Koentjaraningrat 2002).

Masyarakat Batak Toba menganggap perkawinan itu adalah pranata yang menghubungakan tiga kelompok klen. Bila diartikan keturunan yang disebut juga orang-orang yang saompu (satu kakek moyang bersama) yang dapat diidentifikasi dengan jelas garis keturunannya. Klen penerima perempuan ( ayah dari pengantin laki-laki) disebut boru, ayah yang memberi perempuan disebut hula-hula, sedangkan klen Kecamatanil sesama marga kesuatu kelompok kekerabatan (dihitung berdasarkan garis laki-laki) disebut dongan sabutuha. Penghubung ketiga klen inilah yang disebut dalihan na tolu yang sebenarnya merupakan hubungan besan (Ihromi, 2003:110).

Dalihan na tolu memiliki beberapa unsur yaitu elek marboru, somba marhula

(39)

hendakalah bersikap sembah atau hormat kepada hula-hula. Manat mardongan tubu maksudnya adalah agar sesama marga hendaklah bersikap prihatin dan hati-hati. Arti hubungan itu adalah dengan keadaan demikian agar sesuatu kegiatan itu dapat dilaksanakan dengan sempurna (Gultom, 1992: 53).

Dalihan na tolu pada masyarakat Batak Toba ada karena sebuah perkawinan. Semua perkawinan pada masyarakat Batak Toba harus melalui pemberian mas kawin oleh pihak pengantin laki. Mas kawin yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki biasanya berupa uang, tetapi mas kawin bukanlah sebagai harga beli untuk memperoleh istri sebagai milik. Mas kawin hanya merupakan syarat formal untuk melangsungkan perkawinan, karena sebagai sarana adat pada upacara perkawinan yang wajib dilaksanakan agar kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan saling berkenalan. Tidak dipungkiri, tiap kebudayaan yang ada, pasti mengalami perubahan cepat atau lambat. Perubahan itu tidak hanya terbatas pada bentuk lahirnya saja, tetapi tidak jarang terjadi pada masyarakat atau makna yang terkandung didalamnya.

(40)

di daerah perantauan. Perubahan-perubahan ini terjadi juga pada pelaksanaan tata cara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Semakin lama pelaksanan tata cara adat perkawinan mulai berubah karena proses tata cara adat perkawinan tersebut sudah lebih praktis atau tidak bertele-tele lagi. Hal ini terutama bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal khususnya di daerah perkotaan atau di daerah perantauan.

Bezalel dan Lontung (2007:9) juga berpendapat sesuai dengan perjalanan waktu, dimana populasi masyarakat batak semakin meningkat, dan demikian juga pemukiman baru yang semakin meluas, serta terjadinya perubahan status dan kesejahtraan masyarakat batak adat inti atau adat sebenarnya dan adat nadiadathon atau adat yang diadatkan pun mengalami perubahan.

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang dilakukan menjelaskan suatu fenomena yang terjadi objek penelitian melalui tehnik pengumpulan data, (Moleong , 2006:31). Penelitian komparatif dengan menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan perubahan pelaksanan tahapan-tahapan adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba, dan juga mendeskripsikan tata cara upacara perkawinan masyarakat Batak Toba secara terperinci.

3.2. Lokasi Penelitian

(42)

3.3. Populasi Dan Teknik Penarikan Sampel

Populasi adalah keseluruhan gejala/satuan yang ingin diteliti (Prasetyo, 2005:119). Populasi dalam penelitian ini adalah para keluarga yang mengadakan atau melakukan perkawinan di Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan, yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan.

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, yang jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili popolasi (Iqbal Hasan, 2002 : 58). Penentuan sampel penelitian menggunakan tehnik penarikan sampel acak sistematis, jumlah seluruh populasi untuk masyarakat Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 450 kepala keluarga, dan jumlah seluruh populasi untuk masyarakat Kecamatan Medan Perjuangan sebanyak 17.615 orang sehingga jumlah seluruh populasi : 450 + 17.650 = 18065. Dengan demikian peneliti membatasi jumlah sampel sebanyak 200 orang dengan spesifikasi responden sebagai berikut : masyarakat batak toba yang berada di daerah Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 100 orang, dan masyarakat batak toba yang berdomisili di daerah Kecamatan Medan Perjuangan yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Humbang Hasundutan sebanyak 100 orang.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

(43)

permasalahan penelitian yang bersangkutan secara objektif dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data dengan metode kuantitatif, sebagai berikut:

1. Kuesioner

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilaksanakan degan menyebarkan angket yang berisi pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada keluarga yang melakukan perkawinan sebagai responden.

2. Dokumenter dan studi kepustakaan

Dokumenter data adalah data yang diperoleh dari suatau dokumentasi, sedangkan studi kepustakan meliputi menelaah permasalahkan melalui sumber buku, majalah, atau surat kabar atau bentuk tulisan lainya yang di anggap relevan terhadap masalah penelitian.

3. 5. Analisis Data

Dalam analisis data penelitian akan mentabulasi data-data yang di hasilkan dari kuesioner ke dalam beberapa bentuk tabel distribusi frekuensi sehingga data-data yang terkumpul dapat di deskripsikan dan dianalisis, sedangkan peryataan tambahan yang terdapat pada kuesioner, jawabanya akan di analisis atau di interpretasikan sebagai data yang akan melengkapi hasil penelitian (Burhan Bungin, 2001:187).

3. 6. Keterbatasan Penelitian

(44)

1. Keterbatasan dalam penyebaran kuesioner karena penyebaran dilakukan dalam beberapa tempat yang masing-masing tidak berdekatan dan dalam daerah lokasi yang banyak.

2. Keterbatasan dalam kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah.

3. Keterbatasan dalam mendapatkan teori dan pemahaman analisis data perbandingan pemilihan teori yang cocok dengan analisis yang rumit sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam menyelesaikan penelitian.

3.7. Jadwal Kegiatan

No Jadwal Kegiatan

Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra Observasi √

2. ACC Judul √

3. Penyusunan Proposal √ √

4. Seminar Proposal √

5. Revisi Proposal Penelitian √

6. Penelitian Kelapangan √

7. Pengumpulan Data dan Analisis Data

8. Bimbingan √ √ √ √

9. Penulisan Laporan Akhir √ √

(45)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Gambaran Kota Medan Secara Umum

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang asa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 orang. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat

perdagangan dan keuangan regional nasional.

(http:www.pemkoMedan.go.id/perekonomian-pertumbuhan.php 29 september 2010

jam 18-19.30 wib).

(46)

yang secara umum simulasi mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan disesuaikan dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas kota medan menjadi 5. 130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administtrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/227/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan memjadi 144 Kelurahan.

(http:www.pemkoMedan.go.id/perekonomian-pertumbuhan.php 29 september 2010

jam 18-19.30 wib

(47)

kemudian tumbuh secara geografis, demogartis dan secara sosial-ekonomi akibat penanaman modal (investasi).

Secara administrasi, wilayah kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selat dan Timur. Sepanjang wilayah Utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahiu merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandaliling Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini memjadikan kota medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya. Disamping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka kota Medan memiliki posisi srategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa,, baik perdagan domestic maupun luar negeri (ekpor-impor).

(48)

adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonomi lainya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan tersebut istilah transisi penduduk. Komponen kependudukan lainya umumnya mengambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, Kecamatanuali disebabkan oleh faktor migrasi atau urbanisasi

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memilki keragaman susku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakatnya yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai-nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat di yakini pula hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat memjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragam suku, tarian daerah, alat musik, nyayian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya.

(49)

4.1.1.1. Gambaran Medan Perjuangan Secara Umum

Daerah Kecamatan Medan Perjuangan seluas 866 ha terdiri atas tanah kering seluas 430 ha, tanah pekarangan /bangunan seluas 385 ha, dan tanah untuk fasilitas umum seperti lapangan olah raga, taman rekreasi, jalur hijau, kuburan seluas 5 ha, dan selebihnya (tanah tandus, pasir)seluas 41 ha.

Kecamatan Medan Perjuangan terbentuk berdasarkan Perantaun Daerah Nomor : 35 Tahun 1992 tanggal 13 juli 1992, yang mana sebelumnya merupakan bagian wilayah Kecamatan Medan Timur. Dan pada tanggal 2 September 1992, Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sumatera Utara melantik Camat Medan Perjuangan yang secara definatif membawahi 9 kelurahan dan 123 Lingkungan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.1

Distribusi Wilayah Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Jumlah Kelurahan

No Nama Kelurahan Jumlah Lingkungan 1 Jumlah 123 Lingkungan

(50)

Adapun letak wilayah Kecamatan Medan Perjuangan adalah sebagai berikut : Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung

( parik Sei Kera / Sungai Sulang Suling )

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Kota.

Sebelah Barat : Berbatasan dengan KecamatanMedan Timur. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Medan Timur

Secara geografis Kecamatan Medan Perjuangan merupakan tanah daratan yang setiap tahunya dilalui oleh dua musim ( musim panas dan musim hujan dengan suhu antara 23-32 derajat Celsius). Daerah ini didiami oleh berbagai sub suku bangsa dan sebahagian besar wilayah ini adalah pemukiman yang mana selah Utara merupakan daerah tempat tinggal dan sebelah Selatan merupakan rumah pertokoan, industri.

Dalam menjalankan roda pemerintah dan terlaksananya pembangunan di Kecamatan Medan Perjuangan dibekali 1 (satu) unit Gedung Kantor Camat, berlantai dua, dan memiliki 23 orang tenaga personil, 9 orang Kepala Kelurahan, dan 40 orang Perangkat Kelurahan. Dan Dinas / Instansi Lintas Sektoral di Kecamatan Medan Perjuangan, sebagai berikut:

1. Dan Ramil-02 Medan Timur /Perjuangan 2. Kapolsekta Medan Timur /Perjuangan 3. Kepala Seksi Dinas Kecamatan

(51)

6. Kantor Urusan Agama Kecamatan 7. Mentari Statistik Kecamatan 8. Juru penerangan Kecamatan

9. Kepala Kantor Depdikbur Kecamatan

Data kependudukan yang diperoleh dari kantor Kecamatan Medan Perjuangan menunjukkan jumlah penduduk seluruhnya pada tahun 2000 sebanyak 94,789 orang yang terdiri atas suku bangsa, agama, yang berbeda-beda atau heterogen. Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan yang terdiri atas suku-suku bangsa berdasArkan Kelurahan, dapat di gambarkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4. 2

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Tingkat suku Bangsa

Suku Jumlah Persentase

(52)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa suku Batak (Tapsel, Toba dan Karo) berada pada peringkat yang tertinggi dari suku lainya berjumlah 20.579 orang atau 21,71 % dari keseluruhan jumlah penduduknya. Dan sub suku Batak merupakan sub suku yang tertinggi jumlahnya yakni 20.457 orang atau 21,58 % dari jumlah suku Batak, dan 21,71 % dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Dan suku yang terendah jumlahnya di daerah ini adalah sub suku bangsa Batak Karo yaitu 4.739 orang atau 10.00 % dari jumlah keseluruhan suku Batak di Kecamatan Medan Perjuangan, dan 4,99 % dari keseluruhan penduduknya.

Penduduk yang berjumlah 94.789 orang tersebut ditinjau berdasarkan mata pencaharian dapat di gambarkan sebagai berikut:

Tabel 4 3

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan perjuangan Berdasarkan Mata Pencaharian

Pekerjaan Jumlah Persentase Pegawai Negeri

(53)

bekerja. Dengan kata lain perbandingan yang bekerja dengan yang belum / tidak bekerja adalah 1:3, artinya seorang yang bekerja menanggung 3 orang yang belum bekerja.

Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Kecamatan Medan Perjuangan digambarkan sebagai berikut ;

Tabel 4.4

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase Buta Huruf Jumlah 65,176 orang 100,00%

Sumber : Kantor Kecamatan Medan Perjuangan, 2010

Berdasarkantabel 4.4 di atas, dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan terdapat 65.176 orang yang masuk kategori berdasarkan tingkat pendidikan atau 66,78 % dari 94,789 orang. Dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa pendidikan cukup berhasil di Kecamatan Medan Perjuangan.

(54)

Tabel 4. 5

Distribusi Penduduk Kecamatan Medan Perjuangan Berdasarkan Agama

Agama Jumlah Persentase

Islam

Berdasarkan table 4.5 yang dikemukakan di atas, maka diambil suatu kesimpulan bahwa sebagian besar penduduk menganut agama Islam dengan jumlah 56.577 atau 56 % dari keseluruhan jumlah penduduk, diikuti urutan kedua yaitu Kristen Protestan dengan jumlah 18.928 atau 20 % dari keseluruhan jumlah penduduknya, sedangkan urutan yang terendah adalah penduduk beragama Hindu yakni dengan jumlah 529 orang atau 1 % dari keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Medan Perjuangan.

(55)

Medan Perjuangan masing-masing sub suku bangsa Batak Tapanuli Selatan (Tapsel), dan Sub Suku Bangsa Batak Toba.

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa daerah ini dapat lebih mendominasi oleh kedua suku ini baik dalam pola pikiranya, pola berbicara, maupun pola bertindak /bertingkah laku dari setiap penduduknya. walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa walaupun kedua suku tersebut lebih banyak jumlahnya untuk tidak mendominasi pola kehidupan bermasyrakat di Kecamatan Medan Perjuangan. Asumsi yang lain mengenai kedua suku yang mendominasi dalam jumlah tersebut juga tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh budaya suku lain sekalipun jumlahnya terbesar. Juga apabila ditinjau mengenai jumlah penduduk yang digambarkan berdasarkan penganut agama, terlihat bahwa yang menganut agama Islam mendominasi jumlah keseluruhan dibandingkan dengan agama lain.

4.1.1.2 Gambaran Umum Kelurahan Sidorame Barat II

(56)

Tabel 4. 6

Distribusi Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Lingkungan

Lingkungan Nama Kepling Lokasi siskamling I

Edy Yus Karim Siregar Sabaruddin Siregar

Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II yang memiliki luas 40 hektar, berbatasan dengan wilayah-wilayah di bawah ini, antara lain :

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Sidorame Timur Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Sidorame Barat II Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Tegal Rejo

(57)

Wilayah Kelurahan Sidorame Barat II yang terdiri atas 9 lingkungan memiliki penduduk sejumlah 8.985 orang, yakni terdiri atas 4.139 orang laki-laki, dan 4.846 orang perempuan, dengan persebaran penduduk menurut lingkungan sebagai beriku:

Tabel 4. 7

Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II

No Lingkungan KK

Jenis Kelamin Jumlah

(58)

Data diatas juga menunjukkan bahwa perbandingan penduduk berdasarkan jenis kelamin adalah tidak sama, dimana data menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan laki-laki sebanyak 4149 orang dan perempuan sebanyak 4846 orang.

Selanjutnya, penduduk keseluruhan Sidorame Barat II dapat di paparkan berdasarkan mata pencaharian umunya, antara lain sebagai berikut:

Tabel 4. 8

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase Jlh Pkrja Jlh Pddk

(59)

Tabel 4. 9

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Tingkat Usia

No Tingkat Usia Jumlah Persentase

Dari uraian tabel 4.9 di atas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penduduk yang tinggal di kelurahan Sidorame adalah usia 56 tahun keatas yaitu sebanyak 33,36% ini menunjukkan bahwa penduduk kelurahan Sidorame, mulai umur 19 tahun keatas sudah pindah ke kota untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi atau kuliah, sebagian pergi merantau ke kota yang lebih besar untuk mencari pekerjaan.

Apabila digambarkan berdasarkan keturunan (Warga Negeri Asli dan Warga Negara keturunan ), adalah sebagai berikut :

Tabel 4. 10

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Kewarganegaraan

No Kewarganegaraan Jumlah 1

Jumlah 8.985 orang

(60)

Dari data di atas dapat di asumsikan bahwa penduduk Kelurahan sidorame Barat II hampir seluruhnya adalah warga negara asli, dimana hanya 12 orang yang merupakan warga negara keturunan. Pendidikan merupakan usaha yang terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya (Nugraheni) Berdasarkan tingkat pendidikan, ditemukan penduduk yang buta huruf di Kelurahan Sidorame Barat II dapat di gambarkan tabel berikut ini :

Tabel 4. 11

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah 1

Jumlah 1479 orang

Sumber : Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 2010

(61)

Tabel 4. 12

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Agama

Data di atas menunjukkan suatu perbandingan seimbang antara penduduk yang menganut agama Islam dengan Kristen (Protestan dan Katolik). Hal tersebut bila di gabungkan, tetapi jika dipisahkan keduanya (Protestan dan Katolik), maka terdapat urutan dimana agama Islam sebagai urutan pertama, disusul dengan agama Kristen Protestan, dan selanjutnya Kristen Katolik dan Budha.

(62)

Tabel 4. 13

Distribusi Penduduk Kelurahan Sidorame Barat II Berdasarkan Suku Bangsa

No Suku Jumlah Persentase

Sumber :Kantor Kelurahan Sidorame Barat II, 20010

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa ada kira-kira 10 suku bangsa yang mendiami wilayah Kelurahan Sidorame Barat II, dengan penduduk suku yang terbanyak adalah suku Batak Toba, yang sebagian besar berasal dari Humbang Hasundutan yaitu berjumlah 3119 orang atau 34,72 % dari keseluruhan penduduknya. Jadi secara kebudayaan dan latar suku daerah ini adalah merupakan daerah yang heterogen penduduknya.

(63)

unit, Group Kesehatan ada 1 unit, Kelompok pemuda ada 4 unit, maka daerah ini cukup dalam merumuskan sistem interaksi dan sistem sosial yang di butuhkan.

Sarana air minum, jalan raya, sekolah dasar, SLTA sudah ada di daerah ini. Demikian juga sarana kendaraan bermotor dan sarana angkutan lainya terlihat mencukupi di daerah ini.

4.1.1.3 Gambaran Masyarakat Suku Batak Toba di Kelurahan Sidorame Barat II Kecamatan Medan Perjuangan

Belajar dari data mengenai kependuduk di atas, khususnya berdasarkan suku, baik di wilayah Kecamatan Medan Perjuangan secara keseluruhan suku Batak Toba merupakan suku terbanyak yakni berjumlah 20.579 orang atau 21,71 % dari jumlah keseluruhan penduduk Kecamatan Medan Perjuang, menyusul suku Tapanuli Tengah yang berjumlah 20.457 atau 21,58 % dari keseluruhan penduduk Kecamatan Medan Perjuangan, kemudian disusul suku Jawa dan seterusnya. Dapat disimpulkan baha kedua suku yang disebutkan merupakan suku yang mendominasi di daerah tersebut

Apabila di tinjau dari sudut pandangan mengenai hakeket alam dan lingkungan alam serta penggunanya, maka masyarakat suku Batak Toba merupakan kelompok yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik demi kelangsungan hidupnya. Artinya orang Batak Toba suka merantau ke nenegeri orang dan tinggal menetap di perantaunya.

(64)

tinggal dikelurahan tersebut masih punya ikatan kekeluargaan dan persaudaraan dengan orang-orang di desa asalanya baik mengenai adat atau aspek lainya. Namun demikian oleh adanya perubahan situasi dan kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan alam keanekaragaman kebutuhan dalam masyarakat perkotaan, secara tidak langsung mempengaruhi derajat integrasi dan adaptasi dengan lingkungan sekeliling demi kelansungan hidunya. Dengan kata lain, kebiasaan dan kebudayaan yang di bawa dari daerah asal tidaklah selalu dipertahankan dengan utuh, namun dapat berubah sesuai dengan kebutuhan yang membutuhkan.

(65)

4.1.2. Gambaran Umum Kabupaten Humbang Hasundutan

Kabupaten Humbang Hasundutan adalah Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara, Tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU No.9 tahun 2003. Yang terletak ditengah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan Luas Wilayah : 2.335, 33 Km2 terdir dari 10 Kecamatan, 1 Kelurahan dan 117 Desa. Memiliki jumlah penduduk 155.222 orang.

Adapun Letak Geografis kabupaten Humbang Hasundutan terletak diantara Lintang Utara, Bujur Timur memiliki batas :

Sebelah Utara : Kabupaten Samosir Sebelah Timur : Kabupaten Tapanuli Utara Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah Sebelah Barat : Kabupaten Pakpak Barat

Jika dilihat dari keadaan topografi adalah sebagai berikut: Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian bervariasi antara 330-2075 Meter diatas permukaan laut, dengan perincian Datar = 260,95 Km2 (0 s/d 2 %)

Landai = 459,60 Km2 (2 s/d 15 %) Miring = 993,68 Km2 (15 s/d 40 %) Terjal = 621,10 Km2 (40 s/d 44 %)

(66)

sekolak-sekolah., maupun kantor-kantor. Hal ini menjadi penyebat terjadinya imigrasi dari berbagai daerah yang berasal dari Kecamatan maupun Kabupaten lainya.

Golongan kelompok etnik yang bermukim di Kecamatan pollung adalah suku bangsa Batak Toba, suku bagsa Nias, suku bagsa Batak Karo. Akan tetapi yang menjadi kelompok suku bangsa terbesar adalah kelompok suku bangsa Batak Toba.

Tahun ini penduduk Kecamatan Pollung dengan luas wilayah mencapai 201,97, penduduknya 14.191 orang. Jumlah penduduk Kecamatan pollung berdasarkan jenis kelamin, penduduk Laki-laki di Kecamatan Pollung lebih banyak dari pada perempuan. Pada tahun ini penduduk Kecamatan Pollung berjenis kelamin perempuan berjumlah 7.001 orang, dan penduduk laki-laki berjumlah 7.190 orang.

(67)

moyang mereka yang dinilai sangat berharga untuk dipertahankan dari generasi ke generasi. Kemenyan telah menjadi sumber mata pencaharian warga tiga desa itu, sejak dahulu kala, Jika kemenyan punah, sama saja artinya dengan mematikan kehidupan penduduk setempat. (http://www.Humbang Hasundutan.com senin 27 september 2010 jam 5-6.30).

Sayangnya,warga masih belum bisa mengelola kemenyan tanpa gangguan. Sebab sampai sekarang konflik antara warga Desa Pandumaan,Hutajulu dan Sipitu Huta dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang telah menebangi kemenyan belum juga berakhir dengan solusi. Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan sendiri belum bisa menyelesaikan masalah itu., warga masih dihantui rasa khawatir jika tanaman yang dikelola secara turun temurun dari nenek moyangnya itu akan ditebangi sampai tak bersisa. Perjuangan warga untuk menolak penebangan kemenyan mendapat dukungan dari banyak pihak. Sebab penolakan warga juga dianggap sebagai bagian dari penyelamatan aset dunia yang berfungsi banyak itu di Kabupaten Humbang Hasundutan . . (http://www.Humbang Hasundutan.com senin 27 september 2010 jam 5-6.30)..

(68)

begitu mementingkan pendidikan. Pendidikan hanya ditujukan pada anak laki-laki saja. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya tingkat penghasilan masyarakat Pollung. Sekarang terlihat adanya perubahan cara memperlakukan anak perempuan dalam pendidikan. Anak perempuan dengan anak laki-laki mendapat perlakuan yang sama dalam pendidikan.

Tabel 4.14

distribusi berdasarkan pendidikan

Sumber: Data Kantor Kecamatan Pollug 2010

Tabel 4.14 di atas menunjukkan bahwa di Kecamatan Pollng pendidikan sudah merupakan prioritas penting bagi kehidupan mereka, ini terlihat pada jumlah penduduk yang beredasrkan pendidikan. Pendidikan yang Tamatan SD adalah yang terbanyak dengan jumlah 780 orang sedangkan persentasenya 31,4 % yang tamatan SD ini adalah rata-rata yang berusia 12 tahun keatas dan kebanyakan yang sedang melanjutkan kesekolah tingkat SMP. Penduduk yang tamatan SMP terbanyak kedua dengan jumlah 716 orang sedangkan persentasenya 28,9 %. Penduduk yang tamatan SMA ini kebanyakan pergi merantau seperti kuliah dan mencari pekerjaan di luar daerahnya dan debagian lagi adalah orang tua yang masih produktif. Penduduk yang

(69)

tamatan SMA adalah yang terbanyak ke tiga dengan jumlah 390 orang sedangkan persentasenya 15,7 % penduduk ini adalah rata-rata yang sedang melanjutkan pendidikan ketingkat SMA.Terbanyak ke empat adalah penduduk yang tamatan Tk dengan jumlah 192 orang sedangkan persentasenya 7,7 %, penduduk yang tamatan Tk adalah penduduk yang melanjutkan pendidikan ketingkat SD penduduk yang belum sekolah adalah yang terbanyak ke lima dengan jumlah 200 orang dan persentasenya 8,1 %, kebanyakan penduduk ini adalah penduduk yang usianya masih balita. Tamatan akademik adalah yang terbanyak ke enam dengan jumlah 114 orang dan persentasenya 4,6 %. Tamatan sarjana merupakan terbanyak terakhir dengan jumlah 89 orang dan persentasenya 3,6 %. Melihat jumlah penduduk berdasrkan pendidikan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penduduk Kecamatan Pollung saat ini sudah sangat memproritaskan pendidikan.

Penduduk Kecamatan Pollung adalah masyarakat pemeluk agama islam dan Kristen, dengan melaksanakan kehidupa n beragama dengan baik, hal ini tercermin dari aktivitas-aktivitas keagamaan yang di jalankan oleh pendudunya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing.

Tabel 4.15. Komposisi berdasarkan agama

Agama jumlah Persentase

Kristen Islam

2463 18

99,3 0,7

jumlah 2481 100

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4. 2
Tabel 4.4
Tabel 4. 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor pendorong terjadinya perubahan perlakuan terhadap anak perempuan adalah masuknya agama Kristen yang mengajarkan bahwa kedudukan laki-laki dengan perempuan adalah sama

Penulis tesis ini memerikan keterkaitan antara peran penutur dan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba.. Prinsipnya, kebiasaan kegiatan adat

Skripsi ini berisi uraian dari penelitian yang akan dilakukan terhadap peristiwa tutur pada upacara adat Mangongkal holi dalam masyarakat Batak Toba di desa Parsoburan

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Pelaksanaan upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba dahulu dilaksanakan dalam waktu dan proses yang cukup lama, sekarang dipersingkat dengan istilah upcara adat

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Patar Simamora dan Bapak Langkas Lumbangaol bahwa cara pembagian warisan yang terjadi dalam masyarakat adat Batak Toba

Masyarakat Batak khususnya masyarakat Batak Toba mengenal parjambaran sebagai bagian dari beberapa upacara adat yang masih dilaksanakan sampai saat ini, dan Parjambaran

Nurcahaya (2007) dalam skripsi yang berjudul “ Tuturan pada upacara adat pernikahan masyarakat Batak T oba” mengkaji jenis tuturan yang terdapat pada upacara adat