• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kolaborasi Pengusaha Papalele

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kolaborasi Pengusaha Papalele"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

  267

Bab Sembilan

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Pengantar

Pada empat bab sebelumnya, saya telah membahas secara rinci setiap tahapan usaha papalele sebagai salah satu kegiatan usaha informal. Dalam bab ini dibahas benang merah atau sintesis temuan dalam beberapa topik. Saya mulai dengan mem-bahas dan menggabungkan serta merasionalisasikan konsep kolaborasi yang mengaitkan keterhubungan dan pentingnya kerjasama (kolaborasi) dalam usaha papalele sebagai satu kekuatan. Tindakan kerjasama ini penting bagi keberlanjutan usaha dan sebagai salah satu mata pencaharian rumah tangga. Ketika papalele mengandalkan kolaborasi, maka eksistensi usaha papalele semakin mendapat tempat di masa mendatang. Di bagian akhir dibahas kaitan papalele sebagai wirausaha (entrepreneur) lokal dan identitas.

Pertimbangan untuk berkolaborasi bukan tanpa alasan, tetapi sesungguhnya memiliki kekuatan jangka panjang. Dalam kaitan itu, papalele melakukan kerjasama tidak hanya di kalang-an sesama papalele tetapi juga dengan pedagang lain sebagai mitra usaha. Sebagai wirausahawan (entreprenuer), setidaknya

(2)

dengan menciptakan kerjasama usaha merupakan langkah realistis dan strategis untuk tetap bertahan. Sebaliknya jika papalele memilih untuk bersaing dalam usaha, sama artinya memilih resiko “bunuh diri”, sama artinya usaha papalele tidak akan bertahan. Pilihan terakhir ini tidak memberikan prospek jangka panjang, terutama untuk kelangsungan hidup keluarga dan usahanya.

Kolaborasi di antara papalele dan pedagang juga terjadi pada saat suasana konflik di Ambon belum benar-benar menun-jukkan tanda berakhir. Kejadian seperti ini sulit dipahami, bagaimana mungkin dalam suasana konflik masih terasa di sana-sini — walaupun intensitas konflik semakin berkurang. Walau-pun suasana konflik masih kuat terasa, papalele justru menyem-patkan diri untuk bertransaksi di tapal batas konflik. Tentu dengan resiko, nyawa sebagai taruhan. Dalam situasi seperti itu, muncul pertanyaan, mengapa mereka memberanikan diri untuk bertransaksi dan bertahan dalam suasana seperti itu?. Penelitan membuktikan bahwa di balik transaksi papalele dan pedagang, ternyata tidak hanya pertimbangan rasionalitas ekonomi sebagai satu-satunya tujuan usaha. Tetapi, kolaborasi papalele dan peda-gang dalam bertransaksi diwadahi oleh nilai-nilai budaya yang menjadi tuntunan dalam perjumpaan mereka, walaupun kedua-nya berbeda latar belakang suku dan agama. Kalau hakedua-nya pertimbangan ekonomis dari transaksi tersebut, maka orang cenderung menghindari situasi tersebut. Kolaborasi tidak hanya dalam situasi yang normal — tanpa konflik dalam masyarakat, tetapi juga dalam suasana konflik. Sebaliknya, jika persaingan yang diutamakan, maka perjumpaan di tapal batas konflik untuk bertransaksi tidak mungkin dilakukan.

Dalam kebanyakan bidang sistem pasar bebas terdapat cukup banyak persaingan antara para produsen barang dan jasa

(3)

 

(Porter, 1997 dan 1998; Winardi, 2004: 302.). Sistem pasar dengan persaingan yang terjadi membuat konsumen akan men-dapatkan produk-produk yang berkualitas dengan harga yang menarik dan terjangkau dengan kecenderungan harga murah. Sebaliknya, pertimbangan papalele memilih kolaborasi dari pada persaingan merupakan strategi usaha. Karena itu, untuk memahami secara jelas dan rinci model kolaborasi tersebut, gambaran besar buku ini, menjelaskan bahwa pola kolaborasi lebih rasional, sebagai bentuk ketahanan dan keberlanjutan aktivitas ekonomi lokal, dibandingkan dengan kompetisi. Dengan kolaborasi, papalele menunjukkan daya tahan ( resi-lience) untuk mewujudkan investasi masa depan anak dan status sosial.

Kelangsungan Usaha Melalui Kolaborasi

Pada bagian ini, saya akan menganalisis temuan lapangan yang dipumpunkan dalam satu konsep yang penulis sebut kola-borasi papalele. Konsep ini merujuk pada kerjasama papalele untuk melanggengkan usaha. Artinya dalam usaha papalele, kolaborasi atau perbuatan kerjasama usaha merupakan pilihan rasional yang memungkinkan papalele dapat bertahan. Lebih lanjut, model kolaborasi papalele merupakan sintesis yang dibangun untuk menjelaskan pentingnya kolaborasi. Pengertian istilah kolaborasi atau kerjasama, secara umum sering dikenal sebagai istilah yang digunakan dalam dunia usaha. Intinya untuk menjelaskan pola hubungan kerja sama antara satu pihak dengan pihak lain. Kerjasama tersebut dilakukan secara infor-mal maupun forinfor-mal. Dalam kerangka kerjasama inforinfor-mal, biasa-nya tidak dalam ikatan tertentu, sementara yang sifatbiasa-nya formal, kerjasama diatur dengan seperangkat aturan. Maksud-nya jelas, bahwa dengan seperangkat aturan atau perjanjian, diharapkan agar salah satu pihak tidak bertindak merugikan

(4)

       

pihak lain—bentuk kerjasama diakomodasi melalui pembagian kewenangan, tugas dan tanggungjawab. Pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab dimaksudkan supaya setiap pihak mentaati dan bekerja sesuai mekanisme aturan yang disepakati untuk mencapai tujuan bersama.

Gambar. 11

Kolaborasi

Status Ekonomi: Melalui Margin usaha

Mata Pencaharian Status Sosial

Jaminan Hari Tua

Jejaring Identitas Memperkuat Solidaritas Modal Sosial Busana dan Peralatan

Model1 Kolaborasi Papalele

 

(5)

 

       

Mempertahankan Margin Usaha melalui Kolaborasi

Papalele sebagai pelaku ekonomi turut mempertimbang-kan segala kemungkinan dan resiko usaha yang dihadapi setiap hari. Pertimbangan mendasar adalah memperhitungkan peng-gunaan modal uang untuk membeli barang yang akan dijual lagi. Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar pada bab sebe-lumnya, setidaknya secara sederhana perhitungan yang diguna-kan adalah ada sedikit keuntungan diperoleh setiap kali barang dijual. Rata-rata setiap jenis komoditas barang — buah-buahan atau sayur-sayuran yang terjual, ada keuntungan antara Rp.1.000 sampai dengan Rp.1.500. Jika diperhitungkan secara keseluruhan margin2 usaha, setiap papalele akan mendapatkan rata-rata pendapatan antara Rp100.000 hingga Rp.200.000. Hasil ini jika diperhitungkan per hari, margin di atas rata-rata 60% sampai dengan 90%. Perhitungan tersebut, mengindikasikan bahwa papalele secara sadar memperhitungkan aspek rasionali-tas dari setiap proses penjualan produk mereka. Artinya, perhi-tungan sederhana ini cukup beralasan dan dianggap yang paling rasional dan cukup baik. Bagaimana dengan faktor resiko usaha?. Dalam kegiatan usaha, resiko terhadap usaha menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Sementara untuk aspek resiko sering berkaitan dengan kerugian atau pokok modal yang tidak berhasil kembali karena barang tidak terjual. Bahkan resiko yang lebih dasyat adalah usaha mengalami kepailitan (gulung tikar). Resiko yang umum-nya terjadi pada usaha, dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor yang menyertainya. Dapat disebutkan antara lain seperti, perhitungan harga jual yang tinggi, lemahnya jalinan komuni-kasi dan relasi, penentuan keuntungan yang besar dan lokomuni-kasi

 

2 Margin berdasarkan KBI (2009) adalah laba kotor atau tingkat selisih antara

(6)

yang tidak strategis. Beberapa aspek, biasanya ada dan menyatu dalam satu persaingan usaha antar pengusaha, baik yang sifat-nya individual atau yang mesifat-nyatu dalam konglomerasi perusa-haan untuk melawan pengusaha lainnya. Persaingan sering tidak memandang dan mempedulikan apakah usaha itu sifatnya kecil, menengah atau usaha bersakala besar. Tetapi sebaliknya, dalam dunia usaha papalele, resiko usaha seperti kerugian hampir jarang terjadi. Rata-rata informan yang diteliti dan di-amati, menunjukkan bahwa hanya modal usaha hari itu seper-empatnya tidak kembali. Dengan tidak kembali seperempat modal hari itu apakah papalele mengalami kerugian? Ternyata tidak. Setelah akhir berjualan, perhitungan dilakukan dan ternyata keuntungan barang lain telah menutupi kerugian dari barang lain. Seperti buah salak yang tidak terjual habis, kerugiannya tertutupi oleh keuntungan harga buah mangga dan yang lainnya. Tentang variasi produk yang dijual, telah dijelaskan panjang lebar pada bab tujuh.

Rasionalisasi atas tindakan usaha yang dilakukan papalele, sesungguhnya merupakan satu kesatuan kolaborasi yang telah berlangsung selama ini, bukan kompetisi. Papalele berkolabo-rasi mempertahankan usaha sekaligus mempertahankan tingkat pendapatan yang selama ini berlangsung. Walaupun jumlah pendapatan tidak selalu optimal, tetapi bervariasi dan berkesi-nambungan serta jangka panjang. Situasi ini menurut Samuel Popkin tentang manusia sebagai homoeconomicus (pelaku rasional): manusia setiap saat memperhitungkan segala sesuatu secara simultan, termasuk perhitungan ketika mereka berada dalam situasi tekanan, masih ada kesejahteraannya yang tetap dirasakan atau setidaknya kehidupan yang sementara dinikmati masih tetap dapat dipertahankan (Popkin, 1979: 30-32).

(7)

 

Sebaliknya, andai saja papalele masuk ke dalam model kompetisi, bukan tidak mungkin usaha papalele tidak akan dapat berlanjut. Karena jelas, kompetisi merupakan bentuk per-saingan yang mengutamakan pengerahan semua energi usaha guna mendapatkan hasil yang optimal. Bisa saja, ketika papalele berkompetisi antar sesama papalele atau antar pedagang di pasar, otomatis harga jual bersaing dan cenderung turun, termasuk margin usaha mengalami penurunan.

Pemenuhan Kebutuhan Hidup (

livelihood

) melalui

Papalele

Implementasi dari kesejahteraan kehidupan rumah tangga pada umumnya selalu dihubungkan dengan mata pencaharian yang dijalani. Karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan anggotanya, maka setiap anggota cenderung akan mengalokasikan waktu kerja untuk mencari nafkah melalui pekerjaan. Kondisi ini terjadi ketika keluarga merasakan adanya keterbatasan penghasilan (baca: uang) untuk membeli konsumsi kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan dasar— pangan, sandang dan papan. Tekanan akan semakin bertambah, seiring dengan semakin bertambahnya kebutuhan rutin. Dapat dipastikan jika satu keluarga yang tidak memiliki penghasilan tetap, kesulitan semakin terasa mendera dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian terjadi juga dengan keluar-ga papalele. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, rata-rata kehidupan keluarga papalele hidup dalam kesederha-naan dan serba pas-pasan. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan anggota rumah tangga bersedia bekerja (Sasongko, 2007 dan Ehrenberg, 2009). Serta menggunakan hasil kebun dan dusun (hutan) untuk menopang kebutuhan.

Dalam tekanan ekonomi seperti itu, penelitian ini me-nunjukkan bahwa sebagian besar atau 90% perempuan (istri)

(8)

mengambil langkah berpartisipasi untuk mendukung ekonomi keluarga. Keterlibatan mereka muncul sebagai satu kesadaran akibat dari tekanan ekonomi keluarga yang serba terbatas, sementara kebutuhan hidup kian meningkat. Untuk menang-gulangi keterbatasan penghasilan, perempuan turut serta terli-bat mencari tambahan penghasilan. Sehingga pada saat bekerja di luar rumah, pekerjaan rumah tangga terbagi antar anggota rumah tangga sebagai bentuk kolaborasi. Bagi mereka, tidak ada pilihan pekerjaan lain, selain cara yang lebih mudah dengan menjadi papalele. Tentu saja dalam kondisi seperti itu, perem-puan kemudian menjadi tulang punggung kedua dari keluarga.

Pada posisi ini sesungguhnya papalele merupakan mata pencaharian bagi sebagian masyarakat perdesaan. Sebagai salah satu mata pencaharian, maka curahan waktu untuk mengelola usaha sedapat mungkin dioptimalkan. Implikasi dari curahan waktu kerja tersebut adalah kesediaan anggota keluarga yang lain untuk menerima pembagian kerja rumah tangga. Meng-ingat sebagian besar waktu dialihkan untuk berada di pasar menjual barang. Temuan lapangan pada keluarga papalele, memang sebagian besar anggota keluarga dengan senang hati menerima pembagian kerja rumah tangga. Suami dan anak-anak turut serta menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan membersihkan rumah dan halaman. Pekerjaan ini diselesaikan anggota rumah tangga karena, sang istri sudah sejak pagi subuh meninggalkan rumah dan baru kembali setelah sore hari. Sekitar 10 sampai 13 jam seorang papalele menghabiskan waktu mereka di luar rumah tangga.

(9)

 

Membangun Jejaring

Papalele

Tidak mudah untuk membangun kepercayaan. Butuh kerja keras, kesabaran, kesetiaan, dan rasa tanggung jawab, di-barengi dengan kesadaran bahwa kepercayaan itu mutlak untuk suatu perubahan dalam usaha. Kolaborasi dengan sesama papalele, pembeli, pelanggan tetap dan pedagang lain selalu dipertahankan. Jejaring papalele menjadi mitra yang akan terus dibina dan dipertahankan. Kualitas hubungan ditentukan mela-lui kewajiban yang harus dipenuhi dan ditepati. Walaupun kapasitas yang mereka miliki terbatas, diupayakan agar selalu tercipta hubungan yang harmonis dalam interaktif. Ini cara untuk menjaga relasi tetap berlangsung. Jalinan hubungan ini memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan jaringan yang lain. Sifat yang dipertontonkan papalele dan jejaring diikat dalam kesepakatan bersama untuk tidak saling merugikan, seperti jujur, ketepatan waktu membayar dan saling percaya — infor-masi keterlabatan memenuhi kewajiban. Suasana seperti ini mungkin tepat menunjuk pada pandangan Song (1997: 55), dalam etika Konfusianisme baru yang menekankan hubungan pribadi secara harmonis antara individu-individu dalam me-nempatkan kepentingan yang jauh lebih besar yakni harmo-nisasi, kerjasama, kesepakatan dan rasa solidaritas sosial diantara anggota organisasi. Bagi Song, etika Konfusianisme kontras dengan etika barat yang menekankan pada aspek kompetisi sebagai faktor utama antar anggota dalam organisasi.

Dalam situasi konflik pun, bentuk kolaborasi selalu di-utamakan oleh papalele pada komunitas masing-masing. Ter-catat bahwa selama masa konflik (kerusuhan) di Kota Ambon, aktivitas sosial masyarakat mengalami segregasi. Inter-aksi masyarakat dibatasi oleh barikade yang merintangi. Konse-kuensinya, ruang pertemuan masyarakat menjadi terbatas. Pasar sebagai tempat berinteraksi dan bertransaksi tidak dapat

(10)

ber-fungsi sebagaimana mestinya karena telah dihancurkan saat konflik. Kelumpuhan pasar, merupakan kelumpuhan sosial yang diderita masyarakat. Selama masa itu kelangkaan bahan kebu-tuhan pokok sehari-hari merupakan kesulitan tersendiri yang dirasakan masyarakat. Kesulitan tersebut sebagai akibat lum-puhnya transportasi dan distribusi barang dan jasa yang dilaku-kan pedagang antar komunitas serta terhambatnya pasodilaku-kan kebutuhan pokok dari luar Ambon. Sementara masyarakat sangat membutuhkan. Ketersediaan barang kebutuhan pokok menjadi langka dan sulit ditemui. Harga-harga barang melonjak tajam. Dalam situasi seperti itu, papalele yang berada pada masing-masing komunitasnya berupaya menjembatani kesen-jangan barang. Satu dengan yang lain saling memfasilitasi dalam kondisi barang yang terbatas. Yang penting, mereka masih bisa bertahan berjualan. Jika salah satu dari papalele, mendapat barang lebih, dia akan memberikan kepada sesama teman. Kalau pun harus membeli dari pihak lain, itu pun dengan harga yang jauh lebih mahal, sehingga kadang-kadang dengan kondisi uang yang terbatas, terpaksa harus dibeli.

Transaksi di tapal batas konflik adalah pilihan papalele mencoba keluar dari lingkaran kekerasan itu yang telah memu-tus hubungan ekonomi. Dengan bermodalkan jaringan yang telah terbangun jauh sebelum konflik, mereka kembali berkola-borasi dan bertemu untuk merajut hubungan yang sempat ter-putus. Berjumpa dan bertransaski di simpul-simpul perbatasan membutuhkan nyali dan keberanian. Bahkan terkadang nyawa bisa menjadi taruhannya, jika tidak mengantisipasi situasi dan kondisi. Keberanian mereka berjumpa dan bertransaksi di perbatasan bukan tanpa alasan. Kalau hanya sekedar kepenting-an ekonomis — mencari keuntungkepenting-an dari bertrkepenting-ansaksi dalam situasi keamanan yang belum stabil, tentu akan dihindari.

(11)

 

Papalele mencoba peruntungan dengan menjalin hubungan yang sempat terputus dengan pedagang saat berkesempatan bertemu dan berkomunikasi di simpul-simpul perbatasan. Tujuan hanya satu, sedapat mungkin transaksi barang kebutuh-an dapat terjalin lagi. Selain untuk mempertahkebutuh-ankkebutuh-an jalkebutuh-annya usaha (papalele), ada nilai yang masih melekat kuat karena kesadaran bersama bahwa antar kedua komunitas dalam ikatan budaya sebagai anak negeri. Perdagangan hanya dianggap sebagai jembatan untuk menghubungkan ikatan-ikatan orang basudara yang selama konflik hancur.

Jauh sebelum kerusuhan melanda kota Ambon dan ber-dampak pada putusnya komunikasi antar papalele dan peda-gang, norma-norma dalam bekerjasama masih terus terpelihara. Norma tersebut merupakan ikatan janji sebagai bentuk keperca-yaan antar kedua belah pihak saat bertransaksi. Norma itu sempat tidak berlanjut karena kerusuhan, direvitalisasi kembali sebagai kekuatan dan sebagai media penyambung komunikasi yang terputus sebagai satu jaringan. Tanta Mike dan teman-temannya membangkitkan kembali semangat itu dalam suasana konflik.

Perjumpaan mereka di tapal batas untuk mendapatkan barang yang akan dijual, hanya dilandasi oleh rasa saling per-caya satu terhadap yang lain. Bahkan, untuk mengamankan ikatan 'janji' itu, papalele dan pedagang saling mengingatkan satu dengan yang lain terhadap situasi yang bukan tidak mungkin terjadi sewaktu-waktu tanpa mereka sadari. Saling menukar informasi situasi keamanan satu terhadap yang lain merupakan suatu kesadaran yang dibangun karena kepentingan yang sama pada saat berjumpa. Seperti yang disitir oleh Johnson (2008:201) bahwa dalam jaringan ada kekuatan bagi individu dalam kelompok, karena di dalamnya tersedia sumber informasi dan manfaat lainnya untuk berhubungan dengan pihak lain

(12)

serta memberikan dukungan emosional akan keakuratan diri (identitas).

Kesadaran sebagai anak negeri yang memiliki ikatan persaudaraan telah membalikkan fakta saat ini bahwa transaksi dan hubungan ekonomi hanya terjadi dalam situasi normal. Pelaku usaha cenderung menghindari resiko investasi jika situasi keamanan tidak terjamin. Investasi harus diamankan dari konflik. Termasuk aturan-aturan formal yang dapat memberi-kan perlindungan terhadap segala bentuk kegiatan usaha yang dilakukan. Sebaliknya papalele justru mendobrak asumsi itu. Dengan berbekal rasa saling percaya, peduli, sebagai kesadaran bersama, konflik tidak selamanya memisahkan pertalian hubungan ekonomi. Konflik juga menjadi media yang menegas-kan bahwa kegiatan kolaborasi ekonomi lebih mendominasi. Sementara sifat kompetisi dalam situasi itu justru memakan “korban” dan tidak memberikan kenyamanan usaha.

Pembentukan Status Sosial melalui

Papalele

Tidak dapat dinafikan bahwa simbol menyatu dalam diri setiap individu sebagai makhluk sosial. Tertanam dalam pikiran setiap individu suatu tujuan yang hendak dicapai di masa mendatang. Dapat disebutkan seperti tujuan memperbaiki taraf kesejahteraan keluarga, memperbaiki kondisi fisik rumah atau bekerja keras memberikan anak-anak kesempatan pendidikan yang tinggi. Cita-cita ini merupakan harapan yang tetap berse-mayam dalam benak setiap papalele. Untuk mewujudkannya, eksekusi tindakan harus sesuai rencana berdasarkan referensi dan tahapan yang disusun. Tujuan akan gagal, jika tidak didu-kung oleh kemampuan dan komitmen. Pada sisi ini, rangkaian proses untuk mencapai cita-cita tersebut perlu didukung dengan

(13)

 

       

perjuangan usaha. Di balik usaha, tertanam cita-cita sebagai tujuan masa depan yang lebih baik.

Pengalaman masa lalu menuntun pikiran dan tindakan untuk melakukan perubahan. Papalele memiliki orientasi masa depan yang dipersiapkan sejak dini, bukan untuk diri dan usahanya, tetapi diorentasikan dan diinvestasikan kepada masa depan anak-anak dari hasil usaha. Dalam perspektif ini kebaya sebagai simbol suatu asa kaum papalele, lebih berkenaan dengan perubahan harapan masa depan generasinya mendapatkan status sosial yang lebih baik. Karena status sosial3 menunjuk pada posisi seseorang dalam masyarakat (Lawang, 2005: 96).

Papalele merupakan implementasi perlawanan terhadap kungkungan ketertindasan. Terutama perempuan papalele yang dikekang oleh tradisi sosial. Pengalaman masa lalu yang dialami dan dirasakan para papalele terhadap struktur sosial, dijadikan inspirasi untuk keluar dari situasi struktur lama ke struktur sosial baru (lihat bab lima). Pengalaman masa lalu (citra buruk) yang tidak memberikan kesempatan memperoleh pendidikan,

 

3 Terdapat dua jenis status sosial yakni jenis status bawaan (ascribed), dan jenis

status perolehan (achieved). Status bawaan (ascribed) itu diwariskan tanpa diminta oleh si pemegang status itu sendiri. Sedangkan status perolehan (achieved) menunjuk pada pencapaian status karena usaha yang sadariah oleh si pemegang itu sendiri. Ada kombinasi di antara keduanya, baik yang bersifat saling mendukung, maupun yang bertentangan. status bawaan (ascribed) menjadi masalah kalau menghambat perkembangan si penyandangnya. Yang dihambat di sini adalah pengembangan status yang dapat diperoleh (achieved) melalui pendidikan formal, non formal atau formal, baik dalam pengem-bangan kapital manusia maupun kapital psikologik. Status yang diperoleh melalui ikhtiar (achieved status) paling banyak dikaitkan dengan peningkatan privilese dalam bidang ekonomi, kekuasaan dan prestise. Privilese dalam bidang eknomi dijadikan tolak ukur untuk menentukan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Sementara dimensi kekuasaan dan prestise tunduk pada pada privilese (Lawang, 2005:101-102).

(14)

merupakan perlawanan terhadap status sosial itu. Karena itu, sesungguhnya papalele merupakan salah satu simbol yang dibangun untuk keluar dari kondisi tertindas. Ketertindasan strukutur sosial yang tidak berimbang terhadap gender. Laki-laki sebagai citra sosial keluarga memiliki peluang besar untuk meraih pendidikan bila dibandingkan dengan perempuan. • Menanamkan Hasil Usaha pada Pendidikan Anak

Umumnya dalam kegiatan dunia usaha, senantiasa meng-gunakan uang sebagai alat investasi yang ampuh. Dengan ke-pemilikan uang sebagai modal untuk memulai atau mengem-bangkan usaha tidak dapat dipandang remeh. Uang menjelma menjadi kekuatan penggerak jalannya roda usaha. Tanpa kecu-kupan uang sebagai modal, akan sulit untuk mempertahankan usaha, apalagi hingga taraf meningkatkan skala usaha. Uang telah menjadi barometer penanganan permasalahan dunia usaha, dari ukuran usaha skala mikro, kecil, menengah hingga skala besar. Karena itu, dalam perkembangan dunia usaha di Indonesia, kebanyakan masalah yang muncul dalam dunia usaha adalah masalah permodalan. Pemerintah dan berbagai pihak yang peduli terhadap struktur perekonomian yang dito-pang oleh dunia usaha, sering dibuat kerepotan dalam mena-ngani masalah permodalan. Uang (modal), cenderung menjadi alasan klasik untuk meningkatkan dan mengembangkan kinerja usaha.

Ketika dunia usaha mengalami permasalahan uang seba-gai modal usaha, maka sering pula dikaitkan dengan persoalan kegalalan dalam mengurangi pengangguran, pengentasan ke-miskinan di masyarakat dan seterusnya. Untuk mengatasi permasalahan pembangunan seperti itu, sering pula dikemas berbagai model dan instrumen penanganan, pengembangan dan

(15)

 

pemberdayaan dunia usaha khususnya usaha kecil. Mulai dari pelatihan kepada individu, kelompok, pengembangan dan perkuatan kapasitas usaha hingga dicari alternatif dalam bentuk kemitraan sebagai jalan keluarnya. Namun yang terjadi, kega-galan demi kegakega-galan senantiasa menyelimuti dunia usaha.

Belajar dari pengalaman seperti itu, ternyata paradoks dengan fakta dalam masyarakat bahwa uang sebagai modal usaha bukan satu-satunya alasan pembenaran semua kegagalan itu. Uang hanya alat, uang bukan tujuan. Hakikat usaha adalah kemampuan membangun dan mempertahankan eksistensi usaha. Papalele adalah salah satu alternatif untuk mematahkan mitos-mitos yang selama ini diperdebatkan dalam dunia usaha. Bahkan papalele telah membuktikan bahwa dengan memiliki uang seadanya, mampu melakukan pengalihan (switch) pada bidang lainnya. Sambil tetap mempertahankan keberlangsungan usaha yang ditekuni. Seperti uraian pada bab lima, uang tidak selamanya dijadikan sebagai faktor pengganda usaha, tetapi uang diinvestasikan pada aspek yang jauh lebih memberikan peluang masa depan yang lebih baik. Uang yang merupakan hasil usaha dialihkan (switch) kepada aspek pendidikan.

• Memprioritaskan Modal Keuangan (financial capital) ke Modal Pengetahuan (knowledge capital)

Di Ambon, pada umumnya mereka yang bermata-pencaharian papalele, tidak dijumpai usahanya berkembang besar. Seseorang yang sejak pertama kali menjadi papalele, sampai saat mengakhiri pekerjaan itu bentuk dan besaran usaha tidak mengalami perubahan—apa adanya. Sebagai penjual buah-buahan atau sayur, usaha ini selalu dikemas kecil dan terbatas. Terutama pengadaan jumlah barang yang dijual. Seperti yang telah diuraikan pada bagian bab terdahulu, yang terpenting bagi papalele, setiap hari berjualan diperoleh sedikit

(16)

keuntungan. Keuntungan dari hasil jualan, selalu disisihkan sebagian untuk modal usaha yang berikut, sebagian digunakan untuk membeli kebutuhan rutin bagi keluarga. Selebihnya akan digunakan untuk membiayai kebutuhan anak sekolah. Bagi papalele, usaha harus terus berlangsung. Jika tidak, kesulitan kebutuhan akan membelenggu.

Tidak bekembangnya usaha papalele, tidak sebatas pada persoalan modal usaha. Banyak aspek yang bisa menjelaskan situasi tersebut. Seperti misalnya rata-rata tingkat pendidikan para informan yang hanya menyelesaikan Sekolah Dasar (SD). Atau mereka yang berkesempatan masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus berhenti di tengah jalan karena alasan ekonomi keluarga. Hal ini berkaitan juga dengan pengembang-an kapasitas usaha, seperti keterampilpengembang-an (skill) yang terbatas, pengetahuan tentang dunia usaha yang tidak memadai dan akses terhadap sumber-sumber keuangan juga terbatas. Ketram-pilan sebagai salah satu aspek pendorong ternyata bersifat pas-pasan, ketidak-mampuan memunculkan ide-ide baru dan peluang merupakan gejala yang melekat dengan papalele. Apa yang dilakukan hari ini dengan menjual seadanya, akan terus bertahan dan berlangsung sepanjang waktu.

Keterbatasan pengetahuan tersebut berkorelasi pula dengan pengetahuan tentang gerak dunia usaha yang pada umumnya harus berkembang. Gambaran ini menunjukkan bahwa papalele memiliki kelemahan sebagai satu entitas dunia usaha. Ketidak-berdayaan mereka untuk keluar dari tekanan-tekanan konsep ekonomi masa kini, sebagai akibat dari pemuat-an pikirpemuat-an dpemuat-an tujupemuat-an ypemuat-ang hpemuat-anya bersifat sentralistik yakni 'cukup makan hari ini' dan anak-anak terfasilitasi biaya

(17)

 

       

sekolah4. Realitas tersebut merupakan cerminan orientasi yang mengutamakan pendidikan anak-anak sebagai suatu mekanisme yang kemudian saya sebut sebagai 'proses konversi modal, dari modal keuangan (financial capital) ke arah modal pengetahuan (konwledge capital)'. Seperti yang telah dijelaskan panjang lebar sebelumnya, tekanan ini juga diberikan oleh Gary S. Becker (1993:180-181) bahwa investasi dalam modal manusia ini harus dibiayai sendiri dan tingkat pengembalian modal manusia adalah anugerah, lebih sensitif daripada variabel pribadi lain-nya. Hal ini juga dipertegas oleh Smith (2009), dan Sasongko (2007), bahwa keputusan bekerja oleh anggota keluarga merupakan keputusan ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga dan untuk jangka panjang adalah investasi untuk anak.

Jika kita merujuk secara harafiah terhadap pengertian kata 'konversi' maka mudah memahaminya bahwa terjadi peru-bahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem pengetahuan yang lain atau perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Demikian pula untuk kata 'nilai' dalam rujukan ini adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau yang berguna bagi kemanusia-an. Kalau kemudian nilai ini berkaitan dengan budaya atau etika maka pemahamannya menuju pada masalah mendasar yang sangat penting bagi kemanusiaan yang berhubungan dengan pribadi yang utuh yang berkenaan dengan akhlak

 

4 Pendapat senada juga ditegaskan oleh Sapteno (2010:252), bahwa bagi orang

tua yang hidup di desa atau negeri di Maluku, muncul kesadaran yang sungguh untuk masalah pendidikan, sehingga muncul pandangan atau juga slogan bahwa “biar makan kurang-kurang atau makan cukup-cukup” yang penting menyekolahkan anak-anak. Ini merupakan tradisi sekaligus kebanggan bagi para orang tua bahwa pendidikan pasti akan mengangkat derajat keluarga atau mata rumah.

(18)

seperti kejujuran, atau nilai yang berhubungan dengan benar dan salah yang dianut oleh masyarakat (KBI, 2005).

Dengan pengertian tersebut maka dalam konsep ini, penggabungan kedua kata tersebut menjadi 'konversi nilai' yang sesungguhnya memiliki pengertian dan makna bahwa terjadi suatu proses perubahan pemikiran bersumber dari kepemilikan kemampuan sumber keuangan, dialihkan dan difungsikan menjadi aset sumber daya pengetahuan. Jelasnya, uang sebagai aset dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melengkapi sese-orang dengan seperangkat pengetahuan yang diterima melalui pendidikan formal.

Konsep konversi modal inilah yang dimaksudkan di sini untuk menjelaskan posisi papalele dalam mengeksekusi tujuan usahanya. Seperti telah diuraikan pada bagian-bagian sebelum-nya bahwa dalam dunia usaha, kecenderungan para pelaku usaha lebih mengutamakan pemupukan modal secara berkelan-jutan. Modal (uang) sangat pentingnya artinya untuk memper-kuat usaha yang sementara dijalani. Mengembangkan dan meningkatkan produksi merupakan salah satu cara yang ditem-puh agar usaha terus berkembang. Dengan kekuatan modal uang yang tersedia, uang pun dalam sekejap dimungkinkan untuk digandakan lebih besar. Raihan keuntungan sebesar-besarnya merupakan tujuan utama usaha (profit oriented). Namun, papalele membalikan fakta-fakta tersebut.

Para papalele seperti telah diuraikan panjang lebar pada bagian sebelumnya (bab tujuh, tabel tiga) menunjukan per-hatian mereka pada kebutuhan pendidikan anak-anak. Kesada-ran akan pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak menjadi prioritas. Hal tersebut dibuktikan dengan pengalo-kasian pendapatan sebagian besar untuk maksud tersebut.

(19)

 

dasar yaitu konsumsi rumah tangga masih mendapat porsi yang besar. Paling tidak dengan memprioritaskan pendidikan bagi anak-anak, terkadung harapan status sosial keluarga akan meningkat di masa mendatang.

Olehnya itu, bagi papalele mengembangkan dan meningkatkan usaha bukan tujuan utama. Konsep usaha bagi papalele hanya merupakan sarana dan bukan tujuan. Usaha merupakan suatu proses kolaborasi untuk meraih tujuan yang lebih besar adalah pendidikan untuk anak-anak sebagai harta masa depan. Pengetahuan dan ilmu yang diperoleh dari sekolah adalah bekal masa depan sang anak. Pengetahuan dan ilmu yang memadai diterima akan menjadi-kan seseorang memiliki status sosial yang terbaik di masa mendatang. Pekerjaan, kedudukan dan penghasilan yang baik, pergaulan yang luas, gengsi sosial adalah wujud dan harapan yang ditanamkan melalui dunia pendidikan di sekolah. Nilai dari modal keuangan (financial capital) dikonversi ke modal pengetahuan (knowlegde capital). Investasi modal manusia biasanya dibiayai oleh orang tua (self financed), karena modal manusia bukan merupakan bentuk pinjaman (Becker, 1993: 186).

• Hasil Usaha untuk Jaminan Hari Tua

Bagi orang pada umumnya, yang belum memahami usaha papalele akan muncul pertanyaan penting mengapa hasil usaha papalele tidak diinvestasikan kembali sebagai modal usaha. Dapat saja, simpulan umum diarahkan pada pemahaman bahwa usaha papalele dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Karena usaha hanya sederhana, barang yang dijual dalam kuantitas terbatas dan penghasilan juga terbatas, maka hasil usaha paling tidak dapat tercukupi untuk kebutuhan hidup keluarga. Kesimpulan umum ini tidak sesungguhnya keliru. Jawaban yang sesungguhnya bahwa usaha

(20)

papalele, walaupun terlihat sederhana dan dalam kuantitas barang yang dijual terbatas, tetapi hasil yang diperoleh sekali- pun dalam jumlah yang kecil, tetapi berkesinambungan dan berkelanjutan. Artinya setiap hari penghasilan dalam jumlah yang kecil, tetapi alokasi dana dan peruntukannya tidak diarah-kan untuk usaha. Sebagian justru dialihdiarah-kan untuk kebutuhan konsumsi — makan-minum sehari-hari, dan sebagian lagi untuk membiayai keperluan sekolah anak-anak mereka.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa para papalele memiliki cara pandang yang berbeda dengan pandangan dalam dunia usaha pada umumnya. Cara pandang yang dimaksud adalah hasil usaha diinvestasikan bagi pendidikan anak-anak dan sebagai jaminan hari tua. Pendidikan anak-anak menjadi penting karena dalam masyarakat Maluku umumnya, pendidik-an merupakpendidik-an kebutuhpendidik-an mendasar ypendidik-ang wajib diberikpendidik-an bagi anak-anak. Pola ini telah tertanam dan mengakar sebagai bentuk transformasi yang dilakukan sejak kehadiran bangsa asing seperti Portugis dan Belanda pada masa silam, sebagai-mana telah dijelaskan pada bagian dan bab sebelumnya. Transformasi ini mengakibatkan masyarakat lalu memahami bahwa status sosial satu keluarga tertentu akan meningkat dan terpandang dalam masyarakat jika anak-anak mendapatkan profesi pekerjaan seperti guru atau pendeta atau pada umumnya sebagai pegawai negeri. Kedua profesi pekerjaan ini selalu diarahkan dalam keluarga. Hasil penelitian terhadap papalele juga menunjukkan kecenderungan tersebut, pada salah satu papalele di mana tiga dari lima orang anak telah sukses. Dua orang anak telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai guru dan satunya adalah Pendeta yang memimpin Jemaat GPM di desa Naku, tiga kilometer dekat dengan desa Hatalai, sesuai pembahasan pada bab tujuh.

(21)

 

Di Indonesia, pada umumnya ketersediaan jaminan hari tua bagi tenaga kerja yang purna tugas masih menjadi kendala yang belum tuntas terselesaikan. Jaminan hari tua hanya tersedia bagi kalangan pegawai negeri sipil (PNS) dalam bentuk pensiun dan tenaga kerja swasta yang menyediakan sarana tersebut melalui jasa lembaga keuangan. Sementara bagi pendu-duk yang tidak memiliki pekerjaan tidak tersedia jaminan hari tua melalui sistem jaminan sosial yang disediakan oleh negara. Termasuk kalangan dunia usaha kecil dan papalele. Satu-satu-nya cara mengatasi masalah ketersediaan jaminan hari tua yang dilakukan papalele adalah investasi modal usaha melalui pendi-dikan anak-anak. Jaminan hidup untuk hari tua merupakan sesuatu usaha yang tersedia untuk masa tua — setelah tidak bekerja lagi. Bagi papalele, setelah purna tugas tidak mengalami kesulitan membiayai kehidupan nanti. Anak-anak telah memiliki pekerjaan dan penghasilan untuk membantu orang tua. Jaminan atas hari tua bagi para papalele merupakan kebanggaan tersendiri yang akan dinikmati nanti. Tidak hanya jaminan pemenuhan kebutuhan secara ekonomis terpenuhi, tetapi yang lebih membanggakan adalah status sosial keluarga terpandang dan terangkat di masyarakat. Apalagi orang tua akan semakin merasa nyaman turut serta ikut menempati rumah bersama sang anak yang telah sukses.

Papalele

sebagai

Entreprenuer

Kecenderungan umum diskursus tentang kewirausahaan (entrepreuership) menggunakan skala usaha sebagai alat ukur untuk menjustifikasi satu usaha ekonomi. Penggunaan modal, tenaga kerja, akses terhadap teknologi hingga pemasaran dan distribusi adalah variabel yang menentukan perjalanan usa-ha, karena itu, untuk katagori usaha kecil dan mikro berbeda dengan usaha besar dan menengah. Umumnya pedagang kecil

(22)

atau perusahaan rumah tangga bergantung pada tenaga kerja keluarga, yang tidak berdampak dan berakibat pada tambahan biaya operasional khususnya sewa tenaga kerja. Dengan ukuran ini, maka sering usaha kecil erat berkaitan dengan seberapa banyak jumlah modal yang diinvestasikan dan tingkat teknologi yang digunakan (Start and Johnson, 2004).

Papalele memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan pedagang kecil lainnya. Sepintas bila dicermati perilaku antara papalele dengan pedagang kecil lainnya cenderung tidak berbe-da, terutama peran dan fungsi yang sama dalam berdagang. Artinya, baik papalele atau pedagang kecil—pedagang eceran dan pedagang kaki lima tidak terdapat perbedaan dalam fungsi sebagai pedagang. Sama-sama secara simultan melakukan proses perdagangan, beli dan jual. Barang dagangan yang dijajakan diorientasikan untuk mendapat keuntungan. Walaupun sering-kali keuntungan usaha tidak selalu sama. Ada yang secara optimal mencari keuntungan yang besar dan ada pula meng-harapkan keuntungan seadanya. Yang penting modal usaha untuk hari berikutnya telah tersedia secukupnya dan kebutuhan keluarga di lain sisi tercukupi.

Demikian pula dengan skala usaha yang dikembangkan antara pepalele dan pedagang, keduanya tidak terlalu menguta-makan kuantitas barang yang dijual dalam jumlah yang besar. Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang tersedia. Dengan keterbatasan ini, sangat wajar jika keuntungan harian juga tergolong kecil. Setidaknya ada sedikit dana yang tersedia untuk memenuhi keperluan hidup keluarga dan rumah tangga, walaupun terkadang tidak mencukupi. Apalagi suasana kompetisi usaha yang semakin ketat, membuat mereka berusaha

(23)

 

dan menjaga agar hari berikutnya dagangan tetap bisa berlang-sung.

Umumnya kompetisi atau persaingan antar pedagang pada sektor usaha informal tidak terhindarkan. Secara kasat mata mudah ditemukan bentuk pola kompetisi pada usaha seperti itu. Biasanya kompetisi terjadi pada produk yang dijual guna menarik perhatian pembeli, maupun kualitas barang. Demikian pula dalam menentukan harga jual, masing-masing bersaing menentukan harga jual, tanpa mempedulikan pihak lain. Tetapi papalele justru menunjukkan ciri sebaliknya, kolaborasi papalele terlihat pada harga jual suatu barang yang diputuskan secara bersama atau saling mengetahui harga jual yang telah ditentukan, jika salah satu dari papalele terlambat hadir di lokasi berjualan. Tidak hanya itu kompetisi juga sering berkaitan dengan lokasi tempat berjualan. Akibatnya, persaing-an lokasi terkadpersaing-ang menjadi sumber konflik, karena masing-masing pihak berupaya menguasai lokasi. Pihak lain tidak di-ijinkan menempati lokasi yang sama karena alasan mengganggu barang yang dijual. Untuk kasus konflik lokasi, papalele cenderung akan menghindari benturan itu. Timbulnya konflik tentang lokasi berjualan antara papalele dan pedagang kadang-kadang terjadi, tetapi papalele yang mengambil inisiatif untuk menghindar. Jika keributan yang terjadi pada papalele, maka papalele yang lain akan membantu memberikan tempat di samping lokasinya.

Selama bertahun-tahun tanpa disadari sesungguhnya peran yang dilakukan oleh para papalele telah mencerminkan kemampuan kewirausahaan (entreprenuer). Paling sederhana ciri entreprenuer terlihat pada kemandirian dan kemampuan menciptakan usaha, ketahanan dalam memanfaatkan potensi barang dagangan, dan memanfaatkan kerjasama antar papalele. Karena itu, papalele hadir dari suatu keadaan ekonomi yang

(24)

melilit keluarga, meningkatnya kebutuhan ekonomis keluarga menjadi tekanan untuk menanggulanginya. Semakin hari, ane-ka kebutuhan semakin meningane-kat sehingga menjadi papalele adalah satu-satunya pilihan. Tidak ada pilihan pekerjaan lain, kehidupan keluarga harus terpenuhi, caranya dengan mencip-takan lapangan usaha secara mandiri melalui papalele.

Desakan kebutuhan keluarga, memunculkan ide berda-gang sebagai satu-satunya alternatif pemecahan masalah eko-nomis. Karena itu, papalele adalah pilihan kerja yang produktif yang mampu memberikan solusi sekaligus alternatif pengentas-an masalah ekonomi keluarga. Dalam kerpengentas-angka pemahampengentas-an kewirausahaan, maka papalele hanya berawal dari ide mencip-takan peluang usaha mandiri. Ide usaha mandiri telah mem-berikan nilai tambah melalui penghasilan yang diterima tanpa bergantung pada pihak lain. Dengan menciptakan usaha man-diri tujuan mengatasi tekanan dan guncangan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dapat teratasi. Mengingat tekanan ekonomi keluarga merupakan salah satu ukuran betapa penting-nya menciptakan peluang dan nilai guna dari kegiatan yang dilakukan.

Adanya desakan ekonomi harus dipecahkan sendiri tanpa menunggu intervensi pihak luar yang menawarkan gagasan mengatasi tekanan tersebut, walaupun ukuran usaha yang akan dilakukan sifatnya terbatas dan kecil. Tekanan kebutuhan ekonomis pula yang menjadi pemicu munculnya semangat usaha dengan segudang nilai yang dikandung sehingga memper-kaya bentuk dan gaya usaha. Ciri yang menonjol dalam usaha papalele berbentuk nilai seperti kerja keras, sabar, setia, tahan uji, dan hemat. Nilai-nilai ini kemudian terpolarisasi sebagai nilai kewirausahaan yang berhubungan dengan perilaku untuk bersedia menerima resiko usaha, termasuk kerugian. Papalele

(25)

 

menyadari bahwa usaha yang dilakukan, senantiasa berhadapan dengan situasi untung atau rugi. Keduanya sering dihadapi sebagai hal yang wajar terjadi. Resiko usaha adalah bagian yang menyatu dengan usaha, sehingga berusaha seadanya adalah strategi untuk tetap bertahan hidup.

Membangun Identitas demi Solidaritas

Papalele

• Papalele sebagai Pedagang Kecil

Sesungguhnya terdapat perbedaan dan ciri antara papalele atau pedagang kecil. Tetapi bila sepintas diamati, perilaku antara papalele sebagai kegiatan usaha dengan pedagang kecil lainnya cenderung tidak berbeda. Sifat dan fungsi usaha yang dilakukan tidak berbeda. Dalam pengertian, baik papalele atau usaha kecil — pedagang eceran dan pedagang kaki lima tidak terdapat perbedaan dalam fungsi sebagai pedagang. Sama-sama secara simultan melakukan proses perdagangan, beli dan jual. Barang dagangan yang dijajakan diorientasikan untuk mendapat keuntungan. Walaupun bisa saja, keuntungan yang dicari tidak selalu sama. Ada yang optimal mencari keuntungan yang besar, dan ada pula mengharapkan keuntungan seadanya. Yang penting modal usaha untuk hari berikutnya telah tersedia se-kaligus kebutuhan keluarga tercukupi.

Demikian pula dengan besaran dan ukuran usaha yang dikembangkan antara pepalele dan pedagang, keduanya tidak terlalu mempedulikan ukuran usaha. Yang penting bagi mereka, ada tersedia sejumlah barang untuk dijual, dan pasti ada sedikit keuntungan. Wajar jika kemudian keuntungan harian mereka tergolong kecil. Tetapi dengan penghasilan kecil, tersedia sedikit uang untuk keperluan rumah tangga, walaupun tidak jarang pula tidak mencukupi.

(26)

Para papalele menyadari bahwa persaingan dalam usaha saat ini semakin ketat, mereka menyadari resiko. Kompetisi dalam usaha adalah pilihan, sehingga bagi pelaku usaha yang tidak siap, akan terseleksi secara alami. Artinya yang bertahan adalah mereka yang mampu mengelola usaha dan kuat bertahan dalam kompetisi yang ketat, dan mereka yang tidak siap ber-kompetisi akan gagal dalam usaha. Karena, persaingan terjadi dalam berbagai cara, seperti pada produk-produk yang dijual, bentuk dan kualitas barang, harga barang, dan lokasi usaha. Masing-masing bersaing dan menentukan cara sendiri-sendiri, tanpa mempedulikan pihak lain. Dampaknya dengan mudah terindentifikasi, dari persaingan sehat mengarah ke persaingan tidak sehat, karena masing-masing pihak berupaya agar usaha-nya berjalan lancar tanpa ada gangguan. Tetapi papalele lebih memilih berkolaborasi untuk menjaga agar usaha hari berikut-nya dapat terus berlanjut.

Papalele, dalam segala keterbatasan cenderung memilih bekerjasama. Bagi papalele, persaingan justru mengakibatkan konflik antar mereka yang berakibat pada kesetimbangan usaha dan keadilan. Pada posisi ini, nampak adanya perbedaan antara papalele dan pedagang atau usaha kecil yang lain. Papalele cenderung menonjolkan atribut lokal sebagai pembeda yang menegaskan hal tersebut. Ciri yang menonjol tercermin pada pola relasi dan interaksi yang terbangun di antara mereka: mencari buah bersama, menentukan harga jual bersama dan menitipkan jualan. Ketiga ciri ini, menggambarkan perbedaan mendasar antara papalele dengan pedagang lain dalam hal berusaha. Ciri ini merupakan cara berjualan untuk menghindari persaingan, sekaligus menghindari konflik yang bisa terjadi (lihat bab enam). Yang pasti, pilihan papalele menggunakan ketiga ciri ini lebih dimaksudkan untuk menciptakan

(27)

kesetim- 

bangan usaha. Kesetimbangan usaha menghasilkan distribusi keadilan, baik dalam bentuk menentukan harga jual maupun variasi barang yang dijual. Suasana itu dengan sendirinya menghilangkan rasa ketidak-adilan, dan di antara papalele tidak terjadi kompetisi atau persaingan satu dengan yang lain. Variasi barang dagangan membuka kesempatan satu sama lain dapat saling membantu. Ketika pembeli mencari buah tertentu di salah satu papalele, dan buah yang dimaksud tidak tersedia, dia akan mengambil dari sesama rekannya.

Kolaborasi untuk keuntungan bersama juga ditunjukkan papalele melalui cara menitipkan jualan. Penitipan barang ini dapat dijelaskan seperti berikut: pada saat konsumen ingin membeli buah jenis tertentu dalam jumlah yang banyak di papalele A, walaupun stok buah jenis tersebut mencukupi untuk dijual, papalele A tidak melakukannya. Papalele A akan meng-ambil sebagian buah jenis yang sama pada papalele B sebagai teman se lokasi untuk dijual. Keduanya akan mendapat keun-tungan dari cari tersebut. Cara yang sama juga akan dilakukan pula oleh papalele B dan papalele yang lain. Kondisi ini terbalik dengan pedagang pada umumnya yang mengutamakan barang-nya terjual habis. Jika barang yang diminta stok tidak mencu-kupi, baru kekuarangan barang tersebut ditutupi dengan barang yang sama milik teman untuk melengkapi permintaan konsu-men.

Ketiga ciri yang telah diuraikan ini, merupakan cara men-ciptakan rasa keadilan antar papalele. Selain itu, merupakan cara untuk menghindari konflik antar papalele. Penting bagi papalele, bahwa kolaborasi memungkinkan usaha mereka tetap bisa berlangsung. Penghasilan diperoleh dan keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Dengan membangun kolaborasi seperti ini sebagai bentuk kesadaran bersama, sesungguhnya telah membentuk kesejajaran, keadilan dan tenggang rasa di

(28)

antara mereka — community sentyment. Bagi papalele, yang terpenting kebersamaan selalu tercipta, sambil tetap menjaga relasi.

• Memperkuat Identitas Lokal Papalele

Papalele sebagai salah satu usaha di aras lokal, memiliki dinamika interaksi sosial yang sederhana. Setidaknya papalele menjadi inspirasi usaha yang menunjukkan kemampuan menga-tasi permasalahan kehidupan ekonomi rumah tangga yang kompleks. Dalam mengelola usaha yang sederhana itu, nampak pula busana kebaya sebagai satu identitas. Dilengkapi pula dengan peralatan pendukung berdagang atiting dan atau barang rumah tangga bekas pakai, seperti tergambar pada bab tujuh. Dapat dikatakan bahwa kebaya dan peralatan sebagai satu sistem simbol sebagai pengatur kehidupan sosial, baik sebagai peranan-peranan maupun sebagai aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi mereka (Dillistone, 2002:111).

Kebaya merupakan simbol dan gambaran keberadaan papalele. Kebaya sebagai identitas papalele, akan mudah dike-nali dalam kerumunan pasar dan telah menjadi simbol pembeda antara papalele dan pedagang. Pentingnya identitas pada posisi tersebut setidaknya untuk menjadi media pembeda antar individu dengan individu, individu dan kelompok dan antar kelompok dengan kelompok. Meskipun mengidentifikasi suatu identitas memang tidak selalu mudah, terkadang kita pun ragu sebenarnya kita lebih memilih kelompok ini atau itu (Putra, 2010). Sitiran yang sama juga dilakukan Pilokoanu (2010), bahwa identitas adalah lencana yang menjustifikasi keberadaan individu dan kelompoknya yang diakui keberadaanya oleh komunitas itu sendiri atau komunitas lain.

(29)

 

       

Kebaya tidak hanya menjadi simbol dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari perilaku papalele. Secara fisik, kebaya dapat dipahami sebagai suatu kolaborasi antara nilai budaya (tradisi) dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi. Karena, dalam setiap aktivitas papalele yang mengenakan kebaya identik dengan pengutamaan jiwa sosial dalam berdagang dan menjadi perekat sosial antar papalele serta relasi sosialnya. Seperti yang diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa warna pada kain kebaya turut memberikan makna berbeda. Motif dan corak warna kebaya yang dipakai papalele, didominasi warna merah, baik untuk bagian bawah maupun yang bagian atas. Kombinasi merah dan putih menjadi ciri khas kain yang dipakai. Kedua warna tersebut, bagi masya-rakat umum cenderung mengaitkannya dengan arti tertentu. Nampaknya merupakan kebanggaan sebagai identitas.

Seperti motif berwarna merah berkaitan dengan kasih sayang, kegairahan dan emosi untuk menarik perhatian orang lain. Selain itu warna merah dapat diartikan dengan keberanian dan kerja keras, sehingga orang merasa simpati dan empati. Sementara warna putih yang melengkapi corak merah pada kebaya dapat dimaknai sebagai suatu suasana netral, bercahaya dan bersih. Warna putih juga sering diidentikan dengan kenyamanan, kebebasan, kepolosan dan kebersihan5. Seandainya warna dan corak kebaya yang selalu dikenakan papalele, bisa saja dimaknai sebagai sekelompok orang yang polos, bebas, netral dan bersih berjualan apa adanya tanpa harus menggan-tungkan hidup pada pihak lain. Sistim simbol kebaya sebagai identitas dengan demikian merupakan legitimasi

 

5 http://semangatbelajar.com/arti-warna-busana/, dan http://id.berita.yahoo.

com/ungkap-kepribadian-lewat-warna-20110319-222000-681.html. dikunju-ngi 20 Maret 2011.

(30)

identitas yang dibenarkan oleh satu keyakinan umum dan persetujuan terhadap nilai-nilai yang dihasilkan (Dardanelli, 1998).

Dalam kaitan dengan itu, kebaya yang merupakan simbol telah tertanam sebagai suatu bentuk budaya usaha. Ketika anak perempuan mulai menggunakan kebaya, sesungguhnya mereka dibelenggu oleh aturan sosial yang tidak lagi terbuka kesem-patan mencari pekerjaan lain. Dalam tekanan budaya kebaya seperti itu, anak perempuan jarang melakukan perlawanan kepada orang tua. Mereka cenderung ikut mendukung karena tekanan psikologi keluarga dan lingkungan sosial. Pendidikan dan pekerjaan yang layak hanya menjadi impian, sehingga untuk mendukung kondisi ekonomi keluarga, papalele menjadi pilihan. Pada masa itu, bagi seorang anak perempuan, pendi-dikan bukan yang utama, pendipendi-dikan hanya ditoleransikan pada pendidikan dasar (SD). Berbeda dengan anak laki-laki yang diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih luas.

Seperti telah diuraikan pada bab enam bahwa kebaya merupakan pakaian para papalele, juga sebagai tradisi yang telah dikenakan anak perempuan sejak usia remaja. Ketika anak-anak perempuan akan memasuki usia remaja menjelang dewasa. Bagi anak perempuan, setelah menyelesaikan dan menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar (SD), wajib mengguna-kan kebaya sebagai tanda atau simbol bahwa mereka siap melaksanakan tugas-tugas rumah tangga dan siap menerima pinangan pihak laki-laki untuk berumah tangga. Itulah kemu-dian dengan mudah masyarakat dapat mengidentifikasi anak perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan dengan yang melanjutkan pendidikan.

(31)

 

Pada masa itu, pandangan orang tua dan masyarakat pada umumnya lebih memberikan perhatian kepada anak laki-laki. Sementara anak perempuan lebih difokuskan pada peran mereka mengutamakan tugas-tugas rutin dalam rumah tangga, sambil mempersiapkan diri memasuki jenjang rumah tangga. Kesediaan menerima tanggung jawab ini merupakan kesadaran akan struktur sosialnya yang mewajibkan perempuan turut serta mendukung pendidikan bagi anak laki-laki. Pada tingkat ini sebetulnya struktur sosial dengan sendirinya mene-gaskan tentang lemahnya posisi perempuan dalam wilayah publik. Perempuan sebagai pihak yang lemah telah menggiring situasi sosial yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih berdaya. Terkungkung oleh tekanan dan aturan. Kebebasan hanya pada laki-laki yang dianggap memiliki kemampuan tertentu sekaligus menegaskan tentang posisi tawar laki-laki yang mampu mengangkat citra dan status sosial keluarga.

Kesimpulan

Penelitian tentang papalele ini banyak ditemukan berba-gai fenomena yang menunjukkan bahwa kemampuan papalele tidak hanya sebatas dan semata-mata kepentingan ekonomis. Karena itu konsep kolaborasi yang dibangun dalam tulisan ini adalah kemampuan kerjasama untuk menyatukan aspek eko-nomi (transaksi dagang), dengan aspek sosial (relasi) dan jaring-annya. Adanya rasa saling percaya dalam kesadaran bersama dengan pemahaman matang yang bersumber dari nilai budaya lokal. Kolaborasi ketiga aspek tersebut menjadi satu rangkaian kekuatan papalele mempertahankan ekonomi rumah dan usahanya.

Kemampuan berusaha para papalele patut untuk tidak diragukan, salah satu cara adalah mengakses jaringan dan relasi

(32)

sosial yang dibangun, dipelihara dan dirawat untuk kepentingan keberlanjutan usaha dan keamanan ekonomi rumah tangga. Hubungan dengan relasi sosialnya membentuk kekerabatan sosial yang berangkat dari nilai budaya lokal. Sambil tetap mengikatkan diri dalam kesepakatan ‘janji’ sebagai manifestasi kepercayaan dengan pihak lain.

Sifat kewirausahaan papalele muncul secara alami yang dibentuk oleh pengetahuan seadanya. Setia, sabar, jujur, tekun, merupakan nilai-nilai yang diwariskan kepada generasinya. Walapun dengan kapasitas intelektual yang terbatas tidak men-jadi halangan ataupun kendala berusaha bagi mereka. Keterba-tasan pengetahuan itu dijadikan kekuatan untuk membangun kesadaran bersama sebagai satu entitas yang memiliki identitas. Identitas yang diakui keberadaannya dan tetap eksis dalam pergulatan zaman modern tetap mendapat tempat dalam jaring-an sosialnya. Hjaring-anya mengjaring-andalkjaring-an kolaborasi yjaring-ang dibentuk oleh ikatan ‘janji’ sebagai norma pengikat, sehingga papalele telah menunjukkan eksisitensinya.

Papalele memiliki kapasitas dan karakter usaha yang me-mungkinkan mereka tetap survive. Suasana akibat konflik; ke-hancuran di sana-sini dengan banyaknya korban nyawa manu-sia tidak menyurutkan papalele berkolaborasi dan berjumpa dengan relasinya mengawetkan kembali hubungan ekonomi antar mereka. Saling percaya dan saling melindungi merupakan kepercayaan yang terbentuk dalam kesadaran bersama. Kompe-tisi atau persaingan usaha, tidak akan mungkin eksis dalam wilayah konflik seperti ini. Papalele telah menunjukkan komit-men yang tidak disadari banyak pihak bahwa mereka merupa-kan bagian dari cerita membangun perdamaian di Ambon— Maluku.

(33)

 

Tidak terbantahkan bahwa dalam penelitian ini, papalele melakukan transformasi dan kolaborasi pengetahuan yang luar biasa. Hasil usaha bukannya diperuntukkan dan didayagunakan bagi peningkatan dan pengembangan usaha, tetapi justru diin-vestasikan untuk pendidikan anak-anak dan sebagai jaminan hari tua setelah tidak lagi papalele. Upaya ini merupakan suatu pergeseran dari struktur lama ke struktur yang baru yakni peningkatan citra dan status sosial keluarga di mata masyarakat. Peningkatan status sosial menjadi kata kunci keberhasilan usaha papalele. Dua aspek yang berkolaborasi tersebut nampak antara tujuan usaha sebagai aspek ekonomi dan orientasi masa depan: status sosial dan jaminan hari tua sebagai aspek sosial.

(34)

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, remaja putri mempunyai kepuasan yang lebih rendah terhadap berat badan, tipe tubuh, dan merasa diri mereka tidak menarik dibandingkan remaja putra1.

“Bentuk pelayanan prima yang kita berikan kepada wakif seperti lembaga kita menerima jemput ZISWAF di rumah si wakif jadi pewakif tidak perlu repot-repot dateng

Dalam hal pengurus Partai Politik Peserta Pemilu pada setiap tingkatan dan Calon Anggota DPD tidak menyampaikan laporan penerimaan dan pengeluaran Dana Kampanye kepada Kantor

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan maka penulis akan melakukan mengembangan penelitian lebih lanjut untuk dapat membuat sistem pakar dengan judul

Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat (Depdiknas, 2004). Dengan demikian dapat dikatakan

Soal adalah alat untuk mengujian pengetahuan mahasiswa. Topik tersusun dari beberapa soal yang digunakan untuk menilai pemahaman mahasiswa atas materi tersebut. Soal

 KIJA masih akan fokus menggarap proyek eksisting perseroan yang berada di kawasan industri Cikarang. Selain itu, juga kawasan industri Kendal yang telah dimulai

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara