• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN DI KABUPATEN SUKOHARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN DI KABUPATEN SUKOHARJO"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM

PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN

DI KABUPATEN SUKOHARJO

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Penyuluhan Pembangunan

Minat Utama : Manajemen Pengembangan Masyarakat

Oleh : Sutarto S630207012

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

xi

ABSTRAK

SUTARTO. S630207012. Partisipasi Perempuan dalam Program Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kabupaten Sukoharjo. Komisi Pembimbing : Dr. Drajat Trikartono, MS., dan Ir. Supanggyo, MS. Program Studi: Manajemen Pengembangan Masyarakat, Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

Penelitian tesis mengenai partisipasi perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan perkotaan, ini adalah untuk mengetahui bagaimana partisipasi yang dilakukan oleh Perempuan dan sejauh mana keterlibatan mereka yang dirasakan berhasil dalam pelaksanaan program. Partisipasi perempuan adalah suatu tindakan secara sadar dengan adanya keterlibatan mental dan emosi serta fisik seseorang atau kelompok masyarakat yang secara sadar dilakukan dalam usaha untuk mencapai tujuan dengan cara merencanakan, melaksanakan, menggunakan dan disertai tanggung jawab serta evaluasi.

Penulis merasa tertarik memilih partisipasi perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan perkotaan, karena perempuan mempunyai beban berat dampak dari kemiskinan dan mereka mempunyai usaha dan dedikasi yang tinggi untuk selalu berusaha untuk mengikuti program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), serta merubah anggapan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan tidak mampu berkontribusi terhadap proses pembangunan. Partisipasi perempuan secara sukarela dalam mengikuti P2KP adalah sebuah tindakan antar individu atau kelompok untuk satu tujuan yang sama tanpa ada intervensi, dorongan atau paksaan dari orang lain.

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada realita yang muncul dan bertujuan untuk menggambarkan data dengan uraian atau penjelasan yang berasal dari wawancara atau catatan di lapangan. Teknik pengumpulan data dengan metode purposive sample, pengambilan sampel untuk membantu mendapatkan gambaran bagaimana dan sejauh mana keberhasilan, factor dan penghambat serta dampak partisipasi partisipasi yang dilakukan oleh perempuan di P2KP. Untuk menguji validitas data menggunakan trianggulasi data. Lokasi dalam penelitian ini adalah kecamatan Sukoharjo, kecamatan Grogol dan kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo.

Dari hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi perempuan dalam pelaksanaan kegiatan P2KP menunjukkan adanya tindakan sosial perempuan dalam berpartisipasi melewati proses : perencanaan yaitu memberikan ide/gagasan dan menentukan pengambilan keputusan; pelaksanaan yaitu dengan memberikan bantuan waktu, tenaga, dan pikiran; pemanfaatan yaitu sebagai pelaku, pemanfaat dan penerima dana bantuan langsung masyarakat P2KP.

Kata kunci : Partisipasi Perempuan dalam Penanggulangan Kemiskinan

(3)

commit to user

xii

ABSTRACT

Sutarto, S630207012. The Women’ Participation in Urban Poverty Prevention

Program (P2KP) in Sukoharjo. Principal Advisor: Dr. Drajat Trikartono, MS.,

and Ir. Supanggyo, MS. Thesis: The Graduate Program in Community Development Management, Sebelas Maret University, 2011.

This research studies the women’ participation in Urban Poverty Prevention Program (P2KP). Its objectives are to investigate: how the women’ participation in P2KP is conducted and how far the women’ participation involved in P2KP is felt to contribute to its success. The women’ participation is a realized act through mental, emotional and physical involvement, individually or collectively, so as to achieve a defined goal by planning, implementing, using, and evaluating responsibly.

The writer is interested in choosing the women’ participation in P2KP because the women bear a heavy burden due to the impact of poverty and have a big effort and a high dedication to always follow the program as well as to change the assumption that the women are weak and unable to contribute to the development process. The women’ voluntary participation in P2KP is an inter-individual or collective act for achieving the same goal without any intervention, encouragement or oppression of other people.

This research used a descriptive qualitative one emphasized on the existing reality, and the objective of which was to describe the data through elaborations and explanations based on the results of the questionnaires or field notes. The research was conducted in Sukoharjo sub-district, Grogol sub-district, and Kartasura sub-district of Sukoharjo regency. The samples of the research were taken by using a purposive sampling technique. This is to help obtain the descriptions how and how far the success, supporting and inhibiting factors, and impacts of the women’ participation in P2KP are. The data of the research were validated through the data triangulation.

The results of the research are as follows. The women’ participation in the implementation of the activities of P2KP shows the presence of their social act in their participation through the planning in which they give ideas and contribute to the decision-making, through the implementation in which they allocate their time, effort and thoughts to the program, and through the utilization in which they play roles as the agents, users, and receivers of the direct fund grants of P2KP.

(4)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul... .. i

Halaman Persetujuan... .. ii

Halaman Pengesahan ... .. iii

Pernyataan ... .. iv

Persembahan ... .. v

Kata Pengantar ... .. vi

Daftar Isi ... .viii

Daftar Tabel ... .. x

Abstract ... .. xi

Abstrak ... .. xii

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... .. 1

B. Identifikasi Masalah ... .. 7

C. Pembatasan Masalah ... .. 7

D. Rumusan Masalah ... .. 8

E. Tujuan Penelitian ... .. 8

F. Manfaat Penelitian ... .. 8

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ... .. 11

A. Landasan Teori ... .. 11

B. Kerangka Pikir ... .. 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... .. 52

A. Lokasi Penelitian ... .. 52

B. Jenis dan Strategi Penelitian ... .. 53

C . Unit Analisis ... .. 54

(5)

commit to user

ix

E. Teknik Pengumpulan Data ... .. 56

F. Teknik Cuplikan (Sampling) ... .. 64

G. Populasi dan Informan ... .. 66

H. Pembuatan Catatan Lapangan ... .. 67

I. Validitas Data ... .. 72

J. Teknik Analisis ... .. 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .. 83

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... .. 83

1. Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Sukoharjo ... .. 83

1.1. Kondisi Geografis ... .. 83

1.2. Peta Kemiskinan ... .. 85

1.3. Potensi ... .. 89

B. Implentasi Partisipasi Perempuan dalam P2KP ... .. 95

C. Pembahasan Hasil Penelitian... 124

BAB V PENUTUP ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Implikasi ... 151

C. Saran ... 156

DAFTAR PUSTAKA

(6)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Partisipasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses

pembangunan. Menurut Ginanjar Kartasamita (1955) “pembangunan

memang bisa berjalan dengan mengandalkan kekuatan yang ada pada

pemerintah...namun hasilnya tidak akan sama jika dibandingkan

dengan pembangunan yang mendapatkan dukungan dan partisipasi

rakyat”. Karena partisipasi masyarakat tersebut sangat penting , di

dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia disebutkan

bahwa bahwa partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat dalam

pembangunan harus semakin meluas dan merata.

Perencanaan partisipasif sangat ditentukan oleh sumberdaya

manusia yang berpartisipasi, baik pengetahuan, sikap, ketrampilan,

maupun tingkat partisipasinya. Menurut Conyers (1994), perencanaan

partisipatif sangat penting, namun masih dihadapkan pada kesulitan

yang sedemikian besar dalam memperoleh partisipasi umum yang

efektif.

Menurut Middleton dan Yvone Hsu (1975), tingkat partisipasi

masyarakat selama ini baru sampai pada tahap keterlibatan tokoh-tokoh

kunci dan wakil-wakil dari organisasi yang ada. Keterlibatan

(7)

commit to user

perencanaan partisipatif masih kurang, dan walaupun terjadi masih

bersifat sementara karena adanya daya tarik secara ekonomi

(iming-iming).

Pada kenyataannya perempuan terutama kelas bawah, harus

berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin

banyak pembangunan tanpa melibatkan kaum perempuan sebagai

subyek, pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena

mensubordinasikan perempuan. Yang terjadi selama ini bukan

pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk

pembangunan (Tuti Heraty Noerhadi,1989).

Perempuan berkeinginan mempengaruhi keputusan-keputusan

yang menyangkut kehidupan dan keluarga mereka, dan nasib

masyarakat negara, serta struktur hubungan internasional. Partisipasi

politik perempuan dan representasi perempuan merupakan esensi dan

perjuangan tersebut. Hal itu sekaligus merupakan jalan untuk

mempengaruhi alokasi sumber daya pembangunan yang merata dan

menentukan kehidupan baik bagi perempuan dan laki-laki di segala

usia.

Tingkat partisipasi bervareasi mulai dari lingkungan rumah , kota

hingga tingkat nasional. Perempuan perlu berpartisipasi mulai dari

tingkat mikro di rumah, tingkat organisasi masyarakat hingga tingkat

makro yaitu arti politik, parlemen dan struktur pemerintahan.

(8)

commit to user

tampaknya membuka skenario bagi peningkatan partisipasi dan

representasi perempuan.

Setelah menyadari bahwa partisipasi perempuan dalam politik dan

ekonomi tidak dapat dipisahkan, maka transformasi kelembagaan

diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi

pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan. Ada kaitan erat antara

proses yang menyebabkan kemiskinan dengan proses yang

menghasilkan ketimpangan gender. Upaya tingkat kemiskinan perlu di

informasikan oleh para analisis gender. Transformasi dan peningkatan

akuntabilitas lembaga-lembaga yang memperjuangkan kepentingan

perempuan, terutama perempuan miskin, sangat penting bagi upaya

pengurangan tingkat kemiskinan dan pemerintahan yang baik.

Data dari Human Development Report, UNDP 2006, menunjukan

sumber daya manusia perempuan di Indonesia, masih jauh tertinggal

dibanding laki-laki. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia,

diukur dari tiga variabel, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi

ini menempatkan Indonesia pada peringkat 108 dari 177 negara.

Kemiskinan berpotensi meningkatkan kekerasan terhadap

perempuan, baik dalam bentuk pelecehan, perdagangan, ancaman, dan

gangguan pada hak reproduksi. Mainstreaming gender juga jadi masalah

di seluruh departemen. Dalam Participatory Poverty Assessment (PPA),

GAPRI dan mitra-mitra di daerah menemukan bahwa kemiskinan

(9)

commit to user

admin – Posted on may 31 st, 2007) . Ada beberapa indikator yang

harus dipenuhi dalam hal kesetaraan gender, yaitu memperkuat akses

mencapai kesejahteraan, meningkatkan sumberdaya, dan meningkatkan

Partisipasi, Kemampuan untuk mengontrol sumber daya harus masuk

dalam strategi penanggulangan kemiskinan.

Pemerintah Indonesia, melalui Departemen Permukiman dan

Prasarana Wilayah, telah melakukan berbagai upaya penanganan

masalah kemiskinan. Salah satu diantaranya ialah Progam

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang dilaksanakan sejak

tahun 1999. P2KP adalah termasuk dari sekian banyak proyek

penanggulangan kemiskinan di era multi krisis yang diintrodusir

pemerintah melalui fasilitas Bank Dunia. Terdapat perbedaan mendasar

antara P2KP dengan proyek penanggulangan kemiskinan lainnya

tersebut, terutama dari segi visi dan misi yang diembannya.

Visi P2KP adalah Terwujudnya masyarakat madani yang maju,

mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif

dan lestari. Sedangkan misi P2KP, Membangun masyarakat mandiri

yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah

maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan

secara efektif dan mampu mewujudkan terciptanya lingkungan

pemukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan dengan

(10)

commit to user

Berpijak pada keyakinan dasar tersebut, P2KP mengembangkan

konsep penanggulangan kemiskinan di perkotaan secara konferehensif

dan utuh dengan mendorong perubahan perilaku masyarakat melalui

proses transformasi sosial dari kondisi masyarakat miskin menjadi

kondisi yang mandiri dan harapan akhirnya terbangun masyarakat

madani. Konsep P2KP adalah Konsep TRIDAYA yaitu; dengan

mendayagunakan bidang lingkungan, ekonomi dan sosial dalam upaya

mengurangi adanya kesenjangan gender dalam masyarakat. Kesetaraan

gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk

memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar

mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan

politik, hukum, sosial, dan bidang lainnya.

Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan

ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap

perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada

pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan

kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya

kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya

diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian

mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas

pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari

(11)

commit to user

atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki

wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan

hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki

kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan

hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari

pembangunan, serta menambah kesejahteraan masyarakat secara

menyeluruh, adil dan tanpa adanya deskriminasi terhadap perempuan.

Sehingga pembangunan yang dilakukan lewat program P2KP akan

berjalan dengan lancar sesuai target dan tujuan yang sudah

direncanakan serta sesuai sasaran.

Upaya tersebut, dalam konsep P2KP dituangkan dalam indikator

keberhasilan dengan menyertakan persentase partisipasi perempuan

didalamnya. Adapun keterlibatan itu bisa dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 1.

Indikator keberhasilan Partisipasi Perempuan dalam P2KP Indikator Target capaian

(12)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini dimaksudkan untuk

mengetahui bagaimana: Partisipasi Perempuan dalam Program

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), di kecamatan Grogol,

kecamatan Sukoharjo, kecamatan Kartasura di Kabupaten Sukoharjo.

B. Indentifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Masih rendahnya partisipasi perempuan dalam program

pembangunan ;

2. Masih terjadi marginalisasi dan diskriminasi terhadap kaum

perempuan dalam proses pembangunan

3. Hasil pembangunan belum berpihak kepada kebutuhan perempuan

khususnya perempuan miskin.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi hanya pada

permasalahan :

1. Partisipasi perempuan dalam kegiatan program penanggulangan

kemiskinan perkotaan;

2. Faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam program

(13)

commit to user

3. Dampak partisipasi perempuan dalam program penanggulangan

kemiskinan perkotaan (P2KP) di kabupaten Sukoharjo.

D. Perumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana partisipasi perempuan dalam program penanggulangan

kemiskinan di perkotaan ?,

2. Faktor apa yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam

program penanggulangan kemiskinan perkotaan?

3. Bagaimana dampak partisipasi perempuan dalam program

penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP)?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini akan mengarahkan kajiannya secara cermat dan

teliti sehingga mampu untuk memahami, mengetahui, dan

mendeskripsikan tentang :

a. Partisipasi perempuan dalam program penanggulangan kemiskinan

perkotaan di kabupaten Sukoharjo (P2KP) di Kabupaten Sukoharjo;

b. Faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam program

penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP) di Kabupaten

Sukoharjo;

c. Dampak partisipasi perempuan dalam Penanggulangan Kemiskinan

(14)

commit to user

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

dibedakan sebagai berikut :

1. Manfaat Normatif

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai

tambah (added value) terhadap peningkatan kualitas dan

kuantitas partisipasi perempuan dalam program

penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), menumbuhkan

kesadaran kritis masyarakat khususnya perempuan, mendorong

pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan

P2KP.

2. Manfaat Teoritis

a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang Partisipasi

Perempuan dipadukan dengan teori-teori yang relevan dengan

masalah yang diteliti.

b. Sebagai bahan untuk menambah khasanah pustaka dan

sebagai salah satu sumber bagi peneliti selanjutnya.

c. Diharapkan dapat mengembangkan ide dan pemikiran

berkaitan dengan Partisipasi Perempuan dalam Program

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).

3. Manfaat Praktis

a. Mengungkapkan hambatan dan kendala Partisipasi

(15)

commit to user

Perkotaan (P2KP).

b. Memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi

Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)

kepada Pemerintah Kabupaten Sukoharjo.

c. Memberikan masukan kepada Dinas Pekerjajaan Umum dan

Konsultan Pendamping P2KP dalam merumuskan kebijakan

Partisipasi Perempuan dalam Program Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan (P2KP).

d. Hasil penelitian yang diperoleh dapat menimbulkan

(16)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Landasan Teori

Untuk dapat melaksanakan penelitian dengan baik dan benar,

maka harus ada suatu kajian teori yang dapat dijadikan konsep dasar

penelitian. Kajian teori dalam penelitian ini, hanya akan memberikan

suatu kerangka berpikir untuk memberikan batasan-batasan tentang

makna yang berkaitan dengan fokus penelitian, yaitu Partisipasi

Perempuan Dalam Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di

Kabupaten Sukoharjo.

1. Pemberdayaan

Peran dan kedudukan perempuan dalam pembangunan mulai

mendapat perhatian serius dari pemerintah dengan di masukannya isu

perempuan dalam Garis –garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun

1978 dan terbentunya lembaga Menteri Peranan Wanita yang sekarang

berubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada akhir

tahun 1999, di mana perempuan sebagai mitra sejajar pria, perempuan

dapat lebih berperan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat,

berbangsa dan bernegara.

Pada kenyataannya perempuan terutama kelas bawah, harus

(17)

commit to user

banyak pembangunan tanpa melibatkan kaum perempuan sebagai

subyek, pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena

mensubordinasikan perempuan. Yang terjadi selama ini bukan

pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk

pembangunan (Tuti Heraty Noerhadi,1989).

Menurut Pranarka dan Vidhyandika (1996: 57), proses

pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu:

1) Proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,

kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu

menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya

membangun aset material guna mendukung pembangunan

kemandirian melalui organisasi. Ini disebut dengan

kecenderungan primer dari makna pemberdayaan;

2) Proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar

mempunyai kemampuan untuk menentukan apa yang menjadi

pilihan hidupnya melalui proses dialog atau konsientisasi.

Parsons, et.al. (dalam Suharto, 2005: 58-59) mengartikan

pemberdayaan sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi

cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan

mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang

mempengaruhi kehidupannya. Sedangkan menurut Rappaport (dalam

(18)

commit to user

rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai

(berkuasa atas) kehidupannya.

Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan. Sebagai

proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat

kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat,

termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.

Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil

yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang

berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat

fisik, ekonomi, maupun sosial. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan

seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan

sebagai sebuah proses (Suharto, 2005: 60).

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya

kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau

kemampuan dalam:

1) Memenuhi kebutuhan dasar sehingga mereka memiliki kebebasan;

2) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka

dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang

dan jasa-jasa yang mereka perlukan;

3) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan

yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005: 58). Sennet dan Cabb

(19)

commit to user

dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:

ketiadaan jaminan ekonomi, pengalaman dalam arena politik, akses

terhadap informasi, dukungan finansial, pelatihan-pelatihan, dan

adanya ketegangan fisik maupun emosional.

Ada lima strategi pemberdayaan yang biasa dilakukan oleh

lembaga-lembaga Bina Swadaya (Sulistiya Ekawati, 2005: 50), yaitu:

1) Program pengembangan sumber daya manusia, yang meliputi

berbagai macam pendidikan dan latihan baik untuk anggota maupun

pengurus kelopmpok, mencakup pendidikan dan latihan

ketrampilan pengelolaan kelembagaan kelompok, teknis produksi

dan usaha;

2) Program pengembangan kelembagaan kelompok, yang antara lain

meliputi bantuan penyusunan mekanisme organisasi, kepengurusan

administrasi dan peraturan rumah tangga;

3) Program pemupukan modal swadaya dengan sistem tabungan dan

kredit anggota, serta menghubungkan kelompok dengan lembaga

keuangan setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan

modal lebih lanjut;

4) Program pengembangan usaha produktif, atara lain meliputi

peningkatan usaha produksi (dan jasa), pemasaran yang disertai

dengan kegiatan studi kelayakan usaha dan informasi pasar;

5) Program informasi tepat guna yang sesuai dengan tingkat

(20)

commit to user

memberikan masukan yang dapat mendorong inspirasi ke arah

inovasi usaha lebih lanjut.

Ginandjar Kartasasmita(1995) menyatakan bahwa uapaya

memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini berdasarkan asumsi

bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat

dikembangkan;

2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan

menerapkan langkah-langkah nyata, menampung berbagai masukan,

menyediakan prasarana dan sarana baik fisik (irigasi, jalan dan

listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan)

yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan paling bawah;

3) Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam

proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah

bertambah lemah atau semakin terpinggirkan dalam menghadapi

yang kuat.

Upaya pemberdayaan masyarakat diusahakan bisa

mengikutsertakan semua potensi yang ada pada masyarakat. Dalam

hubungan ini, pemerintah daerah harus mengambil peranan lebih besar

karena mereka yang paling mengetahui mengenai kondisi, potensi, dan

kebutuhan masyarakatnya. Pemberdayaan diarahkan untuk menaikkan

(21)

commit to user

meningkatkan derajat kesehatannya agar mereka dapat hidup secara

lebih produktif

Gerakan membangun dan memberdayakan masyarakat

memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan isu-isu lokal

dan global. Satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan

masyarakat (community empowerment) adalah pendekatan yang

diterapkan seringkali selalu hanya berkutat pada konteks lokal.

Sedangkan sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut

pembangunan sosial, kebijakan sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan

gender, eklusivisme, pembelaan hak-hak publik, dan kesetaraan sosial

kurang mendapat perhatian. Seakan-akan komunitas lokal merupakan

entitas sosial yang terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial

yang mengitarinya.

Memang tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme

seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan

kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembagaan dan kebijakan

sosial secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan

saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan

(Suharto, 2005: vii).

Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang

berhubungan dengan ‘kekuasaan’ (power). Dalam tulisan Robert

Chambers (1992:56) , kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol

(22)

commit to user

informasi. Karena itu, pemikiran penting Chambers mengenai

pemberdayaan masyarakat adalah pengambilalihan penguasaan terhadap

ilmu pengetahuan dan informasi, sebagai salah satu sumber kekuasaan

yang penting, dari orang luar (peneliti dan agen pembangunan) oleh

masyarakat. Caranya dengan menggali dan menghargai pengetahuan

dan teknologi lokal, serta menjadikan proses pembelajaran sebagai

milik masyarakat, bukan milik orang luar. Selain itu, Chambers juga

melihat isu kekuasaan dalam konteks pola hubungan antara kelompok

dominan/elite masyarakat dengan kelompok ‘bawah’, antara

negara-negara miskin (dalam skala komunitas, nasional maupun global).

Pemberdayaan, adalah proses yang sangat politis, karena

berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka

bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menentang kelompok

pro-status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan

perubahan (dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu

memerlukan proses demokratisasi, atau sebaliknya proses demokratisasi

selalu memerlukan proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi

hanya akan berhasil jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal

yang tidak demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan

terhadapnya agar menjadi lebih demokratis. Hal ini membutuhkan

kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor – aktor yang sangat

(23)

commit to user

kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha – usaha

perubahan tersebut.

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya

kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau

kemampuan dalam:

1) Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki

kebebasan;

2) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka

dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang

dan jasa-jasa yang mereka perlukan;

3) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan

yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005: 58).

Menurut Ife (dalam Suharto, 2005: 59), pemberdayaan memuat

dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan

di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti

sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien (sasaran) atas:

1)Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup:

kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya

hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan;

2)Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan

(24)

commit to user

3)Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan

menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara

bebas dan tanpa tekanan;

4)Lembaga-lembaga; kemampuan menjangkau, menggunakan dan

mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga

kesejahteraan sosial, pendidikan, dan kesehatan);

5)Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal,

informal, dan kemasyarakatan;

6)Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola

mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa;

7)Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,

perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

Menurut Sumodiningrat (1995), memberdayakan juga

mengandung arti melindungi, sehingga dalam proses pemberdayaan

harus dicegah agar yang lemah tidak bertambah menjadi lemah. Karena

itu diperlukan strategi pembangunan yang memberikan perhatian lebih

banyak (dengan mempersiapkan) lapisan masyarakat yang masih

tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern.

Strategi ini perlu lebih dikembangkan yang intinya adalah bagaimana

rakyat lapisan bawah harus dibantu agar lebih berdaya, sehingga tidak

hanya dapat meningkatkan kapasitas produksi dan kemampuan

(25)

commit to user

sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional (Mardikanto,

2003: 83).

Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi

ekonomi rakyat, tetapi juga meningkatkan harkat dan martabat, rasa

percaya diri dan harga dirinya, serta terpeliharanya tatanan nilai budaya

setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang

implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak

saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi

juga nilai tambah sosial dan budaya (Harry Hikmat, 2001: 99).

2. Partisipasi

Penelitian tentang partisipasi perempuan dalam kegiatan

Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan

Sukoharjo, Kecamatan Grogol dan Kecamatan Kartasura Kabupaten

Sukoharjo ini mengacu pada paradigma definisi sosial Max Weber.

Dalam hal ini mengemukakan bahwa sosiologi sebagai ilmu tentang

tindakan sosial antar hubungan sosial. Secara definitif Weber dalam

(George Ritzer, 2002:38) merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang

berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative

understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai

kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep

dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial, Kedua konsep tentang

(26)

commit to user

menerangkan yang pertama. Yang dimaksudkan tindakan sosial adalah

tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti

subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.

Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau

obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain

bukan merupakan tindakan sosial.

Tindakan sosial Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata

diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat

“membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena

pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan

perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang

serupa atau persetujuan secara pasif dalam situsi tertentu.

Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah untuk

dipahami. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial tersebut Weber

(George Ritzer, 2002:44) kemudian membedakanya kedalam 4 tipe

tindakan, yaitu :

1. Zwerkrational

Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya

sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya sendiri.

Tujuan dari zwerkrational tidaklah absolute. Ia dapat juga menjadi

cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor, akan mudah untuk

(27)

commit to user 2. Werkrational Action

Dalam tindakan ini, aktor tidak dapat menentukan apakah cara-cara

yang ia pakai merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai

tujuan ataukah merupakan tujuan itu sendiri. Namun demikian

tindakan ini rasional dan dapat dipertanggungjawabkan karena dapat

dipahami.

3. Affectual Action

Tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan

kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, kurang atau

tidak rasional.

4. Traditional action

Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam

mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

Dari uraian tersebut dikatakan bahwa tindakan sosial merupakan

suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan secara

subyektif. Tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang

telah dipilih. Kesemuanya, dibatasi oleh sistem kebudayaan dalam

bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial.

Penelitian tentang partisipasi perempuan dalam kegiatan

Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan

Sukoharjo, Kecamatan Grogol dan Kecamatan Kartasura Kabupaten

(28)

commit to user

1. Pengertian

Teknik longwe adalah suatu teknik analisis yang dikembangkan

sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima criteria analisis

yang meliputi : kesejahteraan,akses, keasadaran, kritis partisipasi, dan

kontrol ( Widyaningrom, 1998 ). Lima dimensi pemberdayaan ini adalah

kategori analisis yang bersifat dinamis satu sama yang lain berhubungan

secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai

hubungan hirarkhis. Disamping iti kelima dimensi tersebut juga

merupakan tingkatan yang bergerak memutar sperti sepiral, makin tinggi

tingkat kesetaraan otommatis makin tinggi tingkat keberdayaan.

a. Dimensi Kesejahteraan

Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur

dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan,

perumahan, dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan

laki-laki. Dengan demikian kesenjangan gender ditingkat

kesejahteraan ini diukur melalui perbedaan tingkat kesejahteraan

perempuan dan laki-laki sebagai kelompok, untuk masing-masing

kebutuhan dasarnya.

b. Dimensi akses

Kesenjangan disini terlihat dari adanya perbedaan akses antara

laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya. Lebih rendahnya akses

(29)

commit to user

perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki. Selain itu dalam

banyak komunitas, permpuan di beri tanggung jawab melaksanakan

hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai waktu

untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya.

Pembangunan perempuan tidak cukup hanya pada pemerataan akses

karena kuragnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender

tetapi juga isu akibat deskriminasi gender.

c. Dimensi kesadaran

Kritis kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan adanya anggapan

bahwa posisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah dari

laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari

tatanan abadi. Pemberdayaan ditingkat ini berarti menumbuhkan

sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang diatas : bahwa

subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi

hasil deskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku.

d. Dimensi Partisipasi

Partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi

perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi

dalam proses perencanaan penentuan kibijakan dan administrasi.

Aspek ini sangat penting pada proyek pembangunan. Disini

(30)

commit to user

penetapan, kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan

monitoring serta evaluasi.

e. Dimensi Kuasa / Kontrol

Kesenjangan gender ditingkat ini terlihat dari adanya hubungan

kuasa yang timpang antara laki-laki dan permpuan. Ini bisa terjadi

ditingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas

lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang

antara laki-laki dan perempuan, satu tidak mendominasi atau berada

dalam posisi dominan atas lainya, artinya perempuan mempuayai

kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi,

posisi, masa depan diri dan komunitasnya.

2. Kegunaan

Teknik longwe digunakan sebagai alat analisis yaitu

menganalisis proses pemampuan perempuan, bukan dalam arti

kesejahteraan materiil. Tujuanya adalah untuk memahami lima butir

criteria analisis ( kesejahteraan, akses penyadaraan, partisipasi aktif dan

penguasaan) sehingga dapat menginterprestasikan pembangunan

perempuan sebagai suatu proses yang penting dan bagian dari integral

dan proses pembangunan serta untuk mencapai pemerataan gender

dalam lima butir tersebut. Metode ini dapat digunakan pada setiap dari

siklus proyek yaitu dilihat pada bagian yang dirasa sangat penting,

(31)

commit to user

evaluasi dan program pembangunan melihat derajat sentivitas terhadap

isu perempuan yaitu dengan menilai negative, netral atau positif.

Negative berarti tujuan proyek tanpa mengaitkan isu perempuan netral

berarti isu perempuan sudah diliahat tetapi tidak diangkat dan ditangani,

dan intervensi proyek tidak berrakibat lebih buruk pada perempuan dan

positif berarti tujuan untuk betul-betul positif, memperhatikan isu

perempuan dan menanganinya sehingga hasilnya meningkatkan

kedudukan perempauan relative terhadap laki-laki.

3. Aplikasi Teknik Gender

Pembangunan perempuan memfokuskan pada upaya menangani

isu gender yang merupakan kendala dalam upaya memenuhi

kepentingan perempuan dan mencapai pemerataan untuk laki-laki dan

perempuan. Oleh karena itu peneliti atau perencana harus dapat

membedakan antara kepentingan dan isu gender. Kriteria pembagunan

perempuan merupakan kerangka analisis untuk mengidentifikasi

ketimpangan struktural sebagai sebagai akibat masih adanya sistem

deskriminasi gender yang bisa merugikan perempuan atau laki-laki.

Pembangunan bukan saja peningkatan akses terhadap sumber dan

manfaat tetapi bagaimana akses dan manfaat diperoleh.

Perkataan partisipasi berasal dari perkataan inggris “to

participate” yang mengandung pengertian “to make part” yang dalam

bahasa Indonesia berarti “the act participating”. Seseorang dikatakan

(32)

commit to user

ikut aktif mengambil bagian didalam kegiatan-kegiatan dan usaha

tersebut.

Dalam kamus Sosiologi disebutkan bahwa “partisipasi adalah

suatu tindakan yang merupakan keikutsertaan seseorang dalam

kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya”.

(Hartini, G.Kartasapoetra, 1992:16).

Sedangkan menurut Keith Davis yang juga telah menyatakan

atau mendefinisikan tentang arti dari partisipasi sebagai berikut :

”...mental and emotional involment of person group stuation whinch

enccurage responsibility in the...”

(Penyertaan mental dan emosi didalam suatu kelompok yang

mendorong mereka untuk menyumbangkan daya pikiran dan

perasaan mereka bagi tercapainya tujuan organisasi tersebut) (Keith

Davis,1990:24)

Dari definisi tersebut partisipasi mengandung pengertian :

1. Adanya penyertaan mental dan emosi dalam suatu tindakan.

Didalam partisipasi dituntut lebih dari pada sekedar penyertaan

fisik. Partisipasi merupakan proses penyertaan pikiran dan

perasaannya dalam dinamika organisasi terutama dalam proses

pembuatan keputusan dan tindakan yang dilakukan dengan

penuh kesadaran.

2. Partisipasi merupakan sarana bagi pengembangan diri para

(33)

commit to user

sebagai subyek bukan sekedar obyek dalam pengambilan

keputusan.

3. Partisipasi merupakan sarana untuk menumbuhkan dan

mempertebal rasa “ikut memiliki” dikalangan bawahan.

Bawahan berperan didalam setiap pengambilan keputusan

merasa bahwa baik buruknya keputusan yang diambil mereka

ikut bertanggung jawab karena pada hakekatnya mereka sendiri

yang memutuskan.

Menurut Moeljarto Tjokrowinoto, partisipasi adalah :

”penyertaan mental dan emosi seseorang didalam situasi kelompok,

yang mendorong mereka untuk menyumbangkan ide, pikiran dan

perasaan yang terciptanya tujuan bersama-sama bertanggung jawab

terhadap tujuan tertentu“.(Moeljarto Tjokrowinito,1978:29). Moeljarto

lebih menitikberatkan pada emosi seseorang dan agaknya kurang

memperhatikan segi fisik. Hal ini mungkin belum tentu dapat berlaku

bagi kelompok yang berorientasi pada pemimpin.

Dengan adanya berbagai definisi partisipasi maka dapatkah

ditarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat adalah keterikatan

mental dan emosi serta fisik seseorang untuk mencapai tujuan dengan

cara merencanakan, melaksanakan, menggunakan dan disertai tanggung

jawab.

(34)

commit to user

Dusseldorp 15 dalam (Yulius Slamet, 1993:10) mencoba

membuat klasifikasi dari berbagai tipe partisipasi. Klasifikasinya

didasarkan pada 9 Dasar, yaitu sebagai berikut :

1. Berdasarkan derajat kesukarelaan

a. Partisipasi bebas

Terjadi bila seseorang individu melibatkan dirinya secara sukarela

di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu. Partisipasi bebas

dapat dibedakan menjadi :

a.1. Partisipasi spontan

Terjadi bila seseorang individu mulai berpartisipasi berdasarkan

keyakinan tanpa dipengaruhi melalui penyuluhan atau

ajakan-ajakan oleh lembaga-lembaga atau orang lain.

a.2. Partisipasi terbujuk

Bila seorang individu mulai berpartisipasi setelah diyakinkan

melalui program penyuluhan atau oleh pengaruh lain sehingga

berpartisipasi secara sukarela didalam aktivitas kelompok

tertentu. Partisipasi ini dapat dibagi menurut siapa yang

membujuk , yakni :

- Pemerintah yang mempropagandakan program pembangunan

masyarakat, gerakan koperasi, LSM/LPSM atau HKTI.

- Badan-badan sukarela di luar masyarakat itu misalnya

(35)

commit to user

- Orang-orang yang tinggal di dalam masyarakat atau

golongan organisasi sukarela yang berbasiskan di dalam

masyarakat seperti PKK, Kelompok Tani dsb.

b. Partisipasi terpaksa

Dapat terjadi dalam berbagai cara :

b.1. Partisipasi terpaksa oleh hukum

Terjadi bila orang-orang terpaksa melalui peraturan atau

hukum, berpartisipasi didalam kegiatan-kegiatan tertentu

tetapi bertentangan dengan keyakinan mereka dan tanpa

melalui persetujuan mereka.

b.2. Partisipasi terpaksa karena keadaan kondisi sosial ekonomi

2. Berdasarkan cara keterlibatan

a. Partisipasi langsung

Terjadi bila diri orang itu melaksanakan kegiatan tertentu

didalam proses partisipasi seperti misalnya mangambil

peranan di dalam pertemuan-pertemuan, turut diskusi.

b. Partisipasi tidak langsung

Terjadi bila sesorang mendelegasikan hak partisipasinya,

misalnya pemilihan wakil-wakil di dalam DPR.

3. Berdasarkan keterlibatan di dalam berbagai tahap dalam proses

pembangunan terencana.

(36)

commit to user

Bila seorang baik secara langsung maupun tidak langsung

terlibat di dalam seluruh enam tahap dari proses

pembangunan terencana.

b. Partisipasi sebagian

Bila seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung

tidak terlibat di dalam seluruh enam tahap itu.

4. Berdasarkan tingkatan organisasi

Dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Partisipasi yang terorganisasi

Terjadi bila suatu struktur organisasi dan seperangkat tata

kerja dikembangkan atau sedang dalam proses penyiapan.

b. Pertisipasi yang tidak terorganisasi

Terjadi bila orang-orang berpartisipasi hanya dalam tempo

yang kadang-kadang saja yang Hukumnya karena keadaan

yang gawat, misalnya sewaktu terjadi kebakaran.

5. Berdasarkan intensitas dan frekuensi kegiatan

a. Partisipasi intensif

Terjadi bila disitu ada frekuensi aktivitas kegiatan partisipasi

yang tinggi. Menurut Muller hal ini diukur melalui dimensi

kuantitatif dari partisipasi.

b. Partisipasi ekstensif

Terjadi bila pertemuan-pertemuan diselenggarakan secara

(37)

commit to user

yang membutuhkan partisipasi dalam interval waktu yang

panjang.

6. Berdasarkan lingkup liputan kegiatan

a. Partisipasi tak terbatas

Yaitu bila seluruh kekuatan yang mempengaruhi komunitas

tertentu dapat diawali oleh dan dijadikan sasaran kegiatan

yang membutuhkan partisipasi anggota komunitas tertentu.

b. Partisipasi terbatas

Terjadi bila hanya sebagian kegiatan sosial, politik,

administratif dan lingkungan fisik yang dapat dipengaruhi

melalui kegiatan partisipatif.

7. Berdasarkan efektifitas

a. Partisipasi efektif

Yaitu kegiatan-kegiatan partisipatif yang telah menghasilkan

perwujudan seluruh tujuan yang mengusahakan aktivitas

partisipasi.

b. Partisipasi tidak efektif

Terjadi bila tidak satupun atau sejumlah kecil saja dari

tujuan-tujuan aktivitas yang dicanangkan terwujudnya.

8. Berdasarkan siapa yang terlibat

Orang-orang yang dapat berpartisipasi dapat dibedakan sebagai

(38)

commit to user

a. Anggota masyarakat setempat : penduduk setempat,

pemimpin setempat

b. Pegawai pemerintah : penduduk dalam masyarakat, bukan

penduduk

c. Orang-orang luar : penduduk dalam masyarakat, bukan

penduduk

d. Wakil-wakil masyarakat yang terpilih

Anggota-anggota dari berbagai kategori dapat diorganisir

(partisipasi bujukan) atau dapat mengorganisir diri mereka

berdasarkan dua prinsip, yaitu :

1. Perwilayahan, sifatnya homogen sejauh masih

menyangkut kepentingan-kepentingan tertentu.

2. Kelompok-kelompok sasaran, sifatnya homogen, sejauh

menyangkut kepentingan-kepentingan tertentu.

9. Berdasarkan gaya partisipasi

Roothman membedakan tiga model praktek organisasi masyarakat di

dalam setiap model terdapat perbedaan tujuan-tujuan yang dikejar

dan perbedaaan dalam gaya partisipasi.

a. Pembangunan lokalitas

Model praktek organisasi ini sama dengan masyarakat dan

maksudnya adalah melibatkan orang-orang di dalam

pembangunan mereka sendiri dan dengan cara ini

(39)

commit to user

kegiatan menolong diri sendiri. Model ini mencoba

melibatkan seluruh anggota masyarakat serta mempunyai

fungsi integrative.

b. Perencanaan sosial

Pemerintah telah merumuskan tujuan-tujuan dan

maksud-maksud tertentu yang berkenaan dengan perumahan,

kesehatan fisik dan lain sebagainya. Tujuan utama

melibatkan orang-orang adalah untuk mencocokkan sebesar

mungkin terhadap kebutuhan yang dirasakan dan membuat

program lebih efektif. Partisipasi di dalam perencanaan

sosial dapat dicirikan seperti yang disebutkan oleh Arstein

sebagai informan atau placatiaon. Akan tetapi adalah juga

bahwa partisipasi berkembang ke dalam bentuk partnership

atau perwakilan kekuasaan.

c. Aksi sosial

Tujuan utama dari tipe partisipasi ini adalah memindahkan

hubungan-hubungan kekuasaan dan pencapaian terhadap

sumber-sumber perhatian utama ada satu bagian dari

masyarakat yang kurang beruntung. Seperti halnya dalam

pembangunan lokalitas, peningkatan partisipasi diantaranya

kelompok sasaran adalah salah satu dari maksud-maksud

(40)

commit to user

Jadi, partisipasi masyarakat adalah : keterlibatan mental dan

emosi serta fisik sesorang atau kelompok masyarakat secara sadar dalam

usaha pencapaian tujuan dengan cara merencanakan, melaksanakan,

menggunakan dan disertai tanggung jawab. Penelitian ini akan meneliti

masyarakat menurut tipe partisipasi. Partisipasi masyarakat akan dilihat

dari partisipasi berdasakan derajat kesukarelaan, cara keterlibatan,

efektifitas, serta siapa yang terlibat.

Adapun klasifikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah

partisipasi Berdasarkan derajat kesukarelawanan

Dalam proses partisipasi masyarakat dalam suatu program

setidaknya secara garis besar ada tiga tahapan dalam partisipasi menurut

ceramahnya berserial tentang Development, Prof.Dr.Eugene.C.Ericson

dari Cornell University di Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan (yang

sekarang bernama Pusat penelitian pembangunan Pedesaan dan kawasan

/ P3PK) dalam (Yulius Slamet, 1983:105).

1. Partisipasi dalam perencanaan

Dalam proses ini orang sekaligus diajak turut membuat keputusan.

Yang dimaksud membuat keputusan adalah menunjang secara tidak

langsung seperangkat aktivitas tingkah laku yang lebih luas dan

bukannya semata-mata hanya membuat pilihan di antara berbagai

alternatif. Dalam hal kegiatan partisipatif perencanaan pembangunan

mencakup merumuskan tujuan, maksud, dan target, merumuskan

(41)

commit to user

tujuan, merencanakan dan menilai biaya dan sumber-sumber

biayanya, yang ringkasnya dapat disebut penyiapan rencana. Dalam

banyak hal membuat keputusan adalah sejajar dengan menyiapkan

rencana. (Yulius slamet, 1993:24).

2. Partisipasi dalam pelaksanaan

Pengukurannya adalah bertitik pangkal pada sejauh mana

masyarakat secara nyata terlibat di dalam aktivitas-aktivitas riil yang

merupakan perwujudan program-program yang telah digariskan,

didalam kegiatan-kegiatan fisik. Dengan demikian pengukurannya

adalah sejauh mana masyarakat telah memberikan sumbangan dalam

hubungannya dengan kegiatan lembaga yang bersangkutan.

3. Partisipasi dalam pemanfaatan program

Adalah partisipasi masyarakat dalam fase penggunaan atau

pemanfaatan hasil-hasil pembangunan.

Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan

kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig mayo dalam Harry

Hikmat, 2001: 4). Proses pemberdayaan masyarakat berakar kuat pada

proses kemandirian tiap individu, yang kemudian meluas ke keluarga,

serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional.

Konsep pemberdayaan menempatkan manusia sebagai subjek.

Partisipasi atau peran serta mengandung pengertian mengambil

bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu proses. Pengertian

(42)

commit to user

1) Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi;

2) Partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan

atau tujuan kelompok;

3) Partisipasi merupakan tanggung jawab terhadap kelompok

(Khairuddin, 1992: 59-63).

Partisipasi tidak hanya berarti mengambil bagian dalam

pelaksanaan-pelaksanaan pada rencana pembangunan akan tetapi

memberikan sumbangan agar dalam pengertian kita mengenai

pembangunan itu, nilai-nilai kemanusiaan, dan cita-cita mengenai

keadilan sosial tetap dijunjung tinggi. Partisipasi dalam pembangunan

berarti mendorong ke arah pembangunan yang serasi dengan martabat

manusia, keadilan sosial, keadilan nasional, dan yang memelihara alam

sebagai lingkungan hidup manusia, juga untuk generasi-generasi yang

akan datang (Simatupang dalam Khairudin, 1992: 59-69).

Munculnya paradigma pembangunan yang ”partisipatif” dan

”Partisipatoris” mengidentifikasikan adanya beberapa perspektif yaitu:

a) Pelibatan masyarakat setempat dalam sosialisasi dan perencanaan;

b) Pelibatan masyarakat setempat dalam pelaksanaan program atau

proyek yang mewarnai hidup mereka;

c) Melibatkan masyarakat setempat dalam pengendalian dan

pelestarian agar proyek atau program dapat dikendalikan dan

(43)

commit to user

d) Program atau proyek dapat dikendalikan dan berkelanjutan (Cleves

Julia, 2002: 232).

3. Konsep Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)

3.1. Pengertian P2KP

a. P2KP adalah Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan

Perkotaan dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan

pelaksanaan program – program penanggulangan kemiskinan

dengan berbasis pemberdayaan masyarakat. P2KP dilaksanakan

melalui harmonisasi dan pengembangan serta sistem mekanisme dan

prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan

stimulant untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam

upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

b. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya untuk menciptakan

atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu

maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan

terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan

kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan

keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta

berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap upaya

penanggulangan kemiskinan untuk memberikan kesempatan dan

menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang telah dicapai.

(44)

commit to user

Tujuan Umum

Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat

miskin secara mandiri.

Tujuan Khusus

a. Meningkatnya partisipasi seluruh dari berbagai unsur

masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan,

komunitas terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang

rentan dan sering terpinggirkan kedalam proses pengambilan

keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang

mengakar, representativ, dan akuntabel.

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin

melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak

pada masyarakat miskin (pro-poor atau keberpihakan pada

kemiskinan).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta,

asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,

organisasi masyarakat dan kelompok peduli lainnya, untuk

mengefektifkan upaya–upaya penanggulangan kemiskinan.

e. Meningkatnya keberdayaan dan kemandirian masyarakat serta

kapasitas pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat

(45)

commit to user

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai

dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan

kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan tepat guna, informasi

dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat .

3.3. Strategi

Strategi P2KP terdiri atas :

Strategi Dasar

a. Mengintensifkan bebagai upaya–upaya pemberdayaan untuk

meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat .

b. Menjalin kemitraan seluas–luasnya dengan berbagai pihak untuk

bersama–sama mewujudkan keberdayaaan dan kemandirian

masyarakat .

c. Menerapkan keterpaduan dan sinergi pendekatan pembangunan

sektoral, pembangunan kewilayahan, dan pembangunan

partisipatif.

3. 4. Strategi Operasional

a. Mengoptimalkan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki

masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta,

asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,

organisasi masyarakat dan kelompok peduli lainnya secara

(46)

commit to user

b. Menguatkan peran pemerintah kota atau kabupaten sebagai

pengelola program–program penanggulangan kemiskinan

diwilayahnya.

c. Mengembangkan kelembagaan masyarakat yang dipercaya,

mengakar, dan akuntabel.

d. Mengoptimalkan peran sektor dalam pelayanan dan kegiatan

pembangunan secara terpadu ditingkat komunitas.

e. Meningkatkan kemampuan pembelajaran dimasyarakat dalam

memahami kebutuhan dan potensinya serta memecahkan

berbagai masalah yang dihadapinya.

f. Menerapkan konsep pembangunan partisipatif secara konsisten

dan dinamis serta berkelanjutan.

3.5. Prinsip Dasar P2KP

P2KP menekankan prinsip –prinsip dasar berikut ini :

· Bertumpu pada pembangunan manusia. Pelaksanaan P2KP

senantiasa bertumpu pada meningkatan harkat dan martabat

manusia seutuhnya.

· Otonomi. Dalam pelaksanaan P2KP, masyarakat memiliki

kewenangan secara mandiri untuk berpartisipasi dalam

menentukan dan mengelola kegiatan pembangunan secara

(47)

commit to user

· Desentralisasi. Kewenangan pengelolaan kegiatan pembangunan

sektoral dan kewilayahan dilimpahkan kepada pemerintah daerah

atau masyarakat sesuai dengan kapasitasnya.

· Berorientasi pada masyarakat miskin. Semua kegiatan yang

dilaksanakan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan

masyarakat miskin dan kelompok masyarakat yang kurang

beruntung.

· Partispasi. Masyarakat terlibat secara aktif dalam setiap proses

pengambilan keputusan pembangunan dan secara gotong royong

menjalankan pembangunan.

· Kesetaraan dan keadilan gender. Laki laki dan perempuan

mempunyai kesetaraan dalam peranannya di setiap tahap

pembangunan dan dalam menikmati secara adil manfaat kegiatan

pembangunan.

· Demokratis. Setia pengambilan keputusan pembangunan

dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan tetap

berorientasi pada kepentingan masyarakat miskin.

· Transparansi dan Akuntabel. Masyarakat harus memiliki akses

yang memadai terhadap segala informasi dan proses

pengambilan keputusan sehingga pengelolaan kegiatan dapat

dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggunggugatkan

(48)

commit to user

· Prioritas. Pemerintah dan masyarakat harus memprioritaskan

pemenuhan kebutuhan untuk pengentasan kemiskinan dengan

mendayagunakan secara optimal berbagai sumber daya yang

terbatas.

· Kolaborasi. Semua pihak yang berkepentingan dalam

penanggulangan kemiskinan didorong untuk mewujudkan

hubungan yang sinergi antar pemangku kepentingan dalam

penanggulangan kemiskinan.

· Keberlanjutan. Setiap pengambilan keputusan harus

mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak

hanya saat ini tapi juga di masa depan dengan tetap menjaga

kelestarian lingkungan.

· Sederhana. Semua aturan, mekanisme dan prosedur dalam

pelaksanaan P2KP harus sederhana, fleksibel, mudah dipahami,

dan mudah dikelola serta dapat dipertanggungjawabkan oleh

masyarakat.

Strategi operasional P2KP terdiri dari tahapan sebagai berikut :

1. Pembelajaran

Tahap pembelajaran merupakan tahap pengenalan bagi

masyarakat, pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya. Pada

tahap ini masyarakat dan pelaku pembangunan mulai dari

kecamatan hingga desa atau kelurahan mendapat kesempatan

(49)

commit to user

partisipatif yang ditawarkan P2KP. Bagi pemerintah, tahap

pembelajaran ditujukan sebagai wahana pembelajaran dalam

penerapan pengelolaan pembangunan partisipatif dan penerapan

model kerjasma antara pemerintah nasional dan pemerintah

kabupaten atau kota dalam mempersiapkan, melaksanakan dan

mengendalikan pogram.

Tahap pembelajaran membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun,

tergantung kepada kondisi wilayah dan kesiapan masyarakatnya.

Hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kesuksesan pada

tahap ini adalah

a. Bantuan pendanaan merupakan faktor utama penggerak

proses pemberdayaan masyarakat dibandingkan pada tahap

lainnya. Keberadaan bantuan pendanaan merupakan media

untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa mereka mampu

menyusun perencanaan dan pelaksanaan serta melaksanakan

pembangunan bagi masyarakat dan daerahnya sendiri.

b. Disediakan bantuan pendanaan dan pendampingan secara

khusus terhadap perempuan, atau kelompok lain yang

terpinggirkan (minimal 30 % dari alokasi bantuan langsung

masyarakat).

c. Peran pendamping (fasilitator/konsultan) dalam rangka

memfasilitasi proses pelaksanaan P2KP masih sangat

(50)

commit to user

d. Rasa kepemilikan program dari masyarakat, lembaga sosial

dan pemerintah desa dan daerah belum cukup kuat dan masih

sangat bergantung kepada fasilitator dan konsultan.

e. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat

kepada konsultan, fasilitator dan konsultan secara taktis dan

sistematis harus memberikan kepercayaan kepada pelaku

pembangunan ditingkat lokal untuk memfasilitasi proses

pelaksanaan P2KP .

f. Proses perencanaan partisipasif belum terintegrasi dengan

sistem perencanaan pembangunan regular.

2. Kemandirian

Tahap kemandirian adalah proses pendalaman atau intensifikasi

dari tahap interalisasi. Lokasi–lokasi dimana masyarakat sudah

pernah melaksanakan melalui proses pemberdayaan akan melalui

proses berikut :

1. Pelembagaan pengelolaan pembangunan pertisipatif didesa

atau kelurahan dan kecamatan .

2. Pelembagaan pengelolaan pendanaan mikro yang berbasis

masyarakat untuk melayani masyarakat miskin.

3. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal

dalam pengelolaan pembangunan partisipatif dan

(51)

commit to user

kurang lebih dua tahun. Hal yang perlu diperhatikan dalam

tahapan ini adalah :

a. Bantuan pendanaan lebih bersifat stimulan sehingga dana

dari swadaya maupun sumber lainnya merupakan faktor

penggerak pembangunan masyarakat dan daerahnya.

b. Fasilitasi pelaksanaan P2KP lebih banyak dilakukan oleh

pelaku pembangunan lokal dari masyarakat itu sendiri .

c. Rasa kepemilikan program dari masyarakat dan

pemerintah daerah sudah cukup kuat sehingga peran

fasilitator lebih difokuskan ada peningkatan fasilitas

masyarakat pelaku pembangunan lokal dan perangkat

pemerintah daerah.

d. Masyarakat pemerintah daerah, konsultan dan fasilitator

sudah merupakan mitra sejajar.

e. Proses perencanaan partsipatif telah terintegrasi kedalam

sistem perencanaan pembangunan reguler.

3. Keberlanjutan

Tahap keberlanjutan dimulai dengan proses penyiapan

masyarakat agar mampu melanjutkan pengelolaan program

pembangunan secara mandiri. Proses penyiapan ini

membutuhkan waktu setidaknya satu tahun. Pada tahap

keberlanjutan masyarakat mampu menghasilkan keputusan

(52)

commit to user

dan kewajibannya dalam pembangunan, mampu untuk

memenuhi kebutuhannya sendiri, dan mampu mengelola

berbagai potensi sumber daya yang ada dalam rangka

meningkatkan kesejahterannya.

Hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai kesuksesan dalam

tahapan keberlanjutan ini adalah :

a. Swadaya masyarakat merupakan faktor utama sebagai

penggerak proses pembangunan.

b. Perencanaan secara partisipasif, terbuka dan demokratis

sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat dalam

merencanakan kegiatan pembangunan dan masyarakat

mampu membangun kemitraan dengan berbagai pihak untuk

menggalang berbagai sumber daya dalam rangka

melaksanakan proses pembangunan.

c. Kapasitas pemerintahan daerah meningkat sehingga lebih

tanggap dalam upaya menyejahterakan masyarakat, antara

lain dengan menyediakan dana dan pendamping.

d. Keberadaan fasilitator/konsultan atas permintaan dari

masyarakat atau pemerintah daerah atau sesuai keahlian yang

dibutuhkan .

e. Partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarakat untuk

Gambar

gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun
Gambaran atau sketsa singkat secara verbal itu dapat pula dilakukan
Gambaran kegiatan ini memaparkan secara rinci deskripsi perilaku
Gambar 2. Proses Analisis Interaktif
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuannya agar pegawai menyadari bahwa disiplin kerja berlaku untuk semua pegawai dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.. Menurut Hasibuan

Dengan menggunakan aplikasi program pelembutan citra dengan teknik konvolusi maka gangguan derau (noise) yang sering terjadi pada citra dapat diatasi, selain itu operasi

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

It was determined that an institutional approach to investigating international news reporting and its relevance to foreign policy making would require a theoretical framework

Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang

Artinya, penerapan strategi concept mapping berpengaruh terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Pontianak Kota; dan

Wawancara semi terstruktur adalah wawancara yang termasuk dalam kategori in-dept interview dimana dalam pelaksanaanya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara